KEMELUT KERAJAAN MANCU

 


 

                 







KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 01
Matahari memuntahkan panasnya melalui cahayanya yang membakar seluruh permukaan bumi. Cuaca menjadi amat cerah, langit bersih seolah semua awan ketakutan menyingkir dari cahaya matahari.

Tetapi Sungai Kuning (Huang-ho) seolah tidak merasakan teriknya matahari. Di sepanjang sungai dan kedua tepinya yang berhiaskan pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan subur itu tampak hijau dan sejuk. Seolah sungai yang lebar itu menyerap semua hawa panas yang mengandung kehidupan itu.

Burung-burung dan binatang lain mencari perlindungan di antara daun-daun dan di bawah pohon-pohon yang sejuk. Bahkan para nelayan yang biasanya menjala atau memancing ikan, pada siang hari yang sangat terik itu pergi mengaso, tidak kuat menahan panasnya sinar matahari. Pada siang hari itu Huang-ho (Sungai Kuning) tampak sepi.

Tiba-tiba dari kejauhan tampak meluncur seorang wanita di atas air sungai. Jika ada yang melihatnya pada saat itu, tentu dia akan tercengang keheranan, mungkin lari ketakutan dan mengira bahwa wanita itu adalah setan yang dapat berjalan di atas air! Akan tetapi kalau dilihat dari jarak agak dekat, tentu dia akan mengira bahwa yang meluncur di atas air itu adalah seorang Dewi atau Bidadari!

Ia memang cantik jelita. Rambutnya yang digelung ke atas agak terurai karena hembusan angin hingga beberapa gumpalan anak rambut bermain-main di dahi dan pipinya. Rambut yang hitam lembut panjang dan agak berikal.

Mukanya berbentuk bulat telur, sepasang matanya mencorong tajam dan memiliki daya tarik yang memikat, hidungnya mancung dan mulutnya bersaing indah dengan matanya, mempunyai daya pikat yang akan menimbulkan gairah dalam hati setiap orang pria yang melihatnya. Apa lagi di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipi yang amat manis. Kulitnya putih bersih dan kini kedua pipinya kemerahan karena panas matahari.

Ia bukanlah seorang dewi apa lagi setan penunggu sungai. Ia seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun, bertubuh sintal denok dan berwajah cantik jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan kalau ia tampak seperti orang yang berjalan di atas air, sesungguhnya ia sedang meluncur dengan cepat di atas air! Bukan berdiri di atas kedua kakinya, tetapi ia menggunakan terompah papan selancar.

Dengan ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, ia dapat berdiri di atas papan, kemudian dengan pengerahan khikang ia dapat mendorong kedua kaki yang menginjak papan itu sehingga ia meluncur dengan cepat di atas air!

Gadis itu bernama Ciu Thian Hwa, seorang pendekar wanita yang selain cantik jelita juga sangat lihai. Dia malang melintang di dunia kang-ouw, membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dengan keras sehingga ia terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning).

Sesudah mengalami banyak hal yang menimbulkan kepahitan dan kekecewaan hati yang membuat hatinya terasa sedih, akhirnya dia mengambil keputusan untuk mencari gurunya yang sekaligus menjadi kakek angkatnya. Gurunya adalah Thian Bong Sianjin yang dulu sebelum bertobat menjadi pendeta, berjuluk Huang-ho Sui-mo (Setan Air Sungai Kuning).

Thian Hwa makin mempercepat luncuran papan selancarnya di atas air. Dia mulai merasa gembira setelah kembali berada di atas Sungai Huang-ho. Sedikit demi sedikit lenyaplah segala kekecewaan dan kepahitan yang dideritanya.

Ia merasa sudah kembali ke tempat yang sesuai dan cocok baginya, yaitu Sungai Huang-ho dan karena ia tahu bahwa ia seolah kembali di sungai itu, dan ibu kandungnya lenyap pula di situ, maka ia merasa seolah-olah kini ia berada dekat dengan ibunya. Dia merasa seakan-akan sudah mendapatkan kembali ibunya, yakni sungai dengan airnya yang luas itu!

Ia meluncur dan memandang permukaan air dengan hati terharu, dan dengan cekatan ia membungkuk untuk menggunakan tangannya menyendok air kemudian air ia siramkan ke mukanya! Angin Sungai Huang-ho meniup wajahnya sehingga terasa segar dan nyaman. Lenyaplah segala kesedihannya!

Ketika aliran Sungai Huang-ho mulai sulit ditempuh karena banyak terdapat air terjun dan kadang-kadang penuh dengan batu-batuan, Thian Hwa segera mendarat lalu berlari cepat menyusuri Lembah Sungai Huang-ho. Setiap kali bertemu dusun nelayan, ia lalu bertanya barang kali ada yang melihat Thian Bong Sianjin. Beberapa kali dia mendapat keterangan bahwa kakek itu menuju ke hulu Sungai Huang-ho, yaitu ke arah barat. Maka ia pun lalu melanjutkan perjalanan menyusuri pantai ke hulu, daerah yang belum pernah ia jelajahi.

Sesudah melakukan perjalanan selama sebulan lebih, pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun di tepi sungai. Dusun itu cukup ramai dihuni oleh para petani dan nelayan sebanyak sekitar lima puluh rumah atau keluarga. Di dusun ini Thian Hwa mendengar bahwa tiga hari yang lalu seorang kakek membasmi gerombolan perampok yang mengganggu dusun itu.

Hatinya girang bukan main mendengar bahwa kakek itu berusia sekitar lima puluh enam tahun, mengenakan pakaian pendeta To serba putih, mukanya tanpa kumis atau jenggot, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Gambaran itu adalah gambaran kong-kongnya!

Dia segera mencari keterangan ke mana kakek itu pergi. Salah seorang penduduk dusun menuturkan bahwa dia melihat kakek penolong mereka itu tinggal di sebuah kuil tua yang tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit kecil di tepi sungai.

Thian Hwa cepat mendaki bukit itu dan merasa kagum melihat keindahan pemandangan alam di atas bukit itu. Melihat keadaan bukit yang tanahnya subur dan hawanya sejuk itu, ia merasa betah dan senang sekali. Apa lagi ketika ia menemukan kuil kosong di puncak bukit dan melihat Thian Bong Sianjin duduk bersila di atas sebuah batu depan kuil!

“Kong-kong...!” Ia berseru dan berlari cepat menghampiri.

Thian Bong Sianjin memandang gadis itu dan tersenyum dengan wajah berseri.

“Aha, Thian Hwa, akhirnya engkau datang juga! Bagaimana hasilnya dengan penyelidikan selama beberapa bulan ini?”

Ditanya demikian, Thian Hwa teringat akan semua pengalamannya. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah di depan kakek itu, dan tidak dapat menahan diri lagi menangis terisak-isak!

“Aih, inikah cucuku yang biasanya gembira, pemberani, keras hati dan jujur itu? Mengapa kini menjadi cengeng?”

Kakek itu lalu turun dari atas batu dan membungkuk, mengelus rambut kepala Thian Hwa. Gadis itu bangkit berdiri dan merangkul, menangis di atas dada kakek yang selama ini dia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu.

Thian Bong Sianjin membiarkan gadis itu menangis hingga air matanya membasahi jubah bagian dadanya, hanya mengelus kepala gadis yang sangat dikasihinya itu. Dia maklum bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk melepaskan himpitan duka di dalam hati adalah melalui cucuran air matanya.

Setelah tangis Thian Hwa mereda, kakek itu berkata halus, “Tenangkan hatimu, Cucuku. Duduklah di atas batu di depanku ini dan ceritakan semuanya kepadaku. Tak ada perkara apa pun di dunia ini yang tidak dapat kita atasi, asalkan kita menerimanya sebagai suatu kenyataan yang wajar. Tidak ada masalah di dalam hidup ini, kecuali kalau kita menerima suatu peristiwa sebagai masalah. Kita sendiri yang membuat masalah dan kita pula yang mengakhiri masalah itu.”

Thian Hwa sudah menumpahkan semua ganjalan hati melalui air matanya. Kini dadanya terasa lapang dan ia memperoleh kembali ketenangannya. Ia menggunakan sehelai sapu tangan untuk mengusap sisa-sisa air mata dari mata dan mukanya sampai kering, baru ia menaati ucapan kakeknya dan duduk bersila di atas sebuah batu di depan kakek itu yang kini sudah duduk kembali di tempat semula.

“Nanti dulu, Kong-kong,” katanya, sekarang suaranya sudah tenang dan biasa kembali. “Sebelum aku menceritakan semua pengalamanku, aku ingin tahu lebih dulu apa maksud Kong-kong ketika mengatakan bahwa tidak ada masalah di dalam hidup ini. Bagaimana mungkin tidak ada masalah kalau dalam kehidupan ini banyak terjadi peristiwa menimpa kita yang mendatangkan kekecewaan, penasaran, dan kedukaan?”

Kakek itu tersenyum ramah, matanya yang bersinar tajam tapi lembut itu menatap wajah cucunya dengan penuh pengertian. “Hidup ini sendiri akan menjadi masalah apa bila kita menerimanya sebagai masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi pada diri kita merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah suatu kewajaran. Biasanya nafsu yang mengaku-aku dan selalu mementingkan diri sendiri, yang mengejar kesenangan diri sendiri, itulah yang menimbulkan penilaian terhadap apa yang terjadi, lalu timbul apa yang disebut menyenangkan atau menyusahkan. Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci atau duka.”

Thian Hwa mengerutkan alisnya, merasa bingung. “Kong-kong, tolong diberi contoh agar aku tidak menjadi bingung.”

“Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa kita ini adalah satu kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Apakah peristiwa ini baik? Ataukah buruk? Menjadi masalah ataukah suatu kewajaran? Tergantung bagaimana kita menerimanya. Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan apa adanya, suatu kewajaran, maka timbullah kebijaksanan di dalam batin kita sehingga kita bisa mengatasinya, misalnya dengan berteduh, malah bisa memanfaatkan peristiwa itu dengan membuat bendungan kemudian menyalurkan airnya dan sebagainya. Demikian sebaliknya kalau hari panas sekali. Kita dapat berlindung dari sengatan sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang panas itu untuk menjemur dan sebagainya, bukan menerimanya sebagai sebuah masalah yang menimbulkan nafsu marah, kecewa, penasaran, takut yang mendatangkan duka. Mengertikah engkau, Thian Hwa?”

Thian Hwa diam sejenak, lalu mengangguk-angguk perlahan. “Ah, kini aku mulai mengerti, Kong-kong. Jadi, apa pun yang menimpa diri kita, dari yang paling menyenangkan sampai yang paling tidak menyenangkan, misalnya penyakit dan kematian, adalah suatu hal yang wajar dan tak dapat diubah lagi, suatu kenyataan sehingga kita harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah. Begitukah? Tapi bagaimana mungkin manusia dapat hidup tanpa dipengaruhi segala macam perasaan, terutama susah senang itu? Manusia hidup tanpa perasaan menjadi seperti mati!”

“Bukan demikian, Cucuku. Manusia hidup memang tidak mungkin dapat mematikan atau menghilangkan nafsu. Nafsu menjadi peserta manusia dalam hidupnya di alam fana ini. Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu jangan memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan pembantu kita. Ada pelajaran dari Guru Besar Khong Cu yang bijaksana dalam Kitab Tiong Yong, begini bunyinya: HI NOU AI LOK CI BI HOAT, WI CI TIONG. HOAT JI KAI TIONG CIAT, WI CI HO. Artinya: Sebelum perasaan Girang Marah Duka dan Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus. Jika berbagai perasaan itu timbul tetapi mengenal batas (dapat dikendalikan), maka batin berada dalam keadaan selaras (seimbang).”

Gadis itu mengangguk-angguk. “Sekarang aku mengerti, Kong-kong.”

“Nah, sekarang ceritakanlah apa saja yang kau alami sehingga engkau hampir kehilangan keseimbanganmu.”

Dengan lancar dan tabah Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa ia bertemu dengan Cui Sam atau yang sebutannya Lo Sam, kakeknya atau ayah dari ibunya yang kini bekerja sebagai pelayan Pangeran Cu Kiong. Dari kakeknya ini dia mengetahui bahwa ibunya bernama Cui Eng yang menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, kemudian ketika melahirkan anak perempuan, yaitu dirinya, ibunya itu diusir oleh keluarga Pangeran Ciu Wan Kong. Menurut cerita kakeknya, kakek Cui Sam dan Cui Eng hendak kembali ke kampung halaman mereka di selatan. Akan tetapi ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, perahu mereka terbalik sehingga Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya hanyut.

“Kakek Cui Sam dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia kehilangan ibu dan aku yang dia sangka tentu tewas tenggelam,” kata Thian Hwa melanjutkan ceritanya. “Aku merasa sakit hati sekali kepada Pangeran Ciu Wan Kong. Sebab itu pada suatu malam kudatangi gedungnya, akan kubunuh dia untuk membalaskan kematian ibu kandungku. Akan tetapi ketika tiba di kamarnya dan melihat ia berduka cita sambil mengamati gambar ibuku, aku menjadi tidak tega. Apa lagi ketika dia melihat aku dan mengira bahwa aku adalah ibuku. Dia... dia... tertawa menangis seperti orang gila!”

“Siancai...! Kekuasaan Thian (Tuhan) Yang Maha Adil tak pernah berhenti bekerja. Setiap manusia tidak akan terhindar dari akibat perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Hukum ini berlaku di seluruh alam semesta dan sudah wajar dan adil! Lanjutkan ceritamu, Thian Hwa.”

Thian Hwa melanjutkan ceritanya, betapa sebelumnya dia juga telah menolong Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu dari serangan ular air. Kemudian betapa ia terlibat perkara dengan Pangeran Leng Kok Cun yang merencanakan pemberontakan. Akhirnya ia ketahuan bahwa ia hanya seorang penyelundup sehingga dia dikeroyok para jagoan dan harus melarikan diri berlindung ke gedung Pangeran Cu Kiong yang dianggap saingan Pangeran Leng Kok Cun.

“Hemm, ternyata sedang terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran! Ha-ha-ha, penyakit lama itu selalu terdapat dalam setiap pemerintahan kerajaan. Agaknya Kerajaan Mancu tidak terkecuali, diam-diam terjadi perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri. Lalu bagaimana, Thian Hwa?”

“Setelah mengalami guncangan akibat pertemuanku dengan ayah kandungku itu, kembali aku mengalami guncangan kedua yang amat menyakitkan hati, Kong-kong. Pangeran Cu Kiong yang masih muda, tampan dan halus budi bahasanya itu amat baik padaku, bahkan ia mengaku cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku. Aku bodoh sekali, Kong-kong, aku terpikat dan tertarik padanya. Aku percaya padanya. Baru kemudian aku mendengar dia berbicara dengan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian, dan baru aku ketahui bahwa dia hanya ingin mempergunakan tenagaku. Dia bermaksud mengambil aku sebagai seorang selirnya, kemudian memanfaatkan tenagaku untuk membantu dia dalam perebutan kekuasaan itu. Aihh, Kong-kong, perasaanku sakit sekali. Bahkan ketika aku hendak pergi meninggalkan dia, Pangeran Cu Kiong langsung menahanku dengan paksa, mengerahkan tujuh orang pengawalnya untuk mengeroyok dan menangkap aku. Aku lalu melawan akan tetapi nyaris saja aku celaka di tangan tujuh orang yang cukup tangguh itu kalau saja tidak muncul Bun-ko yang membantuku.”

“Ahh, jadi Yan Bun menyusulmu dan dapat menolongmu?”

“Benar, Kong-kong. Dengan bantuan Bun-ko akhirnya kami dapat merobohkan empat dari tujuh orang Kam-keng Chit-sian itu. Kemudian kami meninggalkan gedung Pangeran Cu Kiong dan aku lalu pergi mencari Kong-kong.”

“Hemmm, lalu bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong? Engkau tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya?”

Thian Hwa menghela napas panjang lantas menggeleng kepalanya. “Aku tidak tega untuk membunuhnya.”

“Hemm, engkau masih mencintanya, Thian Hwa?” tanya kakek itu dengan alis berkerut.

Thian Hwa menghela napas lagi. “Aku memang mencintanya, Kong-kong, akan tetapi aku juga membencinya!”

“Siancai...! Kasihan, Cucuku mulai menjadi permainan cinta. Dan bagaimana dengan Yan Bun? Setelah dia menolongmu, lalu di mana dia?”

“Kami berpisah, Kong-kong. Dan Bun-ko... dia pun berterus terang bahwa dia dan Paman Ui Hauw mengharapkan supaya aku menjadi jodohnya. Akan tetapi aku menolak, karena selain aku sama sekali tidak mempunyai perasaan lain terhadap Bun-ko, kecuali merasa dia sebagai kakakku, juga aku merasa muak kepada laki-laki yang cintanya palsu seperti kutemui pada diri Ayah kandungku sendiri dan pada Pangeran Cu Kiong! Aku merasa jera untuk jatuh cinta lagi, Kong-kong!”

Sejenak kakek itu mengangguk-angguk. “Aku dapat memahami perasaanmu, Thian Hwa. Dikecewakan dalam hubungan cinta memang amat menyakitkan sehingga membuat kita merasa jera. Akan tetapi perasaan itu sama sekali tidak benar, karena aku sendiri sudah merasakan. Karena jera akibat cinta gagal, aku membujang selama hidup dan akibatnya, aku tidak mempunyai keturunan. Untung aku menemukan engkau, jika tidak, pada masa tuaku ini aku akan hidup sebatang kara dan bukan tidak mungkin bila matiku nanti akan terlantar karena tidak ada keluarga yang merawat.”

“Kong-kong! Jadi Kong-kong juga pernah gagal dalam cinta? Bagaimana kisahnya, Kong-kong? Siapa wanita yang pernah engkau cinta?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Sebetulnya cerita lama itu sudah tak pernah kuingat lagi, Thian Hwa. Akan tetapi agar dapat engkau jadikan bahan pertimbangan, boleh juga kau ketahui. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku pernah saling mencinta dengan seorang pendekar wanita yang lihai. Ilmu silatnya setingkat denganku, dan kami telah sama-sama berjanji untuk menjadi suami isteri.”

“Siapakah nama pendekar wanita itu, Kong-kong?”

“Namanya? Aih, kenapa engkau menanyakan namanya segala? Baiklah, namanya Souw Lan Hui, dia murid Bu-tong-pai dan di dunia kang-ouw dia mendapat julukan Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti).”

“Wih! Tentu dia secantik burung Hong!”

Thian Bong Sianjin menghela napas. “Siancai! Ia memang cantik dan pada waktu itu aku merasa bangga dan bahagia sekali. Akan tetapi segala sesuatu tidak pernah abadi. Pada suatu hari kami bertemu dengan seorang pangeran muda. Begitu bertemu, mereka saling tergila-gila dan kami pun berpisah. Ia menikah dengan pangeran itu!”

“Ihh! Kenapa begitu? Cintanya kepada Kong-kong ternyata hanya palsu!” seru Thian Hwa penasaran. “Siapa sih pangeran itu? Hemm, tidak urung dia pun akan disia-siakan seperti halnya ibu kandungku!”

