DEWI SUNGAI KUNING

 

 

 

 

 

 


 





SUNGAI Huang-ho atau Sungai Kuning merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di seluruh daratan Tiongkok. Sungai ini panjangnya tidak kurang dari lima ribu li dan semenjak muncul dari mata airnya yang berada di pedalaman Tibet, yakni di Pegunungan Kun-lun, sungai ini menjelajahi daerah Tiongkok, memanjang dari barat ke timur, dan melalui tidak kurang dari delapan propinsi di Tiongkok yang luas!

Huang-ho mulai mengalir dari puncak sebuah bukit di Kun-lun-san, dan dari Propinsi Cinghai ini ia melalui tembok besar di daerah Sining, terus menjelajahi Propinsi-propinsi Kansu, Ningsia, dan Suijan melalui Pegunungan Ala-san yang indah permai, lalu membelok ke selatan dan menjadi tapal batas Propinsi Siansi dan Shensi, melalui Propinsi Honan, kemudian masuk di Propinsi Shantung, terus terjun ke laut di Teluk Lancou.

Banyak kota-kota besar dilaluinya, di antaranya yang terpenting ialah kota Lancou, Ningsia, Paotow, dan Kaifeng. Tak terhitung banyaknya kota-kota kecil dilaluinya, dan ribuan kampung dan desa-desa.

Hampir semua orang Tiongkok kenal dan pernah mendengar Sungai Huang-ho, atau Sungai Kuning ini. Ia disebut Sungai Kuning karena airnya berwarna kuning, membawa air tanah lumpur berwarna kuning yang merupakan pupuk baik sekali bagi para petani. Sungai Huang-ho terkenal ganas dan sakti, merupakan berkah di waktu tenang, tetapi merupakan bencana besar di waktu banjir.

Selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, semenjak sungai sakti ini lahir, entah sudah berapa laksa jiwa ditewas-kannya dan entah sudah berapa banyak hasil sawah dan ladang dihancurkan! Tapi di samping ini pula, Sungai Huang-ho telah banyak dan besar jasanya terhadap kaum tani dengan para nelayan yang mengeduk hasil dari airnya berupa ikan dan lain-lain.

Pada waktu cerita ini terjadi, Tiongkok masih merupakan negara besar yang miskin, yakni dalam arti kata keseluruhannya, baik negaranya maupun rakyatnya yang terbanyak. Memang ada pula yang hidup makmur dan kaya raya, bahkan berlebih-lebihan, yakni para tuan tanah di kampung dan desa, para pedagang besar di kota-kota, dan para pembesar dan orang berpangkat, terutama mereka yang berada di dekat kaisar yang merupakan pusat kemewahan. Tapi apa artinya beberapa gelintir manusia yang hidup mewah dan makmur ini jika sebagian besar rakyatnya miskin dan papa, banyak sekali yang demikian sengsara sehingga boleh dikata pagi makan malam tidak dan belum tentu setahun sekali bertukar baju"

Sungai Huang-ho menjadi saksi akan segala kejanggalan hidup di negerinya. Ia telah melihat betapa orang-orang lemah teraniaya, betapa si kuat menindas si lemah berdasarkan hukum rimba, betapa si kaya memeras tenaga si miskin berdasarkan hukum perbudakan, dan betapa apa yang dinamakan keadilan itu hanyalah akibat dari pengaruh berkilatnya emas dan perak.

Sungai Huang-ho pernah menyaksikan betapa ribuan jiwa orang-orang gagah yang berjiwa patriot gugur dan tewas dalam tugas suci membela rakyat jelata yang berarti pula membela kebenaran, membela keadilan, dan membela prike-manusiaan. Orang-orang gagah yang berjuang tanpa mengharapkan hadiah, tanpa mengharapkan pembalasan jasa, yang berjuang dengan mulut diam tapi semangat bernyala-nyala, para pembela bangsa yang gagah perkasa, yang meneteskan darahnya untuk kepentingan rakyat, hingga darah mereka terbawa hanyut oleh arus Sungai Kuning dan darah patriot itu melanjutkan usaha perjuangan yang telah tewas dengan jalan menjadi pupuk bagi sawah ladang pak tani!

Karena keadaan yang sukar hingga untuk mencari pengisi perut agar jangan mati kelaparan saja sedemikian sulitnya, maka di sana-sini muncullah orang-orang yang beriman lemah tapi bertubuh kuat, melebur diri menjadi penjahat-penjahat, perampok, maling, dan tukang pukul bayaran. 3uga banyak muncul bajak-bajak sungai yang siap membajak perahu-perahu yang lewat di daerah mereka.

Di antara para bajak sungai, yang paling terkenal dan ditakuti lawan disegani kawan, ialah seorang bajak tunggal yang disebut orang Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho! Sedari muda, sumber hidupnya dari sepanjang Sungai Huang-ho dengan sebilah pedangnya dan ia belum pernah terkalahkan. 

Semenjak bajak air yang gagah perkasa ini muncul, maka terjadi perubahan besar dalam lalulintas Sungai Huang-ho, karena Huang-ho Sui-mo mengadakan larangan kepada semua bajak di sepanjang sungai itu agar jangan sekali-kali mengganggu para nelayan dan petani! 

Tentu saja, mula-mula tidak ada bajak yang sudi menurut aturan yang diadakan ini, tapi mereka yang tidak menurut ini satu persatu dilenyapkan dari permukaan sungai oleh Huang-ho 5ui-mo! Semenjak itu, tiada seorang pun kepala bajak yang berani membantah lagi dan para nelayan dan rakyat kecil menghela napas lega dan dapat melanjutkan pekerjaan mereka dengan aman.

Tapi, Sungai Huang-ho merupakan pantangan bagi pembesar atau orang-orang hartawan yang hendak lewat. Mereka ini baru berani lewat kalau membawa pengawal yang banyak dan kuat.

Pada masa cerita ini terjadi, Huang-ho Sui-mo telah sepuluh tahun lebih mengundurkan diri dari pekerjaan membajak. Tapi biarpun demikian, ia dengan perahunya yang kecil dan setengah tua itu masih nampak hilir mudik dan celakalah mereka yang berani melanggar aturan yang telah ia tetapkan!

Karena bajak air ini telah mengundurkan diri karena telah tua, maka lambat laun sebutan Huang-ho Sui-mo atau Setan Air dari Huang-ho telah menghilang. Bajak tunggal ini pun lalu mengubah julukannya karena ia kini mulai meyakinkan ilmu batin dan menjadi pemeluk Agama To yang banyak dianut oleh orang-orang di sepanjang Sungai Huang-ho.

 Kini bajak sungai yang gagah perkasa ini disebut orang Thian Bong Sianjin, karena biarpun sudah tua, orang pandai ini masih sering kali mengulurkan tangan menolong sesama hidup sehingga ia sangat dihormati dan dikagumi. Namanya sendiri memang Thian Bong, dan orang-orang yang berhutang budi kepadanya, untuk menyatakan penghargaan mereka, lalu menambahkan julukan Sianjin atau manusia dewa kepadanya.

Pada suatu hari, di dalam hutan rimba yang penuh dengan pohon-pohon besar dan bunga-bunga indah, di mana air Sungai Huang-ho mengalir berlenggak-lenggok dan menimbulkan tikungan-tikungan yang benar-benar indah. 

Di atas permukaan air yang luas itu tampak sebuah biduk kecil yang kedua ujungnya runcing meluncur dengan cepatnya. Keadaan pagi hari itu amatlah indahnya hingga siapa saja yang berada di tempat itu pasti akan merasa bahagia dan riang. 

Sinar matahari yang menerobos di antara celah-celah daun pohon, memancar ke atas air sungai yang mengeluarkan embun mengepul ke atas. Warna campuran antara kelabu, hijau daun, dan kuning emas itu merupakan paduan warna yang indah dan menciptakan tamasya alam yang menakjubkan.

Biduk yang meluncur cepat itu dinaiki oleh dua orang. Seorang kakek berpakaian putih dengan jubah pertapaan dan seorang anak perempuan berpakaian putih pula.
 Kakek itu usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, rambutnya penuh uban dan panjang pula, diikat di atas kepalanya dengan ikat rambut sutera kuning.

 Di punggungnya tampak gagang pedang menambah kegagahannya. Muka kakek itu licin tidak ditumbuhi kumis maupun jenggot sehingga ia tampak segar dan sehat. Anak perempuan itu berusia kurang lebih dua belas tahun, wajahnya segar dan mungil, 

sepasang matanya tajam gembira dan ia bernyanyi-nyanyi kecil sambil mendayung. Kalau diperhatikan, maka orang akan merasa terkejut dan heran sekali mengapa biduk kecil itu dapat melaju demikian cepatnya, padahal yang mendayung hanya seorang anak perempuan yang masih kecil!

Siapakah kakek yang gagah dan anak perempuan mungil itu" Dia bukan lain Thian Bong Sianjin sendiri! Dan anak perempuan" itu ialah cucu pungutnya yang juga menjadi muridnya sejak dua belas tahun yang lalu, ketika air Sungai Huang-ho membanjir dan mengamuk ganas sehingga menenggelamkan banyak kampung dan mengorbankan banyak jiwa manusia.

 Thian Bong Sianjin seperti biasa menggunakan kepandaiannya menolong mereka yang terkena bencana. Di antara sekian banyak orang yang ditolongnya, terdapat seorang anak perempuan yang masih bayi dan berusia paling banyak tiga hari!

Thian Bong Sianjin tidak dapat menemukan orang tua anak ini, dan ia menjadi bingung sekali melihat bayi yang masih merah ini berada dalam pelukannya. Wajah bayi itu sungguh membuat ia terharu dan menarik perhatian serta membangkitkan belas kasihan dalam dadanya sehingga ia mengambil keputusan untuk memungut anak itu menjadi cucunya! 

Dengan pertolongan orang-orang kampung, ia dapat juga memelihara anak perempuan itu. Dan ia memberi nama anak itu Thian Hwa.
 Semenjak kecil, Thian Hwa hidup berdua dengan kakeknya dan menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakeknya yang gagah perkasa ini. Thian Bong Sianjin bukan saja ahli ilmu silat, tapi juga ilmu dalam air, sehingga bukan saja ia dapat berenang cepat sekali bagaikan seekor ular air, tapi juga kuat sekali bertahan dalam air seperti seekor ikan! 

Thian Hwa si gadis cilik itu pun ternyata suka sekali akan permainan dalam air sehingga setiap hari tentu terjun ke air yang dalam dan berenang gembira ria bersama kakeknya.

"Thian Hwa, kali ini kau harus menggunakan kepandaianmu sendiri membawa biduk kita melintasi tikungan sempit di hutan Koai-siong-lim itu. Sanggupkah?" kata Thian Bong Sianjin kepada cucunya.

Thian Hwa tersenyum memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan putih bersih. "Mengapa tidak sanggup, Kong-kong" Ketika kita lewat dahulu, kau hanya membantu sedikit dan telah memberi petunjuk kepadaku. Pula, seandainya aku masih belum dapat, aku tidak percaya kau akan tinggal berpeluk tangan saja dan membiarkan biduk kita terbalik sehingga pakaianmu akan basah kuyup!"

Thian Bong Sianjin tertawa geli mendengar kata-kata cucunya yang cerdik itu.
"Kalau sekali ini kau tidak dapat, biarlah kita basah kuyup bersama, aku tidak mau membantumu, tentu kau tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan bantuanku belaka!" 

Kakek dan cucunya itu lalu tertawa geli bersama-sama sehingga di atas Sungai Huang-ho yang memanjang itu ber-gemalah suara tertawa yang kecil nyaring dan bercampur dengan suara tertawa besar parau.

Tikungan yang disebutkan oleh Thian Bong Sianjin itu memang sangat berbahaya. Ketika sampai di tempat itu, sungai menjadi kecil dan sempit dan air mengalir sepanjang tikungan yang menurun itu dengan cepat sekali! 
Ini saja sudah berbahaya, belum ditambah dengan batu-batu besar menonjol di permukaan air, besar dan tajam berwarna hitam menakutkan karena batu-batu itu berben-tuk aneh sebagai binatang-binatang buas. 

Dan semua ini masih ditambah lagi pu-saran-pusaran air yang berputar cepat merupakan sumur-sumur air yang berbahaya sekali, yang terjadi karena aliran air terpukul kembali oleh air yang tiba-tiba menikung sehingga terjadi aliran bertentangan. Tempat ini telah sangat terkenal bagi para nelayan dan penduduk di sekitar tempat itu, sebagai tempat yang banyak mendatangkan korban. 

Kebanyakan yang menjadi korban adalah tukang tukang perahu yang datang dari tempat jauh dan belum tahu akan berbahayanya tempat itu. Memang bagi yang tidak tahu, tadinya air bergerak maju biasa saja karena memang sangat dalam sehingga lajunya tidak kentara. 

Tapi setelah mendekati tikungan itu, air melaju cepat dan jika perahu sudah terbawa hanyut oleh aliran yang cepat itu, maka sukarlah untuk melepaskan diri. Apalagi setelah tiba di tempat yang penuh batu-batu,, tak mungkin lagi untuk mendayungnya ke tepi.

 Dan celakalah mereka yang berada di dalam perahu yang telah hanyut sampai ke tempat itu. 
Oleh karena ini, maka tempat itu disebut Tikungan Maut oleh para nelayan dan bilamana melalui tempat itu, mereka naik ke darat bersama perahu mereka dan menyeret perahu itu sampai melewati tikungan. 

Tentu hal ini membikin repot sekali, terutama sekali mereka yang membawa barang-barang banyak dan berat.

Maka bermunculanlah buruh-buruh pengangkut barang-barang itu dan keadaan di situ menjadi lebih makmur bagi penduduk di dekat tikungan, yakni di sekitar hutan Koai-siong-lim.

Ketika biduk yang didayung Thian Hwa telah kena terpegang oleh aliran sungai yang mulai melaju, Thian Hwa perdengarkan seruan girang. 
Bibirnya yang kecil merah tersenyum-senyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan ditujukan ke air di depan biduknya, sedangkan sepasang tangannya erat-erat memegang sepasang dayung di kanan kiri perahu kecil yang runcing depan belakangnya itu. Thian Bong Sianjin benar-benar mulai memeluk tangannya dan memandang cucunya dengan tersenyum senang.

Karena aliran air sangat cepat, Thian Hwa tidak mendayung, hanya menggunakan dayung-dayungnya untuk menahan imbangan biduk dan mencari jalan di pusat aliran terbesar, yakni di tengah-tengah. 
Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu, berkibar melambai di belakangnya

Kini biduk mulai memasuki daerah batu, dan batu-batu karang besar dan tajam mulai tampak menonjol di permukaan air.
 Keadaan mulai berbahaya dan makin lama batu-batu itu makin banyak, malang-melintang di tengah-tengah sungai menghadang jalan air sehingga aliran air melenggak-lenggok laksana menggila. 

Tapi makin berbahaya keadaannya, makin Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat, gembiralah Thian Hwa. 

Anak gadis itu menggunakan dayung di tangannya untuk menolak batu-batu di kanan kiri yang mengancam pinggir biduk, sehingga biduk itu sebentar membelok ke kanan, sebentar membelok ke kiri. 

Kini tidak mungkin lagi untuk "menumpang" pusat aliran air dan menyerahkan biduk dibawa hanyut saja karena batu-batu yang ganas itu telah memecah-belah aliran sehingga menjadi aliran-aliran kecil di antara batu-batu yang tidak cukup lebar untuk dilewati badan perahu. Maka Thian Hwa harus memilih jalan sendiri, di antara batu-batu karang itu dan ini membutuhkan ketabahan, kecepatan, kekuatan, keberanian dan ketelitian yang luar biasa.

Tapi sungguh mengherankan betapa anak gadis yang berusia paling banyak dua belas tahun itu dapat menguasai biduk sedemikian gagah dan hebatnya! 

Di suatu tempat yang paling banyak terdapat batu, tiba-tiba Thian Hwa kehilangan jalan. Jalan di depannya buntu, dan tidak ada satu pun ruang yang cukup lebar untuk dilewati biduknya! Ia teringat bahwa pada perjalanan yang lalu ia telah mendapat kegagalan tiga kali sehingga perlu dibantu oleh kakeknya, dan kegagalan pertama adalah di tempat ini. Ia lalu mengambil keputusan cepat. Dengan mata tajam setengah dikatupkan ia bawa biduknya meluncur ke arah batu karang yang menonjol rendah dari permukaan air dan di kanan-kiri batu karang itu terdapat batu karang lain yang lebih tinggi.

Thian Hwa lalu bangun berdiri lalu sambil berseru keras ia pentang kedua kakinya di kanan kiri badan biduk yang kecil itu, sehingga ia duduk di atas biduk bagaikan seorang yang menunggang kuda! Setelah biduk dekat sekali sehingga akan membentur karang yang menonjol rendah, 
ia menggunakan kedua dayungnya menekan karang di kanan-kiri dan berteriak keras sambil mengerahkan seluruh tenaga lwee-kang yang telah mulai dilatihnya.
"Naik!" pekiknya dan biduk itu bagaikan terbang dapat meloncat cepat di atas karang yang menonjol rendah dan bagian paling bawah hanya setengah dim saja lewat di atas karang tajam itu!

"Bagus!" kakeknya memuji tapi ia masih tetap berpeluk tangan! Ia tidak menyangka bahwa cucunya demikian cerdiknya sehingga dapat menggunakan tenaga tekanan dayung pada batu karang untuk meloncatkan biduk yang ia kempit dengan kedua kakinya itu!

Thian Hwa belum puas dengan hasil pertama dan pujian kakeknya ini, karena ia maklum bahwa di depan masih ada dua perintang yang lebih berbahaya lagi.
Bahaya ke dua adalah tikungan itu sendiri. Setelah batu-batu dapat dilewati, maka aliran air itu berkumpul dan berpusat lagi menjadi aliran yang sangat kuat dan yang maju menubruk dinding karang hitam yang sangat kuat untuk kemudian membelok dengan tajamnya ke kanan! Biduk Thian Hwa bagaikan disam-bitkan ke arah batu karang itu. 

Tapi dengan berseru keras gadis ini menggunakan dayungnya membuat perahunya beralih haluan sehingga menjadi melintang dan tidak bisa melaju lagi, dan dengan jalan inilah ia berhasil mematahkan tenaga bantingan hebat. Ketika berada dekat dengan dinding batu karang yang hitam berkilat itu, ia menggunakan tangan kiri menolak batu karang itu dan dayung kanan tetap digunakan untuk mengatur haluan biduk agar jangan menuju ke dinding itu. 

Maka lewatlah biduknya dengan selamat di tikungan maut itu!




Kini mata Thian Bong Sianjin memancarkan cahaya gembira karena gerakan cucunya tadi memang sempurna yang ia sendiri juga akan melakukannya. 
Tapi pada saat itu ia berseru, 

"Awas!" dan tiba-tiba badan perahu telah sampai pada sebuah ulekan atau pusaran air yang besar dan kuat sehingga sebentar saja biduk itu terputar-putar kencang tanpa dapat dikuasai oleh sepasang dayung Thian Hwa lagi!

 Tenaga putaran itu terlampau kuat bagi gadis itu sehingga untuk sesaat ia tidak berdaya. Ketika ia melirik ke arah kakeknya, ternyata orang tua itu masih tetap memeluk tangan dengan tenangnya sambil tubuhnya ikut berputar-putar dengan biduk.

Thian Hwa menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia tetap tidak hendak minta tolong kepada kakeknya! Ia lalu melepaskan kedua dayung di dalam biduk dan tubuhnya segera meloncat ke dalam air bagaikan seekor ikan saja! 

Tubuhnya segera terbawa pusaran air dan ikut berputar-putar, tapi dengan sebelah tangan memegang pinggir perahu, ia mengatur sebelah tangannya lagi dan kedua kaki perlahan-lahan melepaskan diri dari putaran air. Setelah banyak menggunakan tenaga dan perhitungan tepat, akhirnya berhasil juga ia membawa perahunya keluar dari putaran itu dan ia lalu meloncat lagi ke dalam biduk dengan pakaian basah kuyup!

Thian Hwa berdiri di dalam perahunya yang kini terbawa oleh aliran sungai yang masih cepat tapi tenang itu dengan bangga. Ia menghadapi kakeknya lalu berkata.

"Kong-kong, aku dapat melewati Tikungan Maut!"

"Memang kau tadi telah melakukan pekerjaan baik sekali, Thian Hwa, aku ikut girang melihat hasilmu. Tapi putaran air tadi berbahaya sekali, seharusnya kau jangan membiarkan biduk kita sampai tercengkeram olehnya!"

Thian Hwa menghela napas. "Memang aku tadi kurang cepat, Kong-kong!" Ia melihat pakaiannya yang basah kuyup itu.
Thian Bong Sianjin lalu mengambil bungkusan pakaian dan melemparkan kepada cucunya. "Nih, lekas tukar pakaian kering."

Kakek itu lalu menggantikan cucunya mendayung dan Thian Hwa tanpa segan-segan lagi lalu berganti pakaian di belakang kakek itu. Setelah kedua dayung itu berada dalam tangan Thian Bong Sianjin, maka tiba-tiba perahu kecil itu meluncur luar biasa cepatnya sehingga sebentar saja mereka telah maju beberapa belas li jauhnya! Di suatu tempat yang airnya tenang dan sungainya lebar sekali, Thian Bong Sianjin tiba-tiba membelokkan perahunya menuju ke tepi.

"Kita berlatih di sini, Thian Hwa." katanya lalu dia mengeluarkan empat buah papan dari dasar perahu. Papan-papan itu panjangnya kira-kira dua kaki dan lebarnya setengah kaki, di tengah-tengah agak ke depan dipasangi kayu jepitan seperti pada terompah kayu. 

Thian Bong Sianjin lalu melepaskan sepasang papan terompah air itu di atas air dan ia lalu meloncat di atas papan-papan kayu itu sambil menjepit kayu tadi. Papan-papan itu hanya tipis saja dan jika yang memakai orang biasa tentu dia akan tenggelam atau terguling. Tapi Thian Bong Sianjin menggerak-gerakkan kedua kakinya dan papan itu tetap mengambang!

Thian Hwa juga meniru perbuatan kakeknya dan ia melepaskan dua buah papan terompah air lagi yang lalu dinaikinya. Kemudian Thian Bong Sianjin dan cucunya menggerak-gerakkan tubuh ke bawah bagaikan orang hendak berloncat lalu berdiri, dan gerakan ini ternyata mendatangkan tenaga dorong yang keras sehingga papan di bawah kakinya meluncur cepat ke depan. 

Demikianlah, keduanya bermain di atas. air sehingga tubuh mereka tampaknya seakan-akan sedang berlari-lari cepat di atas daratan saja!

Thian Bong Sianjin melatih cucunya untuk meluncur di atas satu kaki saja, lalu bergerak maju mundur sedemikian lincah dan mudahnya seolah-olah sedang berlagak di atas tanah keras saja. Inilah ilmu meringankan tubuh yang betul-betul luar biasa. Dengan latihan macam ini, maka ginkang gadis cilik itu cepat sekali majunya, dan dengan memiliki kepandaian semacam itu, biarpun harus menyeberangi sungai yang bagaimanapun lebarnya, asal ada dua buah papan, mudah baginya!

Kemudian kakek dan cucunya itu berlatih silat di atas air.

 Latihan itu membutuhkan tenaga kaki yang luar biasa sehingga dapat melatih kuda-kuda dan gerak kaki yang tetap. 
Setelah puas berlatih, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya mengunjungi sebuah perkampungan bajak sungai yang dipimpin oleh Ui Hauw yang dijuluki Ular Air. 

Ui Hauw adalah seorang pemimpin bajak yang tunduk dan taat sekali akan peraturan yang diadakan oleh Thian Bong Sianjin, bahkan setelah Thian Bong Sianjin mengundurkan diri, Ui Hauw boleh dikatakan menjadi penggantinya.
 Tidak heran bahwa di antara kedua orang ini terdapat hubungan erat dan U i Hauw menganggap Thian Bong Sianjin sebagai orang tua yang sangat dihormati. 

Pernah dia mohon diterima menjadi murid, tapi ditolak oleh Thian Bong Sianjin, hanya diberi pelajaran beberapa pukulan ilmu silat tinggi! Biarpun hanya menerima sedikit pelajaran, namun Ui Hauw telah menganggap orang tua itu sebagai guru dan menyebutnya "suhu".

Boleh dikata sejak mengundurkan diri, segala keperluan Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa dicukupi oleh Ui Hauw ini, maka sering kali Thian Bong Sianjin mengajak cucunya berkunjung ke tempat Ui Hauw.

Ketika mereka tiba di perkampungan di pantai sungai itu, kebetulan sekali di situ sedang diadakan sedikit pesta untuk menggembirakan dan merayakan ulang tahun putera Ui Hauw genap berusia empat belas tahun. 

Ui Hauw hanya mempunyai seorang putera .yang diberi nama Ui Yan Bun, seorang anak laki-laki yang berwajah tampan dan cerdik sekali. Ketika Thian Bong Sianjin dan cucunya tiba, semua anak-anak tengah berkumpul di situ dan mereka itu sedang mengadakan pemilihan jago dengan mengadakan pertandingan! 

Melihat hal ini, Thian Hwa segera berlari ke tempat itu dan ikut menonton. 

Sedangkan Thian Bong Sianjin disambut oleh Ui Hauw yang mempersilakan duduk ke dalam rumah.

Di antara anak-anak yang ikut memasuki pertandingan pemilihan jago, ternyata hanya tinggal dua orang lagi sebagai pemenang, yakni Ui Yan Bun dan seorang anak yang usianya kira-kira lebih tua dua tahun daripadanya. Kini kedua pemenang itu saling berhadapan untuk mengukur tenaga dan kepandaian.

 Ternyata bahwa keduanya memiliki ilmu silat cukup baik karena kedua-duanya adalah murid dari Ui Hauw sendiri. Namun segera kelihatan bahwa betapapun juga, Ui Yan Bun masih menang tangkas dan cepat sehingga biarpun telah kalah tenaga, dia dapat mendesak lawannya. Kemudian, dengan gerak tipu "Mendorong Pohon Siong Tua",
 dia berhasil merobohkan lawannya itu dan menerima tepuk sorak dan pujian dari kawan-kawannya.

Thian Hwa belum pernah bertemu muka dengan Yan Bun, karena sesungguhnya Yan Bun baru beberapa hari saja datang di kampung ayahnya. Anak ini oleh ayahnya dikirim kepada peh-pehnya untuk belajar silat, karena memang kakak Ui Hauw yang bernama Ui Tiong memiliki kepandaian silat yang lebih lihai daripada Ui Hauw sendiri. Beberapa bulan sekali Yan Bun pulang ke kampung orang tuanya.

Memang Ui Hauw mempunyai pendapat yang aneh. Dia sendiri adalah seorang kepala bajak sungai yang mempunyai cara hidup kasar, tapi terhadap puteranya ia mempunyai cita-cita yang tinggi.

 Dia ingin melihat puteranya menjadi seorang gagah yang terhormat dan jangan sampai menjadi seorang bajak seperti dia. Oleh karena inilah maka dia mengirim Yan Bun kepada kakaknya yang tinggal di kota yang membuka warung obat, agar anak ini selain belajar silat, juga dapat mempelajari ilmu surat dan kebudayaan!

 Mungkin karena berpendirian demikian, maka biarpun menjadi bajak, Ui Hauw adalah seorang bajak yang tidak kejam dan melakukan pekerjaan dengan pilih-pilih dan taat akan peraturan Thian Bong Sianjin.

Demikianlah, maka ketika datang ke situ Thian Hwa ikut menonton pertandingan itu, dan ia belum mengenai Yan Bun. Ia melihat betapa Yan Bun dipuji-puji sebagai jago paling pandai, tiba-tiba menjadi iri dan penasaran. Tanpa terasa lagi ia meloncat ke tengah kalangan dan berkata.

"Siapa bilang anak ini yang terpandai" 

Masih ada aku di sini!" dan gadis cilik itu berdiri menantang sambil bertolak pinggang! Hampir semua anak yang berada di situ kenal kepada Thian Hwa dan tahu akan kelihaian cucu dari Thian Bong Sianjin ini, maka banyak mulut lalu berseru, "Thian Hwa memang lihai, ia tak terlawan oleh siapa juga!"

Bahkan ada yang berani berkata, 
"Yan Bun tak mungkin bisa menangkan Thian Hwa!"

Mendengar kata-kata ini Yan Bun mengarahkan sepasang matanya yang tajam kepada gadis cilik itu. 

Dia marah sekali karena merasa dirinya yang telah menjadi pemenang dan baru saja dipuji-puji, sekarang tiba-tiba dipandang rendah oleh seorang gadis. Tapi, biarpun masih kanak-kanak, Yan Bun telah memiliki jiwa jantan yang tidak mau merendahkan kaum wanita. Biarpun hatinya sedang marah, tapi ia tidak memperlihatkannya kepada Thian Hwa. Dia hanya maju dan berkata.

"Jika kau hendak memberi pelajaran padaku yang bodoh, silakan kau maju." 

Kemudian ia memasang kuda-kuda yang kokoh kuat sambil menanti serangan lawan, tidak mau sekali-kali mendahului menyerang.

Thian Hwa melengak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa anak laki-laki itu demikian sopan dan pandai membawa diri, jauh berbeda dengan anak-anak lain yang biasanya suka berlaku sombong dan memandang rendah anak perempuan. Juga kuda-kuda yang dipasangnya cukup sempurna dan kuat sehingga diam-diam Thian Hwa merasa kagum dan hatinya menjadi suka kepada Yan Bun.

Thian Hwa tersenyum dan berkata, "Marilah kita coba sebentar."

Maka bertempurlah kedua anak itu dengan ramai. Mereka sama-sama cepat, sama-sama gesit dan keduanya telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi sehingga kepalan kecil mereka bergerak mendatangkan angin. Semua anak yang menonton pertandingan ini bersorak gembira sehingga menarik perhatian Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin. Kedua orang tua ini keluar untuk melihat. Mereka keduanya tersenyum melihat betapa Yan Bun dan Thian Hwa bersilat mengadu kepandaian.

"Ah, anak itu baik sekali!
" Thian Bong Sianjin memuji ketika melihat gerakan silat Yan Bun. "Bukankah itu anakmu Yan Bun?" Karena hubungan mereka yang erat, Thian Bong Sianjin segera mengenal anak laki-laki kawannya.

Ui Hauw senang sekali mendengar pujian Thian Bong Sianjin.

Maka bertempurlah kedua anak itu dengan ramai. Mereka sama-sama cepat, sama-sama gesit dan keduanya telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi sehingga kepalan kecil mereka bergerak mendatangkan angin.

"Ah, dia masih bodoh dan banyak mengharap pimpinan Suhu."

Thian Bong Sianjin mengangguk-angguk. 

"Anak baik, dia mempunyai bakat yang bersih."

Pada saat itu Thian Hwa mengeluarkan ilmu silat Kauw-jiu Kwan Im atau Dewi Kwan Im Tangan "Sembilan yang belum lama dipelajari. Tipu silat ini adalah gubahan Thian Bong Sianjin sendiri yang sengaja mengubah ilmu silat ini untuk disesuaikan dengan cucunya, karena dia menganggap lebih tepat daripada ilmu silat lain yang kasar. Kauw-jiu Kwan Im memang mempunyai gerakan-gerakan lemas dan membutuhkan kelincahan dan kecepatan. 

Maka ketika memainkan ilmu silat yang sukar ini, Thian Hwa harus mengerahkan ginkangnya sehingga tubuhnya melesat cepat dan berputar-putar di sekeliling lawannya, membuat Yan Bun merasa bingung karena tiba-tiba dia melihat betapa gadis itu seakan-akan berubah menjadi tiga orang! 

Namun, dia telah memiliki ilmu silat yang lumayan juga sehingga dia masih dapat mempertahankan diri dari desakan Thian Hwa.

"Yan Bun, berhenti!" teriak Ui Hauw. Kedua anak itu mendengar teriakan ini dan segera meloncat mundur. "Yan Bun, jangan kurang ajar, lihat siapa yang datang ini?"

Yan Bun memandang dan ia masih ingat kepada kakek yang dulu sering mengajar ayahnya bersilat, maka dia lalu maju berlutut sambil memanggil, "Su-kong!"

Thian Bong Sianjin mengangkat bangun anak ini sambil tertawa. "Yan Bun, kau telah banyak maju!"

Ui Hauw berkata kepada anaknya. "Tahukah kau siapa yang kauajak bertanding tadi" Ia adalah cucu dari Su-kongmu! Maka kau bisa melawannya?"

Thian Hwa telah sering berkunjung ke tempat itu dan kenal baik kepada Ui Hauw tadi, ia segera berkata, "Aah, Ui Peh-peh selalu memuji-muji saja!"

Thian Bong Sianjin gembira sekali melihat kemajuan ilmu silat Yan Bun, maka dia segera bertanya kepada Ui Hauw. "Tidak tahu apakah dia juga mempelajari ilmu dalam air?"

Ui Hauw menjawab."Sedikit-sedikit dia pernah teecu latih sendiri. Apalagi rumah Peh-pehnya dekat dengan sebuah telaga yang cukup dalam sehingga dia sering berlatih renang di sana."

Kakek tua itu makin gembira, lalu dia berkata kepada cucunya.
"Thian Hwa, coba kauajak Yan Bun berlomba berenang menyeberang sungai itu."
Thian Hwa merasa gembira sekali karena ia menduga bahwa biarpun dalam ilmu silat ia hanya menang sedikit, namun dalam hal ilmu dalam air ia tidak usah takut kalah! Maka ia segera menghampiri Yan Bun dan berkata. "Mari, Ui-twako, kita mencoba kepandaian renang kita."

Yan Bun memandang gadis cilik itu dengan heran. Dia tadi sangat kagum karena ternyata ilmu. silat anak gadis itu tidak lebih rendah daripadanya, bahkan kalau dia boleh berkata terus terang, dia harus mengakui keunggulan Thian Hwa! Kini ternyata gadis cilik lnl pandai pula berenang, karena kalau tidak pandai, tidak nanti dia berani menantangnya demikian gembira. Dia makin merasa takluk kepada Thian Bong Sianjin dan diam-diam mengiri terhadap keberuntungan Thian Hwa yang sudah terpilih menjadi murid kakek berilmu tinggi itu.

Setelah keduanya tiba di tepi sungai dengan diikuti oleh semua anak-anak dan orang-orang kampung, para anggauta bajak yang kini merasa tertarik dan ikut menonton, tidak ketinggalan pula Thian Bong Sianjin dan Ui Hauw sendiri, Thian Hwa lalu berlari bersembunyi untuk berganti pakaian. Ketika ia datang lagi, ia telah memakai pakaian yang serba ringkas dengan mulut celana yang dapat diikatkan pada pergelangan kakinya dan lengan baju yang pendek sampai ke siku. Dengan pakaian ini ia dapat bergerak lebih leluasa di dalam air.

 Semua orang memandang dengan kagum.
Kemudian, setelah Yan Bun juga siap sedia, keduanya lalu terjun ke air berbareng dan berenang dengan cepat menyeberang! Air di bagian itu tenang saja, tapi sangat dalam dan sangat lebar sehingga untuk menyeberang sekali saja, bagi orang-orang yang tidak terlatih baik akan terasa lelah sekali, jangan kata bagi mereka yang tidak pandai berenang! 

Tapi kedua anak itu ternyata benar-benar pandai karena mereka berenang dengan cepat dan sepasang kaki dan tangan mereka berpusing-pusing bagaikan kitiran dan membuat air sungai berbuih keputih-putihan di dekat tangan dan kaki!

Perlombaan renang ini mendatangkan kegembiraan besar dan semua anak bersorak-sorak menjagoi pilihan masing-masing, tapi sebagian besar anak lelaki menjagoi Yan Bun sedangkan anak-anak perempuan tentu saja memilih Thian Hwa. 

Dan ternyata mereka berdua tiba di pantai sebelah sana dengan waktu yang hampir bersamaan dan segera mereka berbalik dan kini mereka berenang sambil menyelam. Semua anak yang menonton pertunjukan ini menahan napas karena kini kedua jagoan mereka lenyap dari permukaan air! Sampai lama sekali tidak nampak keduanya muncul dari bawah air, seakan-akan mereka sengaja bertahan dan tidak mau muncul lebih dahulu!....





Setelah lewat lama sekali, barulah tampak Yan Bun muncul ke permukaan air sambil terengah-engah karena terlalu lama dia menahan napas! 

Anak-anak perempuan yang menjagoi Thian Hwa bersorak riuh karena munculnya Yan Bu ini mereka anggap sebagai kemenangan bagi Thian Hwa yang. ternyata lebih kuat bertahan di bawah permukaan air! 

Tapi sampai lama ditunggu, belum juga Thian Hwa tampak muncul! Yan Bun merasa heran sekali, karena mungkinkah gadis itu dapat bertahan selama itu di dalam air"

 Ah, tidak mungkin! Andaikata lwee-kang gadis itu sudah sangat tinggi dan kuat, rasanya tidak mungkin ia dapat menahan napas selama itu. Tapi, karena dalam hal bertahan diri di dalam air dia merasa dikalahkan, Yan Bun lalu keluarkan kepandaian berenangnya yang paling cepat untuk mendahului tiba di tepi. Benar saja, ia dapat mencapai tepi lebih dahulu dengan disambut sorakan ramai.

Tapi kini orang-orang gelisah karena Thian Hwa belum juga tampak muncul! Bahkan Ui Hauw sendiri menjadi gelisah dan tidak tahan lagi untuk tidak bertanya kepada Thian Bong Sianjin. "Suhu, apakah benar-benar Thian Hwa dapat bertahan sedemikian lamanya?" Karena Ui Hauw Si Ular Air sendiri tak sanggup untuk berdiam di dalam air sedemikian lamanya!

Thian Bong Sianjin yang semenjak tadi hanya tersenyum saja, ketika mendengar kata-kata Si Ular Air ini tertawa terkekeh-kekeh, lalu menuding ke arah air sambil berkata. "Ha, kau juga kena dikelabuhi" Lihatlah batang jerami itu! Pernahkan melihat batang jerami bisa berenang?"

Ui Hauw memandang dan dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian, batang jerami yang menonjol di permukaan air dan semenjak tadi bergerak ke arah tepi, telah tiba di tepi dan tampaklah kini kepala Thian Hwa yang segera muncul. Wajah gadis itu berseri-seri dan pada mulutnya tergigit sebatang jerami panjang. Jadi ternyata gadis yang sangat cerdik ini telah mengalahkan Yan Bun dalam bertahan di bawah air dengan menggunakan akal, yakni ia menggigit batang jerami yang berlubang dan dengan telentang ia dapat berenang di bawah air seenaknya karena dapat bernapas melalui batang jerami yang berlubang itu!

Semua orang tertawa dan memuji gadis itu, terutama Ui Hauw merasa kagum dan gembira sekali.

"Suhu, bukankah cucumu itu cocok sekali kalau kelak menjadi jodoh putera teecu?" katanya perlahan. Thian Bong Sianjin hanya tertawa saja, tapi tidak menjawab sesuatu, karena pada saat itu dia belum memikirkan tentang hal itu.

Karena sayang dan suka kepada Yan Bun, sejak saat itu Thian Bong Sianjin sering sekali datang ke kampung Ui Hauw untuk memberi pelajaran silat kepada Yan Bun, sehingga boleh dibilang semenjak saat itu murid Thian Bong Sianjin menjadi dua orang, yakni Thian Hwa sendiri dan Yan Bun. Kakek tua itu tidak pilih kasih dan ia memberi pelajaran kepada Yan Bun dengan sungguh-sungguh, bahkan pelajaran yang diterima oleh Yan Bun jauh lebih banyak daripada yang pernah dia berikan kepada Ui Hauw. Yan Bun memang berotak terang, maka dia dapat menguasai semua pelajaran yang diberikan itu dengan baik sehingga mendapat kemajuan pesat sekali. Malah kini dia dapat ikut bersilat di atas air dengan menggunakan papan terompah air bermain-main dengan Thian Hwa.

Hubungan kedua anak itu menjadi erat, karena Thian Hwa suka kepada Yan Bun yang bersikap lemah-Iembut, sopan-santun dan pandai pula berkelakar. Sebaliknya, sudah semenjak pertemuan pertama, Yan Bun kagum sekali kepada Thian Hwa yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak ada nomor duanya di dunia ini!

Berkali-kali, apabila melihat hubungan kedua anak itu demikian baiknya, Ui Hauw mengutarakan pikirannya untuk menjodohkan keduanya, tapi selalu Thian Bong Sianjin tidak mau menyatakan persetujuannya, walaupun dia juga tidak menyatakan ketidaksukaannya akan usul ini. Hanya satu kali pernah dia berkata kepada Ui Hauw, 

"Tentang hal itu, aku tidak berpendirian kukuh. Biarlah hal itu diputuskan sendiri oleh Thian Hwa. Anak itu berdiri sendiri di dunia ini, maka segala hal yang menyangkut dirinya, biarlah dia sendiri mengambil keputusan, aku orang tua yang hanya sebentar lagi berada di dunia ini cukup mengamat-amati saja."

Mendengar keterangan yang bersifat pernyataan isi hati kakek ini, Ui Hauw maklum. Dia tahu bahwa Thian Hwa bukanlah cucu gurunya sendiri, sedangkan dia tahu pula bahwa kakek tua itu berhati mulia dan penuh belas kasih hingga untuk kebahagiaan orang lain, dia sendiri rela berkorban. Apalagi untuk menjaga kebahagiaan Thian Hwa yang dikasihi, dia tentu tidak perdulikan perasaan hatinya sendiri dan menyerahkan saja kepada anak itu agar tidak sampai salah pilih.

Telah beberapa kali Thian Hwa bertanya kepada kakeknya tentang ayah ibunya, karena gadis ini setelah besar mengerti bahwa selain kakeknya, ia tentu mempunyai seorang ibu dan ayah. Jika ditanya kakeknya selalu memberi jawaban menyimpang sehingga Thian Hwa menjadi penasaran.

 Pernah gadis itu berkata, "Kong-kong, kalau memang ayah ibuku telah meninggal dunia, katakanlah saja. Tapi kalau mereka masih hidup, bawalah aku bertemu dengan mereka." Gadis yang semenjak kecilnya tidak pernah menangis ini ketika mengajukan pertanyaan, dari kedua matanya mengalir air mata membasahi pipinya. Tapi ia dapat menetapkan hatinya yang keras untuk tidak menangis tersedu-sedu.

Thian Bong Sianjin ketika ditanya dan mendengar sesalan cucunya ini, menghela napas panjang. Memang dari dulu dia telah maklum bahwa pada suatu saat pasti datang pertanyaan ini dan kalau sudah tiba waktunya, tak mungkin lagi dia dapat membohongi anak itu. Dia memang belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Thian Hwa, tapi pada malam dia menolong dan merawat Thian Hwa, dia bermimpi bertemu dengan seorang wanita muda yang menangis sedih dan berlutut kepadanya sambil berkata, "Inkong, peliharalah anakku baik-baik....

" Thian Bong Sianjin masih ingat betul bahwa wanita muda itu wajahnya cantik dan di atas bibirnya terdapat tahi lalat hitam. Tapi hal itu disimpannya sebagai rahasia sendiri dan tidak pernah menuturkannya kepada orang lain.

Setelah usia Thian Hwa meningkat sehingga sukar untuk dibohongi lagi, terpaksa dia menjawab. "Thian Hwa, memang kau masih mempunyai ayah dan ibu!"

"Mendengar kata-kata itu, gadis itu berdiri dan merangkul kakeknya untuk menyembunyikan matanya yang telah basah di pundak kakeknya itu. Dan terbayanglah lagi wajah wanita muda di depan mata Thian Bong Sianjin. Dia masih teringat bahwa wanita itu memakai pakaian yang mewah seperti orang berpangkat.

"Di mana mereka, Kong-kong" Di mana7" Thian Hwa bertanya sambil tersenyum dan wajah yang berseri-seri.

"Sabarlah, Thian Hwa. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka itu' Ketahuilah, aku... aku bukanlah kakekmu sejati. Kau kutemukan di... dan... dan aku pun tidak tahu siapa orang tuamu."

Wajah yang berseri-seri itu tiba-tiba menjadi muram bagaikan api bernyala disumbu lilin tiba-tiba tertiup padam. "Kalau begitu... Kong-kong... mari kita cari mereka...."

Thian Bong Sianjin lalu memeluk muridnya yang baru berusia tiga belas tahun itu. "Thian Hwa, kau sabarlah. Apa kau-kira aku tidak suka melihat kau berjumpa dengan kedua orang tuamu" Aku mendidik kau menjadi orang pandai juga dengan maksud agar kelak kau dapat mencari mereka! Tapi nanti, kalau kau sudah dewasa dan sudah memiliki kepandaian tinggi.

 Sekarang kau belajarlah dengan tekun dan rajin, kelak tentu akan tiba masanya aku melepaskan kau pergi mencari orang tuamu."

Tubuh Thian Hwa menggigil dalam pelukan kakeknya, tanda bahwa anak itu menggunakan seluruh tenaganya untuk menahan isak tangisnya. Thian Bong Sianjin menghela napas. 

Sungguh hebat luar biasa sekali anak ini, pikirnya dengan kagum.

Semenjak itu, Thian Hwa tekun mempelajari ilmu silat tinggi, bersama-sama Yan Bun sehingga tingkat kepandaian mereka saling susul dan tidak berbeda jauh. Yan Bun tumbuh menjadi seorang pemuda yang sabar, hati-hati dan sebelum bertindak selalu mengadakan perhitungan tepat dan cermat, tapi Thian Hwa menjadi seorang gadis yang sangat pemberani dan bebas. 

Mungkin hal ini terjadi karena memang semenjak kecil ia hidup berdua dengan kakeknya, lepas bebas sebagai seekor burung di udara, dan dalam pada itu, selalu segala macam bahaya dan kesukaran ia pecahkan sendiri karena memang disengaja oleh Thian Bong Sianjin untuk membiarkan gadis itu menghadapi segala kesukaran dengan tenaga sendiri, dan baru ditolongnya kalau memang perlu ditolong! Karena inilah, maka watak Thian Hwa selain keras dan jujur, juga sangat pemberani dan percaya penuh akan kemampuannya sendiri.

Pada suatu hari, ketika seperti biasanya Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa mengunjungi perkampungan Ui Hauw, mereka mendapatkan kampung itu dalam persiapan dan Ui Hauw ta.mpak berwajah muram. Thian Bong Sianjin merasa heran sekali dan baru saja dia dan cucunya mendarat, Ui Hauw menyambutnya dengan penuturan sebuah peristiwa yang membuat Thian Hwa menjadi marah sekali.

Semenjak Thian Bong Sianjin mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pekerjaannya sebagai bajak tunggal, maka peraturan yang dia tetapkan bagi semua bajak di Sungai Huang-ho tetap diindahkan dan ditaati semua bajak besar kecil. 

Terutama karena mereka semua itu mendengar bahwa Si Ular Air Ui Hauw yang dianggap sebagai pengganti Thian Bong Sianjin yang dulu disebut Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho, terkenal sebagai seorang gagah yang mengutamakan keadilan dan kegagahan dan tetap mentaati peraturan yang ada.

Akan tetapi, karena Ui Hauw kini jarang sekali meninggalkan perkampungannya yang kini menjadi kampung tetap, dan boleh dikata tak pernah kepala bajak itu mendayung perahunya lagi menjelajah sepanjang sungai, lambat laun kekuatan para bajak makin lemah dan di sana-sini terjadi pelanggaran-pelanggaran. Ada kumpulan bajak yang sengaja mengganggu perahu-perahu nelayan dan merampas hasil-hasil yang didapatnya, bahkan ada yang merampok ikan-ikan yang didapat dengan bekerja keras sehari semalam oleh tukang-tukang ikan itu!

Baru beberapa bulan akhir-akhir ini, di permukaan Sungai Huang-ho timbullah nama baru yang cukup menggemparkan dan yang seakan-akan mendesak ke samping nama Ui Hauw yang telah lama seakan-akan tidak aktif lagi itu. Memang, sudah lama sekali Ui Hauw mengajar anak buahnya untuk mendapatkan hasil dengan cara menangkap ikan dan bertani di pinggir sungai yang tanahnya subur itu, sehingga mereka kini boleh dibilang menjadi nelayan-nelayan dan petani-petani yang pandai dan hidup damai! 

Nama baru ini ialah Ma Tek San yang digelari orang Tiat-thou-kim-go atau Buaya Emas Kepala Besi! Orang she Ma ini tadinya adalah seorang perampok, tetapi karena kekurangan hasil, lalu menceburkan diri dalam kalangan pembajakan dan menjadi seorang bajak yang ganas. Karena kepandaian silatnya yang tinggi, ditambah pula memang dia pernah mempelajari ilmu dalam air, maka sebentar saja dia dapat mengangkat dirinya menjadi kepala dan pengikut-pengikutnya adalah orang-orang yang sifatnya sesuai dengan dia, yakni kejam dan berani mati.

Karena baru saja muncul dari bidang pekerjaan lain, yakni merampok, maka Ma Tek San tidak pernah bertemu muka dengan Ui Hauw dan karenanya tidak menaruh hormat sedikitpun juga. Dia membajak sesuka hatinya, bahkan berani melanggar wilayah atau daerah dari bajak-bajak lain hingga terjadi pertempurran-pertempuran. Tetapi selama ini belum pernah ada bajak lain yang sanggup mengalahkannya, maka sebentar saja namanya menjadi terkenal dan sangat ditakuti. Walaupun demikian, Ma Tek San juga mendengar tentang nama besar Ui Hauw sehingga dia belum berani main-main atau coba-coba mengganggu wilayah orang she Ui itu.

Tapi pada dua hari yang lalu, mulailah Si Buaya Emas itu beraksi! Dan sekali ia beraksi, dia tidak mau kepalang-tanggung lagi! Dia telah mengganggu dan merampas semua ikan dari empat orang nelayan yang bukan lain adalah anak buah Ui Hauw sendiri! Ini masih belum hebat, yang lebih menyakitkan hati ialah bahwa dua orang di antara yang empat itu telah mati terbunuh, sedangkan yang dua lagi kalau tidak memiliki kepandaian berenang yang cukup tinggi, tentu akan terbunuh pula. Mereka inilah yang datang memberi laporan kepada Ui Hauw dan menceritakan betapa Ma Tek San dengan sombongnya menantang.

"Kalau kalian memang betul anak buah bajak kecil Ui Hauw itu, katakan padanya bahwa kalau dia ingin tahu keberanian Tiat-thou-kim-go, biarlah kutunggu dia di Tikungan Maut!"

Ternyata bahwa rombongan bajak baru yang dipimpin oleh Ma Tek San ini telah menjelajah sampai di Tikungan Maut dan agaknya hendak menguasai dan merampas daerah yang subur di mana Ui Hauw dan anak buahnya tinggal. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan besar sekali, karena tidak saja Ma Tek San telah melanggar pantangan merampok dan membunuh nelayan, juga telah berani membunuh anak buah Ui Hauw dan mengeluarkan tantangan! Juga semua anak buah Ui Hauw marah sekali dan mereka bersiap untuk menyerbu ke Tikungan Maut.

Mendengar berita ini, Thian Bong Sianjin yang sudah tua itu menggunakan tangan kanan mengusap-usap jenggotnya dan tersenyum getir.

"Aku orang tua sudah tiada guna, maka ada orang yang berani berlaku sewenang-wenang dan menjalankan kejahatan di depan mataku. Kalau hal ini kudiamkan saja, maka akan kotorlah Sungai Huang-ho dan percuma saja aku hidup puluhan tahun di permukaan air ini! Biarlah aku mewakili kalian menghajar buaya kecil itu."

"Suhu, yang dihina oleh buaya itu adalah teecu, maka biarkanlah teecu sendiri yang mencoba sampai di mana keperkasaan buaya yang sombong itu. Suhu tidak usah mencapaikan diri turun tangan sendiri." kata Ui Hauw yang merasa sangat sakit hati terhadap orang she Ma itu.

"Ayah, ada aku anakmu di sini, mengapa kau orang tua hendak turun tangan sendiri" Kurasa, kalau hanya orang macam dia itu saja, aku yang telah menerima pelajaran dari Ayah dan Sukong masih sanggup melawannya." kata Yan Bun dengan gagah. "Berilah aku beberapa orang saudara yang pandai dan gagah berani, dan aku akan tangkap buaya itu dan menyeretnya ke sini."

"Kong-kong dan Ui Peh-peh. Memang betul kata Ui-twako tadi. Hal seremeh ini tak perlu harus membuat Kong-kong atau Peh-peh kesal hati. Untuk memukul anjing kecil tak perlu memakai tongkat besar. Dan juga, kurasa tak perlu Ui-twako harus repot-repot membawa banyak kawan. Hal ini hanya akan merendahkan nama kita saja. Cukup Ui-twako dan saya pergi dan tanggung bereslah beberapa ekor buaya kecil itu!" demikianlah kata Thian Hwa yang sangat jumawa dan berani itu.

Ui Hauw maklum bahwa kepandaian Yan Bun dan Thian Hwa telah melampaui kepandaiannya sendiri dan jauh lebih tinggi, maka kalau kedua anak muda itu yang pergi, akan lebih kuat daripada kalau dia sendiri yang pergi, tetapi dia merasa tidak enak hati untuk melepas kedua anak muda yang belum berpengalaman itu menghadapi seorang penjahat licin seperti Ma Tek San. Karena inilah, maka dia merasa ragu-ragu.