“Tak perlu kau ketahui siapa pangeran itu, tetapi dugaanmu keliru. Siapa orangnya berani mempermainkan Si Burung Hong Sakti? Kalau pangeran itu berani mengambil seorang selir saja, pasti dia akan menjadi korban siang-kiam (sepasang pedang) Souw Lan Hui! Apa lagi sampai berani menyia-nyiakan! Dan mengenai kepalsuan cinta, Cucuku, semua cinta yang dimiliki manusia dan yang didorong nafsu semuanya itu berpamrih, semuanya itu palsu. Engkau tahu sekarang, bukan hanya laki-laki saja yang suka mempermainkan cinta, kaum wanita pun ada. Jadi jangan menganggap semua laki-laki itu adalah tukang mempermainkan cinta dan wanita! Sudahlah, sekarang engkau masih sangat muda, baru delapan belas tahun. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kita membicarakan orang tuamu. Pangeran Ciu Wan Kong itu jelas adalah ayah kandungmu, jadi engkau juga bermarga Ciu, keturunan seorang pangeran!”

“Aku tidak sudi memakai marga pangeran yang jahat dan yang mengusir ibu kandungku, menyebabkan kematian Ibuku!” Thian Hwa berkata ketus.

“Nanti dulu, Thian Hwa. Melihat dia masih berduka dan masih mengingat ibumu, berarti dia mencinta ibumu. Perlu kau ketahui dulu mengapa ibumu dahulu diusir dan siapa yang mengusirnya. Mungkin Cui Sam, kakekmu itu dapat menceritakannya. Selain itu, belum tentu pula kalau ibumu sudah mati.”

“Ehh? Apa maksudmu, Kong-kong?”

“Dulu, pada saat aku menemukan engkau yang masih bayi, kupikir tentu ada orang-orang dewasa yang hanyut pula. Mungkin orang tuamu. Sebab itu aku telah berusaha mencari, akan tetapi tidak menemukan satu pun mayat terapung. Bukan mustahil kalau ibumu juga berhasil menyelamatkan diri seperti kakekmu itu, atau mungkin juga diselamatkan orang, seperti engkau kuselamatkan.”

“Ahh...!” Wajah gadis itu berseri, matanya bersinar-sinar penuh harapan. “Kalau begitu, aku akan mencarinya, Kong-kong!”

“Tenang dulu, Thian Hwa. Untuk menyelidiki tentang ibumu, agaknya engkau harus mulai dari kota raja, menemui kakekmu dulu. Dan mengingat akan pengalamanmu di kota raja, di situ tengah terjadi pertentangan dan persaingan dalam memperebutkan kekuasaan dan di situ terdapat orang-orang pandai yang mungkin akan mengancam keselamatanmu, oleh karena itu, sebelum kau pergi lagi, perlu sekali engkau memperdalam ilmu kepandaianmu. Akan kuajarkan semua ilmu yang kukuasai agar kepandaianmu meningkat sehingga tidak mudah engkau tertimpa bencana.”

Thian Hwa tidak berani membantah dan dia memang maklum bahwa di kota raja banyak terdapat orang pandai yang jahat, maka dia perlu membekali diri dengan kepandaian yang tinggi. Maka mulai hari itu dia tekun memperdalam ilmunya di bawah gemblengan Thian Bong Sianjin yang amat mengasihinya…..

********************

Sejak jaman kuno sekali, Cina memang memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Maka tidak mengherankan apa bila bangsa-bangsa yang pernah menjajah Cina, seperti bangsa Kin dan bangsa Mongol dahulu, sesudah menjajah Cina mereka itu malah terseret oleh kebudayaan Cina.

Para penjajah itu tidak mungkin dapat mengubah kebudayaan dan tradisi dari rakyat Cina yang jumlahnya berpuluh kali lipat lebih banyak dari pada jumlah rakyat penjajah. Karena kebudayaan Cina memang lebih tinggi, lagi pula untuk dapat menyesuaikan diri sehingga dapat menarik hati dan menguasai rakyat Cina dengan baik, para penjajah itu mengubah diri menjadi Cina, baik budayanya, adat istiadat, sastra dan bahasanya, bahkan namanya!

Demikian pula dengan bangsa Mancu. Biar pun bangsa Mancu telah menguasai sebagian besar daratan Cina bagian utara, yaitu dengan perbatasan mulai Sungai Yang-ce ke utara, sedangkan bagian selatan Sungai Yang-ce masih dikuasai sisa pendukung Kerajaan Beng yang dipimpin oleh Wu Sam Kwi di barat daya dengan ibu kota Yunnan-hu dan dua orang pemimpin rakyat lain yang tak begitu besar kekuatannya, tapi tetap saja penjajah Mancu juga ikut menyesuaikan diri dengan tata-cara hidup bangsa pribumi Han. Bahkan terkenal ejekan di antara para pendekar pejuang pribumi Han bahwa para pangeran, bangsawan dan pembesar tinggi penjajah Mancu itu malah menjadi ‘lebih Cina dari pada pribumi Cina sendiri’! Tapi siasat penjajah Mancu ini memang berhasil, karena dengan membaurkan diri dengan pribumi Han, Kerajaan Ceng (Mancu) dapat menarik simpati orang-orang Han.

Kerajaan Ceng menghargai orang-orang pribumi yang memiliki kepandaian tinggi, memberi mereka kedudukan penting. Pemerintah Mancu memang mengharuskan rakyat yang laki-laki untuk memelihara rambut yang dikuncir, namun mereka sendiri, para pangeran dan bangsawan, juga menggunakan kebiasaan ini sehingga rakyat Han tidak merasa terhina. Pula, para bangsawan itu sengaja mengubah nama Mancu menjadi nama Cina sehingga sukarlah diketahui apakah seorang pembesar itu berdarah Mancu ataukah Han, apa lagi karena orang-orang Mancu itu juga memakai bahasa Han dan menjalani tata-cara hidup dan kebudayaan Han!

Pada waktu kisah ini terjadi, yang menjadi kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661). Ketika Thian Hwa sedang memperdalam ilmu-ilmunya di atas bukit di Lembah Huang-ho, pada waktu itu Kaisar Shun Chi sudah tua.

Kaisar ini memang berwatak lemah sehingga dia mudah dipengaruhi oleh para Thaikam (Sida-sida, orang kebiri), yang menjadi pengurus terpercaya dalam istana. Kaisar Shun Chi bagaikan boneka dan jalannya pemerintahan seolah dikendalikan para Thaikam. Pada masa itu Kepala Thaikam yang menjadi penasehat utama kaisar adalah seorang sida-sida bernama Boan Kit yang berusia lima puluh tahun.

Boan Kit yang biasa disebut Boan Thaijin (Pembesar Boan) adalah seorang yang sangat cerdik. Dia pandai membawa diri, bersikap merendah dan menjilat di depan Kaisar Shun Chi, akan tetapi bersikap agung dan berwibawa di depan para pembesar sehingga mereka semua segan dan tunduk padanya. Selain pandai dan cerdik, Boan Kit yang peranakan Mancu Han ini adalah seorang ahli silat yang amat lihai dan juga dia memiliki kemampuan ilmu sihir. Karena pengaruh sihirnya itulah maka Kaisar Shun Chi menjadi semakin tunduk dan percaya padanya.

Kaisar Shun Chi menjadi semakin lemah dan tak lagi mengacuhkan urusan pemerintahan ketika dia makin tertarik dengan pelajaran Agama Buddha. Ia menganggap bahwa semua urusan dunia hanya menyeretnya ke dalam pertentangan, keterikatan dan duka nestapa. Yang lebih sering dilakukan hanyalah berdoa dan bermeditasi.

Inilah sebab utama terjadinya persaingan di antara para pangeran untuk memperebutkan tahta kerajaan. Kaisar Shun Chi lemah dan tidak mempedulikan, bahkan agaknya pernah mengatakan siapa yang akan menggantikannya. Kekuasaan sebenarnya berada di tangan para Thaikam, atau lebih tepat lagi, di tangan Thaikam Boan atau Boan Thaijin!

Thaikam Boan Kit bukan seorang yang bodoh. Tidak. Dia cerdik bukan main. Tentu saja dia maklum bahwa sebagai seorang Thaikam, tak mungkin dia akan dapat menggantikan kedudukan Kaisar. Apa bila dia merampas kedudukan Kaisar, semua pangeran pasti akan mengeroyok dan menumpasnya. Maka dia harus mengadakan pilihan, siapa kiranya yang patut dijagokannya sebagai pengganti kaisar yang sudah tua itu, tentu saja seorang kaisar baru yang akan dapat dia kuasai pula!

Dan sudah sejak beberapa bulan dia menjatuhkan pilihannya kepada Pangeran Leng Kok Cun! Pangeran Leng Kok Cun yang berusia empat puluh tahun itu adalah putera seorang selir kaisar yang ke tujuh. Menurut urut-urutan para pangeran, tak mungkin dia yang akan diberi hak menggantikan ayahandanya kelak.

Pangeran Leng Kok Cun berambisi besar untuk kelak menggantikan kedudukan kaisar, maka tentu saja dia menjadi semakin bersemangat ketika Thaikam Boan Kit mengulurkan tangan untuk mengadakan kerja sama. Tentu saja dengan perjanjian kelak Thaikam Boan Kit yang akan menjadi penasehat utama atau istilahnya Kok-su (Guru Negara) yang akan mengatur semua politik yang dikeluarkan kaisar yang berkuasa!

Dengan penuh semangat Pangeran Leng Kok Cun lalu mengerahkan segala daya untuk memperkuat diri. Dia bahkan mengundang orang-orang yang sakti untuk membantunya, dan menyerahkan kepada Pat-chiu Lo-mo untuk menghubungi para jagoan itu.

Selain Pangeran Leng Kok Cun, yang ingin sekali dapat mewarisi tahta kerajaan adalah Pangeran Cu Kiong, putera dari selir ke tiga dari Kaisar Shun Chi. Tidak seperti Pangeran Leng Kok Cun yang tidak mempunyai harapan untuk menjadi kaisar kecuali ia melakukan pemberontakan atau merebut dengan kekerasan, Pangeran Cu Kiong punya harapan yang lebih banyak. Saingannya hanya seorang saja, yaitu Pangeran Kang Shi, putera Kaisar Shun Chi dari permaisuri.

Akan tetapi saingan utamanya ini, yang tentu saja berhak menjadi putera mahkota, baru berusia sembilan tahun! Sedangkan selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri. Maka dia mempunyai harapan besar, setidaknya menjadi penjabat kaisar atau untuk sementara mewakili kaisar yang masih belum cukup umur! Karena itu, Pangeran Cu Kiong berusaha sebisa mungkin untuk menyenangkan hati ayahandanya, Kaisar Shun Chi, dan tentu saja dia menentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun!

Ada pun Pangeran Kang Shi yang berusia sembilan tahun itu sejak berusia lima tahun oleh Kaisar Shun Chi telah diserahkan kepada adiknya untuk dididik. Kaisar mengenal adiknya, Pangeran Bouw Hun Ki yang kini berusia sekitar lima puluh dua tahun, sebagai seorang pangeran yang jujur, ahli sastra dan tata-negara, juga saling mengasihi dengan dia. Selain itu, Pangeran Bouw Hun Ki memiliki seorang putera yang terkenal sebagai seorang ahli silat yang amat tangguh sehingga tidak pernah ada orang-orang jahat berani mengganggu Pangeran Bouw Hun Ki sekeluarga.

Putera Pangeran Bouw Hun Ki bernama Bouw Kun Liong, berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan orang-orang mengenalnya sebagai Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw). Semua orang segan dan menghormatinya karena meski pun pemuda ini terkenal lihai, akan tetapi sikapnya ramah dan lembut.

Walau pun dia sendiri lemah dan tidak mengacuhkan pemerintahan, agaknya Kaisar Shun Chi merasa bahwa di antara para pangeran sudah terjadi pertentangan secara diam-diam. Sebagai seorang ayah dia dapat merasakan hal ini. Untuk urusan pemerintahan memang dia lebih condong menuruti nasehat Thaikam Boan Kit. Akan tetapi untuk urusan keluarga dia lebih percaya kepada adiknya, yaitu Pangeran Bouw Han Ki.

Pada suatu malam diam-diam dia mengundang Pangeran Bouw Hun Ki datang ke istana dan diajak berbicara empat mata di dalam kamarnya. Di dalam kamar itu, tanpa didengar atau dilihat orang lain, Kaisar Shun Chi memesan wanti-wanti kepada adiknya itu supaya membimbing, melindungi dan membela Pangeran Kang Shi sebagai putera mahkota yang kelak berhak penuh untuk menggantikan dia sebagai kaisar.

Dalam kesempatan ini Pangeran Bouw Hun Ki bersumpah setia akan menaati perintah kaisar. Setelah meninggalkan pesan ini, barulah hati Kaisar Shun Chi menjadi tenang.

Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik Kaisar Shun Chi dan adik Pangeran Bouw Hun Ki pula. Walau pun kini Pangeran Ciu Wan Kong tidak mau memegang jabatan dan tampak lemah, namun dia juga seorang pangeran yang setia kepada Kaisar Shun Chi.

Beberapa kali Pangeran Leng Kok Cun mencoba untuk membujuknya agar pamannya itu suka menjadi pendukungnya seperti beberapa orang pangeran dan bangsawan lain yang dapat dia pengaruhi. Dukungan Pangeran Ciu Wan Kong tentu saja amat penting, karena sebagai adik kaisar, tentu saja suara pangeran ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Namun Pangeran Ciu Wan Kong bukan saja menolak keras bujukan itu, bahkan dia sering menegur keponakannya yang ambisius itu. Tentu saja hal ini membuat Pangeran Leng Kok Cun membenci pamannya itu dan menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong merupakan seorang di antara mereka yang menjadi penghalang ambisinya…..

********************


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 02

Sang waktu lewat seperti biasa, wajar dan sesungguhnya cepat atau lambat tergantung kepada kita yang merasakan dan menilainya. Akan tampak lama sekali kalau kita sedang tergesa-gesa menantikan sesuatu dan memperhatikan waktu, tapi sebaliknya akan terasa cepat bukan main kalau kita tidak memperhatikannya.

Karena tidak diperhatikan, sang waktu melesat dengan cepatnya sehingga tahu-tahu satu tahun telah lewat semenjak Thian Hwa tinggal bersama Thian Bong Sianjin di bukit kecil di Lembah Huang-ho. Bukit itu dinamakan Yang-liu-san (Bukit Pohon Cemara) karena di situ banyak ditumbuhi pohon cemara beraneka macam.

Karena sebenarnya Thian Hwa memang telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silatnya, maka yang masih dapat diajarkan Thian Bong Sianjin hanya sedikit, namun yang sedikit itu menyempurnakan ilmu kepandaian Thian Hwa. Sekarang, sesudah selama setahun ia digembleng dan berlatih dengan tekun tanpa mengenal jenuh dan lelah, akhirnya tingkat kepandaian gadis yang sekarang berusia sembilan belas tahun itu telah seimbang dengan tingkat yang dikuasai Thian Bong Sianjin sendiri!

Ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat yang dikuasainya semakin dahsyat, demikian pula ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat yang merupakan hasil gubahan Thian Bong Sianjin sendiri, telah dikuasai dengan amat baiknya.

Selain kedua ilmu pedang andalannya ini, juga ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan) merupakan ilmu pukulan yang gerakannya sangat cepat sehingga bila dimainkan seolah-olah ia memiliki sembilan buah lengan!

Di samping itu semua, Sinkang (Tenaga Sakti), Khikang (Tenaga Hawa Murni), Lweekang (Tenaga Dalam), dan Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) sudah diperkuat dengan latihan yang tekun siang malam. Masih ada satu lagi ilmu andalannya, yaitu menggunakan Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih), yang berupa senjata rahasia jarum dengan kepala bunga putih kecil.

Pada hari itu Thian Bong Sianjin dihadap murid yang sekaligus juga cucu angkatnya ini. Mereka duduk bersila berhadapan di atas bangku di ruangan depan kuil yang kini menjadi tempat tinggal Thian Bong Sianjin. Thian Hwa mengenakan pakaian serba putih sehingga ia terlihat bersih dan cantik segar, dengan pedang tergantung di punggungnya dan sebuah buntalan pakaian berada di atas meja. Kiranya gadis ini sudah siap-siap untuk melakukan perjalanan, dan kini ia menerima pesan dan nasehat gurunya atau juga kakek angkatnya.

“Thian Hwa, aku yakin semua pesan dan nasehatku yang lalu masih engkau ingat semua. Yang perlu kuulangi lagi supaya tak akan kau lupakan ialah agar engkau selalu bertindak sebagai seorang pendekar sejati. Ingat baik-baik, Thian Hwa. Sekarang bukan waktunya untuk memperjuangkan tanah air dari tangan penjajah, karena pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) terlalu kuat dan agaknya, pemberontakan tidak akan berhasil. Lihat saja betapa kini kekuatan Wu Sam Kwi makin melemah dan seperti juga para raja kecil di selatan, dia bukan lagi memperjuangkan kemerdekaan tanah air, tetapi memperjuangkan kekuasaan dan kesenangan diri masing-masing. Aku mendengar bahwa bangsa Mancu menghargai kebudayaan Han, bahkan mereka seakan meleburkan diri menjadi sama dengan bangsa pribumi. Ini pertanda yang baik. Kalau memang mereka merupakan penguasa yang adil dan mencinta rakyat, juga suka mempergunakan tenaga pribumi untuk mengatur negara, maka kita tak perlu menentang mereka. Engkau bertindak saja seperti seorang pendekar pembela keadilan dan kebenaran. Siapa yang jahat, tidak peduli dia bangsa dan golongan apa, sepatutnya engkau tentang. Sebaliknya, belalah mereka yang lemah tertindas, tidak peduli dia bangsa apa. Ingat, engkau sendiri pun mempunyai darah Mancu, bahkan ayah kandungmu seorang Pangeran Mancu, tapi ibumu seorang wanita Han. Sebab itu jangan biarkan dirimu terseret dalam pertentangan antar bangsa, melainkan tempatkanlah dirimu di pihak kebenaran. Dan ingatlah, Cucuku, bagaimana pun juga Pangeran Ciu Wan Kong adalah ayah kandungmu. Bersikaplah bijaksana terhadap ayah kandungmu. Jika ternyata dia adalah seorang yang baik budi, meski andai kata dahulu dia bersalah terhadap ibumu, bersikaplah untuk memaafkannya. Sebaliknya kalau dia terperosok ke dalam kejahatan, sudah menjadi kewajibanmu sebagai anak yang berbakti, engkau harus menyadarkan dan mengingatkannya. Jangan lupakan pesanku ini, Thian Hwa.”

“Baiklah, Kong-kong. Aku akan selalu menaati semua pesanmu. Selama aku pergi, harap Kong-kong suka menjaga diri baik-baik.”

“Jangan khawatir, Thian Hwa. Tanah di sini amat subur dan sungainya pun mengandung banyak ikan, aku tidak akan kekurangan. Agaknya aku sudah bosan merantau. Aku akan menetap di Bukit Cemara ini dan akan selalu berada di sini kalau engkau ingat kepadaku dan ingin menemuiku.”