Tiba-tiba Thian Bong Sianjin tertawa besar.

 "Ha-ha-ha! Sikap kalian ini membuat aku teringat akan masa mudaku ketika kami beberapa hohan menjadi barisan gerilya mengacau pertahanan kubu-kubu tentara Manchu. Tiap kali ada pekerjaan mengadu nyawa, kami selalu berebut untuk melakukannya! Sekarang kalian berebut untuk mencari pahala, ha-ha! Memang beginilah seharusnya laku orang-orang gagah! Ui Hauw, biarlah. Kaulepaskan kedua anak muda ini, biar mereka mendapat pengalaman baru."

"Tapi, Suhu. Mereka ini masih belum berpengalaman, teecu merasa khawatir kalau-kalau mereka akan terjebak oleh tipu muslihat buaya itu."

"Jangan cemas, aku sendiri akan mengamat-amati mereka, sekalian melihat siapakah sebenarnya orang kurang ajar itu." Mendengar bahwa orang tua itu sendiri hendak ikut pergi dengan kedua anak muda itu, tenanglah pikiran Ui Hauw. Tetapi, biarpun dia dan anak buahnya tak berani membantah, namun di dalam hati mereka itu kurang puas karena tidak dapat menghantam musuh yang dibenci itu dengan tangan sendiri.

Sementara itu, Yan Bun dan Thian Hwa segera pergi ke sungai bersama Thian Bong Sianjin. Mereka bertiga naik perahu kecil yang biasa dinaiki Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa. Kakek tua itu duduk di tengah-tengah sambil berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan Yan Bun di belakang dan Thian Hwa di depan mengayuh biduk kecil itu dengan cepat sekali menuju ke Tikungan Maut.

Kedatangan biduk kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek dan dua orang anak muda itu cepat sekali diketahui oleh Ma Tek San yang telah menyebar mata-matanya di sepanjang sungai. Dia lalu bersiap karena mendengar bahwa yang datang itu adalah utusan-utusan dari Ui Hauw hingga dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian. 

Tetapi sedikit pun dia tidak takut, karena sesungguhnya yang membuat dia berani mengganggu anak buah Ui Hauw adalah karena kedatangan suhengnya yang ikut menggabungkan diri padanya. 
Suhengnya ini adalah seorang hwesio gundul bernama Lauw Keng Hwesio. Karena melakukan pekerjaan terkutuk, di antaranya mengganggu anak bini orang dan merampok, dia dimusuhi oleh orang-orang gagah dari kotanya sehingga terpaksa dia melarikan diri.

 Kemudian pendeta palsu ini mendengar tentang adik seperguruannya yang kini menjadi kepala bajak yang makmur, maka segera dia menyusul dan ikut membonceng adik seperguruannya itu. Tentu saja Ma Tek San merasa girang sekali karena dengan adanya suhengnya ini, kedudukannya semakin kuat sehingga dia tak perlu lagi takut kepada Ui Hauw.




Thian Bong Sianjin dan kedua anak muda yang naik biduk kecil itu tahu bahwa biarpun tikungan itu nampak sunyi-sunyi saja, namun di kedua tebing sungai yang curam itu, di atas batu-batu karang yang tinggi di kanan kiri, tampak bergerak orang-orang bersembunyi di balik batu. 

Tetapi baik kakek tua itu dan kedua anak muda itu, mereka tenang-tenang saja seakan-akan tidak ada sesuatu yang mengancam keselamatan mereka. Kalau dulu Thian Hwa masih harus menggunakan seluruh kepandaian untuk membawa biduknya melalui Tikungan Maut itu dengan selamat, kini gadis itu sudah biasa lewat di situ dan dapat melalui segala bahaya tikungan itu dengan mudah. 

Apalagi sekarang ada Yan Bun yang membantunya, maka ketika biduk kecil melewati tikungan itu, biarpun air datang menghantam dari depan sangat cepat dan kuatnya, namun keduanya dapat membawa biduk menerjang aliran air dan menikung dengan selamat. Bahkan putaran-putaran air itu tak berdaya mengganggu biduk yang didayung oleh dua orang muda yang memiliki kepandaian dan tenaga yang terlatih hebat. 

Melewati sungai yang penuh batu-batu karang, biduk itu sedikit pun tidak bergoncang hingga Thian Bong Sianjin yang tampak tidur sambil duduk di tengah-tengah perahu sama sekali tidak merasa apa-apa!

Puluhan pasang mata mengintai biduk kecil itu dari kedua tebing sungai, di atas batu-batu karang yang tinggi. Mereka kagum dan heran sekali mengapa ada biduk kecil yang dapat menerjang arus sungai dan mudik melalui tikungan yang demikian berbahaya, sedangkan untuk membawa perahu dengan selamat ke hilir saja adalah pekerjaan yang dapat mendatangkan maut!

Tiba-tiba dari kedua tebing tinggi jatuh batu-batu berhamburan menimpa biduk kecil itu. Ini adalah akal keji dari Ma Tek San yang hendak menghancurkan utusan musuhnya dengan sekali serang. Memang keadaan mereka bertiga dalam biduk itu sangat berbahaya. Datangnya batu-batu yang dilemparkan ke bawah bagaikan hujan! Jangan kata mereka dapat bahaya, terkena batu saja pun tidak. Andaikata biduknya sampai terbalik, sukarlah menolong jiwa penumpangnya di tempat bahaya itu.

Tetapi biarpun keadaan demikian berbahaya, Thian Bong Sianjin masih saja berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan kedua anak muda itu dengan tenang lalu memperlihatkan kepandaiannya. 

Thian Hwa melepaskan ikat pinggangnya yang panjang dan lebar, lalu menggunakan sutera ini untuk diputar sedemikian rupa di atas kepala mereka bertiga sehingga dari atas putaran sabuk itu merupakan perisai putih ber-bentuk bundar yang kuat sekali, karena setiap batu yang jatuh menimpa putaran itu lalu terpental jauh! Inilah tenaga lweekang yang tinggi, hingga sabuk sutera itu merupakan senjata penangkis yang sangat kuat dapat menangkis setiap batu yang datang menimpa mereka. Dengan adanya payung sabuk ini, maka Yan Bun dapat bekerja dengan tenang. 

Dia dayung terus biduk kecil itu lewat di antara batu-batu karang yang menonjol.

Akhirnya anak buah Ma Tek San yang menghujani batu itu menghentikan serangan mereka dan kini tiba-tiba di depan biduk kecil itu muncullah puluhan perahu cat hitam dipasang malang-melintang memenuhi permukaan sungai. Mereka muncul dari belakang rumput sungai yang tumbuh di kanan kiri sungai. 

Di tiap perahu duduk empat orang yang semuanya berikat kepala hitam dan berbekal senjata tajam. Sikap mereka ganas dan menakutkan.

Thian Bong Sianjin membuka kedua matanya dan memandang sambil tersenyum. Dia lalu berkata kepada Yan Bun dan Thian Hwa.

"Lebih baik tinggalkan aku sendiri di dalam perahu dan kalian boleh menyambut mereka." Habis berkata demikian, Thian Bong Sianjin mengambil tombak pendek dan diikatnya dengan tali yang kuat yang sudah tersedia di dalam biduk,

Kemudian dengan menjepit tombak itu di antara dua jarinya, dia luncurkan tombak ke bawah. Tombak itu meluncur cepat ke dalam air dan menancap di dasar sungai. Inilah cara Thian Bong Sianjin melepas jangkar perahu untuk menahan perahu itu hanyut terbawa air. Kemudian kakek itu duduk saja di situ dengan seenaknya, sambil memandang sepak terjang kedua muridnya.

Yan Bun dan Thian Hwa lalu mengeluarkan papan terompah air mereka dan sebentar kemudian semua anggauta bajak itu berseru kaget dan terheran-heran ketika melihat betapa pemuda dan gadis yang di dalam perahu itu kini berlari-lari cepat di atas air menuju ke tempat mereka! Memang dari jauh papan di bawah kaki kedua anak muda itu tidak tampak dan mereka seolah-olah berlari atau melayang di permukaan air.

Ketika sudah datang dekat, tahulah mereka bahwa kedua anak muda itu menggunakan papan sehingga mereka menjadi takjub sekali. Dari dalam perahu bajak yang terbesar, berdirilah dua orang yang bertubuh tinggi besar. Seorang di antaranya adalah Ma Tek San yang berpakaian serba hitam dengan golok besar di tangannya, sedang di sebelahnya berdiri seorang hwesio gundul yang matanya jelilatan ke sana kemari, sedangkan mulutnya tersenyum menyeringai. Kedua orang ini biarpun kagum juga melihat pertunjukan ginkang luar biasa ini, namun mereka tidak mau memperlihatkan kekagumannya seperti anak buah mereka.

"Hai, kalian anak-anak muda yang berada di depan apakah utusan dari Ui Hauw Si Ular Air?" terdengar Ma Tek San membentak dengan sombong.

"Kami memang utusannya." jawab Yan Bun, tetapi Thian Hwa lalu menambahkan cepat-cepat.

"Kami datang mewakili Ui Peh-peh untuk, menyeret buaya kecil yang mengotorkan perairan Huang-ho!"

Kata-kata ini disambut oleh luncuran enam batang tombak ke arah kedua anak muda itu dari kanan kiri!

"Bagus!" seru Thian Hwa dan Yan Bun berbareng, dan Yan Bun segera miringkan tubuh berkelit dari serangan sebatang tombak, kemudian menangkap sebatang tombak ke dua dan yang ke tiga ia sam-pok dengan tangan kanan jatuh ke dalam air! Tetapi Thian Hwa tidak mau berlaku sungkan. 

Gadis ini menggunakan kedua tangan menangkap dua batang tombak dan tombak ke tiga yang menyerang perutnya ia tendang hingga terpental ke atas dan ketika tombak itu meluncur turun, ia sabet dengan tombak yang terpegang olehnya hingga meluncur cepat kembali ke tempat ia dilepas dan menancap ke sebuah perahu dengan kencangnya!

Tentu saja ketangkasan kedua anak muda itu tak tersangka-sangka oleh mereka semua, maka kembali dari mulut para anak buah bajak itu terdengar seruan kagum.

"Dan kau yang berbaju hitam apakah buaya kecil she Ma?

" Thian Hwa balas bertanya.
Ma Tek San mengangkat dada dan berkata. 

"Aku adalah Tiat-thou-kim-go Ma Tek San dan ini adalah suhengku Lauw Kang Hwesio!

" Dan. kata-kata ini disambut oleh Yan Bun dan Thian Hwa dengan lontaran tombak di tangan mereka. Yan Bun melontarkan tombaknya ke arah perahu yang memuat pelontar tombak yang menyerangnya tadi, sedangkan Thian Hwa pun menggunakan sebatang tombak untuk mengirim kembali kepada penyerangnya tadi.

 Lemparan mereka jauh lebih cepat dan hebat daripada tadi, juga gerakan mereka sangat cepat hingga tidak terduga, maka segera terdengar teriakan-teriakan ngeri dari kedua perahu itu yang menyatakan bahwa serangan itu mendatangkan korban!

Bukan main marahnya Ma Tek San melihat hal ini. Dia perintahkan orangnya mendayung maju perahunya dan sambil menggunakan golok untuk menuding ia berseru, "Bangsat kecil tak tahu diri! Kalau belum mampus kalian kena golok ini aku belum akan puas!"

"Kau bangsat besar yang bermulut besar pula! Terimalah tombak ini!" Thian Hwa melempar tombaknya ke arah orang she Ma itu dengan keras. Tetapi ternyata bahwa Buaya Emas Kepala Besi itu tangkas dan kuat juga, Dengan goloknya yang berat dan besar dia tangkis tombak itu hingga meleset ke pinggir dan masuk ke dalam air. Melihat kepala mereka mulai beraksi, semua perahu bajak bergerak cepat dan mengurung kedua anak muda itu.

"Bangsat-bangsat kecil, sebelum darahmu mengalir dengan air Sungai Huang-ho, beritahukan dulu nama kalian." teriak Ma Tek San.

 YAN BUN menjawab dengan tenang. "Aku adalah Ui Yan Bun, putera dari Ui Hauw, dan aku datang mewakili Ayahku. Dan ini...."

Tetapi Thian Hwa mendahuluinya. "Dan aku adalah Huang-ho Sian-li, Dewi Sungai Huang-ho yang datang hendak menangkap buaya kecil berkepala busuk!"

"Perempuan rendah, kau akan kubunuh lebih dulu!" teriak Ma Tek San dengan marah sekali.

Yan Bun yang lebih berhati-hati dan tahu bahwa dengan sampokan ketika menangkis lontaran tombak Thian Hwa tadi maka ternyata bahwa kepala bajak itu memiliki tenaga besar dan kepandaian yang luar biasa juga, maka dia merasa bahwa kalau harus melayani pengeroyokan itu di atas papan terompah air, mereka tidak akan leluasa sekali. 

Maka dia lalu berkata kepada Thian Hwa, "Thian-moi, marilah kita mendarat saja."

Sebenarnya, gadis itu tidak jerih sama sekali walaupun harus melayani mereka semua di atas papan terompah air, tetapi karena ia maklum bahwa Yan Bun memang belum mahir seperti dia menggunakan kepandaian itu, dan untuk membantahnya ia takut kalau-kalau membikin malu Yan Bun, maka ia lalu berkata keras, "Hei, bajak-bajak kecil, kalau mau tahu kegagahan kami, kalian naiklah ke darat!"

"Kalian telah terkurung, bagaimana hendak mendarat?" Ma Tek San tertawa mengejek dan memberi isyarat untuk menyerbu. Maka perahu-perahu itu meluncur datang dan ujung-ujung senjata mereka digerakkan untuk menyerang Thian Hwa dan Yan Bun. Kedua anak muda itu telah bersiap dan keduanya telah mencabut pedang mereka. 

Dengan beberapa kali gerakan pedang saja, Yan Bun dan Thian Hwa telah membuat empat orang bajak tercebur ke dalam air, maka kedua anak muda itu lalu menggerakkan tubuh dan melompati perahu yang telah kosong itu untuk melepaskan diri dari kepungan, lalu dengan enak sekali mereka menuju ke tepi!

Ma Tek San dengan marah mengejar ke tepian bersama suhengnya. Ketika kepala bajak itu dan suhengnya serta orang-orangnya telah berada di tepi sungai, tiba-tiba seorang anak buah bajak menunjuk ke arah perahu Thian Bong Sianjin.

Ma Tek San yang memang berwatak curang dan licin segera memberi perintah kepada orang-orangnya, "Tangkap orang tua itu dan bawa dia ke sini, tapi jangan lukai dia!" 

Kepala bajak she Ma ini telah dapat menduga bahwa kedua anak muda utusan dari Ui Hauw itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat, maka ia telah mengambil keputusan jika dia dan suhengnya kalah, akan mengeroyoknya. Tetapi orang tua dalam perahu itu mungkin akan kabur dan memberi laporan kepada Ui Hauw hingga datang bala-bantuan, karena itu lebih baik orang tua itu ditawan lebih dulu!

Dengan beberapa kali gerakan pedang saja, Yan Bun dan Thian Hwa telah membuat empat orang bajak tercebur ke dalam air.

Mendengar perintah Ma Tek San ini, beberapa orang bajak dalam tiga buah perahu segera mendayung perahu ke arah perahu kecil di mana Thian Bong Sianjin masih duduk berpeluk tangan tak bergerak. Ui Yan Bun dan Thian Hwa melihat hal ini hanya tersenyum saja dan saling pandang.

Para bajak segera mengurung kedua anak muda itu dan merupakan lingkaran besar, sedangkan kedua anak muda itu berdiri di tengah-tengah dengan sikap tenang sekali. Ma Tek San lalu maju dan membentak.

"Apakah kalian masih berkeras kepala dan ingin mampus di sini?"
Ui Yan Bun pun maju dan berkata sabar, 

"Orang muda she Ma! Kau ini benar-benar tidak memakai peraturan dan kesopanan sesama kaum sungai telaga! Tanpa alasan dan sebab kau telah memusuhi Ayahku, bahkan kaubunuh dua orang kami yang sedang mencari ikan. Bukankah hal ini sangat merendahkan namamu?"

"Memang aku sengaja membunuh orangmu, habis kau mau apa?" kata Ma Tek San ketus, sedangkan suhengnya dan para anak buahnya terkekeh mentertawakan.

"Perbuatanmu itu berarti kau menantang fihak kami, maka sekarang aku mewakili ayah datang ke sini hendak mencoba sampai di mana kekuatanmu maka kau berani berlaku sewenang-wenang. 

Apakah kau hendak melakukan pengeroyokan atau kau berani melayani aku secara laki-laki?"

Marahlah Ma Tek San mendengar tantangan ini. "Eh, anak kecil sombong, jangan kaukira kepandaianmu sudah tiada lawannya dengan hanya memiliki ginkang dan permainan kanak-kanak di atas air itu saja! Majulah kau kalau hendak berkenalan dengan Tiat-thou-kim-go!" Setelah berkata demikian orang she Ma itu mencabut golok besarnya yang berkilauan karena tajamnya.

Tetapi sebelum kedua musuh itu bertempur, tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai dari arah sungai. Mereka semua memandang dan terkejut melihat bahwa yang ramai-ramai itu adalah beberapa orang anak buah bajak datang sambil memikul biduk kecil di atas mana Thian Bong Sianjing masih saja duduk berseda-kap tak bergerak sambil memejamkan mata!

"Eh, mengapa kalian berbuat segila ini?" Ma Tek San membentak kepada seorang bajak yang berjalan paling depan.

Bajak itu segera minta maaf kepada pemimpinnya dan menceritakan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak sanggup mengeluarkan kakek itu dari perahunya! Telah dicoba oleh banyak orang tetapi tak seorang pun sanggup menggerakkan tubuh yang bagaikan membatu itu keluar dari perahu. Maka, untuk mentaati perintah Ma Tek San, dia dan kawan-kawannya lalu menggusur saja biduk itu ke tepi lalu mengangkat kakek itu dengan perahunya!

Yan Bun dan Thian Hwa tertawa geli. Ma Tek San marah sekali dan mendekati Thian Bong Sianjin di dalam perahunya yang kini telah diletakkan di atas tanah. 

"He, orang tua, siapakah engkau sebenarnya?"

Thian Bong Sianjin membuka matanya perlahan dan menjawab dengan tak acuh, "Namaku Thian Bong, kalian hendak membawaku ke manakah?"

Thian Hwa dengan keras berkata, "Orang she Ma, ketahuilah, dulu Kakekku ini disebut orang Huang-ho Sui-mo!"

Terkejutlah Ma Tek San mendengar ini, juga semua anak buah bajak. Lebih-lebih para bajak yang tadi memaksa Thian Bong Sianjin mendarat, mereka ini menggigil dan wajah mereka pucat sekali, bahkan tiga orang anak buah bajak yang telah lama menjalankan pekerjaan itu dan cukup kenal dengan nama Huang-ho Sui-mo, segera maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Bong Sianjin sambil mengangguk-anggukkan kepala minta ampun!

Lauw Keng Hwesio melihat lagak tiga orang bajak itu menjadi sangat sebal dan dia yang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sui-mo lalu memajukan kaki dan tiba-tiba kedua tangannya memukul ke arah kepala Thian Bong Sianjin dari kanan kiri! 

Lauw Keng Hwesio hendak memperlihatkan kepandaiannya dan ingin sekali memukul mati kakek yang agaknya terkenal dan ditaati itu, maka datang-datang dia mengirimkan serangan maut dalam gerak tipu Dewa Mabuk Menuangkan Arak!....


DEWI SUNGAI KUNING JILID 03 


Tetapi, kakek tua yang tampak tenang-tenang saja itu tiba-tiba mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah tangan Lauw Keng Hwesio yang meluncur maju dan tepat sekali ujung lengan bajunya menyambar ke arah jalan darah di pergelangan lengan hwesio itu!

 Bukan main terkejutnya Lauw Keng Hwesio sehingga dia buru-buru menarik kembali kedua tangannya, karena kalau diteruskan, belum sampai kepalannya mendarat di kepala lawan, dia akan tertotok terlebih dulu. Dia tahu betapa hebat ujung lengan baju itu, karena anginnya telah terasa dan membuat urat tangannya kesemutan. Diam-diam dia mengeluarkan keringat dingin karena maklum bahwa kakek itu benar-benar berilmu tinggi sekali.

Thian Bong Sianjin tersenyum sabar sambil berkata perlahan.
"Eh, hwesio, kau mau apakah?"

Lauw Keng Hwesio meloncat mundur dengan malu, dan pada saat itu Thian Hwa maju dan memakinya. "Bangsat gundul jangan kau berani mengganggu Kakekku!"

Kepala gundul itu menjadi marah dan dia melepaskan sabuknya yang ternyata terbuat daripada baja lemas dan merupakan joan-pian yang kuat. Tanpa banyak kata lagi dia lalu menyerang Thian Hwa yang sudah siap dengan pedang di tangan. Dan pada saat itu juga, Ma Tek San juga sudah mulai bertempur dengan Ui Yan Bun.

Ma Tek San dan Lauw Keng Hwesio memang memiliki kepandaian yang tinggi dan ganas, ditambah lagi tenaga mereka besar. Tetapi kini mereka menghadapi dua orang muda gemblengan Thian Bong Sianjin yang telah menurunkan ilmu silat tinggi kepada kedua muridnya itu, maka baru bertempur beberapa puluh jurus saja keduanya telah terdesak hebat oleh pedang Thian Hwa dan Yan Bun!

Ma Tek San yang selalu berpikir jahat, ketika mendapat kenyataan bahwa kedua lawannya itu benar-benar lihai, segera berseru kepada anak buahnya yang masih berdiri mengelilingi lapangan pertempuran itu.

"Hayo kamu semua lekas bantu menangkap dua setan ini!" Suara Ma Tek San yang keras terdengar berpengaruh dan tidak seorang pun di antara anak buahnya yang berani menentang atau mengabaikan perintah ini, karena mereka sudah mengenal kekejaman Ma Tek San. Dengan senjata-senjata tajam di tangan, mereka bergerak maju untuk mengeroyok.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras sekali.

"Kalian semua mundur!" Inilah bentakan Thian Bong Sianjin yang masih duduk di dalam perahunya. Suaranya lebih keras dan nyaring dibanding suara Ma Tek San sehingga para bajak terkejut dan sebagian besar mundur. Tapi sebagian lagi tetap maju karena mereka lebih takut kepada pimpinan mereka yang kejam.

"Mundur kalian! Kalau tidak, tangan Huang-ho Sui-mo ikut berbicara!'

Ancaman ini berhasil juga, karena lebih dua puluh orang yang pernah mendengar nama ini segera mundur dan melihat ke arah orang tua itu dengan hormat, tapi masih ada juga yang berani maju dengan maksud mengeroyok Thian Hwa dan Yan Bun. Tapi Thian Bong Sianjin mengangkat tangan dan mengayunkan tangannya ke arah mereka dan pada saat itu juga beberapa orang bajak berteriak-teriak sambil melepaskan senjata mereka, karena ternyata sambil duduk di perahunya kakek itu telah meraup segenggam pasir kasar dan mempergunakan pasir itu sebagai senjata rahasia!

 Ternyata pasir kasar yang hampir menyerupai kerikil itu telah memecahkan kulit tubuh mereka yang tersambit sehingga mengeluarkan darah dan rasanya perih sekali! Melihat kelihaian orang tua itu, para bajak menjadi ketakutan dan tidak berani maju lagi.

Sementara itu, Thian Hwa yang memainkan pedangnya secara cepat sekali telah berhasil mengurung Lauw Keng Hwesio sehingga hwesio itu hanya dapat menangkis saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

"Thian Hwa, jangan membunuhnya!" Thian Bong Sianjin berteriak dan Thian Hwa lalu mengubah gerakan pedangnya dengan secepat kilat! Dia menggunakan ujung pedang menusuk ke arah jalan darah di tenggorokan lawan dengan gerak tipu Burung Kepinis Mematuk Ikan. 

Karena gerakan ini cepat sekali, maka Lauw Keng Hwesio hampir saja tak dapat mengelakkan diri, tetapi masih ingat untuk melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, tapi terhindar dari maut.

 Pada saat dia belum dapat memperbaiki kedudukannya, sepasang kaki Thian Hwa bergerak cepat dan joan-pian-nya telempar karena tendangan kaki kiri Thian Hwa, sedangkan ujung sepatu kanan gadis itu mampir di pundaknya menendang jalan darahnya sehingga dia berteriak keras dan merasa betapa pundaknya sakit sekali sampai meresap ke ulu hati!

Masih untung bagi Lauw Keng Hwesio bahwa Thian Bong Sianjin dalam saat yang tepat telah mencegah cucunya untuk menghabiskan jiwa hwesio itu sehingga gadis itu tidak menggunakan ujung sepatu untuk menendang tempat kematian, maka hwesio itu hanya menderita luka dalam dan patah tulang pundak saja. Tapi rasa sakit cukup membuat dia roboh pingsan!

Sementara itu, Ui Yan Bun juga berhasil merobohkan lawannya. Pemuda ini merasa sakit hati dan marah sekali kepada Ma Tek San yang telah berlaku kejam membunuh dua orang anak buah ayahnya, maka dia tidak mau memberi hati sedikit pun. 

Dia mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat dan mendesak terus sehingga lawannya bertempur sambil mundur berputar-putar. Napas Ma Tek San telah terengah-engah dan wajahnya telah menjadi pucat. 

Pada saat yang tepat, Yah Bun memutar pedangnya sedemikian rupa dalam gerak tipu Air Ombak Menampar Karang dan serangan yang dahsyat dan ganas ini datang bergulung-gulung bagaikan ombak samudera sehingga tak dapat ditangkis lagi oleh Thiat-thou-kim-gq Ma Tek San. Dengan teriakan menyeramkan, kepala bajak yang jahat itu roboh terguling setelah tertembus pedang Yan Bun! Maka binasalah orang she Ma ini!

Para anak buah bajak laut melihat betapa kedua kepala mereka dengan mudah terbunuh oleh Thian Hwa dan Yan Bun segera mengangkat senjata hendak mengeroyok, tapi lagi-lagi Thian Bong Sianjin membentak keras.

"Kalian masih belum takluk" Siapa melawan berarti mati!" setelah berkata demikian, kakek itu berdiri dan tubuhnya yang tinggi tampak angker menakutkan. Memang nama Huang-ho Sui-mo sudah merupakan sesuatu yang menakutkan mereka, apalagi melihat betapa kepandaian tiga orang itu hebat sekaU, maka para bajak itu segera menjatuhkan diri berlutut meminta ampun!

"Kalian dengarkan baik-baik! Berpuluh tahun yang lalu aku telah adakan aturan-aturan dan larangan-larangan bagi para bajak di Huang-ho untuk bekerja dengan mengenal aturan dan memilih orang yang patut dijadikan korban! 
Tapi orang she Ma ini telah melanggarnya, dan lihat, apa yang menjadi akibatnya saat ini!

 Harus kalian ketahui bahwa jika ada yang tidak mentaati aturan dan bertindak sewenang-wenang, tak usah aku sendiri turun tangan, pasti ada saja yang akan mewakili aku memberi hajaran kepada pelanggar itu!

 Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang kesemuanya siap sedia membasmi kejahatan! Nah, kalian sekarang boleh memilih kepala baru, tapi awas, jangan sekali-kali pelanggaran seperti yang telah dilakukan orang she Ma ini kalian ulangi!"

Setelah memberi nasehat-nasehat kepada para bajak, Thian Bong Sianjin mengajak Thian Hwa dan Yan Bun untuk kembali ke kampung. Mereka disambut Ui Hauw yang mendengarkan cerita puteranya dengan girang dan bangga sekali.

Setelah bermalam di situ beberapa hari lagi, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya meninggalkan kampung itu.

Mereka berdua memang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berpindah-pindah dan sebagian besar dari waktu mereka digunakan untuk mendayung perahu, menangkap ikan dan mengunjungi kawan-kawan dan orang-orang kampung yang tinggal di sepanjang Sungai Huang-ho yang panjang itu.

Beberapa bulan kemudian, ketika Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa sedang menjalankan biduk mereka perlahan di sepanjang tepi sungai yang airnya tenang dan hawa udara pada pagi hari itu sangat baiknya, Thian Hwa kembali mengulangi pertanyaannya yang telah berkali-kali diajukan kepada kakeknya itu.

"Kong-kong, kuharap kali ini Rongkong menaruh kasihan kepadaku. Dulu Kong-kong berjanji akan membuka rahasia ini kepadaku setelah aku dewasa dan memiliki kepandaian. Nah, sekarang aku telah berusia tujuh belas tahun, dan tentang kepandaian, kiranya tidak sia-sia Kong-kong mengajar padaku. Kong-kong, 
beritahukanlah kepadaku siapa sebenarnya Ayah dan Ibuku...." 

Pada kalimat terakhir ini suara Thian Hwa menjadi perlahan dan mengharukan sehingga Thian Bong Sianjin menghela napas sedih, karena dia bingung sekali. Bagaimana dia harus menceritakan kalau dia sendiri pun tidak mengenal dan tidak tahu siapa orang tua gadis itu" Dia teringat betapa dulu pernah bertemu dengan wanita cantik dalam mimpi, maka karena tiada jawaban lain, dia menjawab.

"Thian Hwa, cucuku! Sebetulnya kalau menurut kehendakku, tak usah kau pergi mencari orang tuamu karena aku sangat merasa ragu apakah kau akan berhasil. Tapi, kalau aku larang kau melakukan hal ini, berarti bahwa aku adalah seorang yang tidak berbudi dan hanya mementingkan diri sendiri saja." Kakek itu menghela napas lagi dan melanjutkan kata-katanya sambil menatap wajah cucunya yang sangat dikasihinya itu.

"Thian Hwa, terus terang saja aku ulangi, bahwa aku selama hidup belum pernah bertemu muka dengan kedua orang tuamu. Tapi aku pernah bermimpi dan melihat Ibumu...."

Sepasang mata gadis itu berkilat dan wajahnya berseri. "Ibuku....!" kata-kata "ibu" ini sangat asing baginya dan sangat mesra. "Bagaimana rupanya dan di mana dia, Kong-kong?" tanyanya cepat.

"Ibumu adalah seorang wanita yang cantik sekali dan di atas bibirnya sebelah kiri terdapat sebuah tanda tahi lalat hitam yang kecil. Wajah Ibumu itu seperti... seperti... kau sendiri, Thian Hwa, dan melihat dari pakaian yang dipakainya, ia adalah seorang bangsawan."

"Kong-kong, kenapakah aku harus mencarinya?" tanya Thian Hwa.

"Thian Hwa, inilah yang sangat menyusahkan hatiku. Kalau aku sendiri mengetahui dimana adanya orang tuamu, agaknya sudah dulu-dulu kucari mereka. Tapi aku hanya bertemu dengan Ibumu dalam mimpi, dan aku tidak tahu di mana tempat tinggal mereka." kakek tua ini lalu menundukkan muka dan tidak berani menentang wajah cucunya, karena dia maklum betapa kata-katanya ini sangat menusuk hati dan menghancurkan pengharapan gadis itu.

 Dia hanya mendengar isak tangis Thian Hwa yang berusaha sekuat tenaga menekan perasaan dan menahan tangisnya.

"Kong-kong... bukankah para bangsawan... bertempat tinggal di kota raja saja?" akhirnya gadis itu bertanya setelah mereka diam untuk beberapa lama.
Kini barulah kakek itu berani mengangkat muka memandang wajah cucunya dan hatinya seperti dikerat pisau ketika melihat betapa wajah cucunya tampak pucat dan di kedua pipinya mengalir air mata yang bening.

"Thian Hwa, memang di kota raja banyak sekali terdapat bangsawan tinggi, tapi di antara ribuan para bangsawan itu, yang manakah keluarga yang kita maksudkan" Ahh, seakan-akan mencari setitik air dalam Sungai Huang-ho!"

Semenjak terjadinya percakapan ini, wajah Thian Hwa nampak suram-muram dan tidak bergembira sedikit pun seperti biasanya sehingga diam-diam Thian Bong Sianjin merasa khawatir sekali. 

Malam hari itu mereka bermalam dalam sebuah bio rusak yang telah lama kosong, dan yang berdiri di pinggir sungai dalam sebuah hutan yang sunyi.
Karena hatinya sedih dan terharu melihat cucunya, maka Thian Bong Sianjin tekun bersamadhi untuk menenteramkan hati dan pikiran sehingga seakan-akan mati duduk dan tak bergerak bagaikan sebuah patung batu.

 Ketika pada keesokan harinya dia sadar, dia merasa tidak enak hati seakan-akan ada sesuatu yang terjadi. Dan benar saja, karena Thian Hwa, cucunya yang semenjak berusia tiga hari tak pernah terpisah darinya itu, telah pergi dengan diam-diam! Gadis yang dikasihinya itu pergi dengan nekad hendak mencari orang tuanya, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang kini dia pegang di dalam kedua tangannya yang gemetar dan keriputan, sambil dibacanya dengan terharu.

Kong-kong, Mohon beribu ampun bahwa aku terpaksa pergi karena tak tahan melawan desakan hati untuk mencari Ibu dan Ayahku. Aku pergi ke kota raja dan takkan kembali sebelum bertemu dengan mereka!

Cucumu Thian Hwa
Thian Bong Sianjin menghela napas dalam-dalam. Hasrat hatinya hendak segera menyusul, tapi dia menggeleng-geleng kepala tanda tidak menyetujui kehendak hati sendiri ini. Kalau dia menyusul, maka gadis itu tentu akan kecewa dan menganggap dia menghalang-halangi maksudnya. Pula, Thian Hwa sudah memiliki kepandaian tinggi dan dia tak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. 

Yang dia cemaskan adalah bahwa gadis itu takkan mungkin bertemu dengan kedua orang tuanya, karena dia sendiri tidak percaya bahwa wanita yang dilihatnya dalam mimpi itu benar-benar ibu Thian Hwa! Gadis itu tentu takkan dapat menemukan orang tuanya di kota raja dan akan kecewa hati. Inilah yang dikhawatirkan.

 Kini Thian Bong Sianjin merasa sunyi, sunyi sepi yang biasanya mengamankan hati menyedapkan perasaan itu kini berubah menjadi sunyi yang menyayat hati, yang menimbulkan kenangan-kenangan sedih, kesunyian seorang yang kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat dikasihaninya! Kakek tua yang gagah perkasa itu akhirnya menundukkan kepala dan memejamkan mata sambil menahan napas untuk melawan gelora yang mengamuk di dalam dirinya dan membuatnya lemas.

Kira-kira setengah bulan kemudian, Thian Bong Sianjin mengunjungi Ui Hauw dan kepala bajak ini kaget sekali mendengar tentang perginya Thian Hwa.
"Ah, mengapa Suhu tidak menahannya" Ke manakah anak itu pergi" Ahh, bagaimana kalau terjadi sesuatu?""

Thian Bong Sianjin hanya tersenyum. Setelah beberapa hari lewat, orang tua ini dapat juga menetapkan hatinya dan melenyapkan rasa sedih yang menyerangnya. "Ia akan selamat. Kepandaiannya cukup untuk menjaga diri."

Sementara itu, ketika mendengar tentang perginya Thian Hwa ke kota raja, Yan Bun merasa terkejut sekali. Ia merasa seakan-akan hatinya terbawa pergi oleh gadis itu. Dengan lemas ia meninggalkan Thian Bong Sianjin dan ayahnya, tanpa berkata sesuatu, dan masuk ke kamarnya. Tiba-tiba saja dia merasa bahwa gadis itu sungguh merupakan arti yang besar sekali baginya.

Dan pada keesokan harinya, semua orang kaget dan bingung karena Yan Bun tahu-tahu telah pergi dengan sebuah biduk tanpa memberitahukan sesuatu kepada semua orang. Tapi Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin saling pandang dengan penuh pengertian. Mereka ini tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, telah dapat menduga bahwa Yan Bun tentu pergi menyusul Thian Hwa dan mereka tahu pula apa artinya perbuatan pemuda itu.

 Diam-diam Ui Hauw menarik napas dan dia berkata kepada Thian Bong Sianjin.
"Alangkah baiknya kalau dulu-dulu kita jodohkan kedua anak itu!"

Thian Bong Sianjin hanya tersenyum dan berkata perlahan. "Ui Hauw, jodoh tak dapat dipaksakan. Kita orang-orang tua menunggu saja dan melihat perkembangan terlebih jauh. Sementara itu, biarlah kita doakan agar mereka dapat bertemu dan dijauhkan dari segala bencana."

Thian Hwa pergi melakukan perjalanannya dengan hanya membawa sebungkus pakaian dan sebatang pedang. Ia pernah diberitahu kakeknya bahwa letak kota raja adalah di sebelah utara, maka ia langsung menuju ke utara dengan menggunakan ilmu lari cepat. Karena ia biasanya melakukan perjalanan dengan berperahu dan di sepanjang Sungai Huang-ho, kini melalui gunung-gunung dan lembah-lembah yang penuh dengan tamasya alam yang jauh bedanya dengan pemandangan di sepanjang sungai, hatinya tertarik dan gembira "sekali, seperti seorang kanak-kanak yang mendapat barang permainan baru.

Setelah berjalan dua hari, ia tiba di sebuah kampung yang makmur, dengan rumah-rumah yang bagus. Ternyata bahwa tanah di sekitar kampung itu subur dan menghasilkan banyak palawija sehingga memakmurkan para petani di kampung itu. 

Tanah-tanah di sekitar kampung itu terbagi rata di antara para petani sehingga di situ tiada terjadi pemerasan tenaga seperti halnya di kampung-kampung yang terdapat tuan tanah yang menguasai seluruh sawah ladang dan para petaninya hanya buruh tani belaka. 

Di kampung Luncwan ini, para petani memiliki sedikit tanah yang hasilnya cukup untuk menghidupkan semua keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan damai, saling tolong, dan membuat kampung itu menjadi sebuah tempat kediaman yang sangat menyenangkan mereka. Kampung itu hanya didiami keluarga-keluarga Tan dan Ong yang masih terikat kekeluargaan pula karena pemuda-pemudi kedua turunan ini banyak yang terikat sebagai suami isteri. 

Ada juga pendatang dari keturunan lain, tapi pendatang-pendatang baru ini pun taat dan tunduk kepada kerukunan yang telah ada dan menambah kekuatan dan persatuan kampung.




Kepala kampung di situ adalah seorang tua bernama Tan Hok San yang terkenal adil dan bijaksana sehingga dicintai dan dihormati orang-orang kampung. Akan tetapi, setelah beberapa pekan ini terjadi perubahan hebat sekali di kampung itu. Sebetulnya yang sangat berubah dan membuat orang-orang kampung merasa heran dan penasaran adalah kepala kampung itu sendiri. 

Tanpa mengetahui sebab-sebabnya orang-orang kampung melihat betapa Tan Hok San sekarang berubah menjadi pemeras rakyat yang luar biasa. Kepala kampung yang bertahun-tahun dianggap sebagai seorang pemimpin yang cakap dan baik, tiba-tiba berubah menjadi seekor srigala yang ganas.

 Dia menetapkan pajak hasil sawah yang sangat berat karena tujuh bagian hasil sawah harus diserahkan kepadanya dengan alasan untuk disetorkan kepada pembesar atasan di kota raja. 3uga peternak-peternak dikenakan pajak besar sekali, sehingga dalam beberapa pekan saja keadaan kampung itu menjadi berbeda sekali. Kegembiraan lenyap digantikan oleh kedukaan dan keheranan. 

Tiada seorang pun berani menegur, karena pernah seorang mencoba untuk menegur kepala kampung itu tapi hasilnya orang itu sendiri ditahan dan katanya dikirim ke kota raja karena dianggap memberontak terhadap pemerintah!

Ketika hendak memasuki kampung itu Thian Hwa melewati sebuah hutan dan di situ ia melihat mayat seorang laki-laki tua yang sudah rusak karena diganggu binatang hutan. Karena pemandangan ini maka ia berlaku hati-hati dan menganggap bahwa kampung yang dimasukinya ini tentu bukan kampung yang aman dan baik. Ia mencoba mencari rumah penginapan, tapi sungguh mengherankan, dua buah rumah penginapan kecil yang biasa dibuka, kini tertutup dan tidak menerima tamu.

"Maaf, Nona, rumah penginapan tidak dibuka lagi," kata seorang bekas pelayan rumah penginapan itu.

"Mengapa tidak?"

"Kami tidak kuat membayar pajak!"

Demikian pun, ketika Thian Hwa hendak pesan makanan di sebuah rumah makan yang telah ditutup, ia mendapat jawaban serupa. Keadaan kampung itu membuat ia merasa curiga dan menduga pasti ada apa-apa. Ia bertanya kepada seorang yang tampak muram dan duduk di depan rumahnya.

"Maaf, Lopeh, aku baru saja mendengar bahwa orang-orang takut berusaha-karena dikenakan pajak. Sebetulnya siapakah yang mengadakan pajak-pajak besar itu, Lopeh?"

Orang tua itu memandangnya dengan mata terbelalak, kemudian setelah ia menengok ke kanan kiri, dia segera mempersilakan Thian Hwa masuk, lalu mengunci pintu rumahnya!

"Siocia, kau agaknya seorang luar kampung dan agaknya kau seorang yang biasa merantau karena kau membawa-bawa pedang di punggung. Di kampung ini jangan kaubicarakan sembarangan saja."

"Ada apakah, Lopeh?" tanya Thian Hwa heran.
Orang tua itu lalu menceritakan betapa kepala kampung yang tadinya berbudi dan adil itu kini berubah menjadi pemeras rakyat yang kejam. Thian Hwa lalu menceritakan bahwa ia telah melihat mayat di dalam hutan. Ketika empek itu mendengar tentang hal ini, dia segera bertanya tentang keadaan mayat itu, tentang pakaian dan lain-lain. Setelah mendengar keterangan Thian Hwa bahwa mayat itu memakai baju biru dan celana abu-abu, orang tua itu menjadi pucat dan berseru. "Kalau begitu, dia adalah Cun Sam!"

"Cun Sam" Siapakah Cun Sam itu, Lopeh?"

Tiba-tiba kakek itu menangis dan isterinya yang juga berada di situ ikut pula menangis. "Cun Sam adalah adikku...." Kemudian kakek itu menceritakan betapa Cun Sam ditangkap karena berani mencela kepala kampung dan katanya dikirim ke kota raja diadukan karena dianggap pemberontak.

"Kalau begitu semua itu bohong belaka...." kakek itu mengeluh. "Cun Sam bukan dibawa ke kota raja, tapi dibawa ke hutan dan dibunuhnya." Kemudian kakek itu lalu berlari keluar untuk mengajak kawan-kawan mengambil dan mengubur mayat adiknya itu.

Sementara itu, Thian Hwa merasa gemas dan marah sekali. Ia menganggap perbuatan kepala kampung itu sewenang-wenang dan mau tidak mau ia harus turun tangan dan mencampuri perkara penasaran ini. Dengan hati panas ia lalu mencari rumah kepala kampung itu. Tapi ternyata bahwa gedung kepala kampung yang bercat kuning itu pun tertutup pintunya. Ia mengetuk dengan keras dan pintu dibuka oleh seorang pengawal bersenjata golok yang bertubuh tinggi besar dan membentaknya.

"Bangsat kurang ajar dari mana berani mengganggu rumah kami?"

Tapi ketika ia telah membuka pintu dan melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik sekali, wajah yang tadinya tampak kejam itu berubah dan kini orang tinggi besar itu terse-nyum-senyum ceriwis dan menyebalkan.

"Eh, Nona... kau hendak mencari siapakah?"

Thian Hwa merasa curiga sekali melihat orang ini. Terang bahwa ia bukan orang baik-baik, mengapa bisa menjadi pengawal di tempat ini" Pula, orang ini tadi menyebut "rumah kami" yang sudah tidak selayaknya bagi seorang pengawal menyebut rumah seorang kepala kampung. Ia hendak menerjang, tapi dapat mengendalikan nafsu marahnya, lalu bertanya.

"Kau siapakah?"

Orang tinggi besar itu memperlebar senyumnya. "Aku adalah seorang penjaga keamanan di sini. Apakah Nona hendak bertemu dengan Chungcu?"
Thian Hwa mengangguk. "Ya, tolong panggil keluar Chungcu kampung ini, aku hendak bertemu dengan dia."

Orang tinggi besar itu tersenyum lagi. "Tunggu sebentar, Nona, hendak kulapor-kan ke dalam."


Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata demikian, dia masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar dan berkata. "Kau dipersilakan masuk menghadap di dalam, Nona."

Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki ruang dalam dan berlaku hati-hati karena ia tetap menaruh kecurigaan besar. Mereka tiba di ruang dalam yang cukup luas dan di atas sebuah kursi di belakang mejanya duduk seorang laki-laki tua.

 Dengan memandangnya sekilas saja Thian Hwa tahu bahwa orang itu adalah seorang terpelajar dan baik hati, tapi sepasang matanya redup dan layu seakan-akan menderita hebat di dalam batinnya. 

Ketika melihat ia datang, orang tua itu bersikap sombong dan angkuh, tapi Thian Hwa yang bermata tajam sering menerima wejangan dari kakeknya dapat mengenal wajah dan sifat manusia, maka tahulah ia bahwa sikap itu adalah paksaan belaka.
"Siocia, kau siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apa mencari aku?" tanya Tan-chungcu dengan suara angkuh.

"Chungcu, maafkan kalau aku mengganggumu. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di kampung ini, tapi keadaan ganjil yang terjadi di kampungmu membuat aku merasa tidak enak dan aku harus menegurmu."

Wajah kepala kampung itu berubah pucat, agaknya merasa cemas dan marah. "Siocia, kau seorang muda janganlah mencampuri urusan pemerintahan. Lebih baik pergilah dari kampungku dengan aman."

"Tan-chungcu! Kau berlaku kejam sekali dengan memeras rakyatmu sendiri, menghisap orang-orang kampung yang mengangkatmu menjadi kepala! Tidak tahukah kau bahwa dengan peraturanmu yang sewenang-wenang menjatuhkan pajak besar itu membuat banyak orang-orangmu menderita kelaparan" Tidak dengarkah kau betapa mereka mengeluh dan menangis karena peluh dan darah yang mereka peras di ladang ternyata kaurampas hasilnya

" Apakah ini adil" Kau sebagai seorang pemimpin seharusnya membimbing mereka ke jalan kebahagiaan, tapi kau bahkan menggunakan hak dan kekuasaanmu untuk memburu nafsu, mengenakkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain!"

"Diamlah.... diamlah! Kau... kau keluar dari sini!" Tan-chungcu berteriak keras sedangkan wajahnya makin pucat.

"Tidak! Aku takkan keluar sebelum bicara habis, sebelum kau mengubah kelakuanmu yang tiada bedanya dengan seorang perampok rendah! Kau bahkan berani menangkap seorang kampung yang memperingatkanmu dan membunuhnya!"

"Apa" Kau membohong! Aku tak pernah membunuh orangku."

Bibir gadis itu tersenyum sindir.

 "O, begitukah" Di manakah Cun Sam sekarang" Coba kauterangkan!" kata Thian Hwa.

Tan-chungcu berkata sungguh-sungguh. "Cun Sam" Ah, dia... dia telah memberontak, maka dikirim ke kota raja agar diadili."

"Ah, jangan berpura-pura! Kau bukan mengirim dia ke kota raja, tapi kau mengirim dia ke hutan dan kau bunuh dia di sana. Kau telah menyuruh orang-orangmu membunuhnya. Aku sendiri melihat jenazahnya di hutan!"

"Apa?" Tan-chungcu berteriak dengan wajah pucat dan mata terbelalak. "Dia... di... dibunuh....?"" Dan pada saat itu, dari balik pintu sebelah dalam keluarlah berloncatan lima orang, dan orang tinggi besar yang tadi membuka pintu untuk Thian Hwa terdapat juga di antara mereka.

Seorang pendek gemuk yang matanya juling berkata. "Chungcu, budak perempuan ini kurang ajar dan memberontak apakah harus ditawan?"

Tapi Tan-chungcu berdiri dengan tubuh gemetar dan bahkan bertanya kepada... Si Gemuk Pendek itu.

"Kau... kau apakan Si Cun Sam?""

Si Gemuk Pendek tersenyum dingin. "Nanti saja kita bicarakan soal itu, sekarang kita bereskan dulu budak hina ini!" katanya.

"Tidak, tidak! Kau... kau pembunuh kejam... kau perampok jahat....!"

Si Gemuk Pendek itu membelalakkan matanya dan secepat kilat tubuhnya yang gemuk itu bergerak dan pedangnya berkilauan meluncur ke arah dada Tan-chungcu ! Tapi Thian Hwa telah siap sedia, maka ia mendahului Si Gemuk itu, dan sekali berkelebat ia berhasil menyambar tangan Tan-chungcu dan menariknya sehingga terluput dari tusukan Si Gemuk Pendek. Tan-chungcu segera bersembunyi di belakang tubuh gadis itu karena tahu bahwa Thian Hwa adalah seorang gadis pendekar yang mungkin akan dapat menolongnya.

"Li-hiap, kau berhati-hatilah. Mereka adalah perampok-perampok kejam dan ganas yang telah lama menguasai dan mengancamku!" kata Kepala Kampung itu.

Thian Hwa mengangguk-angguk dan bertolak pinggang sambil menghadapi lima orang yang berwajah ganas itu. "Hm, hm! Sudah kuduga begitu. Jadi kamu perampok-perampok hina ini dengan secara pengecut sekali telah memaksa Chungcu melakukan semua pemerasan ini" Sungguh rendah, tapi hari ini aku tentu akan menamatkan riwayatmu yang kotor ini!"

"Budak hina! Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?" teriak orang tinggi besar yang menjadi pengawal tadi.

"Tentu saja aku tahu. Kalian berlima adalah calon-calon makanan api neraka!"
"Perempuan sombong! Kau masih begini muda tapi mau besar kepala. Ketahuilah, kami adalah Bweesan Ngo-heng, Lima Raja dari Gunung Bweesan, maka jangan harap kau akan dapat keluar dari gedung ini dengan selamat!" kata Si Gemuk Pendek yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Thian Hwa tersenyum menyindir. "Siapa takut pada siluman dari Bweesan" Hari ini kalian lima ekor siluman bertemu dengan aku, Huang-ho Sian-li, dan akulah yang akan mengirim kalian pulang ke asalmu!"

"Bangsat perempuan sombong!" Si Tinggi Besar meloncat maju kedua tangan terulur dengan maksud hendak menubruk dan memeluk gadis jelita itu dan membuatnya malu. Tapi dengan cepat Thian Hwa meloncat berputar ke kiri dan kaki kanannya cepat menendang ke arah lambung kanan lawan. Si Tinggi Besar terkejut sekali karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis cilik itu dapat bergerak secepat itu sehingga hampir saja lambungnya berkenalan dengan ujung sepatu. 

Cepat tangan kanannya bergerak hendak menyaut dan menangkap kaki Thian Hwa, tapi ternyata tendangan itu hanya pancingan belaka. Ketika tangan kanan Si Tinggi Besar itu bergerak hendak menangkap kakinya, ia cepat memutar ujung kakinya dan dengan dua jari tangan dikembangkan ia menusuk kedua mata lawan! Sekali lagi Si Tinggi Besar terkejut dan buru-buru meloncat mundur dengan keringat dingin membasahi jidatnya!

Melihat betapa anak perempuan itu benar-benar lihai, Kelima Raja Gunung Bweesan itu mencabut senjata mereka dan maju menyerang! Kini mereka tidak ada hasrat untuk menangkap gadis cantik itu lagi, mereka hanya ingin membunuhnya secepat mungkin karena gadis ini merupakan bahaya dan halangan besar bagi usaha mereka!

Tapi Thian Hwa tidak menjadi takut, bahkan ia merasa gembira sekali melihat berkeredepannya senjata-senjata musuh. Ia cepat mencabut pedangnya sendiri dan sebentar saja sinar pedangnya menari-nari dan bergulung-gulung mengurung kelima perampok itu! 

Dengan ilmu pedang Kwan Im Kiam-hoat, ia dapat melayani kelima lawannya dengan baik, bahkan dapat membuat mereka itu repot sekali. Kemudian Thian Hwa mengubah permainannya dan mainkan ilmu pedang gubahan kakeknya yang disebut Huang-ho Kiam-hoat. Ilmu pedang ini tampaknya tenang-tenang saja tapi mendatangkan tenaga yang luai biasa kuatnya, dan kadang-kadang tampak buas dan bergulung-gulung, lalu tenang-tenang lagi, sehingga sama dengan sifat dan pergerakan aliran air sungai Huang-ho, tapi yang di dalamnya mengandung gerak tipu mematikan......


DEWI SUNGAI KUNING JILID 04 


Dengan gerak tipu baru ini sebentar saja Thian Hwa dapat merobohkan tiga orang pengeroyok. Sementara itu, melihat bahwa lima orang yang selalu mengancamnya dan membuatnya tidak berdaya itu kini bertempur melawan Thian H'va, diam-diam Tan-chungcu berlari keluar dan berteriak-teriak minta tolong kepada orang-orang kampung. Semua orang kampung ketika mengetahui bahwa di gedung kepala kampung ada perampok, lalu datang membawa senjata masing-masing dan menyerbu.
 Mereka melihat betapa tiga orang perampok telah roboh mandi darah dan yang dua sudah terdesak hebat. 