Sesudah berpamit dari kakeknya, Thian Hwa menuruni Bukit Cemara. Pagi itu cerah dan pemandangan dari atas bukit itu sangat indahnya. Dari puncak tampak Sungai Huang-ho yang amat lebar. Airnya memantulkan sinar matahari pagi sehingga menyilaukan mata.

Kini Thian Hwa berusia sembilan belas tahun. Pakaiannya tetap serba putih, terbuat dari sutera. Rambutnya disanggul secara sederhana, diikat tali sanggul berwarna merah muda. Ikat pinggangnya seperti akan membelah pinggangnya yang ramping. Dia menaati pesan Thian Bong Sianjin, kini pedangnya dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian.

Memang pada jaman itu Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) melarang orang membawa senjata tajam. Untuk menjaga agar jangan memancing keributan, oleh gurunya Thian Hwa dipesan agar tidak membawa pedangnya secara mencolok.

Buntalan pakaiannya digendong di belakang punggung dan dia tampak cantik jelita ketika menuruni puncak Yang-liu-san. Thian Hwa memang cantik menarik, bagaikan setangkai bunga sedang mekar.

Wajahnya berbentuk bulat telur berkulit putih mulus, di sana-sini kemerahan tanda sehat. Rambutnya hitam lebat serta panjang, halus bagaikan benang sutera dan terawat bersih. Anak rambut halus berjuntai di atas dahinya dan melingkar di kedua pelipisnya, membuat sepasang telinganya yang berbentuk indah itu tampak semakin manis. Alisnya hitam kecil agak melengkung seperti dilukis, hasil lukisan alam yang sewajarnya, tidak dibuat tangan manusia namun amat indahnya.

Sepasang matanya bening dan jeli, sinarnya tajam terkadang mencorong membayangkan keberanian dan wibawa yang kuat. Bulu matanya panjang lentik membuat bayang-bayang di bawah matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menjungkat ke atas berkesan agung.

Mulutnya merupakan bagian yang paling menarik. Bentuk mulutnya amat menggairahkan, dengan sepasang bibir yang lembut dan penuh, kulitnya tipis bagaikan buah yang masak, merah tanpa gincu. Kalau tersenyum tampaklah kilatan gigi yang berderet rapi dan putih seperti mutiara. Mulut itu menjadi lebih manis lagi karena ada lesung pipi di kanan kirinya dan dagunya agak meruncing.

Bentuk tubuh dara ini menambah daya tarik yang menggairahkan. Ramping padat dengan lekuk lengkung sempurna seorang wanita yang sedang tumbuh dewasa!

Seperti terbang cepatnya ia berlari menuruni Bukit Cemara dan tidak lama kemudian dia telah berdiri di pinggir Sungai Huang-ho. Beberapa lamanya ia berdiri di tepi sungai yang sunyi itu, menanti kalau-kalau ada perahu lewat.

Sesudah cukup lama menunggu dan tidak ada perahu yang dapat ditumpanginya ke hilir, Thian Hwa lalu memotong batang pohon cemara yang cukup besar, membuat sepasang kayu papan peluncur dan sebatang ranting panjang untuk dayungnya. Sesudah terompah peluncur itu selesai dibuatnya, dia lalu melanjutkan perjalanan dengan berselancar di atas air dengan sangat cepatnya. Karena kini dia melakukan perjalanan berselancar mengikuti arus sungai ke hilir, maka tentu saja ia tidak perlu menggunakan banyak tenaga.

Beberapa hari kemudian Thian Hwa tiba di Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Huang-ho ke utara. Dia lalu melanjutkan perjalanan melalui daratan, menyusuri sepanjang Terusan ke utara karena di Terusan itu terdapat banyak perahu dan dia tak ingin menarik perhatian orang dengan berselancar.

Pada suatu pagi, setelah melewatkan malam di sebuah dusun, Thian Hwa melanjutkan perjalanan. Kota besar Thian-cin sudah tinggal belasan mil lagi di depan. Dia melalui jalan yang sunyi dan tiba-tiba saja ia mendengar suara ribut-ribut di depan ketika ia memasuki daerah berhutan. Karena suara ribut-ribut itu seperti suara orang berkelahi, Thian Hwa lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara.

Setelah sampai di tempat perkelahian yang agak jauh dari jalan sepanjang Terusan, Thian Hwa mengintai dari balik sebuah pohon besar dan ia melihat seorang pemuda berpakaian serba kuning dikeroyok oleh dua orang dan nampak dua belas orang berpakaian tentara Mancu berjaga-jaga sambil mengepung dalam lingkaran besar.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan. Dengan memegang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) pendek pemuda itu menghadapi kedua orang pengeroyoknya dengan gerakannya yang mantap dan kokoh. Dari kedudukan kuda-kuda kaki dan gerakan silatnya, Thian Hwa yang sudah mendapat banyak petunjuk dari Thian Bong Sianjin segera mengenal bahwa pemuda gagah itu tentu seorang murid Siauw-lim-pai yang tangguh.

Tetapi ketika ia memandang kepada dua orang yang mengeroyok pemuda itu, ia langsung mengerutkan alisnya. Ia segera mengenal dua orang itu.

Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh dua tahun, bertubuh gemuk pendek dan berwajah sombong. Ia bukan lain adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Si Golok Elang Terbang), orang yang dahulu pernah bertempur dengannya ketika dia mengunjungi Perkumpulan Liong-bu-pang di kota Tui-lok sekitar satu setengah tahun yang lalu.

Sedangkan orang ke dua yang mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu adalah Louw Cin, Ketua Liong-bu-pang! Dia tahu benar bahwa dua orang itu adalah kaki tangan atau para pendukung Pangeran Leng Kok Cun, dan melihat selosin tentara Mancu yang mengepung tempat perkelahian itu, tahulah ia bahwa pemuda Siauw-lim-pai itu tentu dianggap musuh pula oleh mereka.

Thian Hwa merasa kagum juga melihat sepak terjang pemuda Siauw-lim-pai itu. Dengan gagahnya dia melawan kedua orang pengeroyoknya. Phang Houw yang bersenjata golok besar dan berat itu dia anggap tidak berbahaya, hanya sombong saja. Akan tetapi Ketua Liong-bu-pang, yaitu Louw Cin yang tinggi kurus dan berusia empat puluh tahun lebih itu merupakan lawan yang cukup berbahaya.

Ketua Liong-bu-pang ini menggenggam senjata sebatang ruyung berduri yang terbuat dari baja sehingga nampak berat dan sangat menyeramkan. Namun pemuda Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan gigih. Sepasang tombak cagaknya yang hanya sepanjang lengan digerakkan dengan mantap sekali.

Setiap kali ia menangkis serangan lawan, terdengar suara berdentang nyaring dan bunga api lantas berpijar berhamburan. Phang Houw selalu tampak tergetar setiap kali goloknya tertangkis tombak cagak, menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi Louw Cin dapat mengimbangi tenaga pemuda Siauw-lim-pai itu.

Pertandingan satu lawan dua itu berlangsung begitu serunya dan setiap serangan kedua pihak merupakan ancaman maut. Meski di dalam hatinya Thian Hwa tentu saja berpihak kepada pemuda Siauw-lim-pai ini karena dia memang tidak suka kepada para pendukung Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak itu, namun melihat betapa pemuda Siauw-lim-pai itu cukup tangguh untuk membela diri, maka Thian Hwa juga tak mau turun tangan membantu pemuda itu.

Akan tetapi, mendadak Louw Cin memberi komando kepada pasukan Mancu yang terdiri dari selosin prajurit itu dan segera pasukan itu maju mengeroyok si pemuda! Melihat ini, tentu saja Thian Hwa merasa penasaran sekali dan dia sudah siap untuk terjun ke dalam pertempuran membantu pemuda Siauw-lim-pai yang kini dikeroyok empat belas orang itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampak sesosok bayangan berkelebat didahului sinar merah. Thian Hwa segera menahan diri tidak jadi turun tangan membantu.

Dia melihat betapa sinar merah bergulung-gulung dan menyambar-nyambar, mengamuk di antara para prajurit Mancu. Ke mana pun sinar merah menyambar, tentu ada seorang prajurit yang roboh! Pada waktu dia memperhatikan, Thian Hwa melihat bahwa bayangan dengan sinar merah itu adalah seorang wanita muda cantik jelita yang memegang sebuah payung berwarna merah.

Wanita itu hebat bukan kepalang! Setiap kali menyambar, payung merahnya yang indah itu tentu segera merobohkan seorang prajurit dan ternyata bahwa gagang payung merah itu merupakan sebatang pedang yang ujungnya menonjol di atas payung!

Wanita itu berusia sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, tampak masih muda dan cantik sekali biar pun sikap, pandang mata dan senyumnya yang mengandung ejekan itu menunjukkan bahwa ia seorang yang telah matang dalam pengalaman hidup.

Tubuhnya ramping dan menggairahkan, agak tinggi. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri para bangsawan. Pakaiannya juga indah mewah dengan perhiasan lengkap, anting-anting, tusuk sanggul emas permata, kalung, gelang giok, cincin permata. Pendek kata serba lengkap, mewah dan indah!

Akan tetapi Thian Hwa harus mengakui bahwa wanita itu memang amat lihai. Senjatanya berupa payung pedang itu dapat dipakai sebagai pelindung sinar matahari dan hujan, juga sebagai pelengkap dandanannya karena payung itu berwarna merah dan berbentuk indah, dapat pula digunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Payung itu dapat dipergunakan sebagai perisai merangkap pedang dan amat berbahaya bagi lawan.

Dengan lincahnya gadis berpayung merah itu mengamuk dan kedua belas orang prajurit Mancu itu kocar-kacir! Sebentar saja sudah enam orang prajurit yang roboh oleh gadis itu.


Melihat ini, para prajurit yang tinggal enam orang lagi menjadi gentar. Juga Louw Cin dan Phang Houw agaknya menjadi jeri juga. Baru mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu saja sudah sukar untuk mengalahkannya, sekarang muncul gadis aneh yang lihai bukan main itu!

Maka, maklum akan bahaya yang mengancam mereka, Louw Cin dan Phang Houw cepat berloncatan jauh meninggalkan lawannya. Enam orang tentara Mancu juga mengambil langkah seribu mengikuti dua orang pemimpin mereka.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Agaknya tadi mereka menambatkan kuda-kuda mereka tak jauh dari situ ketika menghadang dan menyerang pemuda Siauw-lim-pai itu, dan kini mereka kabur dengan menunggang kuda-kuda itu, meninggalkan enam orang anggota pasukan yang telah tewas di tangan wanita bersenjata payung itu!

Pemuda Siauw-lim itu kini berdiri berhadapan dengan penolongnya. Dia menggantungkan kembali siang-kek di punggungnya, lantas mengangkat kedua tangannya menjura kepada gadis berpayung itu.

“Bantuan Nona yang sangat berharga sudah menyelamatkan nyawaku, dan aku Bu Kong Liang mengucapkan banyak terima kasih.”

Gadis berpakaian sutera hijau berkembang merah itu tersenyum dan senyumnya sangat manis, matanya yang jeli seperti mata Burung Hong itu mengerling dengan lagak genit.

“Bu-enghiong (Pendekar Bu), tidak enak jika bicara di dekat mayat-mayat ini, marilah kita mencari tempat yang bersih di mana kita dapat berbicara dengan nyaman,” kata gadis itu sambil memanggul payungnya untuk melindungi wajah serta lehernya dari sinar matahari yang mulai menghangat. Kemudian dia berjalan cepat meninggalkan hutan itu menuju ke utara. Pemuda itu mengikutinya.

Thian Hwa ikut membayangi dari jauh. Kebetulan ia sendiri juga sedang menuju ke utara, maka perjalanan mereka searah dan dia memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda dan gadis itu dan mengapa mereka bertentangan dengan anak buah Pangeran Leng Kok Cun.

Pada waktu melihat dua orang itu berhenti di tepi Sungai Terusan, di tempat yang sunyi, Thian Hwa juga berhenti dan cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar. Mereka telah meninggalkan tempat tadi sejauh sekitar dua mil.

Pemuda itu duduk di atas batu di tepi sungai, akan tetapi wanita cantik itu masih berdiri, menutup payungnya karena tempat itu cukup teduh, sinar matahari terhalang daun-daun pohon. Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kakinya mencokel sebuah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu dengan amat cepatnya langsung meluncur ke arah kepala Thian Hwa yang sedikit keluar dari balik batu besar!

“Wuuuuuttt...! Plakk!”

Batu itu kini berada di tangan kiri Thian Hwa yang menyambut sambitan tadi. Wanita itu tertawa, tawanya merdu, terkekeh seperti mengandung ejekan.

“Adik yang manis, mengapa semenjak tadi mengikuti kami? Kalau ingin bicara, keluarlah menemui kami!” katanya.

Thian Hwa merasa malu juga karena perbuatannya membayangi sejak tadi ternyata telah ketahuan. Mungkin semenjak tadi wanita itu juga mengetahui ketika ia mengintai pemuda Siauw-lim-pai yang dikeroyok orang. Ia pun keluar dan sengaja ia meremas hancur batu yang disambitkan tadi. Diremas dalam tangannya yang mungil, batu itu hancur, dan Thian Hwa menyebarkan debunya ke atas tanah. Lalu ia melangkah dengan dada terangkat dan kepala ditegakkan, menghampiri dua orang itu.

Gadis berpakaian sutera hijau berkembang-kembang merah itu tersenyum mengangguk-angguk.

“Bagus! Adik yang manis, ginkang-mu (ilmu meringankan tubuh) ketika membayangi kami cukup hebat dan sinkang-mu (tenaga saktimu) ketika meremas hancur batu juga sangat hebat. Tidak tahu di pihak mana engkau berdiri? Kalau engkau adalah kawan antek-antek Mancu tadi, jangan buang waktu lagi, seranglah aku!”

Ditantang begitu, Thian Hwa lalu membalas senyuman gadis itu. Tentu saja dia tidak sudi berpihak kepada orang-orangnya Pangeran Leng Kok Cun.

“Aku tidak berpihak siapa pun. Aku kebetulan lewat dan menonton pertempuran. Karena tertarik kepada kalian maka aku mengikuti kalian,” katanya, jujur dan bersahaja.

“Bagus, kalau begitu mari kita bertiga saling berkenalan. Silakan duduk, Adik manis.”

Gadis itu duduk di atas batu di depan pemuda Siauw-lim-pai, sedangkan Thian Hwa juga mengambil tempat duduk di atas batu di depan mereka. Biar pun dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tampaknya seperti bangsawan, dan dengan seorang pemuda pendekar Siauw-lim-pai, namun Thian Hwa tidak mau bersikap rendah diri.

Gurunya atau kakeknya sering kali berpesan kepadanya agar sebagai seorang gagah dia jangan sekali-kali bersikap tinggi hati, akan tetapi juga jangan sekali-kali merasa rendah diri. Tinggi hati mendatangkan kesombongan dan suka sewenang-wenang terhadap orang lain yang direndahkan, sebaliknya rendah diri akan mendatangkan rasa takut dan menjadi penjilat yang di atas.

Dia harus selalu bersikap rendah hati akan tetapi harus pula menjaga tinggi harga dirinya. Maka, berhadapan dengan dua orang muda itu, ia bersikap tenang dan biasa saja, tidak menganggap mereka lebih tinggi atau lebih rendah.

Sejenak lamanya mereka bertiga hanya duduk diam dan saling pandang. Kini Thian Hwa dapat melihat jelas wajah dan sikap pemuda itu.

Seorang pemuda yang sikapnya gagah perkasa namun sederhana, baik pakaian mau pun sikapnya. Matanya membayangkan keteguhan hati, dan biar pun jarang tersenyum namun wajahnya cerah. Usianya sekitar dua puluh empat tahun. Pakaiannya warna kuning, dari kain kasar sederhana namun bersih.

Gadis cantik itu sebaliknya. Dia memiliki wajah yang penuh senyum dan gembira, dengan sinar mata yang tajam dan nakal, mulut dengan senyumnya itu seolah mengejek. Namun harus diakui bahwa gadis itu memiliki daya tarik yang kuat.

“Nah, sekarang kita berkenalan dan saling memberi-tahukan nama masing-masing. Twako (Kakak) ini bernama Bu Kong Liang seperti yang tadi dia akui, ada pun aku hanya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Berpayung Merah) dan engkau, Adik yang manis, siapakah namamu?”

Karena gadis itu tidak memperkenalkan nama, hanya memperkenalkan julukannya, maka ia pun menirunya. “Aku biasa disebut Huang-ho Sian-li.”

“Hemmm, dengan julukan Dewi Sungai Huang-ho, engkau tentu memiliki kepandaian yang sangat hebat, Nona,” kata pemuda murid Siauw-lim-pai yang bernama Bu Kong Liang itu, ucapannya jujur dan tidak mengandung maksud lain.

Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hik-hik, julukanmu benar-benar bagus, Sian-li. Sebaiknya aku menyebutmu Sian-li saja, engkau setuju?”

Thian Hwa mengangguk, “Boleh, dan aku akan menyebutmu Niocu saja.”

“Heh-heh-heh! Bagus, engkau terbuka dan jujur, seperti juga Bu-twako ini, aku suka itu! Nah, sesudah sekarang saling berkenalan, kita perlu menceritakan keadaan kita masing-masing, bukan? Apa artinya mempunyai kenalan tanpa mengetahui keadaannya? Malah bisa menimbulkan salah paham dan pertentangan. Hayo, Bu-twako, engkau yang laki-laki sepatutnya mengalah dan menceritakan dulu keadaan dirimu!”

Bu Kong Liang tersenyum, “Baiklah, memang tidak ada rahasia tentang diriku. Namaku Bu Kong Liang, aku sebatang kara di dunia ini, yatim piatu sejak kecil. Sejak berusia lima tahun aku telah menjadi kacung dan murid di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim). Setelah tamat belajar, para suhu di Siauw-lim-pai mengutus aku untuk pergi ke kota raja dan menyelidiki keadaan kota raja sesudah pemerintahan dipegang oleh Kerajaan Ceng. Dan tadi, ketika aku sedang berjalan menyusuri Terusan, tiba-tiba aku dihadang pasukan Kerajaan Ceng (Mancu) yang hendak menangkap aku dengan tuduhan akan melakukan pemberontakan. Sungguh aneh! Mungkin mereka tahu dari para penyelidik bahwa aku murid Siauw-lim-pai sehingga mereka mencurigai aku.”

“Bagus! Walau pun riwayat itu pendek saja, namun sudah dapat menjelaskan bahwa Bu-twako adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang tentu saja tak akan merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu! Lalu, bagaimana dengan engkau, Sian-li? Tiba giliranmu untuk menceritakan keadaanmu supaya kami dapat lebih mengenalmu dengan baik. Aku percaya bahwa engkau pasti murid seorang yang amat pandai sehingga semuda ini telah memiliki ginkang dan sinkang sedemikian hebatnya.”