Tanpa ampun lagi tiga orang perampok yang belum mampus tapi sudah terluka oleh pedang Thian Hwa itu, lalu dikeroyok dan tubuh mereka hancur di bawah hantaman dan bacokan orang-orang kampung!

Dua orang perampok yang belum roboh, yakni Si Tinggi Besar dan Si Gemuk Pendek, yang ternyata memiliki kepandaian lumayan juga, melihat nasib ketiga kawannya, lalu menjadi ngeri dan takut. Mereka hendak melarikan diri, tapi pedang gadis yang gesit itu mengurung dan menahan mereka.

 Kemudian Si Gemuk Pendek menggunakan akal busuk dan memperlihatkan kekejaman dan kejahatannya. Dia meloncat ke belakang kawannya Si Tinggi Besar, lalu mendorong kawannya itu dengan keras ke arah Thian Hwa! Sehabis melakukan ini, dia meloncat ke atas melalui jendela dan kabur!

Thian Hwa cepat berkelit menghindar diri dari tubrukan dan langsung menusuk ke arah dada Si Tinggi Besar yang dikorbankan oleh kawannya sendiri sehingga Si Tinggi Besar roboh dan menjadi korban orang-orang kampung pula. Sementara itu Thian Hwa yang merasa gemas dan benci kepada kepala perampok yang curang dan pengecut itu, segera menggerakkan tubuh mengejar keluar jendela.

Ketika tiba di atas genteng, ia melihat bayangan kepala perampok itu bergerak-gerak jauh di depan, maka segera ia mengeluarkan kepandaian mengejar cepat. Ternyata dalam hal kepandaian ginkang ia masih menang jauh, maka sebentar saja ia dapat mengejarnya. Si Pendek Gemuk itu dengan gemas lalu berlaku nekad dan melawan mati-matian, tapi dalam beberapa jurus saja dia terpaksa mengakui keunggulan Huang-ho Sian-li yang walaupun masih sangat muda namun memiliki kepandaian yang berlipat ganda lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. 

Sebuah tusukan yang tepat menembus lehernya membuat dia roboh berguling-guling dari atas genteng dalam keadaan tidak bernyawa pula!

Setelah mendengar cerita kepala kampung, maka seluruh penduduk baru mengerti mengapa Tan-chungcu demikian berubah. Tidak tahunya, beberapa pekan yang lalu, pada suatu malam, lima orang penjahat itu masuk dan menyerbu dari atas genteng ke dalam gedung Tan-chungcu. Lalu mereka itu mengancam kepala kampung untuk memeras rakyat dan menyerahkan semua hasil pemerasan kepada mereka!

 Mereka ini bersembunyi di dalam gedung Tan-chungcu dengan menyamar sebagai pengawal-pengawal yang katanya datang dari kota raja! Tentu saja Cun Sam juga mereka yang membunuhnya. Semua keluarga kepala kampung tidak berdaya dan tidak seorang pun berani membuka rahasia mereka karena itu berarti bencana bagi keluarga kepala kampung itu!

Semua penduduk kampung menyambut kedatangan Thian Hwa yang menyeret tubuh Si Gemuk Pendek yang tak bernyata lagi itu dengan sorakan gemuruh. Mereka berterima kasih sekali, terutama Tan-chungcu sendiri. 

Kepala kampung yang sudah tua ini mengumpulkan seluruh keluarganya dan bersama-sama mereka berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala di depan Thian Hwa! Tentu saja gadis itu menjadi repot dan bingung, karena tak mungkin ia dapat mencegah orang sebanyak itu yang berlutut padanya, maka tiada lain jalan baginya selain ikut pula berlutut membalas hormat mereka!

Maka berpestalah seluruh kampung pada hari itu dan tiap bibir menyebut-nyebut nama Huang-ho Sian-li! 

Pada keesokan harinya, setelah menanyakan jalan, Thian Hwa meninggalkan kampung Lun-cwan dengan diantar oleh seluruh penduduk kampung, tua muda, laki-laki perempuan, sampai jauh di luar kampung. Gadis ini diberi seekor kuda yang bagus dan banyak pula bekal makanan dan pakaian yang diberikan padanya dengan setengah memaksa sehingga ia tidak dapat menolak lagi!

 Di sepanjang jalan, Thian Hwa merasa betapa senangnya memberi pertolongan kepada orang yang sedang menderita kesukaran, dan jika ia mengenang kembali kemesraan yang ia dapat dari para penduduk kampung Lun-cwan, ia tidak merasa hidup sebatang kara lagi, bahkan merasa bahwa seluruh penduduk kampung itu adalah saudara dan keluarganya!

Karena telah mendapat petunjuk dari kepala kampung Tan tentang jalan dan jurusan yang menuju ke kota raja, pula karena kini telah mempunyai seekor kuda yang kuat dan cepat larinya, maka perjalanan Thian Hwa menjadi lancar dan cepat. Biarpun semenjak kecil hidup di atas air sungai Huang-ho, tapi karena kakeknya seorang yang berpemandangan luas, maka ia pernah dilatih menunggang kuda, sehingga kini tidak kaku lagi dan dapat melakukan perjalanan jauh dengan kuda.

Beberapa hari lewat tanpa terjadi sesuatu yang penting. Pada hari yang ketiga, Thian Hwa tiba di tepi sebuah sungai tapi jika dibandingkan dengan Huang-ho tampak tidak berarti, tapi cukup lebar karena pada waktu itu musim hujan telah tiba, Thian Hwa telah diberitahu oleh orang di kampung yang baru dilewatinya bahwa jembatan besar yang menyeberangi sungai itu terdapat kira-kira lima li di sebelah barat.

Karena semenjak kecil selalu hidup dekat sungai, maka melihat sungai ini timbullah kegembiraan Thian Hwa. Ia melihat di tempat itu sunyi sekali, maka segera ia tambatkan kudanya pada sebatang pohon dan ia cepat menanggalkan pakaian luarnya dan mengganti pakaian mandi yang ringkas.

 Rambutnya yang panjang itu ia gelung ke atas dan diikatnya dengan sepotong sutera halus. Kemudian ia terjun ke dalam air yang dalam dan mengalir deras itu! Sebentar kemudian tubuhnya berenang hilir mudik dengan cepat sekali dan Thian Hwa merasa tubuhnya segar dan enak. Alangkah nikmatnya mandi di sungai yang airnya dalam dan dingin itu.

Ternyata air sungai itu jernih dan lebih dingin daripada air Sungai Huang-ho, maka Thian Hwa merasa betah sekali mandi di situ. Ia menyelam ke dalam air mencari kerang dan mengejar ikan-ikan kecil yang bermacam-macam warna dan bentuknya, seperti yang tiap hari dilakukannya di Huang-ho dulu ketika ia masih kecil.

 Pada saat seperti itu ia lupa akan segala, lupa akan orang tua yang sedang dicarinya, lupa akan kakek yang ditinggalkannya, pendeknya lupa akan segala kesusahan dan hanya merasa gembira dan bahagia. Ia merasa dirinya benar-benar menjadi dewi air!

Air sungai itu makin ke hilir makin besar dan dalam kegembiraannya, Thian Hwa telah berenang mengikuti aliran air sungai jauh juga dari tempat kudanya ditambatkan! Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mengerikan terjadi di permukaan air, agak jauh ke hilir. 

Sebuah perahu kecil yang indah terombang-ambing di permukaan air karena sedang diserang oleh seekor ular air warna hitam yang besar dan panjang! Ular itu telah menggunakan ekor dan tubuhnya membelit perahu dan kepala dijulurkan ke dalam hendak menerkam seorang yang mempertahankan dirinya dengan sebuah dayung kayu dan mencoba untuk memukul kepala ular itu dengan dayung. Tapi usaha orang itu sia-sia karena kepala ular makin dekat dan tiap saat tentu ia akan menjadi mangsa binatang itu yang agaknya tidak terburu-buru untuk segera menerkam mangsanya dan hendak mempermainkan lebih dulu!

Melihat ini, Thian Hwa mempercepat berenangnya menuju ke perahu itu dan sekali meloncat sambil menekan pinggiran perahu, ia telah berada di atas perahu dan tanpa berkata ia telah merampas dayung dari tangan orang itu. Orang itu ternyata seorang tua yang berpakaian bangsawan dan sikapnya gagah dan kini berdiri dengan mata terbelalak memandang gadis yang pakaian dan keadaannya bagaikan seorang dewi yang baru saja muncul dari Kerajaan Hai Liong Ong yang berada di bawah air!

Dalam keadaan yang demikian mendesak untuk menolong jiwa orang Thian Hwa tidak menggunakan banyak peradatan dan upacara lagi, bahkan ia lupa bahwa dengan pakaiannya yang ringkas dan basah itu sebetulnya tidak pantas untuk memperlihatkan diri di depan seorang laki-laki.

la menggunakan dayung itu untuk memukul kepala ular. Tadi ketika dayung itu masih berada di tangan laki-laki bangsawan itu dan digunakan untuk menyerangnya, binatang itu dengan mudah dan secara main-main mengelakkan tiap pukulan. Kini menghadapi serangan Thian Hwa, sekali pukul saja dayung itu tepat mengenai kepala ular sehingga ular itu mengamuk karena merasa sakit. 

Dari mulutnya keluar busa dan ia menyembur-nyembur dan mendesis-desis! Tapi Thian Hwa tidak takut bahkan ia menggunakan dayungnya menghantam tubuh dan ekor yang melilit perahu. Ular itu memberontak keras dan perahu itu hampir terguling dan terbalik! Orang tua bangsawan itu berteriak ketakutan karena dia tidak pandai berenang dan jika jatuh ke dalam air berarti mati baginya, maka dia berpegang kepada pinggiran perahu dan duduk dengan tubuh menggigil.

Melihat hal ini, Thian Hwa lalu meloncat ke dalam air dan menggunakan tangannya menahan badan perahu sehingga tidak berguncang lagi. Tapi pada saat itu, ular yang panjangnya lebih sepuluh kaki itu meluncur di permukaan air dan menyerangnya dengan hebat dan mulut terbuka lebar!

"Awaaaassss!!!" bangsawan itu menjerit ngeri ketika melihat hal ini, tapi Thian Hwa cepat bergerak menjauhi perahu karena ia hendak memancing ular itu menjauhi perahu. Kalau harus bertempur di dekat perahu, maka ia akan sibuk sekali dan harus memecah perhatian dan tenaganya menjadi dua, sebagian untuk melawan ular, sebagian lagi untuk menjaga perahu.

Ia berenang cepat dan dikejar dari belakang oleh ular itu! Sebetulnya, melihat badan ular yang panjang dan kelihatan licin berlenggang-lenggok itu, timbul ngeri dan jijik di dalam dada Thian Hwa, tapi sekali-kali tidak merasa takut.
Ia mencari akal untuk melawan sebaiknya dan secepatnya menjatuhkan atau membinasakan ular itu. 

Tiba-tiba ia membalik dan berenang sambil telentang menghadapi ular itu. Ia sengaja berenang perlahan dan kadang-kadang mengangkat tubuhnya tinggi untuk memanaskan hati ular itu. Benar saja, ular itu makin marah dan mempercepat berenangnya. 
Ia kini meluncur cepat sekari ke arah gadis itu dengan mulut dibuka selebar-lebarnya. Thian Hwa membuat perhitungan tepat, lalu ia siap sedia. Ketika ular datang mendekat dan menerjangnya dengan rnulut terbuka lebar sehingga giginya yang runcing tampak nyata, Thian Hwa memapakinya dengan dayung di tangan dan gerakan dayungnya sedemikian rupa sehingga dayung kecil itu tepat sekali memasuki mulut ular dan terus disodokkan ke dalam sehingga memasuki perutnya!

 Ular itu berontak, sebagian tubuh belakang dan ekornya menyabet-nyabet dan berdaya melepaskan diri, tapi tusukan dayung itu terlampau dalam sehingga hampir saja seluruhnya masuk ke dalam tubuh! 

Ia hendak selulup (menyelam) tidak dapat, hendak berenang lari pun sukar karena kepala dan leher tidak dapat digerakkan lagi, maka ia hanya dapat menggerak-gerakkan tubuh belakangnya melilit-lilit dan berputar-putar menimbulkan ombak besar pada air yang telah mulai memerah bercamput dengan darahnya yang keluar dari mulut yang tak berdaya itu.

Sementara itu, Thian Hwa berenang cepat menuju ke perahu kecil indah yang kini terputar-putar di tengah sungai karena tidak ada dayung yang mengemudikannya lagi. Bangsawan tua tadi hanya duduk bengong karena masih merasa ngeri dan heran melihat perkelahian antara ular dan gadis aneh itu. Dan dari tepi sungai tampak beberapa orang laki-laki berteriak-teriak bingung.

Thian Hwa lalu menghampiri perahu dan sambil berenang ia mendorong perahu itu ke pinggir di mana orang-orang menyambut perahu itu dengan teriakan-teriakan girang.

"Kau... kau... manusiakah?" tanya bangsawan tua itu.

Thian Hwa memandangnya dengan senyum manis. Wajah bangsawan itu mendatangkan rasa simpatinya, karena wajah itu membayangkan watak yang agung dan gagah.

"Aku orang biasa saja yang kebetulan lewat di sini."

Bangsawan tua itu tak dapat berkata apa-apa lagi dan sementara itu perahunya telah tiba di tepi dan banyak tangan kini membantunya ke tepi. Begitu naik, bangsawan itu lalu melepas baju luarnya yang lebar dan indah lalu melemparkannya ke arah Thian Hwa yang masih berada di air.

"Siocia, kaupakailah ini dan naiklah. Aku ingin sekali bicara denganmu dan menyatakan terima kasihku."

Thian Hwa makin tertarik melihat kesopanan dan kebaikan orang tua itu, apalagi sikap orang tua yang terus terang dan tanpa banyak peradatan itu mengingatkan ia akan kakeknya. Ia tahu bahwa dalam pakaian mandinya tak pantas kalau ia keluar dari air, maka ia lalu menggunakan pakaian luar bangsawan itu untuk menutupi tubuhnya dari pundak sampai ke lutut, lalu mendarat.

Semua orang heran melihat Thian Hwa dan memandang dengan bengong, bahkan beberapa orang bertanya. 
"Siapakah gadis cantik ini?"

Karena banyak mata orang memperhatikannya, Thian Hwa menjadi tidak senang dan malu, maka bangsawan itu membentak.

"Kalian semua manusia yang tidak bisa diharapkan! Baru ada serangan ular begitu saja kalian melarikan diri dan semua memikirkan keselamatan diri sendiri dan meninggalkan aku seorang diri di tengah sungai! Sungguh semangat kalian dibandingkan dengan semangat tikus pun masih kalah besar. Lihatlah Siocia ini. Ia adalah seorang wanita yang gagah perkasa. 

Dengan sebatang dayung kecil ia berhasil membuat ular air tadi tak berdaya. Ia menusuk mulut ular itu sehingga dayung perahuku masuk sampai ke perut ular! Ha, ha! Sungguh hebat, sungguh lucu! Aku ingin sekali melihat muka ular air itu sekarang! Tadi ketika ia menyerangku sangat ganas sekali!"

Kemudian bangsawan itu bertanya kepada Thian Hwa tentang asal-usulnya yang dijawab oleh gadis itu dengan sederhana saja. "Aku adalah seorang dari Sungai Huang-ho, dan hidup sebagai nelayan. Aku pada waktu ini sedang merantau meluaskan pengalaman dan hendak pergi ke kota raja."

Mendengar kata-kata gadis yang sangat sederhana dan tidak banyak menggunakan peradatan seperti yang biasa ia mendengar orang bersopan-sopan padanya, pembesar itu semakin tertarik, lalu ia memperkenalkan diri. Ternyata bangsawan itu adalah seorang pangeran bernama Ciu Wan Kong yang menduduki tempat penting juga di dalam istana raja. 

Pada waktu itu dia sedang pesiar dan dengan diikuti oleh beberapa orang teman dan pengawal, dia lewat di tempat itu dan bermain-main di atas perahu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa di sungai yang tak berapa besar itu terdapat ular air yang demikian besar dan galak sehingga hampir saja menewaskan jiwanya kalau tidak segera datang gadis itu menolong. Ketika melihat ular itu, semua sahabat dan pengawalnya cepat-cepat mendayung perahu dan berenang lari ke tepi, tanpa sedikit pun pedulikan jiwa pangeran itu.

Oleh karena pertolongan ini maka pangeran itu sangat berterima kasih kepada Thian Hwa.

"Lihiap tentu seorang pendekar gagah. Bolehkah aku mengetahui nama dan ju-lukanmu?"

"Aku bernama Thian Hwa dan sudah lama ada orang menyebut diriku Huang-go Sian-li." jawab Thian Hwa, kemudian gadis itu memohon diri karena teringat akan kuda dan pakaiannya.

"Lihiap, kalau hendak ke kota raja, marilah ikut saja dengan kami. Kami ada kendaraan dan kuda di kampung dekat itu."

Thian Hwa menolak dengan halus dan biarpun dibujuk-bujuk oleh bangsawan yang sangat berterima kasih dan hendak memperlihatkan keramahan dan kebaikan untuk sekedar membalas budi, tetapi gadis itu menolak.

"Lopeh, Kakekku selalu berkata bahwa manusia hidup harus selalu menolong sesamanya di saat yang perlu, karena untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Aku hanya mentaati pesan Kakekku, dan sekali-kali bukan hendak menanam budi dan mengharap balas. Nah, selamat tinggal, Lopeh!"




Thian Hwa adalah seorang gadis didikan kampung yang tidak tahu akan adat istiadat atau tata cara kesopanan, maka ia pun menyebut bangsawan itu dengan "Lopeh" atau paman saja, panggilan yang selalu ditujukan kepada seorang laki-laki tua! Tapi pangeran itu tidak marah bahkan ia terharu sekali mendengar kata-kata filsafat yang tinggi itu keluar begitu saja dari mulut seorang gadis muda yang berilmu silat tinggi ini! Padahal gadis itu sedemikian bodoh dan sederhana sehingga menyebut orang dengan patut saja tidak pandai!

Thian Hwa lalu meloncat ke dalam air kembali dan dari situ ia melemparkan jubah luar pangeran itu ke darat sambil berkata.

"Aku kembalikan pakaian luar, terima kasih!" Sehabis berkata demikian ia menggerakkan kaki tangannya dan sebentar saja ia lenyap di bawah permukaan air!

Pangeran Ciu Wan Kong dan kawan-kawan serta sekalian pengiringnya merasa kagum dan heran sekali, dan berkali-kali pangeran tua itu menghela napas karena merasa kecewa dan menyesal tak dapat bicara dan mengetahui riwayat gadis itu lebih banyak lagi. Dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Kemudian setelah menegur lagi orang-orangnya yang memperlihatkan sifat pengecut ketika menghadapi bahaya, dia lalu kembali ke kota raja.

Thian Hwa berenang kembali ke tempat semula dan alangkah kagetnya ketika ia tidak melihat lagi kudanya di tempat tadi! Kuda dan bungkusan pakaiannya telah lenyap! Ia menjadi bingung sekali dan hampir saja menangis di pinggir sungai itu karena tak mungkin ia melanjutkan perjalanan dengan pakaian seperti itu dan pakaian mandinya basah pula!

Dengan bingung dan gemas Thian Hwa berlari cepat menuju ke jembatan untuk menyeberangi sungai itu, karena ia merasa di tempat itu tentu terdapat kampung di mana ia dapat meminjam pakaian!

Untung baginya bahwa ketika itu sudah hampir senja sehingga ia tidak lama menanti hari menjadi gelap dan memasuki sebuah kampung di dekat jembatan itu. Dengan menggunakan kepandaiannya, mudah saja ia memasuki rumah yang agak besar dan indah bagaikan se orang maling yang pandai ia masuk ke dalam kamar dan memilih seperangkat pakaian wanita. Akhirnya ia mendapat juga pakaian berwarna biru yang lumayan dan segera dipakainya lalu ia pergi dari rumah itu.

Karena ia tidak ingin lagi keesokan harinya terlihat oleh pemilik pakaian yang dicurinya itu, maka malam itu juga ia menyeberang sungai dan tiba di sebuah dusun. Ia naik ke atas wuwungan dan tidur di atas rumah orang. Hawa sangat dingin, tetapi Thian Hwa sudah biasa tidur di udara terbuka sehingga hawa dingin tidak lagi merupakan gangguan hebat baginya. Apalagi ia telah memakai pakaian yang agak tebal maka sebentar saja ia telah tidur nyenyak di atas genteng rumah orang!

PADA keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah meninggalkan tempat itu. Ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan jalan kaki. Tapi pada saat itu ia merasa lapar sekali dan bingunglah dia. Hendak membeli makanan, tidak membawa uang, karena semua barangnya telah disambar orang. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dan giranglah hatinya. Itu adalah ringkik kudanya!

Segera ia menuju ke tempat itu dan tampak olehnya seorang hwesio sedang menuntun kudanya. Hwesio itu masih muda dan memakai jubah hitam. Thian Hwa merasa heran sekali karena tidak mungkin seorang hwesio mau mencuri kuda dan pakaiannya! Maka dengan sabar ia maju menghampiri hwesio itu dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata.

"Kalau aku tidak salah, kuda dan bungkusan pakaian itu adalah milikku yang hilang di pinggir sungai. Darimanakah kauperoleh kuda dan barang-barang yang sedang kucari-cari ini?"

Hwesio itu terkejut dan memandangnya untuk beberapa lama, kemudian ia menyeringai. "Oh, oh, jadi engkau yang meninggalkan pakaian di pinggir sungai" Dan waktu itu kau sedang ke mana?"

Thian Hwa menganggap pertanyaan itu biasa saja, maka ia menjawab sejujur nya. "Aku sedang mandi di sungai."

Hwesio itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut yang tebal itu tersenyum-senyum kurang ajar, lalu katanya sambil tertawa.

"Aih, aih! Mengapa tadi aku tidak melihatmu" Ah, sungguh sayang, sungguh sayang! Alangkah senangnya melihat kau mandi!

" Sambil berkata demikian, kedua mata hwesio itu dengan secara kurang ajar sekali memandangi tubuh Thian Hwa dari atas sampai ke bawah. Hal ini membuat gadis itu marah sekali dan hampir saja ia menggerakkan tangan menyerang, tapi karena di situ mulai banyak orang lewat, ia hanya memaki perlahan.

"Hwesio kurang ajar lekas kau kembalikan kuda dan bungkusan pakaianku, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan menghina seorang hwesio di muka umum dengan pedangku!"

Tapi ditantang dan diancam secara demikian, hwesio muda itu ternyata tidak takut sama sekali, bahkan dia lalu tertawa besar.

"Ha, ha! Nona manis agaknya bisa juga bermain pedang. Hayo, kulayani. kau beberapa jurus, kalau permainan pedangmu cukup baik, boleh kauambil kuda dan pakaian ini." Lalu hwesio itu menuntun kuda menuju keluar kota dengan cepat diikuti oleh Thian Hwa.

Ketika tiba di tempat yang sunyi, hwesio itu menambatkan kuda Thian Hwa pada sebatang pohon, lalu dia menghadapi Thian Hwa dengan senyum dibuat-buat.
"Nona, kau masih muda dan cantik. Tidak baik kau merantau seorang diri saja. Aku suka mengembalikan kuda dan pakaianmu dan selanjutnya marilah kita jalan bersama. Aku akan menjadi pelindungmu." Sikapnya masih kurang ajar sehingga kemarahan Thian Hwa meluap.

"Bangsat gundul jangan kau kurang ajar! Lekas serahkan bungkusan pakaianku itu, kalau aku hilang sabar, kepala gundulmu itu tentu akan menggelinding dari batang lehermu!"

Sekarang marahlah hwesio itu. Dia menganggap Thian Hwa terlalu sombong dan tidak mengindahkannya. "Eh, perempuan muda! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa" Aku adalah murid ke tiga dari Pat-chiu Lo-mo."

"Aku tidak peduli kau murid siapa, biar murid Iblis Tua Tangan Delapan atau siluman aku tidak takut! Jangankan kepalamu yang gundul hanya sebutir, biar kau tambah sepuluh butir lagi, kalau barang-barang dan kudaku tidak lekas kaukembalikan, pasti akan kutebas buntung semua!"

"Setan kurang ajar!" Hwesio itu membentak dan mencabut pedangnya dari punggung lalu menyerang dengan gemas. Thian Hwa melihat datangnya serangan hebat dan cepat juga, segera kelit serangan itu dan mencabut pedangnya pula. Sebentar saja mereka saling menyerang dengan hebat, tapi terpaksa hwesio muda itu harus mengakui keunggulan Kwam-im Kiam-hoat dari Thian Hwa. Dia mulai terdesak hebat dan gadis itu tidak mau memberi hati kepadanya.

Pada suatu saat yang tepat, Thian Hwa berhasil memasukkan pedangnya di antara tangkisan lawan dan ujung pedangnya menyambar dada! Hwesio itu terkejut sekali dan buru-buru menggulingkan tubuh ke belakang, tapi masih saja ujung pedang merobek jubahnya dan melukai kulit dadanya sehingga dia terus menggelinding di atas tanah sampai jauh, meloncat dan berlari pergi meninggalkan buntalan pakaian dan kuda!

Thian Hwa tertawa geli, lalu ia menghampiri kudanya dan mengelus-elus kepala kuda itu. Binatang itu meringkik girang karena ia pun masih mengenali kawan seperjalanannya itu. Kemudian Thian Hwa membuka buntalan dan memeriksa isinya. Ternyata pakaian masih lengkap, bahkan bertambah dengan satu stel pakaian hwesio itu.

 Dengan jijik ia melempar pakaian hwesio itu ke atas tanah dan pada saat itu ia melihat sehelai surat melayang keluar dari saku jubah itu. Surat itu kertasnya berwarna merah dan indah, maka Thian Hwa tertarik akan surat itu. Dipungutnya surat itu, lalu dibukanya. Ternyata itu adalah surat yang ditujukan kepada pangcu atau ketua perkumpulan Lian-bu-pang di kota Twi-lok. Bunyi surat itu sebagai berikut.

Lian-bu-pangcu yang terhormat.

Pembawa surat ini sangat boleh dipercaya untuk dikirim sebagai penghubung dengan Pangeran Leng di kota raja.
Tertanda, Pat-chiu- Lo-mo

Thian Hwa memutar otaknya. Ia tidak tertarik akan nama-nama seperti Ketua Lian-bu-pang maupun Pat-chiu Lo-mo yang ia ingat adalah suhu dari hwesio jahat tadi. Tapi disebutnya Pangeran Leng di kota raja membuat ia berpikir. 

Bukankah ini suatu kesempatan baik untuk memudahkan penyelidikannya" Ia hendak menyelidiki para bangsawan di kota raja untuk mencari orang tuanya dan adanya hubungan dengan seorang pangeran tentu akan sangat menolong usahanya itu. Di dalam surat ini tidak disebut nama, maka apa salahnya kalau ia mewakili hwesio itu"

Dengan hati tetap Thian Hwa lalu menaiki kudanya dan membedal binatang itu cepat-cepat kembali ke kampung yang baru saja ditinggalkan, la membeli makanan dan mengisi perutnya, lalu minta keterangan di mana letak kota Twi-lok. Bukan main girangnya ketika mendapat keterangan bahwa kota itu justru berdekatan dengan kota raja yang tidak membuang banyak waktu lagi. Ia membalapkan kudanya dan melanjutkan perjalanannya.

Beberapa hari kemudian, sampailah ia di kota Twi-lok dan mudah sekali baginya untuk mencari gedung perkumpulan Lian-bu-pang karena hampir semua orang mengenal nama ini.

Ketika Thian Hwa tiba di depan pintu gedung itu, ia heran bahwa di dalam gedung berkumpul banyak tamu. Hatinya agar berdebar karena ia merasa khawatir kalau pemalsuannya ini diketahui orang. Tapi dasar ia memang seorang gadis yang berjiwa besar dan berhati tabah, ia masuk dengan muka terangkat. Seorang penjaga pintu menyambutnya dengan hormat dan berkata.

"Lihiap, silakan masuk!"

Ternyata ruang dalam gedung itu luas sekali dan beberapa belas orang, di antaranya tiga orang wanita, duduk mengitari meja besar sambil menghadapi hidangan dan arak. Melihat kedatangan Thian Hwa semua orang memandang dengan penuh perhatian.
"Maafkan aku, Cu-wi." kata Thian Hwa sambil mengangguk sederhana, "Apakah di antara kalian ada terdapat ketua dari Lian-bu-pang?"

Seorang laki-laki tinggi kurus kurang lebih berusia empat puluh tahun berdiri menjura. "Nona mencari aku ada keperluan apa?"

Thian Hwa mengeluarkan surat dan berkata. "Aku membawa surat dari Pat-chiu Lo-mo!"

Kagetlah semua orang yang berada di situ mendengar ini, dan ketua dari Lian-bu-pang sendiri buru-buru maju dan memberi hormat. "Maaf, kiranya Lihiap utusan dari Cio-locianpwe" Silakan duduk."

Setelah memberikan surat, Thian Hwa duduk dan melirik semua orang yang duduk di situ dengan sudut matanya. Mereka semua tampak gagah dan berkepandaian, maka ia semakin berlaku hati-hati.

Ketua itu setelah membaca habis surat dari Pat-chiu Lo-mo, segera tertawa dan kembali menjura kepada Thian Hwa "Lihiap, maaf kami tidak tahu dan kurang menghormati Lihiap yang datang tiba-tiba ini, maka mohon maaf. Aku adalah pangcu dari Lian-bu-pang dan namaku Lauw Cin. Cu-wi sekalian, Nona ini membawa surat dari Cio-locianpwe yang mempercayakannya untuk menjadi penghubung."

Semua orang terkejut dan seorang bertubuh gemuk berdiri dan berkata dengan suara kurang senang.
"Pat-chiu Lo-mo sungguh menghina kita! Dia terlalu memandang rendah kita rupanya! Masa ia mengirim seorang nona muda ini untuk menjalankan pekerjaan itu" Apakah ia menganggap kita anak-anak kecil yang tidak becus apa-apa?"

Sambil berkata demikian, Si Gemuk itu memandang kepada Thian Hwa dengan mata tajam dan memandang rendah, sedangkan mendengar ini semua orang diam. Untuk sesaat suasana menjadi sunyi sekali, tak seorang pun berani mengeluarkan suara dan Si Gemuk lalu duduk kembali dan mengangkat cawan araknya ke mulut.

Tapi pada saat itu terdengar suara nyaring dan cawan beling di tangannya telah pecah menjadi dua! Ketika semua orang melihat, ternyata yang membuat pecah cawan itu adalah sebutir kacang tanah. 

Mereka terkejut sekali dan cepat memandang ke arah Thian Hwa. Gadis itu dengan tenangnya memakan kacang tanah yang tersedia di atas piring dan agaknya dengan menggunakan jari tangan ia menyentil sebutir kacang tanah untuk memecahkan cawan Si Gemuk yang tadi telah mencelanya!.....


DEWI SUNGAI KUNING JILID 05 

Si Gemuk yang tidak melihat bagaimana caranya cawan di tangannya itu tahu-tahu menjadi pecah, lalu tersenyum dan sambil berdiri dia mengambil secawan arak lain lalu diangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata. "Aku harap Saudara yang tadi membikin pecah cawanku suka mengulangi lagi perbuatannya sehingga kita semua dapat melihatnya, jangan berlaku sembunyi-sembunyi seperti tindakan seorang pengecut!"

Si Gemuk itu adalah seorang yang ahli ilmu golok dan kepandaian silatnya tergolong tinggi juga, maka dia merasa penasaran telah dipermainkan orang. 

Kini dia siap sedia untuk membuat malu orang yang mengganggunya itu. Dia yakin bahwa kini orang takkan mudah begitu saja membuat pecah cawan di tangannya, dan jika orang itu berani lagi mencoba, tentu ia akan dapat mengelak dan orang itu akan mendapat malu.

Tiba-tiba Thian Hwa tertawa nyaring dan sambil memperlihatkan sebutir kacang tanah ia berkata. "Eh, tuan yang gemuk, aku datang-datang telah mendengar kata-katamu yang mengejek Pat-chiu Lo-mo dan memandang rendah padaku. Aku habiskan perkara itu karena mengingat bahwa aku sedang mabok. Tapi jangan harap kau akan mencegah aku memecahkan setiap cawan arak yang hendak kau minum, karena aku tidak senang melihat kau semakin mabuk bicara tak karuan! Lihat ini!" Dengan jari telunjuknya. 

Thian Hwa menyentil kacang tanah itu yang meluncur cepat sehingga tak terlihat ke arah cawan di tangan Si Gemuk. Si Gemuk itu telah menduga akan datangnya senjata rahasia yang aneh ini dan yang cukup berbahaya, maka cepat dia menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke bawah. 

Dia merasa betapa benda kecil itu menyambar di dekat lengannya dan tidak mengenai sasaran! Ia merasa girang sekali dan membuka mulut untuk mentertawakan, tapi pada saat itu juga terdengar suara "prak!" dan cawan di tangannya itu pecah sehingga araknya tumpah membasahi lengan dan tangan kanannya! Ternyata bahwa Thian Hwa menggunakan dua butir kacang tanah yang dilepas bergiliran. Yang pertama hanya untuk memancing saja dan pada saat ia berkelit, ia lepaskan pula yang kedua sehingga tepat mengenai sasarannya!

Tentu saja kepandaian ini membuat semua orang merasa kagum. Mereka yang terdiri dari ahli-ahli silat berilmu tinggi maklum bahwa untuk dapat menggunakan kacang tanah itu memecahkan cawan dengan hanya disentil dengan jari tangan, orang harus mempunyai tenaga lweekang yang sangat tinggi dan latihan yang sempurna. Mereka tidak tahu bahwa sentilan jari telunjuk Thian Hwa sering dilatih untuk menggunakan benda-benda kecil apa pun saja disentilkan ke arah ikan-ikan di Sungai Huang-ho dan betapa dalam pun ikan itu berenang, sekali terkena benda yang disentilkan dari atas perahu oleh Thian Hwa pasti akan mati dan terapung!

Si Gemuk itu kini tak dapat menahan lagi marahnya. Dia memang terkenal berangasan dan sangat mengagungkan kepandaiannya bermain golok. Memang dia pandai sekali bermain Hui-eng To-hoat yakni Ilmu Golok Elang Terbang. Goloknya besar dan berat sehingga permainan goloknya yang istimewa itu sangat ditakuti orang. 

Namanya adalah Phang Houw dan dia dijuluki orang Si Golok Elang Terbang. Kini melihat betapa seorang gadis muda yang masih hijau berani menghinanya sedemikian rupa di muka orang banyak, dia memukul meja sehingga cawan arak berhamburan dan membentak keras dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

"Nona, kau sebagai utusan Pat-chiu Lo-mo seharusnya mengenal dan tahu bahwa aku Hui-eng-to bukan orang yang mudah saja menerima hinaan! 
Tapi, mengingat nama Pan-chiu Lo-mo dan melihat muka para saudara di sini, aku masih mau mengampuni perbuatanmu tadi karena kau masih begini muda dan bodoh. 

Akan tetapi untuk menerima kau sebagai penghubung sebagaimana yang diusulkan oleh orang tua she Cio itu, sungguh aku masih sangsi! Sekarang kau cabutlah senjatamu dan coba kaulayani golokku. Jika kau sanggup bertahan sampai lima puluh jurus, barulah aku orang she Phang mau menerimanya sebagai penghubung."

Thian Hwa sebenarnya marah sekali melihat lagak Si Gemuk itu dan kalau menuruti hatinya ingin benar ia sekali serang merobohkan orang angkuh itu.
 Tapi karena ia teringat akan kepentingannya sendiri, yakni untuk menghubungi pangeran dan mencari orang tuanya, maka ia menahan kemarahannya dan segera berdiri sambil menjawab.

"Baik sekali, kawan. Aku pun tidak suka menghina orang asalkan orang jangan mengganggu aku lebih dahulu! Biarlah kuperlihatkan bahwa tidak sia-sia Pat-chiu Lo-mo mempercayaiku. Silakan kau menggunakan golokmu!" Gadis itu lalu maju ke ruang yang luas itu dan mencabut pedangnya.

Phang Houw mencabut goloknya yang lebar, berat dan berkilauan itu, sehingga sangat mengerikan tampaknya, lalu dengan tindakan bebas dia menghampiri Thian Hwa. Sebelum dia mulai menyerang, dia menjura ke arah tuan rumah dan berkata. "Lauw Pangcu, maafkan aku kalau aku terpaksa menguji Nona ini, karena ini untuk kepentingan urusan kita."

Lauw Cin berkata tenang. "Memang itu patut sekali, Phang-hiante, asal saja kau berhati-hati dan ingat bahwa Lihiap ini adalah utusan Cio-locianpwe!" Kata-kata ini membuat Thian Hwa heran karena agaknya Iblis Tua Tangan Delapan itu sangat dihormat dan ditakuti.

Kemudian Phang Houw berseru keras. "Nona, kau lihat golokku!" Golok besar itu segera menyambar sehingga mendatangkan angin. Serangan pertama ini cukup hebat karena tiba-tiba Phang Houw menggunakan tipu gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan. 
Datangnya serangan sangat keras dan golok besar itu berputar-putar menebas dari kanan ke kiri ke arah leher Thian Hwa dan ketika gadis itu berkelit mundur, golok itu melayang dari kiri ke kanan berkali-kali dan kini menyabet ke pinggang gadis itu dengan gerakan yang sangat cepat sekali! 

Thian Hwa dapat menduga bahwa kalau ia berkelit terus, golok itu juga terus akan mengejar dan menyerangnya karena gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan memang terus-menerus bergerak menyerang dari kanan ke kiri dan sebaliknya sehingga golok itu terus menerus diobat-abitkan dengan gerakan cepat dan berbahaya sekali. Thian Hwa lalu berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dan ia menggunakan gerak tipu Tiang - khing - king - thian atau Pelangi Panjang Melengkung di Langit menyerang dari atas ke arah ubun-ubun kepala lawannya!

Serangan ini berbahaya sekali karena ujung pedang itu kalau ditangkis dapat diubah gerakannya menjadi serangan melintang menyabet leher. Phang Houw terkejut sekali dan ia meloncat mundur lalu bersamaan menyerang lagi ketika tubuh lawannya yang ringan bagaikan burung itu telah menginjak tanah. Mereka bertempur lagi dengan hebat. 

Kini Thian Hwa tidak mau berlaku ragu-ragu dan ia mengeluarkan kepandaiannya dan bersilat dengan ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat. Gerakannya sebentar lemas dan lemah-gemulai, tapi kadang-kadang berubah ganas dan cepat sekali sehingga setelah mereka bertempur lebih dari lima puluh jurus, Phang Houw mulai merasa kepalanya pening dan tak mampu menyerang lagi, hanya dapat menangkis dan berkelit karena pedang lawannya bagaikan telah berubah menjadi puluhan banyaknya!

Pada suatu saat Phang Houw merasa begitu terdesak sehingga dia menjadi nekad dan mengeluarkan gerakan mengadu jiwa. Ketika dia merasa betapa ujung pedang lawannya mengancam dadanya sebelah kanan, dia barengi menubruk maju dengan goloknya .untuk mengadu jiwa dan mati bersama! 

Tentu saja Thian Hwa tidak sudi melayani kehendak lawannya ini, dan segera menggunakan pedangnya menangkis. Kali ini karena kedua senjata digerakkan dengan sekuat tenaga, maka dua tenaga beradu keras sekali dan kesudahannya membuat Phang Houw berteriak kaget karena dia merasa betapa telapak tangannya sakit sekali sehingga tak kuasa lagi mempertahankan goloknya yang terlepas dan terpental ke atas. 

Ketika golok yang besar dan berat itu meluncur ke bawah dan tepat menuju ke arah di mana Thian Hwa berdiri, gadis itu dengan tenang sekali menggunakan pedangnya menyambut dan memutar pedang itu sedemikian rupa sehingga golok besar itu terputar-putar dengan ujungnya seakan-akan menempel di pedang Thian Hwa!

Pertunjukan ini sungguh hebat dan indah sehingga semua orang menjadi sangat kagum dan bertepuk tangan memuji. Bahkan Phang Houw sendiri berdiri bengong karena heran. Thian Hwa lalu mengulur tangan kiri dan menangkap gagang golok lawannya itu, lalu dengan tersenyum ia mengembalikan golok itu kepada Phang Houw.

Si Gemuk itu kini menjadi tunduk betul, dia menghela napas berulang-ulang dan berkata. "Seumur hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang muda yang selihai kau ini, Nona. Siapakah namamu yang mulia dan siapa pula Suhumu yang terhormat?"

Semua orang juga ingin tahu nama dan suhu dan gadis lihai itu. Thian Hwa menjawab sederhana. "Aku bernama Thian Hwa dan orang di sebelah selatan menyebutku Huang-ho Sian-li. Suhuku adalah Huang-ho Sui-mo."

Semua orang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sian-li, tapi nama Huang-ho Sui-mo pernah mereka dengar, maka mereka mengangguk-angguk dan menyatakan kagum.

"Memang patut sekali Lihiap diserahi tugas ini." kata Louw Cin dengan girang.
"Jika Cu-wi sudah cukup percaya kepadaku, harap urusan ini lekas diterangkan dengan jelas kepadaku, karena sesungguhnya Pat-chiu Lo-mo tak pernah memberitahu apa-apa, hanya minta aku supaya datang saja ke sini." kata Thian Hwa.

Maka Louw Cin lalu menerangkan duduknya persoalan. Ternyata bahwa di lingkungan kerajaan kaisar, terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan di antara para bangsawan tinggi. Mereka berlumba untuk merebut hati Kaisar yang sudah tua, dan sementara itu, dengan diam-diam mereka menggunakan segala daya untuk menyingkirkan bangsawan lain yang dianggap sebagai saingan terbesar. 

Di antara para pembesar itu, terdapat seorang pangeran yang bernama Leng Kok Cun. Pangeran ini mempunyai kekuatan dan pengaruh besar juga karena dia adalah putera seorang selir yang tercinta.

 Tapi pangeran ini mempunyai watak yang buruk dan dia bahkan mengandung niat untuk merampas kedudukan Kaisar jika Kaisar tua itu telah meninggal dunia. Dia mengumpulkan banyak ahli-ahli silat berkepandaian tinggi untuk menjadi sahabat dan kaki tangannya. Di antaranya adalah Louw Cin yang sudah dipercayainya benar-benar.

Beberapa waktu yang lalu, Pangeran Leng minta agar dikirim seorang penghubung yang pandai dan yang datang dari luar kota, karena para bangsawan lain telah menaruh curiga dan tidak baik kalau penghubung yang mendatangi rumah pangeran itu orang-orang yang tinggal di kota raja.

 Hal ini akan mudah mereka ketahui. Karena inilah maka Louw Cin lalu minta tolong Pat-chiu Lo-mo yang juga telah terbujuk olehnya untuk mengabdi kepada Pangeran Leng, untuk mengirim seorang yang pandai.

"Dan demikianlah, maka ternyata Cio-locianpwe telah mengirim Lihiap ke sini, yakni untuk membantu Pangeran Leng dan menjalankan perintah-perintah rahasia dari sana. Kalau tidak salah, Pangeran Leng hendak memberi perintah-perintah kepada para pembantunya di barat dan selatan untuk bersiap sedia, maka lebih baik Lihiap segera mendatangi gedungnya dengan membawa surat dari kami."

Mengertilah kini Thian Hwa bahwa dengan tak disengaja ia telah melibatkan diri sendiri dengan urusan negara yang ruwet. Maka segera ia minta surat itu, lalu setelah mendapat petunjuk di mana letak gedung Pangeran Leng, ia segera menuju ke sana.
Gedung pangeran itu ternyata besar dan mewah sekali, tapi terjaga keras. 

Setelah memberitahu bahwa ia datang dari Lian-bu-pang, barulah ia diperkenankan masuk ke dalam sebuah kamar dan menanti di situ. Thian Hwa merasa bahwa dari balik pintu dalam tentu ada mata orang mengintai, maka ia pura-pura tidak tahu dan diam saja, karena ia dapat menduga bahwa pangeran itu agaknya curiga kepadanya.
Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki yang berpakaian mewah.

 Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, mukanya licin dan sepasang matanya yang sipit itu hampir-hampir tertutup. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah sekali. Inilah Pangeran Leng Kok Cun.

Thian Hwa berdiri dan memberi hormat sepantasnya, lalu ia menyerahkan surat itu. Setelah pangeran itu membaca nya, dia merasa sangat heran mengapa orang mengirim seorang gadis muda lagi cantik untuk menjadi penghubung" Tapi ketika melihat pedang di punggung Thian Hwa, dia dapat menduga bahwa ilmu silat gadis ini tentu hebat, kalau tidak, Laouw Cin takkan begitu gila mengirimnya ke situ.

"Nona, sungguh tak kusangka bahwa kau yang semuda ini telah memiliki kepandaian tinggi sehingga dipercaya oleh Louw Cin. Nona, kau mendapat kamar di bangunan sebelah kiri dan malam nanti akan kuberi tugas pertama padamu. Sekarang beristirahatlah!"

Thian Hwa tidak senang melihat orang ini. Sikapnya demikian memerintah dan tidak mengindahkan orang lain. Gagallah maksudnya hendak mendengar sesuatu tentang orang tuanya dari orang sekaku ini. Maka untuk sementara waktu ia harus menurut saja, dan pergilah ia ke tempat yang disediakan untuknya itu. Ternyata ia mendapat kamar yang cukup mewah dan menyenangkan. 

Dengan hati-hati sekali Thian Hwa memeriksa jendela dan pintu kamar itu, tapi ternyata tidak ada sesuatu yang mencurigakan, maka ia beristirahat di atas pembaringan yang indah dan bersih itu.
Malamnya, setelah keadaan di luar gelap, ia dipanggil ke ruang dalam di mana Pangeran Leng telah menantinya.

"Duduklah, Nona. Sebetulnya aku mempunyai sesuatu yang sangat penting dan rahasia untuk disampaikan ke luar kota dan kaulah yang telah dipilih untuk melakukan tugas berat ini. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang menghendaki barang yang kuserahkan padamu itu dan mungkin kau akan mendapat rintangan di jalan. 

Maka agar hatiku tenteram, dan untuk mengujimu, lebih dulu kau malam ini harus melakukan sesuatu untukku. Kau pergilah ke gedung Pangeran Ciu Kiong di sebelah timur kota. Dia ini adalah musuhku yang paling besar dan kau harus dapat membunuhnya! Dan kalau bisa malam ini juga!"

Terkejutlah Thian Hwa. mendengar ini. Celaka sekali, ia harus memasuki urusan yang kotor dan ruwet. Datang-datang ia disuruh membunuh orang begitu saja. Dan sikap pangeran ini demikian tinggi, seakan-akan ia memang bujangnya yang setiap waktu diperintah sesukanya!

Sebelum ia sempat membantah, tiba-tiba dari atas terdengar seruan orang.
"Taijin, awas, gadis itu adalah mata-mata musuh!" Dan berbareng dengan itu, dari atas melayang tiga batang huito atau golok terbang menyambar ke arah Thian Hwa!

Gadis itu loncat menyingkir dan tertawa geli. "Sudahlah, kalian orang-orang rendah! Aku tak perlu mencampuri urusanmu yang kotor!" Lalu ia meloncat keluar. Tapi Pangeran Leng sudah berteriak.

"Tangkap penjahat!" Sehingga para pengawalnya telah maju mengejar. Juga dari luar datang Louw Cin dan seorang tua bongkok dan wajahnya buruk sekali dan memegang sebatang tongkat, serta di punggungnya yang bongkok tampak tempat golok-golok kecil, maka tahulah Thian Hwa bahwa yang melepas golok terbang tadi adalah Si Bongkok itu!

"Setan perempuan, berhenti!" Louw Cin yang mencegat didepannya membentak. "Mengakulah terus terang, siapakah engkau dan apa kehendakmu memalsukan surat dari Cio-locianpwe?"

"Aku sudah mengaku tadi dan namaku sudah kuterangkan pula. Tentang memalsu, aku tidak memalsu hanya menyampaikan surat yang kutemukan dari seorang maling kecil!"

Tiba - tiba Si Bongkok menuding. "Hemm, jadi kau yang telah melukai muridku?"
Thian Hwa melengak. "Eh, eh, kau yang disebut Iblis Tua Tangan Delapan" Pantas, pantas...."

Marahlah orang itu. "Kau lancang mulut, rasakan tanganku!" kakek bongkok ini maju menyerang dengan tongkatnya. Sambaran tongkatnya demikian hebatnya, sehingga Thian Hwa terkejut sekali karena ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi seorang lawan yang benar-benar perkasa, la cepat berkelit dan meloncat, mundur sambil mencabut pedangnya.
Mereka berdua lalu bertempur seru sekali, ditonton oleh Pangeran Leng dan kawan-kawannya.

Setelah bertempur seratus jurus lebih, diam-diam Thian Hwa mengeluh karena lawannya ini benar-benar hebat dan tangguh. Sebaliknya Pat-chiu Lo-mo juga penasaran dan malu karena belum pernah ada seorang lawan yang sanggup bertahan melawan dia sampai seratus jurus lebih tanpa dia dapat melukainya sedikit pun.

Sementara itu, Louw Cin dan kawan-kawannya sangat kagum melihat pertempuran itu. Tidak mereka sangka sedikit pun bahwa gadis muda itu demikian pandai sehingga sanggup menandingi Si Tua Bongkok yang lihai.

 Pangeran Leng merasa penasaran lalu berteriak agar orang membantu Si Bongkok itu. Maka majulah beberapa pahlawan mengeroyok Thian Hwa! Gadis itu merasa sibuk juga dan sambil berseru nyaring ia menggerakkan pedangnya secara luar biasa sehingga lawan-lawannya terpaksa mundur beberapa tindak.

 Kesempatan ini ia pergunakan untuk meloncat keluar dari kalangan dan berlari cepat! Tiga buah golok terbang yang dilepas oleh Pat-chiu Lo-mo dengan mudah dapat ia tangkis dan kelit tanpa menoleh, kemudian ia menghilang ke dalam gelap.




Pat-chiu Lo-mo merasa penasaran sekali lalu mengejar, juga Louw Cin dan beberapa pengawal yang berkepandaian tinggi ikut mengejar. Mereka ini semuanya mempunyai kepandaian lari cepat yang boleh juga sehingga dapat juga mengejar Thian Hwa dari jauh.

 Biarpun sebenarnya ginkang gadis itu lebih tinggi, tapi karena ia belum mengenal jalan dan tempat itu masih asing baginya, ia tidak dapat maju cepat. Ia hanya menuju ke timur karena ia teringat akan pesan Pangeran Leng padanya untuk membunuh seorang pangeran lain. 

Kalau Pangeran Leng dan kaki tangannya jahat, maka Pangeran Cu Kiong yang dimusuhinya itu tentu orang baik. Biasanya, yang dimusuhi oleh orang jahat tentu orang-orang baik dan sebaliknya! Karena inilah, maka Thian Hwa lari ke juruan timur sambil mencari-cari.

Akhirnya, ia sampai juga ke sebuah gedung yang tinggi dan besar, bahkan lebih tinggi daripada gedung Pangeran Leng. Inikah gedung Pangeran Cu Kiong itu" Baru saja kakinya menginjak genteng, tiba-tiba di sebelah kirinya berkelebat bayangan putih. Ia mengangkat pedang menyerang ke kiri, tapi bayangan itu demikian gesitnya dan cepat dapat berkelit.

"Sabar, Nona. Aku bukan lawan, tapi kawan. Mari kita hadapi mereka yang mengejarmu!" Bayangan yang berpakaian putih itu lalu berdiri menanti datangnya para pengejar. Ketika Si Bongkok dan Louw Cin tiba di situ, bayangan putih itu menegur.
"Apakah Pangeran Leng sudah tidak tahu adat menyuruh kaki tangannya membikin kotor genteng rumahku?"

Louw Cin terkejut ketika melihat siapa yang menegur mereka. Ia buru-buru memberi hormat dan berkata, "Mohon beribu maaf, Thaijin. Kami hanya mengejar seorang penjahat perempuan."

"Jangan kurang ajar! Tidak ada penjahat perempuan di sini, yang ada ialah tamuku ini dan kalian pergilah dari sini. Atau kalian sengaja hendak mengacau?"

Si Bongkok perdengarkan suara menyindir. "Hm, jadi setan itu telah menjadi kaki tangan Pangeran Cu" Bagus! Mari kita pergi, Louw Cin!" Dan pergilah para pahlawan Pangeran Leng itu.

Si Baju Putih itu lalu berkata kepada Thian Hwa dengan suaranya yang halus dan sopan. "Nona, kau sungguh gagah perkasa sehingga sanggup seorang diri membuat pusing Si Iblis Tua Tangan Delapan! Sudilah kau mampir sebentar ke pondokku."
Kagetlah Thian Hwa mendengar ini. "Apa" Jadi kau adalah... Pangeran Cu Kiong?"
Orang itu menjura dengan hormat dan berkata. "Dugaanmu tepat, Nona. Marilah kita bicara di bawah."