Thian Hwa menjawab dengan tegas. “Niocu, tadi engkau yang minta agar Bu-twako yang pertama memperkenalkan diri dan keadaannya, itu sudah tepat, karena memang dia yang paling tua dan sudah sepatutnya mengalah. Sekarang, karena engkau lebih tua dari pada aku, Niocu, sebaiknya engkau yang lebih dulu menceritakan keadaanmu.”

“He-heh-heh, engkau ini anak yang cerdik, Sian-li. Agaknya engkau belum percaya benar kepadaku karena belum mengetahui siapa aku dan bagaimana latar belakangku. Baiklah, aku akan menceritakan keadaanku dengan sejujurnya karena aku yakin bahwa Bu-twako dan engkau sendiri bukanlah antek-antek penjajah Mancu, bukan orang-orang dari pihak musuhku. Aku datang dari Barat-daya, dari kota raja Yunnan-hu, dan aku adalah seorang puteri kepala suku bangsa Yao. Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan guruku yang terakhir adalah Suhu Lam Hai Cinjin yang di selatan terkenal sebagai Datuk Selatan dan kini menjabat sebagai Koksu (Guru Negara) yang membantu usaha gerakan pasukan Jenderal Wu dalam menentang penjajah Mancu.”

“Hemm, kalau begitu engkau adalah seorang pejuang dari selatan, Niocu?” tanya Bu Kong Liang sambil memandang kagum.

Pada waktu itu, bagi para pendekar, terutama yang berasal dari daerah selatan, Wu Sam Kwi merupakan nama seorang pemimpin pejuang yang sangat patriotik dalam menentang penjajah Mancu.

Ang-mo Niocu tersenyum girang sambil mengangguk. “Dapat dianggap demikian, Twako. Aku telah diutus oleh Jenderal Wu untuk melihat-lihat keadaan pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu). Maka, ketika tadi aku melihat seorang pemuda dikeroyok tentara Mancu, tanpa ragu lagi aku membantumu. Nah, demikianlah riwayatku, agar kalian berdua mengetahui bahwa aku adalah orang yang bekerja untuk Jenderal Wu Sam Kwi yang dengan gigihnya berusaha mempertahankan sebagian tanah air daerah barat-daya dan bercita-cita hendak membebaskan seluruh tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu. Nah, sekarang tiba giliranmu, Sian-li. Cerita mengenai dirimu tentu jauh lebih menarik dari pada riwayat Bu-twako dan riwayatku.”

“Nanti dulu, Niocu, engkau belum menceritakan apakah ayah ibumu masih ada, dan kini tinggal di mana?” tanya Thian Hwa.

Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hi-hik! Tadi sudah kuceritakan bahwa ayahku adalah seorang kepala suku bangsa Yao. Ayah dan Ibuku masih ada dan sekarang tinggal di Yunnan-hu. Mengapa engkau menanyakan orang tuaku, Sian-li?”

Thian Hwa menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya. Dua orang ini agaknya adalah pendekar-pendekar pejuang rakyat yang anti penjajah Mancu, sedangkan dia sendiri adalah keturunan seorang Pangeran Mancu.

Ayahnya, Pangeran Ciu Wan Kong, adalah adik Kaisar Shun Chi yang sekarang masih berkuasa. Walau pun ibunya seorang wanita Han pribumi, tetapi kalau ia mengaku bahwa ayah kandungnya adalah seorang Pangeran Mancu, dua orang ini pasti akan mencurigai dirinya, bahkan mungkin sekali akan memandangnya seperti seorang musuh!

“Niocu, riwayatku lebih tidak menarik lagi. Engkau amat beruntung karena masih memiliki orang tua. Aku, seperti Bu Twako, juga hidup seorang diri, sebatang kara. Sejak kecil aku menjadi murid Suhu Thian Beng Sianjin dan hidup di sepanjang Sungai Kuning (Huang-ho), menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas sehingga akhirnya orang-orang menyebutku Huang-ho Sian-li.” Thian Hwa merasa lega karena agaknya dua orang sahabat barunya itu tidak mengenal nama gurunya.

Bu Kong Liang bertanya, “Sian-li, tadi aku telah menceritakan bahwa aku diutus para suhu di Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan di kota raja sesudah pemerintahan dipegang oleh Kerajaan Ceng (Mancu). Juga Niocu sudah menceritakan bahwa dia menjadi utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk menyelidiki keadaan Kerajaan Ceng di kota raja. Sekarang engkau sendiri hendak ke manakah? Dan apa yang hendak kau lakukan?”

Tanpa ragu Thian Hwa menjawab dengan tegas. “Aku meninggalkan Lembah Huang-ho untuk merantau ke tempat-tempat ramai untuk mencari pengalaman, kini sedang menuju ke kota Thian-cin.”

“Kalau begitu, Sian-li, mari kita melakukan perjalanan bersama! Engkau dapat membantu aku karena aku percaya engkau tentu seorang pendekar wanita yang menentang penjajah Mancu!” kata Ang-mo Niocu.

Thian Hwa menggelengkan kepalanya. “Tidak, Niocu. Aku tak ingin melibatkan diri dalam perang. Tapi aku pasti akan menentang mereka yang melakukan kejahatan dan membela yang lemah tertindas, tidak peduli siapa atau golongan mana. Sekarang tidak ada perang lagi, karena itu yang terpenting bagiku adalah membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan di antara rakyat.”

Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya, tampak tidak senang mendengar ucapan Thian Hwa. “Mengapa begitu, Sian-li? Sudah jelas bahwa bangsa Mancu jahat sekali, menjajah tanah air kita. Setiap orang pendekar seharusnya menentang Kerajaan Ceng yang menjajah!”

“Tidak, Niocu. Sekarang belum tiba saatnya bagi rakyat untuk bangkit melawan Kerajaan Ceng. Nanti bila muncul seorang pemimpin patriot sejati yang bisa menghimpun pasukan rakyat untuk menentang dan memerangi penjajah, barulah mungkin aku akan membantu. Sekarang aku hanya hendak menjadi penentang kejahatan, bukan penentang pemerintah Kerajaan Ceng, seperti yang dipesan oleh guruku.”

“Ah! Bukankah Jenderal Wu Sam Kwi merupakan pemimpin patriot sejati? Setiap orang gagah harus membantunya untuk membebaskan tanah air dari penjajah Mancu.” Ang-mo Niocu berbicara penuh semangat. “Kalau tidak, maka orang gagah itu membiarkan dirinya menjadi pengkhianat!”

“Sesukamulah hendak bicara apa saja, Niocu! Tetapi terus terang saja, sekarang ini aku belum melihat adanya seorang pemimpin sejati yang patut menghimpun kekuatan rakyat!”

“Kalau begitu engkau menghina Jenderal Besar Wu Sam Kwi, Sian-li! Sikapmu ini dapat menimbulkan permusuhan antara kita berdua!”

“Terserah padamu, Niocu. Pendirianku sudah tetap dan tidak dapat diubah lagi. Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun, akan tetapi juga tidak akan menolak kalau ada orang yang memusuhi aku!” Kata-kata Thian Hwa juga mengandung kekerasan, karena ia pun sudah marah mendengar ucapan Ang-mo Niocu yang nadanya menentang tadi.....



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 03
Melihat dua orang gadis cantik itu berdiri dengan sikap seperti dua ekor singa betina siap untuk saling serang, Bu Kong Liang cepat menengahi.

“Aih, bagaimana sih kalian ini? Baru saja saling berkenalan tapi sekarang sudah ribut dan bertengkar? Niocu, kukira orang bebas untuk menentukan jalan pikiran dan pendapatnya masing-masing. Yang penting kita mempunyai satu sasaran, yaitu menentang kejahatan. Engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu agar orang lain menyetujui dan mengikuti pendapatmu sendiri.”

Ang-mo Niocu yang tadinya bersikap manis dan ramah sekali terhadap pemuda itu, kini memandang kepadanya dengan muka merah dan mata bersinar marah. “Bagus, Bu Kong Liang! Baru saja aku membantumu menghadapi pengeroyokan pasukan Mancu, dan kini engkau malah menentangku dan membela gadis ini?” bentaknya.

“Niocu, yang kubela adalah kebenaran. Dalam hal ini Huang-ho Sian-li mempertahankan pendiriannya dan dia tidak salah, akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendakmu agar diikuti orang lain, maka engkaulah yang bersalah, Niocu.”

“Biarlah Bu-twako, agaknya Niocu yang tadi membantumu tanpa kau undang bukan ingin menolongmu, melainkan memberi utang dan kini menagih! Kalau ia hendak memaksakan kehendaknya, aku tetap menolak, dan apa pun akibatnya pasti akan kuhadapi! Aku tidak menentang siapa pun, akan tetapi kalau ada yang menantangku, aku tidak akan mundur selangkah pun!” Thian Hwa yang memang pada dasarnya memiliki watak pemberani, jujur dan keras itu berkata dengan nada tegas, matanya mencorong memandang kepada Ang-mo Niocu.

“Kau...! Kau...!” Ang-mo Niocu marah sekali dan agaknya kedua orang gadis itu segera akan saling serang.

Melihat ini Bu Kong Liang cepat melangkah maju menghadapi Ang-mo Niocu dan berkata, “Niocu, kuharap engkau menyadari bahwa kedatanganmu dari selatan ke sini bukan untuk memusuhi para pendekar yang tidak sehaluan denganmu.”

Mendengar kata-kata pemuda itu, Ang-mo Niocu menekan kemarahannya. “Huhh, kalian menjemukan!” Sesudah berkata demikian, ia lalu memutar tubuhnya dan berkelebat pergi dengan gerakan cepat, sebentar saja menghilang dari situ.

Kini Thian Hwa berhadapan dengan Bu Kong Liang dan ia berkata, “Bu-twako, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku.”

“Nanti dulu, Sian-li. Engkau hendak ke Thian-cin, bukan? Aku pun hendak ke sana, sebab tujuanku adalah ke kota raja. Kalau engkau tidak merasa keberatan, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku ingin membicarakan tentang banyak hal denganmu, tentu saja kalau engkau suka, karena aku tidak ingin memaksakan kehendakku padamu seperti yang dilakukan Ang-mo Niocu tadi.”

Karena sikap pemuda itu sopan dan kata-katanya pun mengandung kejujuran, Thian Hwa tidak merasa keberatan untuk melakukan perjalanan bersama. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke utara, menyusuri tepi Terusan menuju ke Thian-cin sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan seenaknya, tidak tergesa-gesa.

“Sian-li, aku tertarik sekali ketika engkau mengatakan kepada Ang-mo Niocu, bahwa saat ini belum muncul pemimpin rakyat yang sejati untuk memimpin rakyat melawan pasukan penjajah Mancu. Padahal semua orang pun tahu bahwa sekarang, pemimpin yang secara terang-terangan menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), hanyalah Jenderal Wu Sam Kwi. Mengapa engkau tidak menganggap jenderal itu sebagai pemimpin perjuangan yang sejati?”

Thian Hwa menghela napas. Ia sudah banyak mendengar dari Thian Bong Sianjin tentang perlawanan terhadap bangsa Mancu yang dulu dilakukan oleh Pemimpin Laskar Rakyat Li Cu Seng dan Wu Sam Kwi yang jenderal.

“Aku mendengar dari guruku, bahwa sejarah merupakan saksi betapa orang-orang yang tadinya memimpin rakyat untuk menggulingkan sebuah pemerintahan, setelah perjuangan itu berhasil dan dia diangkat menjadi kaisar, lalu luntur kepemimpinannya, dan dia hanya menggunakan kekuasaannya untuk memakmurkan dirinya dan keluarganya saja. Mereka kemudian menjadi gila kekuasaan dan lupa akan rakyat yang semenjak dulu mendukung perjuangannya, lupa bahwa rakyatlah yang memungkinkan dia menjadi kaisar. Hidup dia dan keluarganya semakin mewah berlebihan, kekayaan ditumpuk sebanyaknya dan tidak kenal puas, sementara itu rakyat, atau lebih tepat sebagian besar dari rakyat, hidup serba kekurangan. Hanya segerombolan orang yang dekat dengan kaisar, yang mau menjilat dan mencari muka saja yang kebagian hidup makmur.”

“Aduh, keras sekali penilaianmu terhadap para pemimpin pejuang, Sian-li!” seru Bu Kong Liang sambil menahan senyum. “Pemimpin-pemimpin yang terakhir menentang masuknya pasukan Mancu adalah Li Cu Seng dan Jenderal Wu Sam Kwi. Nah, mengapa sekarang engkau menganggap mereka berdua itu bukan pemimpin sejati?”

“Aku sendiri tidak mengenal mereka, akan tetapi aku mendengar banyak tentang mereka dari guruku. Tadinya Li Cu Seng merupakan pemimpin Laskar Rakyat yang bijaksana dan cita-citanya besar. Dia memulai sebagai seorang pahlawan bangsa, seorang patriot sejati. Tetapi sesudah dia berhasil memimpin rakyat menduduki Peking dan mengakhiri Kerajaan Beng yang ketika itu dipimpin para penguasa yang lalim dan korup, dia juga menjadi gila kekuasaan sehingga banyak di antara para pendukungnya yang terdiri dari para pendekar yang gagah perkasa meninggalkannya. Kemudian dia pun diserbu oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang bekerja sama dengan bangsa Mancu, lalu terusir dan mati dalam pelarian. Jelas Li Cu Seng tidak dapat mempertahankan kemurniannya sebagai seorang pemimpin sejati. Dia bahkan pernah tergila-gila kepada seorang wanita yang tadinya menjadi selir tercinta Jenderal Wu Sam Kwi. Kemudian ketahuan bahwa Jenderal Wu Sam Kwi menyerang Li Cu Seng karena terdorong untuk membalas dendam dan merampas kembali selirnya itu. Jenderal Wu Sam Kwi merampas Peking dengan bantuan bangsa Mancu yang kemudian mempertahankan kota raja itu sebagai milik mereka. Jenderal Wu melarikan diri ke Barat Daya, akan tetapi di sana pun dia hidup sebagai raja kecil. Jadi mereka semua bukanlah pemimpin sejati yang benar-benar berjuang demi rakyat dan tidak menjadi gila kekuasaan kemudian menggendutkan perut sendiri sebagai hasil kemenangannya yang sebenarnya merupakan kemenangan rakyat jelata.”

Mendengar Thian Hwa bicara panjang lebar, Bu Kong Liang memandang penuh kagum, kemudian menghela napas panjang dan berkata. “Ahh, tidak kusangka engkau akan dapat mengemukakan pandangan yang demikian luas, Sian-li. Memang kukira pendapatmu itu tidak menyimpang terlalu jauh dari kenyataannya. Para suhu di Siauw-lim-pai juga sering kali mengatakan bahwa betapa pun gagah perkasanya seorang laki-laki, dia harus berhati-hati terhadap tiga hal yang akan mempengaruhi wataknya, yaitu Kekuasaan, Kekayaan, dan Wanita. Tiga kekuatan ini dapat menyelewengkan seorang yang gagah perkasa dan patriotik menjadi lalim dan mengejar kesenangan diri pribadi.”

“Ah, jangan memujiku, Twako. Sesungguhnya aku hanya mengetahuinya dari keterangan guruku.”

“Kalau begitu aku yakin bahwa gurumu itu pastilah seorang yang selain sakti juga sangat bijaksana. Sian-Ii, tadi sudah kuceritakan bahwa aku sedang menuju ke kota raja untuk memenuhi perintah para suhu di Siauw-lim-pai, yaitu melihat keadaan kehidupan rakyat di desa sampai di kota raja, sesudah kini pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Kalau boleh aku mengetahui, apakah engkau mempunyai tujuan dalam perjalananmu ini?”

“Twako, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah engkau juga anti Kerajaan Mancu dan menentangnya seperti halnya Ang-mo Niocu?”

“Ah, tidak, Sian-li. Keadaanku tiada bedanya denganmu. Para suhu di Siauw-lim-pai juga tidak ingin mengadakan permusuhan secara terbuka menentang Kerajaan Ceng, karena hal itu akan sia-sia belaka. Tak mungkin Siauw-lim-pai yang hanya mempunyai beberapa ratus anggota mampu menandingi pasukan Mancu berjumlah yang ratusan ribu itu. Tidak, aku hanya disuruh menyelidiki serta melakukan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai, yaitu menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas.”

“Kalau begitu, kenapa tadi engkau diserang pasukan Mancu yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu Pangcu Louw Cin?”

“Ehh? Engkau mengenal dua orang yang memimpin pasukan itu, Sian-li?”

“Aku mengenal mereka, akan tetapi jawab dulu pertanyaanku tadi, Bu-twako.”

“Seperti yang telah kuceritakan tadi, aku sendiri tidak tahu kenapa aku diserang pasukan Mancu. Secara mendadak mereka menyerangku. Ini menguatkan dugaan para pimpinan Siauw-lim-pai bahwa dengan diam-diam Pemerintah Mancu mencurigai para perkumpulan persilatan besar, terutama sekali Siauw-lim-pai. Karena ketika terjadi perlawanan terhadap bala tentara Mancu, di pihak Kerajaan Beng banyak terdapat ahli-ahli silat dan pendekar-pendekar, di antaranya banyak pendekar dari Siauw-lim-pai. Mungkin saja ada mata-mata mereka yang mengetahui bahwa aku adalah seorang murid Siauw-lim-pai, maka mereka langsung mengeroyokku.”

Thian Hwa mulai percaya kepada pemuda itu, tetapi dia masih belum mau untuk mengaku tentang dirinya yang sebenarnya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran. Maka untuk menjawab pertanyaan pemuda itu tadi, ia lalu memberi-tahu sebagian saja.

“Bu-twako, engkau tadi menanyakan tujuan perjalananku. Aku juga hendak pergi ke kota raja untuk mencari kakekku yang dulu berada di kota raja, bekerja sebagai pelayan pada sebuah keluarga pangeran. Ada pun mengenai dua orang yang memimpin pasukan yang menyerangmu, memang aku mengenal mereka, bahkan pernah bentrok dengan mereka. Hui-eng-to Phang Houw dan Louw Cin Ketua Liong-bu-pang adalah kaki tangan seorang pangeran lain yang agaknya mempunyai ambisi untuk merampas kedudukan Kaisar yang sudah tua. Begitulah yang dapat kuterangkan kepadamu sementara ini dan harap engkau tidak bertanya lagi tentang itu, Bu-twako.”

Bu Kong Liang mengangguk-angguk. Diam-diam pemuda itu merasa kagum kepada Thian Hwa dan dia menduga bahwa tentu ada sesuatu yang dirahasiakan oleh gadis itu. Gadis yang begini cantik jelita, sederhana, mempunyai ilmu yang tinggi tetapi seperti ada rahasia yang menyelubungi dirinya.

Gadis yang agaknya mengenal keadaan para pangeran di kota raja sehingga mengetahui akan adanya pangeran yang ingin merampas tahta kerajaan yang berarti pemberontakan, bahkan pernah bentrok dengan kaki tangan pemberontak itu. Gadis aneh yang agaknya menyembunyikan pula namanya, hanya memperkenalkan diri dengan julukannya, Huang-ho Sian-li!