Thian Hwa tidak merasa keberatan, bahkan timbul harapan baru dalam hatinya untuk minta bantuan pangeran yang sopan dan halus ini mencari keterangan tentang orang tuanya. Ia lalu ikut meloncat turun dan ketika mereka tiba di tempat terang dan saling memandang maka kedua-duanya terkejut dan kagum. Thian Hwa melihat bahwa Si Baju Putih itu, yang sebenarnya Pangeran Cu Kiong sendiri, ternyata adalah seorang pria muda yang berwajah sangat tampan.

 Mukanya bulat putih dengan sepasang mata yang lebar dan terang, dihias sepasang alis mata yang panjang hitam berbentuk golok sehingga paras yang cakap itu tampak gagah sekali. 

Pakaiannya yang putih itu pinggirnya disulam dengan benang emas indah sekali dan sikap serta gerak gayanya lemah lembut menandakan bahwa dia seorang terpelajar. Thian Hwa kagum sekali karena biarpun tampaknya demikian sopan santun dan lemah lembut lagi masih muda, namun dari gerakannya ketika mengelit serangannya tadi ia tahu bahwa pangeran itu pun memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Sebaliknya Pangeran Cu Kiong ketika melihat wajah Thian Hwa di bawah sinar penerangan lampu, menjadi kagum sekali dan menatap wajah yang cantik itu dengan hati tertarik. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis pendekar yang gagah perkasa itu ternyata masih sangat muda dan memiliki kecantikan yang luar biasa pula.

Karena dua-duanya saling pandang, maka akhirnya mereka sama-sama menundukkan muka dan wajah Thian Hwa menjadi merah karena segan dan malu. Heran sekali! Belum pernah ia merasa malu di bawah pandang mata laki-laki dan ia merasa betapa dadanya berdebar aneh!

"Lihiap silakan duduk." kata Cu Kiong dengan ramah dan cepat-cepat dia perintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan.

"Jangan berlaku sungkan, Kongcu." kata Thian Hwa dengan sikap hormat, lalu ia duduk di atas sebuah bangku yang terukir indah, menghadapi meja, dan Cu Kiong duduk di hadapannya.

"Kongcu, bagaimana bisa tahu bahwa aku telah bertempur dengan iblis tua itu?" tiba-tiba Thian Hwa bertanya, karena ia tadi memang heran mendengar kata-kata pangeran itu yang seakan-akan tahu akan kejadian-kejadian yang dialaminya di gedung Pangeran Leng.

"Tentu saja aku tahu, Nona. Bahkan aku tahu pula bahwa kau diperintah oleh Pangeran Leng untuk membunuhku!" katanya dengan senyum.

"Aku... aku tidak menyanggupinya'" Thian Hwa cepat memotong.
Cu Kiong perlihatkan senyumnya yang menarik. "Tentu saja. Aku pun takkan percaya bahwa seorang seperti kau ini dapat berwatak sekejam itu, membunuh aku yang tak kau kenal sama sekali!"

Mendengar pujian ini, kembali Thian Hwa merada dadanya berdebar.
"Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Kongcu?"

"Kau ingin tahu" Nah, mari kuperkenalkan kau dengan para pembantuku!" Dia bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba dari segenap penjuru, melalui pintu, jendela dan juga melayang turun dari atas genteng, muncullah tujuh orang setengah tua yang mempunyai gerakan gesit dan ringan sekali. Thian Hwa terkejut karena maklum bahwa kepandaian ketujuh orang ini sangat tinggi!

"Perkenalkanlah, inilah Kam-keng-chit-sian, Tujuh Dewa dari Kamkeng!" kata Cu Kiong dan ketujuh orang itu dengan tersenyum menjura di depan Thian Hwa yang segera berdiri membalas hormat mereka. Ia belum pernah mendengar nama ini, tapi ia dapat menduga bahwa mereka ini tentu tokoh-tokoh ternama di daerah utara.

"Lihiap, ilmu pedangmu sungguh membuat kami takluk dan tidak kosonglah nama Huang-ho Sui-mo, Suhumu yang tersohor itu!" kata seorang di antara mereka.

Pangeran Cu Kiong lalu mempersilakan mereka semua duduk dan malam itu diadakan perjamuan makan minum untuk menghormat Thian Hwa. Mereka bercakap-cakap gembira sekali dan Thian Hwa mendapat kesan baik dari mereka. Ia menganggap bahwa ketujuh orang itu bersikap baik dan sopan, sedangkan pangeran muda yang tampan itu betul-betul telah memikat hatinya dan membuat ia tertarik sekali. 

Pada kesempatan ini ia diberitahu bahwa Cu Kiong banyak dimusuhi bangsawan-bangsawan yang menjadi durna dan penjilat kaisar, dan bahwa pangeran muda ini telah beberapa kali hendak dibunuh. Oleh karena inilah maka ia mempelajari ilmu silat dan bahkan mengundang Kamkeng-chit-sian untuk menjadi pengawalnya. Kemudian pangeran yang masih muda dan tampan itu memerintahkan para pengawalnya untuk mengundurkan diri dan dia bercakap-cakap, berdua dengan Thian Hwa. Sikapnya selalu ramah tamah dan sopan sehingga Thian Hwa merasa betah di situ.

"Lihiap, kau seorang gadis muda yang berasal dari daerah selatan, mengapa sampai bisa datang di kota raja" Dan mengapa pula kau sampai dapat berhubungan dengan orang-orang macam Pangeran Leng itu?"

Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya dengan terus terang. Ia menganggap bahwa pangeran ini sangat baik dan jujur, maka pantaslah kalau ia minta tolong dan mendapat kepercayaannya.

"Demikianlah," ia mengakhiri ceritanya. "Aku yang muda dan bodoh ini sampai menjadi nekad dan datang ke kota besar ini untuk mencari kedua orang tuaku."

Cu Kiong memandangnya dengan penuh keheranan terbayang pada wajahnya yang putih. "Kaukatakan tadi bahwa orang tuamu adalah bangsawan di kota raja ini?"
Thian Hwa mengangguk. "Demikianlah menurut penuturan Kakekku. Katanya bahwa Ibuku adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tanda bintik kecil hitam di atas bibir sebelah kiri. Sayang sekali Kakekku tidak tahu siapa Ibuku atau Ayahku...." kata Thian Hwa sedih.

Ketika ia menceritakan hal ini, kebetulan sekali pelayan laki-laki yang sudah tua dan sangat hormat sikapnya sedang membersihkan meja dan mengangkut semua sisa makanan atas perintah Cu Kiong. Tadinya kakek tua ini bekerja sambil menundukkan muka, tapi ketika ia mendengar cerita Thian Hwa, agaknya dia menjadi terharu dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan Thian Hwa tak sengaja memandangnya. 

Untuk sesaat pelayan itu membelalakkan matanya, kemudian dia menunduk kembali dan Thian Hwa melihat wajah yang baik dan sabar, bahkan ia merasa seakan-akan wajah orang tua itu tidak asing baginya.

Setelah orang tua itu mengangkut pergi semua sisa makanan, Cu Kiong berkata. 

"Nona, percayalah kau kepadaku. Aku akan memerintahkan orang-orangku untuk mencari keterangan perihal puteri bangsawan yang mempunyai tahi lalat kecil di bibir kiri, barangkali saja usahaku ini akan berhasil baik."

Thian Hwa buru-buru berdiri dan menjura sambil mengucapkan terima kasih.
"Sekarang harap Kongcu maafkan aku, karena aku harus pergi. Tidak baik kalau mengganggumu dan besok sore aku akan datang lagi mendengar hasil pertolonganmu itu."

Cu Kiong buru-buru mencegah. "Jangan kau pergi, Nona. Apakah bedanya kalau kau menginap di dalam gedung ini" Pula, kau telah menjadi musuh Pangeran Leng, dan kau tidak akan aman tinggal di luar. Kau tinggallah untuk sementara waktu di gedung ini sampai kau dapat bertemu dengan orang tuamu. Jangan khawatir, aku mempunyai banyak kamar, di sini dan kau akan terjamin. Anggaplah ini sebagai rumah sendiri atau sebagai rumah saudaramu!" Sambil berkata demikian, pangeran itu tersenyum ramah.
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Thian Hwa tak dapat menolak lagi dengan girang sekali Cu Kiong memanggil pelayan. "Lo Sam....!"

Pelayan tua yang tadi membersihkan meja muncul dari pintu samping dan menghampiri mereka.

"Losam, tolong kauantar Nona ini ke kamar tamu di bagian kiri. Berikan kamar yang paling baik di ujung itu, dan selanjutnya suruh pelayan-pelayan wanita melayani segala keperluannya. Ingat Sio-cia ini harus dilayani baik-baik agar betah tinggal di sini."

Thian Hwa menghaturkan terima kasih dan ikut pelayan itu menuju ke bangunan sebelah kiri yang besar dan di depannya penuh kembang-kembang indah di dalam taman kecil yang mengitari bangunan itu.

 Ketika mereka tida di situ, Losam disambut oleh beberapa orang pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik dan dihujani pertanyaan. Losam dengan suara sabar memperkenalkan Thian Hwa dengan menyampaikan pesan majikannya. Pelayan-pelayan wanita itu dengan hormat dan ramah lalu mengajak Thian Hwa memasuki kamarnya sehingga gadis itu merasa malu dan berterima kasih sekali.

Pangeran Cu Kiong demikian baik hati terhadap Thian Hwa sehingga dia memerlukan mengirimkan beberapa stel pakaian yang indah kepada gadis itu, dan dia minta kepada Losam untuk mengantarkannya. Thian Hwa merasa malu dan tak enak hati melihat segala kebaikan ini. Ia terima pakaian itu tapi tidak mau memakainya dan tetap memakai pakaiannya sendiri yang sederhana.

Ketika malam hari itu Thian Hwa keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman bunga, ternyata bahwa di belakang semua bangunan besar itu masih terdapat sebuah kebun bunga yang sangat luas dan indah, bahkan di tengah-tengah terdapat kolam air yang lebar dan dalam serta airnya jernih sekali.

Thian Hwa adalah seorang gadis yang semenjak kecil tumbuh besar di atas air Sungai Huang-ho, maka kini melihat air yang jernih itu, tak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk mandi. Ia melihat betapa keadaan di situ sunyi tiada orang, maka segera ia tanggalkan pakaian luar dan kini hanya memakai pakaian mandi yang ringkas. 

Setelah itu, ia lalu terjun ke dalam air yang dingin itu! Ia berenang ke sana ke mari dan menangkapi ikan emas yang menjadi kaget dan ketakutan karena tiba-tiba saja tempat mereka terganggu oleh suatu mahluk aneh yang menangkapi mereka lalu dilepas lagi berulang-ulang! Thian Hwa merasa gembira sekali dan ia tersenyum-senyum sambil memetik setangkai bunga teratai putih yang mekar berseri di permukaan kolam itu.

 Ia tidak tahu mengapa hatinya begitu girang dan bahagia. Ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang mendatangkan rasa nikmat di dalam hatinya dan bayangan Pangeran Cu Kiong yang tampan dan tersenyum-senyum itu tak pernah meninggalkan bulu matanya! Ah, alangkah baiknya orang-orang bangsawan ini, pikirnya. Tentu ayah ibunya juga sebaik Cu Kiong, dan dia percaya penuh pangeran yang baik hati itu tentu akan sanggup mencari keterangan tentang ayah ibunya.

Ia tidak tahu bahwa dari balik sebatang pohon, sepasang mata memandangnya dengan penuh gairah dan kagum. Kemudian orang yang mengintai itu keluar, seakan-akan tak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia bertindak mendekati kolam, lalu berseru kaget.

"Ah, Thian Lihiap! Kiranya kau, sungguh aku kaget sekali kukira siapa yang pada malam sekali begini mandi di sini!"

Thian Hwa terkejut sekali dan menengok. Ternyata Cu Kiong sedang berdiri dan" memandangnya dengan mata kagum. Biarpun pada saat itu yang tampak hanya kepalanya saja, namun Thian Hwa merasa begitu malu sehingga buru-buru ia menyelam! Cu Kiong tertawa geli dan membalikkan tubuh memandang ke lain jurusan, tapi masih berdiri di tempat itu.

Di dalam air, Thian Hwa merasa betapa dadanya berdebar keras dan napasnya terengah-engah. Ia merasa malu sekali untuk muncul lagi. Tapi akhirnya ia tidak kuat menahan napasnya lalu munculkan kepalanya dengan perlahan dan hati-hati di belakang daun dan bunga teratai. Ia melihat betapa Cu Kiong berdiri membelakanginya dan pemuda itu berkata.

"Nona, kalau kau sudah muncul lagi, katakan apakah aku harus pergi" Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengan kau! Tapi kalau kau menghendaki supaya aku pergi, aku akan segera meninggalkan tempat ini."

Thian Hwa berkata dengan suara lemah. "Kongcu, jangan kau melihat ke sini dulu!"
Terdengar pemuda itu tertawa dan menjawab. "Kauanggap aku orang rendah macam apakah?"

Thian Hwa girang sekali mendengar ini. Ternyata bahwa pemuda itu benar-benar orang sopan dan baik. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia keluar dari air dan cepat-cepat berganti pakaian di balik pohon kembang dekat kolam itu. Pakaiannya yang basah ia letakkan di atas sebuah batu yang merupakan patung barongsai. Kemudian, setelah mengenakan pakaiannya, ia keluar dan berkata sambil tertawa.

"Sekarang kau boleh melihat, aku sudah selesai."

Cu Kiong cepat memutar tubuhnya dan memandang gadis itu dengan mata kagum. Sinar bulan telah menyinari wajah yang ayu itu. Thian Hwa menggunakan teratai yang dipetiknya tadi untuk menghias rambutnya yang diikat secara sembarangan ke atas sehingga kecantikannya yang aseli benar-benar mempesonakan.

Cu Kiong maju beberapa tindak dengan perlahan. Setelah dekat dengan gadis itu, dia berhenti dan menatap wajahnya sambil berkata berbisik. "Nona kau... kau... cantik sekali...."

Kalau saja yang berkata itu orang lain, tentu Thian Hwa akan marah sekali, tetapi yang memujinya adalah pemuda yang memang selalu membayang di depan matanya, pula Cu Kiong telah mengucapkan pujian itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan maksud kurang ajar, maka Thian Hwa hanya menundukkan muka dengan malu-malu.
Cu Kiong maju setindak lagi dan tahu-tahu dengan halus perlahan ia pegang kedua tangan Thian Hwa dan berkata. "Sungguh, Nona, selama hidupku belum pernah aku melihat seorang secantik kau...."


DEWI SUNGAI KUNING JILID 06 



Thian Hwa merasakan betapa seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya berdebar. Mukanya terasa panas dan kepalanya pening. Ia hendak menarik tangannya, tapi tak kuasa menggerakkan tangan itu dan terasa olehnya betapa lembut dan mesra tangan pemuda itu memegang tangannya.

Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap tindakan kaki orang, maka cepat sekali Thian Hwa menarik tangannya dan meloncat menghadapi orang yang datang itu. Alangkah kagetnya melihat bahwa yang datang adalah Pat-chiu Lo-mo dan tiga orang lain dengan senjata di tangan dan sikap mengancam.

Melihat ini, terkejutlah Cu Kiong dan dia segera bertepuk tangan tiga kali. Tapi para pembantunya tidak muncul dan Iblis Bongkok itu tertawa mengejek.

"Ha, ha! Kaki tanganmu tak mungkin datang, mereka sendiri sibuk membela diri dan menjaga agar nyawa mereka jangan melayang!" Kemudian Pat-chiu Lo-mo segera maju dan menggerakkan tongkatnya ke arah Cu Kiong. Tapi Thian Hwa berseru nyaring dan ia maju menotok iga iblis itu dengan hebat. Terpaksa Si Bongkok menarik kembali tongkatnya dan melayani Thian Hwa. Kemudian tiga orang lainnya yang bersenjata pedang maju pula mengeroyok Thian Hwa sehingga gadis itu sibuk sekali, tapi ia masih ingat berseru kepada Cu Kiong.

"Kongcu, lekas kau pergi, biar aku menahan mereka ini!" Thian Hwa khawatir kalau-kalau pangeran itu mendapat celaka karena ia maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih terlampau rendah untuk melayani para penyerbu yang ternyata berkepandaian tinggi ini.

Tapi Chu Kiong tidak mempedulikan teriakan Thian Hwa, bahkan dia lalu mengangkat sebuah bangku yang terdapat di kolam itu dan menggunakan barang ini sebagai senjata. Dia meloncat menerjang pengeroyok Thian Hwa sambil berseru.
"Niocu, jangan takut, aku bantu kau!"

Thian Hwa menjadi sibuk sekali karena untuk menjaga diri sendiri dengan tangan kosong terhadap empat pengeroyok saja sudah sukar baginya, apalagi kini dengan ikut campurnya Cu Kiong, gerakannya makin kalut karena ia harus menjaga pemuda itu pula!

"Kongcu, pergilah kau!" teriaknya sekali lagi, tapi Cu Kiong bahkan menyerang Pat-chiu Lo-mo dengan hebat! Si Bongkok itu melihat datangnya serangan bangku, cepat menangkis dengan tongkatnya sedemikian rupa sehingga bangku itu terpental kembali dan menghantam dada Cu Kiong yang terpental jauh dan tercebur ke dalam kolam!

Melihat ini, hampir saja Thian Hwa menjerit ngeri dan ia lalu mengeluarkan pukulan Kwan Im yang hebat. Dengan gerakan yang tak terduga sama sekali oleh lawan-lawannya, tubuhnya bergerak secepat kilat sehingga mata para lawannya kabur dan tahu-tahu seorang pengeroyok kena tertotok pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan roboh.

Pengeroyok yang lain menjadi terkejut dan meloncat mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk meloncat terjun ke dalam kolam. Ia menyelam dan memegang tubuh Cu Kiong yang telah lemas dan tenggelam dan cepat mengangkat pemuda itu keluar dari kolam. Karena para lawannya tidak pandai berenang, maka mereka hanya menanti dengan senjata di tangan.

Melihat ini, Thian Hwa lalu melihat ke kanan kiri dan ia melihat sebuah besi tempat gantungan lampu di tengah kolam. Besi itu sengaja dipasang untuk dipakai menggantung lampu dan memperindah kolan itu. Thian Hwa lalu menggunakan tangan kanannya mencabut besi itu dan dengan tangan kiri memeluk tubuh Cu Kiong yang pingsan, ia lalu berenang ke tepi kolam. 

Tapi musuh-musuhnya telah menanti di situ dengan senjata mengancam sehingga ia menjadi sibuk sekali. Tiba-tiba Thian Hwa membawa tubuh pemuda itu menyelam sehingga tidak tampak oleh musuhnya. Tahu-tahu, ia telah muncul di lain tepi dan mengangkat tubuh Cu Kiong ke pinggir dan ia sendiri meloncat ke tepi dengan besi itu melintang di kedua tangan.

Pat-chiu Lo-mo dan kawan-kawannya lalu mengejar dan kini Thian Hwa dapat melayani mereka dengan baik, karena besi itu merupakan sebatang tongkat yang hebat. Karena bingung dan marah sekali melihat Cu Kiong terluka, ia mengamuk hebat dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. 

Dengan gerakan-gerakan kilat akhirnya ia berhasil menyerampang kaki seorang lawan dan sebelum mereka hilang kagetnya, tahu-tahu ujung besi di tangannya dengan gerak tipu Heng-ciajip-te atau Kauw-ce-thian Masuk ke Dalam Tanah ia menyerang lutut Pat-chiu Lo-mo dari atas. Serangan ini hebat sekali karena menyambarnya besi sukar untuk ditangkis.

 Terpaksa Si Bongkok yang menjadi kaget sekali itu meloncat tinggi untuk menghindarkan kaki atau lututnya dari serangan orang, tapi pada saat tubuhnya masih di tengah udara, Thian Hwa yang menjadi sengit telah memutar tongkatnya dan menggunakan ujung yang sebelah lagi menghantam dada Si Bongkok yang lihai itu. Pat-chiu Lo-mo tak dapat berkelit maupun menangkis, sudah tidak keburu karena gerakan gadis itu luar biasa cepatnya, maka dia lalu mengumpulkan lweekangnya di bagian dada sambil menahan napas.

"Buk!" ujung besi yang melanggar dada itu menjadi bengkok! Tapi tubuh Si Bongkok itu terpental jauh dan roboh pingsan karena dia mendapat luka di dalam dadanya! Kedua pengeroyok lain melihat hal ini lalu meloncat mundur karena jerih, tapi Thian Hwa tidak mempedulikan mereka lagi. Ia lalu menghampiri Cu Kiong yang masih rebah dengan memejamkan mata.

"Kongcu.... Kongcu..." Thian Hwa dengan bingung menggoyang-goyang tubuh Cu Kiong, tapi pemuda itu tidak bergerak dan wajahnya pucat" sekali. Thian Hwa tidak tahu bahwa kedua musuhnya yang belum roboh masing-masing memondong seorang kawan yang terluka dan telah meninggalkan tempat itu karena jerih terhadapnya. 

Dengan bingung dan sedih gadis itu lalu memondong tubuh Cu Kiong dan membawa lari ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh itu di atas pembaringan dan memeriksa dadanya setelah merobek baju pemuda itu. Ia bernapas lega karena dada itu hanya mendapat luka di kulit saja sehingga mengeluarkan sedikit darah dan menjadi matang biru. Yang membuat pemuda itu pingsan adalah tenggelam ke dalam air tadi.

Thian Hwa memanggil-manggil pelayan tapi tak seorang pun muncul, karena semua pelayan agaknya telah lari bersembunyi! la lalu melenyapkan semua perasaan malu dan menggunakan kain tilam pembaringan yang dirobeknya untuk membalut dada pemuda itu. Ia bingung sekali karena pakaian pemuda itu dan pakaiannya sendiri basah kuyup.

Pada saat itu Cu Kiong siuman dari pingsannya. Di heran dan bingung sekali, tapi dia segera teringat akan kejadian tadi. Cepat sekali dia meloncat bangun dan melihat ke arah dadanya yang telanjang dan yang kini telah dibalut. Lalu memandang Thian Hwa yang juga basah kuyup pakaiannya, sama dengan pakaiannya sendiri.

"Thian Hwa... Nona... kau... kau telah menolong jiwaku....?"

"Sudahlah jangan ribut-ribut, kau perlu istirahat." kata Thian Hwa dengan wajah merah dan mendekati pemuda itu yang segera ia pegang pundaknya untuk didorong agar tidur kembali.

"Eh, di manakah Kamkeng-chit-sian, mengapa mereka tidak muncul?" tiba-tiba Cu Kiong teringat akan para pengawalnya yang benar saja tidak muncul. Thian Hwa lalu teringat juga.

"Bukankah Si Bongkok tadi berkata bahwa mereka juga diserang" Tentu terjadi pertempuran hebat di atas gedung! Biar aku pergi melihatnya!"

Tapi Cu Kiong cepat memegang tangan Thian Hwa sambil berkata lirih. "Biarlah, Moi-moi, jangan tinggalkan aku lagi...."

Sekali lagi gadis itu menjadi lemas dan kepalanya terasa pening, tak kuasa melepaskan diri dari pegangan tangan pemuda itu.

"Kongcu, kau perlu berganti pakaian yang kering, kau bisa sakit dalam pakaian basah ini." katanya perlahan.

"Kau sendiri bagaimana?" kata Cu Kiong berbisik. "Pakaianmu juga basah kuyup." Suaranya mengandung kasih sayang yang memabukkan kepala Thian Hwa.
Pada saat itu terdengar suara seorang di antara Kamkeng-chit-sian di luar pintu kamar. "Thaijin, apakah kau selamat saja?"

Tanpa membuka pintu atau bangun dari pembaringan Cu Kiong menjawab. "Aku tidak apa-apa, bagaimana kalian?"

"Musuh telah terusir pergi, hanya seorang di antara kami mendapat luka."

"Sudahlah, besok saja kita bicarakan!" pangeran itu berkata dan semua pengawal itu pergi lagi ke kamar masing-masing.

Keesokan harinya, ketika matahari telah naik tinggi, Thian Hwa bangun dari tidurnya dengan kepala terasa berat. Tapi ia lalu duduk bersamadhi dan mengatur napas sehingga sebentar saja ia merasa sehat dan segar kembali. Pintu kamarnya diketuk dari luar dan ia lalu turun membuka pintu.

 Pelayan-pelayan yang kemarin itu masuk sambil membawa segala keperluan untuk mandi dan berganti pakaian. Thian Hwa minta mereka keluar dan ia sendiri lalu berganti pakaian dan mencuci muka. Kemudian ia keluar dan ternyata hidangan pagi telah disediakan. Para pelayan itu dengan ributnya bercerita betapa malam tadi datang orang-orang jahat yang baiknya dapat diusir oleh para pengawal.

"Kalian ke mana saja malam tadi, mengapa tidak muncul?" Thian Hwa bertanya.
"Siapa yang berani keluar, Siocia. Kami bersembunyi di bawah pembaringan kami, menjadi satu dan tak berani bergerak." jawab seorang pelayan dan yang lain menyambung. "Jangankan bergerak, bernapas pun kami tidak berani."

Setelah selasai makan, tiba-tiba datang Losam, kakek pelayan yang kemarin melayaninya. Setelah memberi salam dan memberes-bereskan makanan, Losam berkata kepada Thian Hwa. "Siocia, harap kausuruh pergi dulu semua pelayan ini. Aku ingin bicara empat mata dengan Siocia."

Thian Hwa heran, tapi ia menyuruh semua pelayan pergi. Pelayan-pelayan itu setelah melotot secara main-main kepada Losam, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Siocia, kalau aku tidak salah, kau kemarin berkata kepada Thaijin bahwa kau mencari Ibumu?"

Thian Hwa berdebar hatinya dan ia segera mengangguk.

"Coba kaukatakan lagi riwayatmu secara singkat, mungkin aku dapat memberi keterangan padamu." Dan kedua mata yang tua itu memandang Thian Hwa dengan mesra dan terharu.

Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya, betapa ia ditolong oleh Thian Bong Sianjin dari bencana air dan bahwa ibunya adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tahi lalat kecil di atas bibir kiri.

Tiba-tiba Losam gemetar bibirnya dan pucat wajahnya. "Benar... benar... tidak salah lagi... kau... kau adalah anak Cui Eng... kau adalah cucuku sendiri...."

Terkejutlah Thian Hwa mendengar ini. Ia meloncat berdiri dan memegang kedua lengan orang tua itu. "Apa katamu" Hayo kauceritakan yang betul!" Wajah gadis itu pucat, matanya bersinar-sinar.

"Benar, benar! Seperti pinang dibelah dua! Cui Eng juga begini ketika masih gadis dulu, sama benar dengan kau!"

Setelah dapat menenteramkan gelora hatinya, kakek itu bercerita. Dulu, sebelum dia menjadi pelayan dari Pangeran Cu Kiong, dia adalah seorang kepala pelayan dari seorang pangeran she Ciu.