Akan tetapi ia menahan keinginan tahunya, khawatir kalau-kalau akan menyinggung gadis itu dan membuatnya marah. Dia ingin mengenal gadis itu lebih baik lagi yang dia percaya tentu seorang gadis pribumi Han mengingat akan keterangannya tadi bahwa dia adalah cucu seorang yang bekerja sebagai pelayan di sebuah keluarga pangeran. Pada waktu itu, yang bekerja sebagai pelayan keluarga bangsawan Mancu pastilah seorang pribumi Han!

“Terima kasih, Sian-li. Keteranganmu sudah cukup dan terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Aku senang sekali dapat melakukan perjalanan bersamamu ke kota raja karena engkau tentu sudah mengenal kota raja, sedangkan aku belum pernah melihatnya.”

“Aku pun baru satu kali berkunjung ke sana, hampir dua tahun yang lalu,” kata Thian Hwa, merasa lega bahwa pemuda itu tidak mendesak dan bertanya lebih jauh tentang riwayat dirinya. Ia merasa semakin suka kepada Bu Kong Liang yang agak pendiam, berwibawa, sopan dan bersikap hormat itu.

Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kota Thian-cin…..

********************

Dusun Kia-jung terletak di dekat Terusan, hanya sekitar dua puluh mil jauhnya dari kota Thian-cin. Karena letaknya di tepi Terusan dan dekat dengan kota besar, maka dusun itu ramai dan menjadi pusat pengumpulan hasil bumi yang akan dikirim ke Thian-cin, bahkan ada yang dikirim ke Peking.

Penduduknya mempunyai kehidupan yang cukup makmur dan biar pun di dusun itu tidak terdapat pasukan keamanan yang besar, hanya terjaga keamanannya oleh belasan orang pemuda penduduk dusun itu sendiri, namun selama ini keamanannya cukup baik. Tidak pernah terjadi gangguan keamanan yang besar. Yang pernah terjadi hanyalah pencurian kecil-kecilan.

Sore hari itu keadaan dusun Kia-jung sudah berangsur sepi. Kesibukan perdagangan hasil bumi terjadi dari pagi sampai siang tadi, dan pada sore hari ini orang-orang sudah mulai mengaso setelah lelah bekerja pada pagi dan siang harinya.

Dua belas orang pemuda malas-malasan berada di gardu penjagaan yang berada di pintu gerbang dusun sebelah selatan. Mereka bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tua.

Laki-laki tua itu berusia sekitar enam puluh enam tahun, pakaiannya biar pun sederhana, namun lebih rapi dan bersih dibandingkan pakaian seorang kakek dusun. Juga ketika dia bicara, cara bicaranya juga menunjukkan bahwa dia sudah biasa bicara halus dan sopan.

Akan tetapi dia ramah sekali dan agaknya disuka oleh para pemuda itu yang menghujani pertanyaan kepadanya tentang segala hal yang belum mereka ketahui. Ternyata kakek itu pandai sekali bercerita, terutama cerita tentang kehidupan di kota raja. Agaknya dia tahu benar keadaan di kota raja, bahkan dia dapat menceritakan keadaan di istana-istana para pangeran.

Ketika dia bercerita betapa dia pernah mengiringi seorang pangeran berkunjung ke istana kaisar, para pemuda itu mendengarkan dengan penuh kekaguman. Kakek ini pintar sekali menggambarkan keadaan dan kemewahan istana kaisar yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka, bahkan dalam mimpi sekali pun!

“Sam Lopek (Paman Tua Sam), benarkah para puteri istana memiliki kecantikan seperti bidadari dari langit?” seorang di antara mereka bertanya dan pertanyaan ini lalu disambut tawa ria para pemuda itu.

“Tolong gambarkan kecantikan mereka, Lopek!” kata yang lain, maka riuh rendahlah para pemuda itu minta agar kakek itu suka menggambarkan kecantikan para puteri istana yang sudah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan.

Kakek yang dipanggil Sam Lopek itu tersenyum dan tampaklah deretan giginya yang tak utuh lagi, sudah terdapat ompong di sana-sini hingga wajahnya yang masih mengandung bekas ketampanan itu tampak lucu.

“Heh-heh, para pemuda itu di mana-mana sama saja. Di kota mau pun desa, yang tinggal di istana mau pun yang tinggal gubuk, semuanya sama saja. Selalu bersemangat kalau mendengar tentang wanita cantik!” katanya, dan ucapan ini disambut sorak dan tawa para pemuda itu.

Kakek itu tersenyum lagi. “Wah, puteri-puteri istana memang cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi bagiku, para dayang istana, gadis-gadis yang menjadi pelayan istana bahkan lebih cantik manis dibandingkan para puterinya.”

“Eh, benarkah itu, Lopek? Masa pelayannya lebih cantik dari pada majikannya?” seorang pemuda bertanya tak percaya.

“Sebenarnya mereka itu sama-sama cantiknya, hanya bedanya, kalau puteri-puteri istana yang menjadi majikan itu memakai bedak terlampau tebal, gincu terlalu merah dan celak terlalu hitam, sehingga kecantikan mereka seperti topeng, sebaliknya para gadis dayang atau pelayan itu, yang tidak diperbolehkan berias terlalu tebal, malah tampak kecantikan aslinya. Kalau boleh diumpamakan bunga, para puteri itu adalah bunga kertas, sedangkan para pelayan itu bunga sejati!” Para pemuda itu kembali tertawa riuh.

Mendadak mereka dikejutkan oleh munculnya belasan orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah seram. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan pada pinggang mereka tergantung senjata tajam seperti pedang atau golok atau ruyung.

Melihat ini, dua belas orang pemuda itu berlompatan dengan kaget, akan tetapi mereka segera bersiap, biar pun para pemuda yang melakukan penjagaan itu hanya mempunyai sebatang tongkat di tangan masing-masing. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat kepada para pemuda untuk mundur.

Dia melihat bahwa belasan orang bertampang seram itu berbahaya sekali kalau dihadapi dengan kekerasan, maka dia pun melangkah maju lalu mengangkat tangan di depan dada memberi hormat kepada seorang di antara mereka yang jelas menunjukkan diri sebagai pemimpin.

Orang ini bermuka hitam, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya tidak sama dengan yang lain. Pakaiannya lebih mentereng dan di pinggangnya tergantung sepasang golok besar. Kumisnya panjang melingkar, tanpa jenggot, dan sepasang matanya lebar, memandang bengis.

“Selamat datang di dusun Kia-jung kami! Apa yang dapat kami bantu untuk Cu-wi (Anda Sekalian)?”

Tiba-tiba saja Si Muka Hitam itu menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram baju kakek itu, lalu sekali angkat, tubuh kakek itu pun terangkat ke atas!

“Kamu ini anjing tua antek para pangeran penjajah Mancu! Orang-orang di sini tentu telah engkau pengaruhi!”

Melihat kakek itu diangkat, beberapa orang pemuda maju hendak menolong. Akan tetapi kakek itu dibanting ke atas tanah sedemikian kerasnya hingga seketika pingsan di depan kaki Si Muka Hitam yang galak itu. Si Muka Hitam mencabut sebuah golok, kemudian menempelkan golok pada leher kakek yang pingsan itu sambil membentak.

“Kalian berani melawan kami? Kakek ini akan kubunuh dahulu sebelum kami membunuh kalian dan seisi dusun kalau berani melawan kami!”

Mendengar ini belasan orang pemuda itu amat terkejut dan menjadi jeri. Mereka bukanlah jagoan-jagoan dan kini berhadapan dengan tujuh belas orang yang tinggi besar, berwajah bengis menyeramkan dan semua membawa senjata tajam, tentu saja hilang keberanian mereka mendengar gertakan itu. Baru melihat mereka membawa senjata tajam dengan terang-terangan saja mereka sudah jeri.

Pada waktu itu Pemerintah Mancu memang melarang orang membawa senjata tajam di tempat umum, namun tujuh belas orang ini demikian terang-terangan membawa senjata tajam, padahal dusun Kia-jung letaknya dekat kota raja Thian-cin dan tak begitu jauh dari kota raja Peking. Ini saja telah menunjukkan bahwa mereka pasti bangsa perampok atau segerombolan penjahat.

Melihat para pemuda itu mundur-mundur ketakutan, kepala gerombolan itu lantas berseru kepada anak buahnya. “Hayo cepat kumpulkan sumbangan dari para penduduk dusun ini. Jika mereka tidak mau menyerahkan sumbangan yang cukup demi perjuangan kita, maka berarti mereka itu antek Mancu dan boleh kalian bunuh saja!”

Belasan orang itu mulai bergerak memasuki rumah-rumah penduduk. Akan tetapi mereka memilih-milih dan hanya rumah yang kelihatan besar dan nampak sebagai tempat tinggal keluarga kaya saja yang mereka masuki. Segera terdengarlah jerit ketakutan dari rumah-rumah itu dan para anggota gerombolan itu keluar dari rumah sambil membawa kantung-kantung yang sudah diduga tentu berisi uang atau benda berharga yang lain.

Akan tetapi baru enam rumah yang mereka jarah rayah, mendadak pemimpin gerombolan bermuka hitam itu berteriak memanggil mereka. Enam belas orang anak buahnya sambil membawa kantung-kantung jarahan berlari-lari kembali ke pintu gerbang selatan itu.

Apa yang terjadi sehingga kepala gerombolan yang bermuka hitam itu memanggil anak buahnya? Kiranya pada waktu enam belas orang anak buah gerombolan itu sedang sibuk merampasi barang-barang berharga dari beberapa buah rumah besar di sepanjang jalan raya, dan kepala gerombolan bermuka hitam itu masih berdiri dengan sikap sombong di sana, tidak jauh dari tubuh kakek yang masih pingsan, sedangkan belasan orang pemuda dusun itu berdiri agak jauh dengan rasa penasaran akan tetapi juga ketakutan, datang ke tempat itu seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan lain adalah Bu Kong Liang dan Thian Hwa!

Begitu melihat beberapa orang pemuda dusun berdiri ketakutan dan melihat pula seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam dan bengis berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan lagaknya sombong, sedangkan seorang kakek rebah menelungkup pingsan tidak jauh dari kaki laki-laki muka hitam itu, Bu Kong Liang segera bertanya kepada para pemuda itu.

“Apa yang terjadi?”

Seorang di antara pemuda itu menggerakkan muka ke arah laki-laki muka hitam sambil berbisik, “Dia dan anak buahnya sedang merampok rumah-rumah penduduk kita.”

Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Thian Hwa lalu menghampiri laki-laki muka hitam dan Bu Kong Liang cepat mengikutinya. Laki-laki muka hitam itu dengan alis berkerut dan sikap memandang rendah melotot kepada gadis dan pemuda yang berani menghampiri dirinya itu.

“Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela para antek Mancu?!” tanyanya dengan suara membentak galak.

Mendengar ini, Bu Kong Liang merasa heran. Sebelum Thian Hwa berkata atau berbuat sesuatu, dia cepat bertanya.

“Sobat, kami tidak ingin membela antek Mancu. Siapakah engkau?” Pertanyaan Bu Kong Liang dilakukan dengan sikap dan suara lembut, dan Si Muka Hitam itu membusungkan dadanya yang lebar dan tebal.

“Hemmm, kalian ingin mengenal aku? Aku adalah Tiat-thou Hek-go (Buaya Hitam Kepala Besi) yang memimpin seregu pejuang yang gagah perkasa!”

“Hemm, apakah yang terjadi dengan orang tua itu?” Thian Hwa menuding ke arah tubuh kakek yang telungkup di atas tanah.

“Huah-ha-ha, dia adalah antek Mancu. Ketika tadi kami datang, dia menceritakan kepada para pemuda itu tentang pangeran dan istana. Aku menamparnya!”

“Dan apa yang tengah dilakukan anak buahmu itu?” tanya Bu Kong Liang sambil menahan kemarahannya.

“Kami minta sumbangan kepada penduduk. Yang tidak mau menyumbang berarti mereka itu antek Mancu dan akan kami basmi semua! Kami pejuang rakyat, patriot-patriot bangsa yang menentang penjajah Mancu dan semua antek-anteknya!” Si Muka Hitam itu semakin berlagak, apa lagi dihadapi Thian Hwa yang cantik jelita, aksinya makin hebat, mulutnya senyum-senyum, matanya melirik-lirik dan dadanya diangkat membusung.

Thian Hwa merasa muak sekali melihat betapa orang itu melirik-lirik sambil cengar-cengir kepadanya. Sementara Bu Kong Liang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung Si Muka Hitam lalu berkata dengan nyaring.

“Jadi beginikah macamnya pejuang rakyat? Kalian ini bukan lain hanyalah perampok yang bertopeng pejuang! Orang macam kau ini yang mengotorkan dan menodai nama pejuang dan patriot! Manusia tak bermalu!”

Si Muka Hitam terbelalak dan matanya yang melotot itu menjadi merah saking marahnya. Tapi sebelum dia mampu membuka mulut atau bergerak, Thian Hwa sudah menyambung dengan ucapan yang lebih ketus lagi.

“Yang macam begini bukan manusia lagi, melainkan buaya yang kotor dan jahat, yang tak patut dibiarkan hidup. Kamu buaya kepala besi? Aku berani bertaruh, kepalamu pasti tak sekeras besi melainkan selunak tahu, sekali pukul juga hancur!”

Sepasang mata itu makin melotot seperti mau melompat keluar dari kelopaknya, hidung dan mulutnya seolah mengeluarkan asap panas saking marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang, raksasa muka hitam yang berjuluk Buaya Hitam Kepala Besi itu menerkam ke arah Thian Hwa. Sepasang lengannya yang panjang dan besar itu hendak merangkul dari kanan kiri dan agaknya gadis itu tidak akan dapat menghindarkan diri lagi.

Tapi menghadapi serangan kasar yang hanya mengandalkan kekuatan otot itu tentu saja merupakan ancaman kecil sekali bagi Thian Hwa. Dengan dua tangan terbuka dia segera menyambut dua lengan itu dengan pukulan tangan miring untuk menangkis dan pada saat itu juga, kaki kirinya mencuat ke arah perut lawan.

“Plak-plak, bukk...!”


Tubuh kepala gerombolan itu terjengkang dan terbanting roboh. Rasa kepalanya seperti tujuh keliling karena kedua lengannya terasa nyeri seperti ditangkis besi, perutnya mulas dicium ujung sepatu kaki kiri Thian Hwa, ditambah lagi belakang kepalanya terbanting ke atas tanah. Akan tetapi saking marahnya, dia tidak mau merasakan semua kenyerian itu dan cepat bangkit berdiri lalu memanggil anak buahnya!

Kini tujuh belas orang laki-laki tinggi besar itu mengepung Thian Hwa dan Bu Kong Liang dan mereka telah mencabut senjata mereka, pedang, golok atau ruyung. Sekarang yang menonton tak jauh dari situ bukan hanya dua belas orang pemuda dusun Kia-jung, akan tetapi sudah bertambah menjadi dua puluh orang lebih, semuanya laki-laki tua muda yang tertarik dan berdatangan ke situ. Akan tetapi mereka semua tidak berani menentang tujuh belas orang yang tampak kuat dan bengis itu, dan kini mereka memandang dengan penuh kekhawatiran akan nasib gadis cantik dan pemuda tampan yang tidak mereka kenal itu. Kakek Sam sudah mereka angkat dan kini direbahkan di tepi jalan, masih dalam keadaan pingsan.

Akan tetapi dua orang yang sangat dikhawatirkan penduduk dusun itu, Thian Hwa dan Bu Kong Liang, tenang-tenang saja walau pun dikepung dan diancam tujuh belas orang yang tampaknya buas dan kejam itu.

“Bagaimana, Twako. Akan kita apakan para pejuang patriotik ini?” tanya Thian Hwa.

“Pejuang? Huh, gerombolan perampok mengaku patriot pejuang! Kita hajar mereka biar tahu rasa!” kata Bu Kong Liang.

Thian Hwa mengangguk setuju, dan tiba-tiba saja tujuh belas orang itu menerjang maju, menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi dari gerakan mereka, Thian Hwa dan Bu Kong Liang maklum bahwa mereka itu hanya bertenaga kuat saja, tapi sama sekali tidak memiliki ilmu silat yang berarti. Maka tubuh gadis dan pemuda ini berkelebatan cepat dan para pengeroyok menjadi kacau!

Mereka merasa kehilangan dua orang yang mereka keroyok, yang tiba-tiba saja berubah menjadi bayangan yang berkelebatan dan semua serangan mereka tak pernah mengenai sasaran. Bahkan kini terdengar teriakan-teriakan mereka, dan senjata di tangan mereka terlepas dari pegangan lantas terlempar ke sana-sini.

Melihat ini, para penduduk, terutama pemudanya, tak merasa takut lagi. Timbul semangat mereka dan mereka pun datang menyerbu. Maka celakalah tujuh belas orang perampok itu. Setiap ada yang roboh karena tendangan atau tamparan Thian Hwa atau Kong Liang, penduduk langsung menyerbu, membawa pentungan atau senjata-senjata tajam memukul dan membacok para perampok yang berserakan dan habislah tubuh perampok yang roboh itu, hancur dihujani bacokan dan pukulan. Dalam waktu singkat saja ketujuh belas orang perampok bertopeng pejuang itu pun mati semua dikeroyok penduduk!

Ketika para penduduk mencari dua orang yang telah menyelamatkan mereka itu, mereka tidak menemukan gadis dan pemuda tadi! Juga Kakek Sam tidak tampak di situ. Kakek yang tadinya masih pingsan itu kini lenyap!

Akan tetapi para penduduk tak sempat memikirkan ke mana perginya gadis dan pemuda gagah perkasa itu, juga mengira bahwa Kakek Sam sudah siuman kemudian pulang ke rumahnya. Mereka kini sibuk menyambut sepasukan tentara Mancu yang kebetulan lewat di dusun Kia-jung, datang dari Thian-cin dan tadi dilapori seorang penduduk.

Namun ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba di tempat pertempuran, tujuh belas orang gerombolan perampok telah mati semua! Karena gerombolan perampok itu mengaku sebagai pejuang-pejuang yang menentang Pemerintah Kerajaan Ceng, tentu saja penduduk Kia-jung mendapat pujian dari komandan pasukan…..

********************


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 04
Ke mana perginya Thian Hwa dan Kong Liang? Dan ke mana pula menghilangnya Kakek Sam? Tadi, setelah merobohkan semua penjahat dan penduduk membantai para penjahat yang sudah roboh terluka oleh tamparan dan tendangan Thian Hwa dan Kong Liang, tiba-tiba Thian Hwa mendengar suara panggilan.

“Cucuku Thian Hwa...!”

Thian Hwa terkejut sekali dan cepat memandang. Kiranya Kakek Sam yang tadinya roboh pingsan terpukul kepala gerombolan, telah siuman dan ketika dia melihat Thian Hwa, dia segera mengenalnya sebagai cucunya! Kiranya kakek itu adalah Cui Sam yang pada saat menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong disebut Lo Sam.

Thian Hwa juga segera mengenal kakeknya, maka dia cepat menghampiri dan karena dia tak ingin dirinya dikenal banyak orang, ia lalu mengajak Cui Sam pergi dari situ. Bu Kong Liang mengikuti dari belakang. Thian Hwa menggandeng tangan kakeknya dan karena dia mempergunakan ilmu berlari cepat, kakek itu merasa dirinya seolah dibawa terbang!

Setelah tiba jauh di luar dusun Kia-jung, Thian Hwa lalu menghentikan larinya. Kong Liang juga berhenti dan dia memandang kepada gadis itu dengan heran, lantas menoleh kepada kakek itu.

Kakek Cui Sam menghela napas panjang. Karena masih merasa pening setelah baru saja siuman dari pingsan langsung diajak ‘terbang’ oleh cucunya, dia lalu duduk di atas sebuah batu yang banyak terdapat di tepi jalan itu.

Thian Hwa melihat betapa Kong Liang menatapnya dengan pandang mata mengandung pertanyaan dan keheranan, maka setelah tadi dia menyaksikan sepak terjang Kong Liang dalam menghadapi para perampok yang mengaku pejuang, dia tidak ragu-ragu lagi untuk memperkenalkan diri sebenarnya. Selama beberapa hari melakukan perjalanan bersama pemuda itu, dia mendapat kenyataan bahwa Kong Liang adalah seorang pemuda yang di samping gagah perkasa dan ramah, juga jujur dan sopan.

“Perkenalkan, Twako, ini adalah kakekku, ayah dari ibuku, bernama Cui Sam.” Lalu gadis itu berkata kepada kakeknya. “Kong-kong (Kakek), dia ini adalah Twako (Kakak) Bu Kong Liang, seorang pendekar dari Siauw-lim-pai, sahabatku.”

Cui Sam cepat membalas penghormatan Bu Kong Liang dan dia berkata, “Terima kasih kepada Bu Thaihiap (Pendekar Besar Bu) yang tadi sudah menolong penduduk Kia-jung membasmi para perampok.”

“Ahh, Paman Cui Sam, yang banyak merobohkan para perampok adalah Sian-li ini.”

“Sian-li? Ah, engkau maksudkan cucuku ini? Aih, kalau tidak melihat sendiri setelah saya siuman tadi, saya tidak dapat percaya bahwa cucu saya sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi!”

“Wah, bukan tinggi lagi, Paman. Dia malah terkenal sebagai Huang-ho Sian-li!” kata Kong Liang sambil tersenyum senang melihat kebanggaan kakek itu akan kehebatan cucunya.

“Sudahlah, Twako, jangan terlampau memuji. Sekarang hari telah hampir gelap, kita harus mencari tempat penginapan. Kong-kong kelelahan dan perlu beristirahat. Kota Thian-cin tidak jauh lagi, mari kita cepat melanjutkan perjalanan ke sana agar jangan terlalu malam tiba di Thian-cin.”

“Biar Paman Cui Sam kugendong saja agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat,” kata Kong Liang.

Thian Hwa segera menyetujui dan sekarang kakek itu digendong di punggung Kong Liang. Mereka berdua lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga yang tampak hanya dua bayangan yang berkelebat. Apa lagi ketika itu cuaca mulai remang, maka andai kata ada orang melihat mereka, tentu hanya mengira bayangan pohon atau burung yang lewat.


Yang menjadi sangat terkagum-kagum bercampur takut adalah Cui Sam. Walau pun dia mengetahui bahwa terdapat banyak ahli silat yang pandai dan memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, namun baru tadi ketika digandeng Thian Hwa dia merasakan, apa lagi sekarang dengan digendong, pemuda itu dapat berlari secepatnya sehingga dia merasa seolah-olah dibawa terbang ke angkasa!

Setibanya di Thian-cin mereka menyewa tiga buah kamar. Melihat kakeknya yang sangat kelelahan, Thian Hwa tidak mau mengganggunya. Setelah mereka makan malam, Kakek Cui Sam lalu memasuki kamarnya dan tidur.

“Besok saja kita bicara,” kata Thian Hwa dan biar pun Kong Liang ingin benar mengetahui lebih banyak tentang kakek itu, dia maklum bahwa dia harus bersabar sampai besok…..

********************

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sesudah mandi, Thian Hwa memasuki kamar kakeknya. Cui Sam juga telah membersihkan diri dan setelah menutup daun pintu kamar itu, mereka lalu duduk bercakap-cakap.

“Kong-kong, aku ingin sekali mendengar ceritamu tentang ibu dan ayah kandungku.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang, Thian Hwa, ketika kita bicara dulu, baru sedikit kuceritakan kepadamu tentang mereka karena Pangeran Cu Kiong tiba-tiba muncul.”

“Sekarang beri-tahukan terlebih dulu, mengapa Kong-kong berada di dusun itu? Bukankah engkau bekerja di gedung Pangeran Cu?”

“Aku dikeluarkan sesudah terjadi keributan denganmu dahulu itu, Thian Hwa. Masih baik dia tidak menggangguku, hanya memecat dan mengusirku. Sesudah pergi dari kota raja, aku kembali ke dusun Kia-jung yang menjadi kampung halamanku pada waktu aku masih muda.”

“Nah, sekarang ceritakan dari permulaan sejak ibu kandungku menjadi isteri Pangeran Ciu Wan Kong. Aku ingin sekali mendengar semuanya tentang kehidupan ibu dan ayahku.”

Kakek Cui Sam lantas bercerita. Di waktu mudanya Cui Sam adalah penduduk dusun Kia-jung. Dia hidup dengan isterinya dan mereka mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Cui Eng. Akan tetapi keluarga ini tertimpa mala petaka ketika terjadi perang yang berkecamuk di daerah Cina, terutama di bagian utara pada waktu Kerajaan Ceng mulai berdiri sebagai kejayaan jaman Mancu yang semakin berkembang.

Dalam keributan perang ini, saking terkejut dan ketakutan karena harus berlari mengungsi dari satu ke lain tempat, isteri Cui Sam jatuh sakit sampai meninggal dunia. Tinggal Cui Sam seorang diri bersama puterinya, Cui Eng yang baru berusia sepuluh tahun.

Cui Sam kemudian mengembara ke utara sampai ke Peking. Dia lalu menghambakan diri, menjadi pelayan di gedung Pangeran Ciu Wan Kong dan keluarganya. Ketika dia diterima menjadi pelayan, Pangeran Ciu Wan Kong masih berusia dua puluh tahun. Pangeran tua Ciu, ayah Pangeran Ciu Wan Kong serta semua keluarga itu suka kepada Cui Sam yang rajin dan pandai membawa diri sehingga mereka memperkenankan Cui Sam membawa Cui Eng tinggal di kamar-kamar pelayan dari gedung itu.

Setelah dewasa Cui Eng menjadi seorang gadis yang sangat cantik jelita dan dia pun ikut bekerja sebagai pelayan bagian dalam, membersihkan kamar-kamar, melayani makan dan sebagainya. Akhirnya terjalin perasaan saling mencinta antara Pangeran Ciu Wan Kong yang tampan dengan Cui Eng.

Melihat hal ini Cui Sam berniat untuk menjodohkan puterinya, akan tetapi selalu ditentang oleh Pangeran Ciu Wan Kong. Bahkan diam-diam pangeran muda dan gadis pelayan itu mengadakan hubungan.

Ketika Cui Eng berusia dua puluh satu tahun, Pangeran Ciu Wan Kong memberitahu ayah ibunya bahwa dia ingin mengangkat Cui Eng menjadi isterinya. Tentu saja Pangeran Tua Ciu dan isterinya tidak menyetujui niat putera mereka! Bahkan ketika Pangeran Ciu Wan Kong mohon supaya diperkenankan mengambil Cui Eng sebagai selirnya, orang tuanya, terutama ibunya menyatakan tidak setuju.

“Wan Kong, bagaimana engkau dapat melakukan hal yang amat memalukan itu? Seorang pangeran mengambil pelayan yang rendah derajatnya, pelayan keluarga sendiri lagi? Ahh, nama kita akan tercemar dan menjadi bahan gunjingan para bangsawan. Tidak, aku tidak setuju! Banyak wanita yang dapat kau ambil menjadi selirmu, akan tetapi jangan pelayan sendiri!”

Akan tetapi, sesudah Ciu Wan Kong memberi-tahu bahwa Cui Eng sedang mengandung hasil hubungannya dengan dia, orang tuanya terpaksa tak dapat menolak lagi. Akan tetapi ibunya yang amat menjaga nama dan kehormatan kebangsawanan mereka, mengajukan sebuah syarat.

“Baik, engkau boleh mengambil Cui Eng sebagai selir, akan tetapi sesudah dia melahirkan seorang anak laki-laki! Kalau nanti dia melahirkan seorang anak perempuan, engkau tidak boleh mengakuinya dan dia harus minggat dari sini!”

Keputusan ibunya itu tidak dapat diganggu-gugat lagi. Bahkan ayahnya juga tak berdaya. Akhirnya Cui Eng melahirkan dan... yang terlahir adalah seorang anak perempuan! Tanpa ampun lagi, dan tanpa mempedulikan puteranya yang menangis, ibu Pangeran Ciu Wan Kong mengusir Cui Sam dan Cui Eng dari gedung itu dengan memberi uang pesangon sekedarnya. Secara diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong yang tidak berdaya itu memberi bekal uang yang cukup banyak kepada Cui Sam.

Demikianlah, Cui Sam lalu membawa anaknya, Cui Eng, beserta cucunya, pergi dari kota raja. Akan tetapi ketika mereka menyeberangi Sungai Huang-ho, datang badai mengamuk dan perahu mereka terbalik.

“Aku tidak melihat lagi anakku Cui Eng dan bayinya. Kuanggap mereka telah hanyut atau tenggelam dan tewas. Sungguh tak kusangka, ketika engkau menjadi tamu Pangeran Cu Kiong yang menjadi majikanku setelah aku hidup sendiri dan kembali ke kota raja, engkau menceritakan riwayatmu dan aku merasa yakin sekali bahwa engkau adalah cucuku, anak Cui Eng karena wajahmu persis sekali dengan wajah ibumu!”

“Kong-kong, kalau engkau dapat menyelamatkan diri dari Sungai Kuning (Huang-ho), dan aku yang masih bayi saja dapat ditolong orang yang kemudian menjadi guruku juga kakek angkatku, apakah tidak mungkin ibuku itu dapat diselamatkan orang dan sekarang masih hidup?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Memang bertahun-tahun aku mengharapkan hal itu terjadi, akan tetapi setelah hampir dua puluh tahun ini tidak ada kabar darinya, aku sudah putus asa dan menganggap bahwa anakku Cui Eng telah meninggal dunia. Jika dia dapat terbebas dari kematian, tidak mungkin selama ini dia tidak memberi kabar kepadaku.”

Thian Hwa merasa kecewa, tapi ia tidak putus asa tentang ibunya. Sebelum ia mendapat bukti atau mendengar saksi akan kematian ibunya, ia masih mempunyai harapan.

“Kong-kong, sebetulnya siapakah namaku? Nama yang diberikan ibu kepadaku?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Ketika itu kami pergi meninggalkan kota raja dalam keadaan tenggelam dalam kedukaan. Beberapa kali aku menyinggung tentang pemberian nama padamu, namun ibumu hanya menangis dan mengatakan belum memikirkan hal itu. Maka, sampai terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan engkau hilang, engkau belum diberi nama oleh ibumu. Oleh karena itu, pakailah nama pemberian gurumu, Thian Hwa. Nama itu sudah bagus sekali.”

“Akan tetapi aku adalah keturunan marga Ciu, sedangkan marga Thian yang kugunakan adalah marga suhu-ku.”

“Hemm, kalau begitu pakai saja keduanya dan namamu menjadi Ciu Thian Hwa. Bagus, bukan?”

“Baiklah, Kong-kong. Mulai sekarang aku bernama Ciu Thian Hwa. Kong-kong, benarkah wajah ibuku sama benar dengan wajahku?”

“Serupa benar, seperti kembar. Hanya bedanya, di atas bibir ujung kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam.”

Thian Hwa tertegun. Dahulu gurunya pernah bermimpi melihat wanita bertahi lalat seperti itu yang menitipkan anaknya kepadanya. Ia merasa khawatir sekali. Bukankah yang dapat menampakkan diri dalam mimpi itu arwah seorang yang sudah mati?

“Kong-kong, sekarang ceritakan tentang Ayah kandungku itu. Bagaimana watak Pangeran Ciu Wan Kong itu? Apakah dia jahat seperti para pangeran yang pernah kukenal?”

“Ah, sama sekali tidak, Cucuku! Sejak mudanya Pangeran Ciu Wan Kong adalah seorang yang baik budi, hanya agak lemah terhadap orang tuanya, terutama terhadap ibunya yang keras. Dan dia amat mencinta ibumu, Thian Hwa. Sesudah ibumu diusir ibunya, dia sering termenung dan berduka. Bahkan sampai sekarang tidak mau menikah, tidak mempunyai isteri yang resmi, bahkan kabarnya dia memulangkan semua selirnya. Dia juga tidak mau memegang jabatan meski pun dia amat setia kepada Sribaginda Kaisar. Hidupnya sangat kesepian, sering kali dia melancong seorang diri, mabok-mabokan dan yang paling akhir... aku mendengar bahwa dia terkadang kelihatan seperti orang... sinting....”

Tanpa terasa lagi kedua mata Thian Hwa menjadi basah. Ia merasa terharu dan iba sekali kepada ayah kandungnya, juga senang mendengar bahwa ayah kandungnya tidak jahat seperti para pangeran lain.

“Setelah sekarang ayah ibunya meninggal dunia, Pangeran Ciu Wan Kong hidup seorang diri di gedungnya, hanya ditemani oleh para pelayan. Bahkan ia tidak mempunyai pasukan pengawal seperti halnya para pangeran lain.”

Thian Hwa mengangguk-angguk. “Dan bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong itu, Kong-kong?”

“Pangeran muda Cu Kiong? Hemm, sebetulnya dia juga termasuk seorang pangeran yang baik. Kalau dia jahat, mana mungkin aku menghambakan diri kepadanya? Pangeran Cu Kiong itu adalah putera Sribaginda dari selir ke tiga. Sesudah Putera Mahkota, Pangeran Kang Shi yang masih kecil, maka Pangeran Cu Kiong adalah orang pertama yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar.”

“Hemm, jika dia orang baik-baik, kenapa dia menghinaku, merendahkan aku yang hanya akan diambil sebagai selirnya?”

“Hal itu karena dia tidak tahu bahwa engkau keturunan Pangeran Ciu Wan Kong, Cucuku. Kalau dia tahu, aku yakin dia mau menjadikan engkau isterinya, bukan sekedar selirnya. Akan tetapi sesungguhnya dia sendiri sejak kecil telah ditunangkan dengan seorang puteri dari keluarga Pangeran Bouw. Itulah sebabnya mengapa dia tidak dapat mengangkatmu sebagai isterinya.”

“Hemmm, dia hendak memperalat aku untuk memusuhi Pangeran Leng Kok Cun, hendak menggunakan aku agar dapat mencapai cita-citanya. Apakah dia tidak berniat merampas kekuasaan di istana Kaisar?”

“Kukira tidak, Thian Hwa. Ia memang mengharapkan kedudukan Kaisar, tapi hanya untuk sementara, sebagai wakil adiknya, Pangeran Kang Shi, putera mahkota yang masih kecil itu. Dia memang memusuhi Pangeran Leng Kok Cun, karena Pangeran Leng itu agaknya sedang mengumpulkan banyak orang pandai dan dicurigai hendak merebut tahta dengan kekerasan.”

“Hemm, betapa pun juga aku benci Pangeran Cu Kiong. Dia bahkan hendak membunuhku dengan mengerahkan pengawal-pengawalnya, yaitu Kim-keng Chit-sian.”

“Mungkin hal itu dia lakukan karena engkau memusuhinya dan karena dia khawatir kelak engkau akan menjadi pembantu Pangeran Leng.”

“Apa pun alasannya, aku benci kepadanya, Kong-kong. Sekarang setelah aku mendengar akan riwayat Ibu dan Ayah darimu, kuharap engkau pulang dulu ke Kia-jung. Aku hendak melanjutkan perjalananku ke kota raja. Akan kuselidiki keadaan ayah kandungku itu.”

“Akan tetapi, Thian Hwa. Kapankah engkau akan datang ke Kia-jung menjenguk kakekmu yang kini hidup sebatang kara ini?”

“Jangan khawatir, Kong-kong. Kelak aku pasti akan datang menengokmu. Nah, sekarang berangkatlah, Kong-kong, selagi hari masih pagi. Ini sedikit uang boleh Kong-kong bawa untuk bekal.”

Thian Hwa menyerahkan beberapa potong uang, namun Cui Sam menolak dan berkata, “Aku tidak memerlukan uang, Thian Hwa. Ketahuilah bahwa dahulu Pangeran Ciu pernah memberi banyak emas kepada aku dan ibumu sehingga sampai sekarang aku tak pernah kekurangan. Oya, aku jadi ingat. Dulu sebelum perahu kami terbalik, Ibumu menyerahkan perhiasan-perhiasannya padaku. Ada sebuah perhiasan yang dulu amat disayang ibumu, dan barang itu pemberian ayah kandungmu sebagai tanda kasih. Barang itu tidak pernah berpisah dariku, sebagai kenangan akan ibumu, ke mana pun selalu kubawa. Nah, Thian Hwa, terimalah barang ini, barang peninggalan ibumu yang paling dia sayangi.”

Kakek itu mengeluarkan sebuah hiasan rambut berbentuk burung Hong kecil terbuat dari emas dan bermata intan. Ukiran hiasan rambut itu amat halus dan indahnya bukan main. Thian Hwa menerima dengan terharu, lalu mencium benda itu.

“Terima kasih, Kong-kong.”

Cui Sam lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Dia langsung keluar dari kota Thian-cin menuju ke selatan, ke dusun Kia-jung. Hati kakek itu gembira bukan kepalang. Ia merasa berbahagia sekali telah bertemu kembali dengan cucunya dan tentu saja dia merasa amat bangga melihat cucunya, puteri Cui Eng, kini menjadi seorang gadis pendekar yang sakti! Bahkan yang kemarin telah menolong penduduk Kia-jung…..!

********************

Sementara itu Thian Hwa juga merasa lega. Ternyata ayah kandungnya bukan orang yang jahat, tidak seburuk yang tadinya dia duga. Yang jahat dan mengusir ibunya adalah orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibu pangeran itu.

Tetapi kedua orang tua itu telah wafat dan kini ayah kandungnya hidup kesepian seorang diri, bahkan saking sedihnya kehilangan ibunya, sampai sekarang, walau pun sudah lewat hampir dua puluh tahun, ayah kandungnya itu masih saja merasa berduka! Diam-diam dia merasa bangga akan kasih sayang yang sedemikian besar dari ayahnya terhadap ibunya dan dia merasa iba sekali kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu.

“Selamat pagi, Sian-li!” kata Kong Liang ketika melihat gadis itu duduk termenung di atas bangku yang berada di depan kamarnya.