Selain itu, anak perempuannya yang bernama Cui Eng dan sangat cantik, juga menjadi pelayan di gedung itu. Ternyata antara Cui Eng dan Pangeran Cui yang masih muda belia dan cakap, terjalin tali asmara yang erat, sehingga mereka telah berjanji sehidup semati. Tapi sungguh celaka, orang tua Pangeran Ciu tidak suka menerima Cui Eng sebagai menantu mereka. Pangeran Ciu yang sangat mencintai Cui Eng mempertahankan kekasihnya dan membujuk orang tuanya untuk menerima gadis itu sebagai selir.

 Orang tuanya, terutama ibunya, berkeras tidak setuju karena dianggap rendah sekali jika puteranya mengambil selir dari keluarga pelayan sendiri. Kemudian, setelah di-beritahu bahwa dari hubungannnya itu Cui Eng telah mengandung, ibu Pangeran Ciu berjanji bahwa jika Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia diterima menjadi selir, jika melahirkan anak perempuan, ia harus pergi dari gedung itu! 

Celakanya, ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan! Gadis yang malang nasibnya itu terpaksa diusir keluar dari gedung dan membawa anaknya yang masih bayi! Losam sebagai ayahnya tidak tega melihat Cui Eng dan mengantar gadis itu untuk pulang saja ke kampung, yaitu di selatan. 

Tapi nasib memang sangat kejam. Ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, ternyata tempat itu merupakan kuburan bagi Cui Eng dan anaknya, karena pada saat itu Sungai Huang-ho sedang buas dan besar sehingga perahu yang ditumpanginya terbawa air dan terbalik! Untung Losam masih dapat menyelamatkan diri dan dengan hati sedih kembali ke kota raja dan bekerja pada keluarga Pangeran Ciu, sedang Cui Eng dan anaknya ia anggap telah mati!

Setelah mendengar cerita ini, Thian Hwa tidak ragu lagi. Ia menubruk kakeknya itu dan menangis terisak-isak. Kemudian ia menjadi marah sekali dan berkata. "Kong-kong, lekas kau tunjukkan aku di mana adanya Pangeran Ciu yang telah merusak hidup Ibuku itu. Orang macam itu harus dibunuh mampus!"

"Kau benar, Cucuku. Memang aku pun sangat sakit hati terhadap mereka! Tapi Ayah Ibu pangeran itu telah meninggal, dan yang ada kini hanya Pangeran Ciu itu saja. Dia tetap saja tidak beristeri, hanya biasa saja sebagaimana semua pangeran, ia memelihara selir."

Pada saat itu muncullah Cu Kiong dengan pakaian yang indah. Lukanya agaknya telah sembuh, karena wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya yang jernih itu bersinar-sinar, tampak cakap sekali. Ketika melihat pangeran ini, Thian Hwa lalu menundukkan muka, tapi matanya mengerling dan bibirnya tersenyum.

"Moi-moi, biarlah hari ini aku akan mengerahkan semua orang mencari keterangan tentang orang tuamu."

"Koko... eh, Kongcu...." Thian Hwa buru-buru mengubah sebutan itu sambil memandang kepada kakeknya, "Tak usah Kongcu repot-repot karena aku telah mendapat keterangan yang sangat penting dari Kakekku ini." Kemudian ia menceritakan kembali cerita Losam tadi. Cu Kiong girang sekali.

"Ah, kau hendak membalas dendam ibumu" Memang, memang jahat sekali mereka itu, jahat kejam terhadap Ibumu. Sudah sepantasnya kalau mereka itu kau bunuh! Tapi...." Pangeran itu mengerling ke arah Losam dan menyuruh pelayan itu pergi.

Setelah Losam pergi, Cu Kiong memegang kedua tangan Thian Hwa.

"Moi-moi, perkara membalas dendammu kepada keluarga Ciu adalah soal mudah karena Pangeran Ciu itu adalah seorang yang tidak mau memelihara pengawal sehingga mudah saja memasuki gedungnya. Tapi yang membuat aku selalu bingung adalah keadaan Pangeran Leng. Dia ini jahat sekali dan banyak kaki tangannya. Kau sendiri telah mengetahui betapa ia membenci dan memusuhi-ku. Aku ingin sekali minta pertolonganmu, Moi-moi."

Thian Hwa memandang wajah yang tampan itu dengan pandangan mesra. "Katakanlah, Koko. Apa yang kaukehen-daki?"

"Moi-moi, aku menghendaki serupa barang dari Pangeran Leng itu. Yakni sebuah kotak berisi surat-surat penting yang akan dapat membuka rahasianya dan menjatuhkannya di hadapan Kaisar. Kalau kau bisa menolong aku mendapatkan barang itu, ah... Moi-moi, selama hidupku aku akan selalu berterima kasih kepadamu!"

Kembali gadis itu runtuh menghadapi kecakapan Cu Kiong dan sikap yang lemah lembut penuh kasih mesra dari pemuda itu. Ia dimabuk cinta dan agaknya untuk membalas dan menyenangkan hati Cu Kiong, ia rela mengorbankan apa saja.

Pada malam harinya, setelah mendapatkan petunjuk-petunjuk yang perlu, Thian Hwa lalu pergi menuju gedung Pangeran Ciu yang berada di sebelah utara kota raja. Gedung itu sederhana, tapi cukup besar dan kokoh kuat. Benar saja, di situ tidak terdapat pengawal-pengawal bersenjata sebagaimana biasa terdapat di gedung-gedung pangeran dan bangsawan tinggi. Dan gedung itu sunyi saja.

Thian Hwa melihat sebuah kamar yang masih terang sinar lampunya, maka ia segera mengintai dari jendela. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua duduk membelakanginya dan laki-laki itu sedang memandang sehelai gambar, yakni gambar seorang wanita yang kertasnya sudah kuning, tapi gambar itu tidak tampak nyata dari luar jendela.

 Laki-laki itu lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja dan tampak susah sekali, karena berkali-kali dia menghela napas panjang.

Melihat pakaian orang itu, Thian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa inilah Pangeran Ciu yang telah merusak kehidupan ibunya dulu. Ia lalu menggunakan kedua tangan menolak daun jendela dan sekali meloncat ia telah berada dalam kamar itu.




Laki-laki itu mendengar suara jendela terbuka, cepat meloncat bangun dan berdiri, lalu membalikkan tubuh memandang Thian Hwa. Tiba-tiba kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga heran. Dia mengucek-ucek mata seakan-akan takut kalau-kalau telah menipunya, tapi benar-benar yang berada didepannya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita dan sedang manatapnya dengan mata tajam dan berapi-api.

"Kau... kau....?"" laki-laki itu berkata dan Thian Hwa juga heran terkejut karena mengenal bahwa orang ini bukan lain Pangeran Ciu Wan Kong yang dulu pernah ditolongnya dari serangan ular air! Tapi pada saat itu Thian Hwa tidak mempunyai perasaan apa-apa selain benci dan dendam terhadap orang tua ini!

Ia tersenyum mengejek dan berkata perlahan. "Ya... aku... dan kenalkah kau kepada Cui Eng....?"

Wajah pangeran itu tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat dan ia terhuyung-huyung limbung lalu berpegang pada sebuah kursi. Bibirnya gemetar dan matanya terbelalak.
"Kau... Cui Eng... ah... sudah kuduga... gadis itu... gadis itu tentu Cui Eng sendiri, Cui Engku... Cui Eng kau... kau datang padaku....?"

Makin gemaslah hati Thian Hwa. "Ya, aku Cui Eng dan aku hendak membalas dendamku karena perbuatanmu yang pengecut!" Sambil berkata demikian, Thian Hwa mencabut pedangnya dan perlahan-lahan bertindak maju. Tapi sebaliknya daripada takut pangeran itu kini tampak segar kembali. Dia berdiri gagah dan memajukan dadanya kepada Thian Hwa.

"Cui Eng, boleh... boleh...! Kau tusuklah dadaku, awas jangan meleset, tusuklah sebelah kiri, ke arah jantung ini agar aku lekas mati! Ha, ha, ha, Cui Eng, kenapa kau ragu-ragu" Tusuklah, kekasihku, tusuklah dadaku, memang aku tahu pasti kau akan datang membawaku ke sana. Cui Eng... ha, ha, ha!"

Tiba-tiba wajah orang tua itu berubah, ia tertawa terbahak-bahak dan kedua matanya memandang seakan-akan Thian Hwa tidak berada di situ lagi, seakan-akan benar-benar dia melihat Cui Eng di situ. Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi gila! Melihat keadaan orang yang sebenarnya ayahnya sendiri ini, Thian Hwa tidak kuat menahan gelora keharuan hatinya. Ia memasukkan pedangnya di sarung pedang kembali dan ia menubruk ayahnya. Tapi ayahnya membentak,

"Pergi kau! Jangan halang-halangi aku bertemu dengan Cui Eng. Eh, Cui Eng....! 

Tunggu....! Mau ke mana, kekasihku?"" Dan dengan terhuyung-huyung orang tua itu meninggalkan gadis yang tadi berlutut memeluk kakinya. Thian Hwa segera berdiri dan melihat ke atas meja. Ternyata yang tadi dipandang ayahnya adalah gambar seorang wanita cantik yang serupa benar dengan dia dan di atas bibir kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil yang menambahkan manisnya!

"Ibu... Ibuku... kau telah membalas dendammu sendiri...." demikian ia berbisik dan setelah menggulung lukisan itu ia lalu keluar dan meloncat ke atas genteng dan meninggalkan tempat itu! Ia hendak kembali ke gedung Pangeran Cu Kiong, tapi tiba-tiba ia teringat akan pesan pemuda itu.

Ia berhenti di atas sebuah wuwungan rumah dan termenung. Cu Kiong adalah seorang pemuda yang baik dan sangat mencintainya, ia juga mencintai pemuda bangsawan itu. Tapi bukankah ia telah berlaku sembrono menyerahkan cintanya begitu saja kepada seorang pemuda yang samasekali belum diketahuinya" Apakah pemuda itu benar-benar patut menjadi jodohnya

" Ah, ia tak perlu ragu-ragu karena ia tahu pasti bahwa pemuda itu sangat mencintanya! Dengan hati ringan dan gembira ia lalu menuju ke gedung Pangeran Leng untuk menjalankan pesan kekasihnya.

Gedung itu masih terjaga ketat, tapi karena Pat-chiu Lo-mo yang paling lihai telah terluka dan pulang ke tempat sendiri untuk berobat maka mudah saja bagi Thian Hwa untuk mencuri masuk. Ia menotok seorang penjaga dan menyeretnya ke dalam kebun dan di situ ia memaksa untuk mendapat keterangan tentang kotak terisi surat-surat penting.

 Dengan kecewa ia mendapat keterangan bahwa kotak itu telah dititipkan kepada Pat-chiu Lo-mo yang pulang ke kampungnya dan ia tahu dari pengawal ini bahwa surat-surat itu adalah surat-surat untuk menghubungi orang-orang yang disiapkan untuk segera bergerak dari segenap penjuru bila waktunya tiba untuk merebut mahkota kerajaan!

Thian Hwa lalu meninggalkan tempat itu dan ia menjadi bingung. Mengapa ada segala macam urusan yang ruwet ini" Dan mengapa pula Cu Kiong ikut campur dalam perkara ini" Ia menganggap perkara berebut kekuasaan diantara kalangan bangsawan ini sangat menjemukan dan kotor, maka ia kecewa sekali mendapat kenyataan bahwa kekasihnya agaknya juga ikut bermain dalam persaingan itu.

Ketika ia telah tiba di atas genteng gedung Cu Kiong, tiba-tiba ia ingin menyelidiki keadaan rumah kekasihnya ini. Ia tidak lekas meloncat turun, tapi dengan hati-hati sekali ia membuka genteng dan mengintai. Kebetulan sekali yang ia buka adalah genteng di atas ruang dalam di bangunan tengah yang belum pernah dilihatnya. Di situ ia melihat Cu Kiong bersama ketujuh pengawalnya sedang duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap.

"Thaijin, mengapa kau menyuruh dia yang pergi melakukan pencurian itu" Dan mengapa pula ia harus membunuh Pangeran Ciu, ayahnya sendiri?" seorang di antara Kamkeng-chit-sian berkata. "Kami rasa Thaijin terlalu mempercayainya. Ia masih sangat muda dan orang baru, bagaimana kalau ia nanti membuka rahasia kepada orang lain?"

Wajah Cu Kiong yang tampan itu tertawa manis sekali. "Kalian jangan khawatir. Gadis itu lihai ilmu silatnya dan dia bisa dipercaya. Pula, ia akan menjadi seorang selirku yang tercinta! Ia harus membunuh Pangeran Ciu karena pangeran itu terlalu jujur sehingga tidak mau memihak kepada kita. Ia tak dapat dipercaya maka lebih baik ia mati, dan oleh tangan anaknya sendiri pula!

 Tentang pencurian barang di gedung Pangeran Leng, itu memang kusengaja. Gadis itu mencintaku, tapi aku hendak menguji kesetiaannya dulu. Kalau ia benar-benar setia, maka pantaslah ia menjadi selirku nomor satu."

Ketujuh pengawal itu mengangguk-angguk dan pada saat itu Thian Hwa merasa betapa tubuhnya menjadi lemas. Hampir saja ia tidak dapat menahan tangisnya karena semua kata-kata yang keluar dari mulut Cu Kiong itu terdengar oleh telinganya bagaikan kata-kata yang sangat keji dan menghina, sehingga rasanya bagaikan ujung pisau yang menusuk-nusuk jantungnya. Tapi ia dapat menguasai dirinya dan dengan hati-hati sekali ia turun ke kamarnya.

Ia segera memanggil pelayan dan memerintahkan memberitahu pada Pangeran Cu Kiong bahwa ia telah datang dan meminta bertemu. Dengan wajah pucat Thian Hwa menanti datangnya Cu Kiong ke kamarnya. Ia merasa terhina sekali. Menjadi selir yang tercinta" Diuji kesetiaannya baru pantas menjadi selir" Selir?" Bangsat benar! Alangkah hinanya!

Ia masih dapat menetapkan gelora hatinya ketika Cu Kiong bertindak masuk ke dalam kamarnya sambil tersenyum-senyum dan ketika pemuda itu hendak memeluknya, ia segera mencegahnya.

"Koko, coba katakan dengan terus terang, apakah kau sudah kawin?" tanyanya dengan suara sedapat-dapatnya dibuat tenang.

Cu Kiong terkejut sekali melihat perubahan sikap gadis ini. Dia tersenyum dan duduk di atas sebuah kursi sambil memandang wajah Thian Hwa yang bersandar ke dinding. "Kau tahu bahwa aku belum kawin."

"Tapi... tapi kau sudah mempunyai selir?"

Cu Kiong tertawa keras. "Ha, ha, Niocu! Apakah kau cemburu" Itu kan hal biasa, tiap pangeran mempunyai selir! Tapi selirku tidak sebanyak mereka, hanya ada lima orang dan kau...."

"Dan aku akan kaujadikan selir" Selir ke berapakah?" Suaranya terdengar menyeramkan dan tangis telah memenuhi kerongkongannya.

Cu Kiong berdiri dan hendak memegang tangannya, tapi Thian Hwa menolaknya sehingga pangeran itu duduk lagi. "Thian Hwa, kau tahu bahwa aku cinta padamu. Kau tentu akan menjadi selirku nomor satu!"

"Dan kau kata akan menjadi isteri-mu."

"Apakah bedanya, Niocu" Untuk menjadi isteri pertama, tak mungkin, karena aku sudah bertunangan semenjak kecil dengan puteri seorang bangsawan dalam keraton."
Merahlah wajah Thian Hwa. "Bagus sekali! Jadi kau pun hanya seorang bangsat rendah yang berkedok bangsawan belaka!"

"Moi-moi! Apa katamu" Mengapa demikian" Sudah lazimnya seorang pangeran mempunyai banyak selir, kau tak perlu cemburu!"

"Bangsat, siapa yang cemburu?" Thian .Hwa mengulur tangan menampar dan karena tak sempat berkelit, maka pipi Cui Kong kena tampar keras sekali. "Kalau aku tidak ingat bahwa semua ini terjadi karena kebodohanku sendiri, kau tentu akan kubunuh!"
"Niocu, jangan begitu. Bukankah kita saling mencinta" Kalau kau kehendaki, biarlah kau menjadi selirku yang sah, Isteri ke dua!"

Thian Hwa merasa tertusuk sekali hatinya dan ia tak tahan lagi sehingga air matanya mengucur deras. "Kau... kau... menghinaku! Kau kira aku ingin mendapat kedudukan sebagai isteri pangeran" Kau kira aku mencinta kau karena pangkatmu, karena hartamu

" Ah... manusia rendah budi, kukira tadinya bahwa cintamu semurni cintaku, tak tahunya, kau hanya tukang mempermainkan hati wanita belaka... kau gunakan wajahmu yang tampan itu untuk menutup wajah aslimu yang sebenarnya hanyalah seekor srigala yang kejam dan jahat! Nasib Ibu terulang lagi...."

Cu Kiong maju dan hendak merayu, tapi Thian Hwa mencabut pedangnya. "Pergi! Pergi sebelum kutebas batang lehermu!"

Tapi Cu Kiong berkata. "Thian Hwa, aku cinta padamu dan harus menahanmu. Aku cinta padamu dan aku akan mendapatkan dirimu, biarpun harus kugunakan kekerasan untuk itu!"

"Bangsat besar!" Tapi pada saat itu Cu Kiong sudah meloncat keluar dan bertepuk tangan. Ketika Thian Hwa tiba di luar, ketujuh pengawal berada di situ mengurungnya.
"Thian Hwa, kau tidak boleh pergi."

"Cu Kiong, dengarlah baik-baik! Aku tidak membunuhmu karena aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku pun cinta padamu, biarlah ketujuh kaki tanganku ini mendengar dan menjadi saksi. 

Tapi aku bukanlah perempuan serendah yang kau-duga. Aku lebih baik mati daripada duduk di sampingmu dan menderita karena pengertian bahwa kau hanya mempermainkan diriku! Terkutuklah semua lelaki semacammu ini!"

"Thian Hwa, aku sudah berlaku baik kepadamu, apakah kau ini akan mengkhianatiku" Manakah barang yang kau rampas dari Pangeran Leng?"

"Hm, kau masih menduga serendah itu! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu yang kotor! Barang yang hendak kaurampas itu telah dibawah pergi oleh Pat-chiu Lo-mo! Kaucarilah sendiri. Nah, aku pergi dan selama hidup akan kukutuk kepalsuanmu!"
Thian Hwa lalu meloncat ke atas, tapi Cu Kiong berteriak kepada pengawalnya. "Tangkap dia!"

Thian Hwa lalu dikurung oleh ketujuh pengawal itu. Ternyata kepandaian ketujuh orang itu hebat juga dan tidak heran mereka dijuluki Kamkeng-chit-sian atau Tujuh Dewa dari Kamkeng. 

Pedang mereka dimainkan bergabung menjadi satu dan benar-benar Thian Hwa sibuk dan terdesak. Apalagi pada saat itu, perasaan hati gadis itu sedang hancur luluh karena asmara gagal, maka gerakannya menjadi lemah dan kurang gesit. Kedukaan hatinya yang patah cinta itu membuat Thian Hwa kurang bersemangat. Maka ia segera terdesak hebat oleh ketujuh orang pengeroyoknya yang tangguh.

Selagi ia terdesak dan keadaannya gawat sekali, terancam maut, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Moi-moi, aku datang membantumu!" Sesosok bayangan hitam berkelebat dan dengan gerakan yang amat cepat dan kuat dia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga kepungan tujuh orang Kamkeng-chit-sian menjadi kacau, apalagi ketika seorang pengeroyok tertusuk pundaknya roboh sambil menjerit, akan tetapi pedang Si Bayangan Hitam itu berkelebat dan orang itu pun tak dapat bergerak lagi, lehernya terbabat pedang dan dia tewas seketika!

Thian Hwa menjadi girang sekali ketika mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Ui Yan Bun, putera Ui Hauw, pemuda yang menjadi sahabat dan juga kakak seperguruannya karena pemuda itu juga menerima gemblengan Thian Bong Sianjin.
"Bun-ko (Kakak Bun), kau datang?" seru Thian Hwa dan kini semangatnya bangkit kembali. 

Mereka berdua lalu menggerakkan pedang dengan dahsyat sehingga permainan pedang lawan yang tinggal enam orang itu menjadi kacau. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pedang di tangan Thian Hwa sudah merobohkan dua orang pengeroyok dan pedang Yan Bun telah merobohkan seorang lagi. Melihat betapa dalam waktu singkat empat orang kawan mereka roboh dan tewas, tiga orang yang lain menjadi jerih dan mereka berlompatan melarikan diri. Yan Bun melompat dan mengejar Pangeran Cu Kiong yang hendak lari ke dalam. 

Dia dapat mencengkeram lengan pangeran yang tampan itu. Akan tetapi sebelum ia turun tangan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Thian Hwa berseru keras.

"Twako, jangan bunuh dia!" Yan Bun melepaskan lengan pemuda itu dan memandang kepada Thian Hwa dengan heran.

"Bukankah dia majikan mereka?" tanya Yan Bun. Akan tetapi Thian Hwa tidak menjawab, hanya melompat ke depan Pangeran Cu Kiong dan menatap wajah pangeran itu. Pemuda bangsawan itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan Thian Hwa memandang dengan kedua mata penuh air mata dan ia menggigit bibir sendiri menahan tangis. Kemudian, setelah memandang lama sekali, ia lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke atas genteng sambil berkata dengan suara terisak.

"Twako.... hayo... kita pergi!"

Mendengar ini, Yan Bun segera melompat dan mengikuti gadis itu dengan hati menduga-duga.

Thian Hwa dan Yan Bun berdiri di atas air Sungai Huang-ho. Mereka seakan-akan berdiri di atas air padahal sebenarnya mereka menginjak sepasang papan terompah air. Thian Hwa, seperti biasa mengenakan pakaian serba putih seperti pakaian berkabung. 

Biarpun ia sudah bertemu dengan ayah kandungnya, namun ia masih menganggap dirinya yatim piatu sehingga ia akan berkabung selama hidupnya. Yan Bun mengenakan pakaian serba biru, warna kesukaannya sejak dulu. Wajah Thian Hwa yang cantik jelita itu muram, diJiputi kesedihan. Memang hati gadis itu mengalami kenyataan yang menyedihkan. 

Pertama ia sudah menemukan ayah kandungnya, akan tetapi ayah kandung macam apa! Ayah kandungnya adalah seorang pangeran, namun seorang laki-laki yang menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya diusir dan hanyut di Sungai Huang-ho! Dan kini ayah kandungnya itu malah menjadi gila! Pukulan batin ini ditambah pukulan lain yang lebih menyakitkan hatinya. Ia jatuh cinta kepada Pangeran Cu Kiong yang ternyata merupakan laki-laki yang sama palsunya dengan Pangeran Ciu Wan Kong, ayah kandungnya yang telah menyia-nyiakan ibunya!

 Pangeran Cu Kiong yang dicinta-nya itu pun ternyata hanya ingin memanfaatkan dirinya, untuk dijadikan seorang selir yang tenaganya dapat membantunya untuk bersaing dan saling berebut kekuasaan dengan para pangeran lain. Ia merasa terhina sekali dan terjadi pertentangan hebat dalam hatinya antara cinta dan benci terhadap Pangeran Cu Kiong. 

Dalam usianya yang delapan belas tahun ini, baru pertama kalinya ia jatuh cinta, yaitu kepada Pangeran Cu Kiong, namun ternyata ia telah salah pilih dan kegagalan cintanya ini sungguh menyakitkan sekali!

"Hwa-moi (Adik Hwa), benar-benarkah engkau akan meninggalkan aku dan tidak akan kembali?" tanya Yan Bun dengan alis berkerut membayangkan kekecewaan dan kedukaan atas keputusan gadis yang dicintanya itu.

Thian Hwa mengangguk. "Benar, Bun-ko, aku hendak mencari Kong-kong (Kakek) Thian Bong Sianjin dan mengajak dia merantau sepanjang Sungai Huang-ho."

"Hwa-moi... maafkan kalau aku bicara lancang, akan tetapi... sesungguhnya... aku dan Ayahku mengharapkan agar engkau... dapat menjadi... kawan hidupku untuk selamanya."

Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan terharu. Dalam hatinya ia harus mengakui bahwa Yan Bun adalah seorang pemuda yang baik sekali. Sulitlah mencari seorang pemuda sebaik dia. Akan tetapi luka di hatinya karena kegagalan cinta pertama masih terasa nyeri dan ia tidak ingin mengulang kesalahanya telah jatuh cinta kepada seorang pemuda kepada seorang laki-laki setelah melihat betapa palsunya cinta laki-laki seperti cinta ayah kandungnya terhadap ibunya dan cinta Pangeran Cu Kiong terhadap dirinya.

"Maafkan aku, Twako. Menyesal sekali bahwa terpaksa aku tidak dapat menerimanya, Bun-twako, engkau adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah dan berbudi mulia, sedangkan aku... aku tidak berharga... aku yatim piatu, tidak pantas menjadi pendampingmu...."

"Ah, jangan merendahkan diri seperti itu, Hwa-moi. Kata-katamu menikam perasaanku. Bagiku, engkau adalah seorang gadis yang paling mulia di dunia ini. Dan engkau tentu mengetahui dan merasakan bahwa aku... aku mencintamu, Hwa-moi."

"Ah, Twako. Harapanku, agar engkau jangan berpikir tentang itu karena aku... aku sama sekali belum berpikir tentang cinta dan jodoh, Twako. Maafkan aku."

"Hwa-moi, harap engkau suka berterus terang. Apakah engkau... mencinta pangeran muda itu" Katakanlah terus terang, aku akan dapat memaklumi dan tidak menyalahkanmu!" Wajah pemuda itu berubah agak pucat ketika dia menyambung, 

"Maaf, Hwa-moi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."
Thian Hwa tersenyum getir, menghela napas lalu berkata dengan suara tegas. "Memang benar, Twako. Aku cinta padanya, akan tetapi aku juga benci padanya! Nah, selamat tinggal, Twako!"

Thian Hwa menggerakkan tubuhnya dan papan terompah yang menjadi semacam papan selancar itu meluncur dengan cepatnya, mengikuti aliran Sungai Huang-ho dan sebentar saja sudah jauh dan hanya tampak seperti sebuah titik putih.
Yan Bun berdiri memandang ke arah titik putih itu sampai akhirnya titik itu menghilang.

 Ketika dia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke perkampungan ayahnya, kedua mata pemuda itu basah dan mukanya pucat!


             
               T A M A T 


Serial Selanjutnya : Kemelut Kerajaan Mancu


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMELUT KERAJAAN MANCU