Thian Hwa memandang. Pemuda itu sudah mandi dan berganti pakaian kuning yang baru. “Selamat pagi, Twako.”

“Sian-li, mana Paman Cui Sam? Apakah dia belum bangun dari tidurnya?”

“Dia sudah pergi, Twako. Tadi pagi-pagi sekali Kong-kong telah berangkat, dia pulang ke dusun Kia-jung.”

“Ahh, mengapa begitu tergesa-gesa? Sebenarnya aku ingin berkenalan lebih baik dengan kakekmu, Sian-li.”

“Dia ingin segera kembali ke Kia-jung untuk mengurus sawah ladangnya, Twako. Dan aku sendiri pagi ini hendak melanjutkan perjalananku ke kota raja.”

“Ah, jika begitu mari kita berangkat. Akan tetapi sebaiknya kita sarapan lebih dulu, Sian-li. Tadi aku sudah pesan kepada pelayan agar menyediakan makan pagi untuk kita bertiga. Akan tetapi karena Paman Cui Sam sudah pergi, mari kita makan berdua saja.”

Thian Hwa tidak dapat menolak lagi, maka mereka lalu pergi ke ruangan depan di mana memang dibuka sebuah rumah makan untuk melayani keperluan makan para tamu rumah penginapan itu. Setelah makan bersama, Thian Hwa dan Kong Liang lantas meninggalkan rumah penginapan itu untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Peking…..

********************

Mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai. Dua hari kemudian, pada suatu pagi mereka meninggalkan kota Gu-an yang terletak di sebelah selatan sungai.

“Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan menggunakan perahu?” Bu Kong Liang mengajukan usul.

Bagi Thian Hwa usul ini bagaikan tawaran kepada seekor domba untuk mengambil jalan melalui padang rumput. Dia memang sudah rindu untuk melakukan perjalanan di atas air yang mudah, tidak melelahkan, lancar dan dia bisa menikmati suara gemerciknya air dan pemandangan yang amat dikenalnya di sepanjang tepi sungai.

Setelah tiba di tepi sungai mereka hendak mencari perahu. Bu Kong Liang ingin menyewa perahu, akan tetapi Thian Hwa mencegahnya. “Twako, lebih baik membeli sebuah perahu saja. Sungguh tidak leluasa kalau kita mengajak tukang perahu, bahkan jika ada apa-apa malah merepotkan.”

“Wah, membeli sebuah perahu? Tentu mahal harganya, Sian-li!”

“Tidak mahal, Twako. Kita membeli perahu tua yang buruk dan sederhana saja. Di sana ada perahu tua, tentu tidak mahal kalau kita beli.”

Kong Liang memandang yang ditunjuk. Dia melihat seorang kakek sedang membetulkan perahunya yang tua dan agaknya bocor.

“Wah, perahu seperti ini jangan-jangan akan terbalik di sungai dan kita akan hanyut atau tenggelam! Aku sama sekali tidak pernah mendayung perahu, Sian-li, dan berenang pun aku hanya bisa sedikit sekali, sekedar tidak tenggelam!”

Thian Hwa tersenyum. “Twako, agaknya engkau lupa bahwa aku dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku dibesarkan di Sungai Kuning (Huang-ho) dan sejak kecil sudah biasa bermain-main di air yang dalam. Aku dapat mendayung dan jangan khawatir.”

Kong Liang diam saja dan menurut. Dia khawatir bila dia membantah, mungkin Thian Hwa malah akan nekat melanjutkan perjalanan dengan perahu dan meninggalkannya! Setelah melakukan perjalanan bersama gadis itu, Bu Kong Liang merasa bahwa akan berat sekali baginya untuk berpisah dari gadis itu. Dia mengalami perasaan yang tak pernah dirasakan sebelumnya.

Benar saja, kakek pemilik perahu butut itu menyerahkan perahunya dengan harga murah. Maka mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu.

Perahu itu kecil dan begitu melangkah ke atas perahu, Kong Liang menjadi agak cemas karena perahu itu terayun-ayun ke kanan kiri. Biasanya perahu itu digunakan oleh kakek pemiliknya untuk mencari ikan dengan jalan mengail. Keadaannya sederhana sekali dan butut.

Ada dua buah dayung butut di sana. Ada pula sebuah batu besar yang diikat tali, yang dipergunakan untuk menghentikan perahu, sebagai pengganti jangkar bila kakek itu ingin berhenti di suatu tempat di tengah sungai untuk memancing ikan. Tempat duduk di bagian depan dan belakang, hanya untuk dua orang saja dan terbuat dari papan yang dipasang melintang di atas perahu. Masih baik bahwa perahu itu dilengkapi atap anyaman bambu di bagian tengahnya sehingga penumpangnya dapat berlindung di bawahnya apa bila panas amat terik dan kalau turun hujan.

Atas petunjuk Thian Hwa, Kong Liang membantu dengan sebatang dayung, mendayung di bagian belakang perahu. Sedangkan Thian Hwa mendayung di kepala perahu, sekalian mengemudikan perahu dengan dayungnya. Saking gembiranya bertemu perahu dan air sungai, Thian Hwa mendayung dengan kuat sehingga perahu meluncur cepat.

Sungguh pun dia seorang murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, tidak pernah gentar menghadapi lawan yang kuat dan banyak, namun kali ini Kong Liang mengerutkan alisnya dan memandang ke air yang agak bergelombang dengan jantung berdebar. Kalau perahu butut ini terbalik, dia masih meragukan kemampuannya apakah dia akan dapat berenang ke tepi menyelamatkan diri dari ancaman maut di dalam air!

Akan tetapi melihat betapa tangkasnya Thian Hwa menguasai perahu dengan dayungnya, lambat laun hati Kong Liang menjadi tenang. Bahkan dia mulai mempelajari dari gadis itu cara mendayung yang benar dan cara menguasai serta mengemudikan perahu itu.

Kini perahu itu meluncur dengan mulus dan hati Kong Liang mulai merasa tenang, bahkan mulai timbul kegembiraannya sebab ia mulai merasakan betapa lancar, tidak melelahkan, dan sangat menyenangkan melakukan perjalanan dengan perahu. Mereka meluncur terus hingga matahari naik tinggi dan perahu mereka sampai di daerah yang sunyi dan di kanan kirinya tumbuh hutan lebat.

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dari belakang mereka.

“Minggir! Minggir!”

“Hayo minggir! Apa kalian sudah bosan hidup?!”

“Kena ditabrak perahu kami, mampus kamu!”

Mendengar bentakan-bentakan ini, Kong Liang dan Thian Hwa lalu menoleh ke belakang. Ternyata dari belakang nampak datang meluncur sebuah perahu besar yang dihias indah, diikuti dua belas buah perahu kecil yang masing-masing ditumpangi dua orang prajurit Mancu! Di atas perahu besar itu berdiri pula enam prajurit, masing-masing memegang tombak dan mereka berdiri menjaga, tiga di kanan dan tiga di kiri perahu.

Thian Hwa tak ingin mencari keributan. Lagi pula tidak ada alasannya untuk bermusuhan dengan para prajurit Mancu itu. Maka dia cepat mendayung perahunya ke sisi agar tidak menghalangi perahu besar dan dua belas perahu kecil yang mengawalnya itu.

Akan tetapi, ketika perahu besar telah mendekat, Thian Hwa mendengar tangis wanita. Ia bangkit berdiri untuk dapat menjenguk ke atas perahu besar yang mewah itu. Dan setelah berdiri, dia melihat ada suami isteri setengah tua duduk dengan kaki tangan terikat di atas dek dan muka laki-laki setengah tua itu bengkak-bengkak. Tangis wanita itu terdengar dari balik perahu yang pintunya tertutup.

Melihat ini, bangkit jiwa kependekaran Si Dewi Huang-ho! Ia cepat mengambil batu besar pengganti jangkar, kemudian menurunkannya ke dalam air. Perahu segera berhenti, tidak hanyut terbawa air karena tertahan tali yang diikatkan pada batu besar yang kini sudah tenggelam di dasar sungai.

“Hai, mengapa berlabuh di sini, Sian-li?”

“Tenanglah, Twako. Engkau tunggu saja di sini, aku harus tolong mereka yang agaknya ditangkap di perahu itu,” kata Thian Hwa sambil sibuk mematahkan papan tempat duduk perahu itu, lalu cepat mengikatkan kedua batang papan itu di bawah telapak kakinya yang bersepatu kulit. Karena tidak tahu apa artinya semua itu, Kong Liang hanya memandang dengan heran.

Setelah papan yang digunakan sebagai terompah peluncur itu terikat kuat-kuat di bawah sepatunya, Thian Hwa lalu mengambil pedang dari buntalan pakaian dan menyelipkannya di bawah jubahnya.

“Tunggu saja di sini, Bu Twako!” kata Thian Hwa dan dia langsung melompat keluar dari perahu.

Kong Liang terbelalak memandang tubuh gadis itu yang berdiri tegak di atas air, kemudian gadis itu menggerakkan dayung yang dibawanya dan tubuhnya meluncur ke permukaan air, mengejar perahu-perahu itu! Hampir dia tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Benarkah gadis itu meluncur di atas air seperti seekor angsa saja?

Akan tetapi kini Kong Liang merasa khawatir akan keselamatan gadis itu. Dia tadi melihat bahwa perahu besar itu terjaga oleh enam orang prajurit, sedangkan yang mengawalnya ada dua losin orang prajurit lagi. Bagaimana mungkin Huang-ho Sian-li yang seorang diri, hanya menggunakan sepasang papan untuk dapat mengapung di atas air, akan mampu menandingi mereka yang berada di perahu-perahu itu? Tanpa ragu lagi, Bu Kong Liang menarik batu penahan perahu itu ke atas, kemudian dia mendayung perahu itu melakukan pengejaran.

Thian Hwa berselancar dengan cepat sekali sehingga sebentar saja telah dapat menyusul perahu-perahu itu. Dua losin prajurit di dalam selosin perahu yang mengawal di belakang perahu besar memandang heran melihat seorang dara cantik seolah berdiri di atas air dan meluncur dengan cepatnya sambil mendorong air dengan sebatang dayung!

Mereka belum pernah menyaksikan hal seperti ini, maka mereka amat terheran-heran dan menjadi kurang waspada sehingga mereka hanya diam saja tidak mencoba menghalangi, mungkin karena selain kagum dan heran mereka juga sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu akan menghampiri perahu besar. Sesudah tubuh Thian Hwa melompat ke atas perahu besar, barulah dua losin prajurit pengawal itu menjadi gempar dan mereka segera mendekatkan perahu kecil mereka mengepung perahu besar.

Begitu melompat ke atas perahu dan tiba di dek, Thian Hwa cepat melepaskan kakinya dari ikatan pada dua buah papan. Enam orang pengawal yang tadi berdiri di atas kanan kiri perahu, kini lari menghampiri dan mengepung Thian Hwa. Akan tetapi karena gadis itu tidak melakukan gerakan menyerang, maka mereka pun hanya mengepung saja.

Mendadak pintu bilik perahu besar itu terbuka dan muncul dua orang laki-laki. Dari pintu yang terbuka Thian Hwa dapat melihat seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun sedang menangis di sudut ruangan itu. Dia lantas mencurahkan perhatiannya kepada dua orang yang muncul itu.....


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 05 

Yang pertama adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, tubuhnya gemuk perutnya besar sekali. Mukanya bulat kekanak-kanakan, hidung pesek mata sipit sehingga mukanya mirip seperti muka babi. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, tanda bahwa dia adalah seorang pembesar.

Yang muncul bersama dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, mukanya brewok sehingga tampak bengis dan tangannya memegang senjata Long-ge-pang (Toya Bergigi Srigala). Begitu membuka pintu, pembesar gendut itu berseru, suaranya terdengar marah.

“Heiii... ada apa ini ribut-ribut? Menggangguku saja....” Akan tetapi kata-katanya langsung terhenti dan matanya yang sipit dilebar-lebarkan, agaknya supaya bisa melihat lebih jelas gadis cantik jelita yang berdiri di atas perahunya, dikepung enam orang prajurit pengawal. “Ehh... Nona yang cantik seperti bidadari... siapakah engkau dan apa yang dapat kubantu untukmu, Nona manis?”

Mendengar ucapan dan melihat sikap ceriwis ini sudah cukup membuat Thian Hwa marah sehingga dia ingin menampar Si Muka Babi itu. Tapi dia tetap menahan sabar dan sambil memandang kepada laki-laki dan perempuan setengah tua yang terikat kaki tangannya, yang lelaki mukanya bengkak-bengkak dan menunduk lemas sedangkan yang perempuan sesenggukan menangis tanpa berani mengeluarkan suara, lalu dia memandang ke dalam kamar di mana gadis remaja itu duduk menangis di sudut bilik, dan dia pun berkata,

“Tidak penting aku siapa, aku hanya ingin tahu mengapa dua orang ini diikat di sini, dan mengapa pula gadis itu menangis di dalam bilik?”

“Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Nona manis. Perkenalkan, aku adalah Jaksa Bong Sun Kok yang bertugas di Thian-cin. Suami isteri ini adalah pemberontak-pemberontak yang seharusnya kujatuhi hukuman mati. Akan tetapi karena aku seorang yang baik hati, maka aku hendak membawa mereka ke kota raja berikut anak perempuan mereka. Aku percaya Pangeran Leng Kok Cun akan suka memaafkan mereka dan mengambil mereka berikut anak perempuan mereka menjadi pelayannya.”

Thian Hwa mengerutkan alisnya dan kini dia telah mengenali laki-laki berpakaian sebagai perwira yang bertubuh tinggi besar dan memegang senjata Long-ge-pang itu. Memang dia tidak mengenal namanya, akan tetapi dia ingat bahwa orang itu adalah seorang di antara Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng) yang dulu menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong! Empat orang di antara mereka yang berjumlah tujuh itu sudah roboh dan tewas di tangan dia dan Ui Yan Bun, sedangkan tiga orang lainnya, termasuk orang ini, berhasil melarikan diri.

Dengan sinar mata yang tajam menusuk Thian Hwa berkata, suaranya lantang dan ketus. “Sekarang tahulah aku, engkau adalah manusia rendah yang bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang sederhana ini dengan tuduhan akan memberontak karena engkau hendak menyenangkan hati Pangeran Leng dengan menyerahkan gadis itu kepadanya! Orang macam engkau yang suka menjilat kepada atasan patut untuk diberi hajaran!”

Mendengar ini Bong Su Kok terbelalak, marah bukan kepalang. Semenjak dia memegang jabatannya belum pernah ada orang, apa lagi seorang wanita muda, berani mengeluarkan ucapan yang demikian menghina kepadanya.

“Tangkap perempuan kurang ajar ini!” bentaknya.

Begitu mendengar suara Thian Hwa dan melihat sikapnya yang galak, perwira tinggi besar bermuka brewok itu teringat bahwa gadis itu adalah gadis lihai yang pernah mengamuk di istana Pangeran Cu Kiong dan yang bersama seorang pemuda sudah membunuh empat orang rekannya. Orang ini bernama Ciang Sun, orang pertama dari Kam-keng Chit-sian yang kini mengambil jalan sendiri-sendiri dengan dua orang rekannya yang masih hidup.

Sesudah melarikan diri dari istana Pangeran Cu Kiong karena gagal melawan Thian Hwa dan Ui Yan Bun, Ciang Sun pergi ke Thian-cin dan dia kini menjadi pengawal pribadi dari Jaksa Bong Sun Kok. Dia merasa lebih cocok bekerja kepada seorang pembesar yang berasal dari bangsa Pribumi Han, bukan bangsa Mancu. Sungguh dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada hari itu dia akan bertemu lagi dengan Thian Hwa.

Tentu saja dia sudah merasa jeri karena maklum akan kelihaian gadis itu, maka dia pun segera berteriak memberi aba-aba kepada para anak buahnya, baik enam orang prajurit pengawal yang berada di atas perahu mau pun dua losin prajurit pengawal yang berada di perahu-perahu kecil untuk mengeroyok Thian Hwa.

Setelah Bong Taijin (Pembesar Bong) menerimanya sebagai pengawal pribadi, Ciang Sun segera diberi pangkat perwira yang menjadi komandan dari pasukan pengawal pembesar itu. Karena pernah menjadi kaki tangan penjajah Mancu, Bong Sun Kok merasa bahwa para pendekar patriot pasti membenci dirinya, maka dia membentuk pasukan pengawal yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang, mengalahkan jumlah pengawal para pembesar atasannya!

Begitu mendengar perintah Bong Taijin tadi, para pengawal sudah bersiap siaga semua. Kini mendengar aba-aba dari komandan mereka Ciang Sun, enam orang pengawal yang berada di atas perahu segera menggerakkan tombak di tangan mereka untuk menyerang Thian Hwa.

Akan tetapi Thian Hwa yang sudah siap sejak tadi, begitu menggerakkan tangan, tampak sinar-sinar putih menyambar-nyambar dan enam orang prajurit pengawal itu berteriak dan terjengkang jatuh semua! Mereka ini sudah menjadi korban senjata rahasia Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang amat dahsyat dari gadis itu.

Tentu saja Bong Taijin dan juga Perwira Ciang Sun terkejut bukan kepalang. Bong Taijin sudah cepat berlari memasuki pintu bilik yang segera ditutup dan dipalang dari dalam, lalu naik ke atas dipan dan rebah meringkuk dengan tubuh menggigil seperti orang terserang demam!

Melihat dara itu sekali menggunakan senjata rahasia telah dapat merobohkan enam orang anak buahnya, Ciang Sun menjadi terkejut dan merasa gentar menghadapinya. Dengan nekat dia lantas menggerakkan senjata Long-ge-pang itu menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Toya Gigi Srigala itu memang menyeramkan, selain berat juga terbuat dari baja dan pada ujungnya menyerupai gigi dan taring srigala. Ketika menyambar, terdengar bunyi mengiuk.

Namun kurang lebih dua tahun yang lalu saja Ciang Sun ini tak mampu menandingi Thian Hwa. Apa lagi sekarang sesudah gadis itu memperdalam ilmunya di bawah gemblengan Thian Bong Sianjin. Dengan mudah ia mengelak dari sambaran toya lalu balas menyerang dengan tamparan dan tendangan. Karena yakin bahwa ia tak perlu menggunakan pedang untuk mengalahkan musuh lamanya ini, Thian Hwa menghadapi senjata lawan itu dengan tangan kosong saja!

Sementara itu dua belas buah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua puluh empat orang prajurit pengawal itu kini menempel pada perahu besar, ada pun perahu-perahu kecil yang masing-masing ditumpangi dua orang itu mulai sibuk. Dari tiap perahu kecil dilemparkan tali berujung kaitan ke pinggir perahu besar dan mereka sudah mulai merayap melalui tali untuk naik ke perahu besar mengeroyok Thian Hwa.

Tetapi tiba-tiba saja meluncur sebuah perahu kecil lain dan ternyata perahu ini ditumpangi Bu Kong Liang. Mulailah dia melompat dari perahunya ke atas perahu kecil terdekat dan begitu kaki tangannya bergerak, dua orang penumpang perahu itu segera terpelanting dan terlempar ke dalam air!

Sebelas perahu lain cepat-cepat mengalihkan perhatian mereka. Mereka mencoba untuk mengepung Bu Kong Liang yang berada di ats sebuah perahu kecil sesudah dua orang prajurit penumpangnya terlempar ke dalam air.

Begitu dikepung sebelas buah perahu dengan dua puluh dua orang prajurit, Kong Liang menjadi repot juga. Dia berdiri di atas perahu yang terus terayun dan bergoyang-goyang ketika dia bergebrak menyambut pengeroyokan banyak prajurit itu.

Ia mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang tombak pendek bercabang, lalu berloncatan dari perahu ke perahu lain. Begitu tubuhnya melayang dan menerjang, dua orang prajurit di atas perahu mereka pasti terjungkal ke dalam air.

Kalau saja pengeroyokan itu dilakukan di atas daratan, kiranya dua losin prajurit itu akan dapat dia robohkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi gerakan Kong Liang kurang mantap, bahkan terkadang dia harus mengatur keseimbangan tubuhnya agar tidak sampai terguling dan jatuh ke air!

Sementara itu, Ciang Sun yang mengamuk dengan senjata Long-ge-pang dan menghujani Thian Hwa dengan serangan kilat, menjadi pening karena gadis yang diserangnya itu tiba-tiba berkelebatan seperti telah berubah menjadi bayang-bayang. Ke mana pun senjatanya menyambar selalu mengenai tempat kosong. Dia dapat menghindarkan serangan balasan berupa tamparan atau tendangan hanya dengan mengandalkan perasaannya saja. Setiap serangan gadis itu tentu mendatangkan hawa pukulan yang dahsyat sehingga dia dapat mengetahui, kemudian cepat-cepat melompat menghindar atau menggerakkan senjatanya untuk melindungi dirinya.

Namun betapa pun juga tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi dari pada tingkat Perwira Ciang itu. Karena itu, setelah lewat belasan jurus, sebuah tendangan gadis itu tak sempat dihindarkan Ciang Sun.

“Wuuttt...! Desss...!”

Tubuh Ciang Sun terlempar keluar perahu kemudian jatuh tercebur ke sungai sehingga air muncrat tinggi. Thian Hwa tidak mempedulikan lagi lawan yang sudah dikalahkannya. Dia cepat menghampiri pintu dan menendang daun pintu.

“Braakkk...!” Daun pintu bilik perahu itu segera jebol.

Ketika ia melompat masuk, ia melihat gadis tadi masih bersimpuh di sudut kamar sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan menangis. Ada pun Jaksa Bong Sun Kok yang gendut itu meringkuk di atas dipan sambil menarik kedua lutut ke perut sehingga dia tampak seperti seekor babi kekenyangan yang mendekam bermalas-malasan!

Thian Hwa melihat sebatang pedang yang tergantung pada dinding. Tentu pedang tanda kebesaran atau pelengkap tanda pangkat Jaksa Bong. Ia cepat mencabut pedang itu dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang jarum bunga putih meluncur lantas menancap di pinggul yang besar itu.

“Adauuwww...!” Jaksa Bong menjerit dan tubuhnya terlompat ke atas, lalu merosot keluar dari dipan, jatuh berdebuk di atas lantai bilik perahu, kedua tangan meraba pinggul yang terkena serangan Pek-hwa-ciam. Akan tetapi melihat gadis itu sudah berdiri di situ, cepat dia berlutut menangis sambil membentur-benturkan dahinya ke atas lantai seperti sedang memberi hormat kepada kaisar!

“Manusia hina yang rendah budi! Sepatutnya engkau mampus!” setelah membentak begitu tangan kanan Thian Hwa bergerak, pedang itu berkelebat.

Jaksa Bong menjerit-jerit sambil dua tangannya sibuk meraba ke hidung, kemudian kedua telinganya dan pinggulnya karena di empat tempat itu terasa nyeri bukan main. Hidungnya telah terbabat putus, demikian pula kedua daun telinganya. Darah membasahi muka dan lehernya dan akhirnya dia bergulingan sambil menangis!


Thian Hwa menghampiri gadis yang menangis itu. “Adik, bangkitlah. Engkau dan Ayah Ibumu harus cepat-cepat pergi dari sini!”

Gadis itu melepaskan kedua tangan dari mukanya, terbelalak ngeri melihat Jaksa Bong mandi darah dan bergulingan menguik-nguik seperti babi, lalu dengan kedua kaki gemetar ia bangkit dan mengikuti Thian Hwa keluar dari bilik perahu. Setibanya di luar, cepat Thian Hwa memutuskan tali pengikat kaki tangan suami isteri setengah tua itu. Gadis itu segera berangkulan dengan ibunya sambil menangis.

Thian Hwa lalu melompat lagi ke dalam bilik. Setelah menggeledah sebentar, dia berhasil menemukan sebuah peti kecil berisi potongan emas yang beratnya tidak kurang dari lima tail. Ia lalu keluar lagi dan menyerahkan emas itu kepada ayah gadis itu.

“Paman, cepat kau ajak isteri dan anakmu pergi dari sini. Ini ada uang untuk bekal. Cari tempat lain, jangan tinggal lagi di tempatmu yang lama, pergi jauh-jauh ke dusun. Akan kucarikan perahu untuk kalian!”

Thian Hwa melihat betapa Bu Kong Liang masih dikeroyok para prajurit. Ia melihat sebuah perahu kecil milik para prajurit yang sudah kosong, tentu dua orang prajurit yang menjadi penumpangnya telah dirobohkan Kong Liang. Perahu itu masih terkait pada perahu besar.

“Mari kubawa kalian ke perahu!” kata Thian Hwa.

Cepat ia menyambar tubuh tiga orang itu satu demi satu, dibawanya melompat ke perahu kecil. Sesudah itu dia melepaskan kaitannya kemudian menyuruh gadis itu mendayung perahu, pergi dari situ. Ayah, ibu dan anak itu berlutut di atas perahu kecil menghadap ke arah Thian Hwa yang masih berada di perahu besar, mengucapkan terima kasih.

“Cepat pergi...!” seru Thian Hwa.

Dan dia melihat betapa sebuah perahu dengan dua orang prajurit meluncur menghampiri perahu yang ditumpangi tiga orang itu. Dengan cepat dia menyambitkan dua batang Pek-hwa-ciam. Dua orang prajurit itu mengaduh, lalu tubuh mereka terguling keluar dari dalam perahu.

Thian Hwa melihat betapa ayah gadis itu sudah mendayung perahunya menjauh. Maka ia segera memperhatikan keadaan Kong Liang. Kini hanya tinggal lima buah perahu yang mengepung Kong Liang. Sepuluh orang prajurit itu kini mempergunakan anak panah untuk menyerang Kong Liang.

Karena musuh menggunakan anak panah dan menyerang dari jauh, tentu saja Kong Liang tidak dapat menyerang mereka. Dia hanya dapat memutar senjatanya untuk menangkis semua anak panah. Akan tetapi tiba-tiba ada dua orang prajurit yang muncul dari dalam air, dekat dengan perahu di mana Kong Liang berdiri. Dua orang itu kemudian menyelam dan menggulingkan perahu dari bawah!

Menghadapi serangan licik ini, tentu saja Kong Liang tidak berdaya mempertahankan diri. Dengan tergulingnya perahu, otomatis tubuh Kong Liang juga terpelanting dan dia jatuh ke dalam air sungai!

Melihat pemuda itu terjatuh ke air, sepuluh orang prajurit dalam lima buah perahu itu lalu mendekatkan perahu mereka. Kini anak panah mereka diarahkan kepada pemuda yang bergerak-gerak dengan kaku dalam air agar tidak tenggelam!

Melihat ini, Thian Hwa cepat melompat dari atas perahu besar dan bagaikan seekor ikan dia berenang ke arah tempat dikurungnya Kong Liang. Setelah dia tiba dekat, dia melihat Kong Liang dengan gerakan kaku karena harus menjaga agar tubuhnya tidak tenggelam, memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) untuk melindungi tubuhnya dari sambaran anak panah. Akan tetapi karena gerakannya tak leluasa, maka sebatang anak panah menancap di belakang pundak kirinya sehingga membuat Kong Liang gelagapan!

Thian Hwa yang sudah tiba di situ, menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum bunga putih meluncur menjadi sinar putih dan dua orang prajurit yang berhasil memanah Kong Liang, berteriak kemudian terjungkal ke air. Thian Hwa yang dapat bergerak seperti ikan, melompat ke perahu kosong itu dan dari situ, ia menyebar jarum-jarumnya.

Beberapa orang prajurit terkena sambaran jarum lantas terpelanting ke air. Tinggal empat orang lagi dalam dua buah perahu. Mereka agaknya gentar menghadapi kehebatan sepak terjang Thian Hwa, maka mereka berusaha untuk lari dengan mendayung perahu mereka.

Akan tetapi, Thian Hwa sudah mendayung perahu demikian cepatnya sehingga sebentar saja dara perkasa ini berhasil menyusul mereka. Kini pedang Thian Hwa bergerak empat kali dan empat orang itu pun roboh keluar dari perahu, tubuh mereka terbawa hanyut arus air!

Thian Hwa menoleh dan melihat Bu Kong Liang gelagapan, agaknya sukar baginya yang sudah terluka itu untuk mempertahankan diri agar tidak tenggelam. Thian Hwa melompat terjun ke air, kemudian berenang secepatnya menghampiri Kong Liang. Ketika dia dapat memegang tangan pemuda itu, Kong Liang terkulai pingsan!

Dengan mencengkeram leher baju pemuda itu sambil menariknya ke atas dalam keadaan telentang sehingga muka Kong Liang tidak terbenam air, Thian Hwa cepat berenang dan menyeret tubuh pemuda itu menuju ke perahu mereka. Baiknya tadi sebelum melakukan serangan terhadap para prajurit di perahu-perahu kecil, Kong Liang telah melepas jangkar batu sehingga perahu kecil mereka tidak hanyut terbawa air sungai.

Thian Hwa mengangkat tubuh Kong Liang dan merebahkannya dalam perahu, kemudian dia menarik jangkar batu dan cepat mendayung perahu pergi dari situ. Mengingat bahaya datangnya bala bantuan pasukan, maka Thian Hwa lalu cepat mendayung perahunya dan setelah melihat bagian yang sunyi dan di tepi sebelah selatan terdapat hutan yang lebat, ida lalu mendayung perahu ke tepi.

Sesudah perahu menepi dan talinya diikatkan pada sebatang pohon, dia lalu memondong tubuh Kong Liang, membawanya masuk ke dalam sebuah hutan dan merebahkannya di atas rumput. Kemudian dia memeriksa tubuh pemuda itu.

Anak panah itu menancap di belakang pundak kiri, untungnya tidak terlalu dalam. Ia harus berhati-hati mencabut anak panah agar ujung anak panah itu jangan sampai patah dan tertinggal dalam daging. Dengan pengerahan sinkang dia berhasil mencabut anak panah. Dia merasa lega melihat bahwa ujung anak panah itu tidak mengandung racun. Cepat dia menotok jalan darah di sekitar luka agar jangan terlalu banyak darah mengucur keluar.

Kong Liang mengeluh lalu membuka matanya. Dia seperti bingung dan nanar, akan tetapi ketika mengenal muka Thian Hwa, dia bernapas lega dan menggerakkan tubuhnya untuk bangkit duduk.

“Jangan banyak bergerak dulu, Twako. Engkau terluka,” kata Thian Hwa yang membantu pemuda itu bangkit duduk.

Kong Liang mengumpulkan ingatannya. Dia memandang ke kanan kiri, kemudian kepada pakaian dan rambut Thian Hwa yang basah, juga kepada celananya sendiri yang basah dan bajunya yang sudah ditanggalkan dari badannya, juga anak panah yang tergeletak di atas tanah.

“Ahh, tadi aku terkena anak panah dan nyawaku terancam. Hemm, pasti engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, Sian-Ii. Aku melihat engkau meluncur di atas permukaan air! Bukan main! Kiranya engkau memang pantas dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku berhutang nyawa kepadamu, Sian-li!”

“Aihh, sudahlah, jangan banyak bicara dulu, Twako. Aku harus mengobati lukamu.” Gadis itu lalu mengambil bungkusan obat dari buntalan pakaiannya. Bungkusan itu berisi bubuk putih.

Dari gurunya, Thian Hwa memang dibekali beberapa macam obat untuk luka dan gadis ini telah mempelajari bagaimana cara mengobati luka-luka, bahkan yang mengandung racun sekali pun! Sedikit bubuk putih dia taburkan ke dalam luka anak panah itu, kemudian dia mengambilkan pengganti baju dan membantu pemuda itu mengenakan bajunya.

“Sekarang yang paling penting adalah mengganti pakaian kita yang basah, Twako, agar kita tidak terserang penyakit.”

Gadis itu mengambilkan pakaian dalam dan celana untuk Kong Liang, lalu dia mengambil seperangkat pakaiannya sendiri dan mengganti pakaiannya yang basah sambil sembunyi di balik semak belukar.

Setelah selesai berpakaian dan Kong Liang merasa betapa luka di belakang pundaknya tidak nyeri lagi, mereka lalu duduk bercakap-cakap di bawah pohon besar.

“Bu-twako, kenapa engkau tadi membantu aku sehingga membahayakan dirimu sendiri?”

“Aih, Sian-li. Melihat betapa jumlah prajurit yang demikian banyaknya, mana mungkin aku dapat membiarkan engkau menghadapi mereka seorang diri? Bahaya yang menimpaku tadi adalah karena kesalahanku sendiri. Aku tidak mahir bermain di air, maka aku sampai terkena anak panah. Apakah yang terjadi di perahu besar itu, Sian-li?”

“Melihat suami isteri setengah tua yang terikat di perahu besar dan juga mendengar suara tangis wanita, aku menjadi curiga. Setelah aku melompat ke perahu besar, ternyata suami isteri setengah tua itu difitnah sebagai pemberontak dan anak gadis mereka ditawan. Kata Pembesar Bong, orang tua dan gadis itu akan diserahkan kepada Pangeran Leng di kota raja! Aku membebaskan mereka, menyuruh mereka naik perahu untuk melarikan diri, dan aku memberi hajaran keras kepada Jaksa Bong itu. Seorang pribumi Han yang diangkat menjadi pembesar oleh Kerajaan Mancu malah bertindak jahat terhadap bangsa sendiri! Sungguh menyebalkan!”

“Yah, memang demikianlah, Sian-li. Kedudukan mendatangkan kekuasaan yang membuat manusia menjadi lalim, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya.”

“Akan tetapi tidak semuanya begitu, Twako!”

“Tentu saja, tentu ada pengecualian. Ada juga pembesar yang bijaksana, jujur, setia, tidak suka korupsi, tidak suka menindas bawahan menjilat atasan. Tetapi ada beberapa gelintir yang seperti itu? Sebagian besar ya seperti jaksa itulah, tak peduli orangnya bangsa apa! Akan tetapi sekelebatan aku tadi melihat engkau melawan seorang yang bersenjata Long-ge-pang dan agaknya dia lihai juga. Aku tadi khawatir juga saat melihat engkau dikeroyok dan melawan laki-laki tinggi besar bersenjata Long-ge-pang itu.”

“Dia adalah salah seorang di antara Kam-keng Chit-sian yang dulu menjadi pengawal dari Pangeran Cu Kiong di kota raja.”

“Wah, Sian-li, sungguh engkau membuat aku semakin kagum dan heran. Sama sekali tak kusangka, engkau ternyata memiliki kepandaian yang luar biasa di dalam air dan engkau mengenal pula, bahkan pernah bertanding melawan jagoan-jagoan yang menjadi pengawal para pangeran di kota raja! Sian-li, agaknya engkau tidak asing dengan keadaan di kota raja!”

Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia bertanya, “Bu-twako, sesudah beberapa kali engkau bentrok dengan pasukan Mancu, kini katakanlah terus terang, apakah engkau membenci orang-orang Mancu seperti Ang-mo Niocu?”

Pemuda itu menggelengkan kepala dengan pasti. “Tidak, Sian-li. Aku hanya membenci orang yang jahat dan akan membela yang benar, tidak peduli bangsa apa dan apa pula kedudukannya.”

Thian Hwa senang mendengar ini, namun dia masih memancing, “Akan tetapi, bukankah engkau seorang pribumi Han dan menentang penjajahan Mancu?”

Kong Liang menghela napas. “Perjuangan untuk itu sudah banyak dilakukan tetapi sia-sia saja hasilnya, bahkan sudah mengorbankan banyak jiwa. Kalau kelak ada gerakan besar-besaran yang menggerakkan rakyat untuk menentang penjajah, aku pasti akan membantu mereka. Akan tetapi untuk saat ini, aku akan bertindak seperti para pendekar Siauw-lim-pai pada umumnya, yaitu membela kebenaran dan keadilan, demi melindungi rakyat kecil yang hidup sengsara dan tertindas. Sungguh pun dia seorang pembesar Mancu, kalau dia bijaksana dan baik terhadap rakyat, aku pasti akan membelanya.”

Thian Hwa merasa senang. Pada waktu menghadapi gerombolan yang mengaku sebagai pejuang yang menentang Pemerintah Penjajah Mancu, pemuda ini langsung membasmi mereka. Sekarang, berhadapan dengan pasukan yang mengawal pembesar dan bertindak sewenang-wenang, juga membantunya untuk membasmi pasukan pengawal itu.

Bu Kong Liang telah membuktikan bahwa dia tidak menentang Pemerintah Mancu karena merasa belum saatnya, juga dia bukan seorang yang mengabdi kepada Kerajaan Ceng lalu bertindak sewenang-wenang pada bangsa sendiri seperti yang dilakukan oleh Jaksa Bong. Maka dia tahu bahwa Kong Liang dapat dipercaya dan sudah tiba saatnya bagi dia untuk menceritakan dirinya. Ia perlu mendapatkan seorang sahabat yang dapat dipercaya untuk diajak bertukar pikiran.

“Twako Bu Kong Liang, dulu aku memang pernah ke kota raja dan terlibat dalam urusan dengan beberapa pangeran, kemudian sempat bertanding dengan para pengawal mereka seperti Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin yang dahulu memimpin pasukan menyerangmu, juga seorang dari Kam-keng Chit-sian, pengawal yang bersenjata Long-ge-pang di atas perahu besar itu. Karena aku percaya kepadamu, akan kuceritakan riwayatku dengan syarat bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga. Kepada orang lain aku hanya ingin dikenal dengan sebutan Huang-ho Sian-li saja. Maukah engkau berjanji, Twako?”

Kong Liang memandang wajah gadis itu dengan sikap serius dan suaranya juga tegas. “Tentu saja, Sian-li. Aku berjanji tidak akan menceritakan tentang dirimu kepada siapa pun juga!”

“Baiklah, Twako, dan terima kasih. Akan kuceritakan dengan singkat saja. Sesungguhnya aku tak pernah mengenal orang tuaku, karena pada waktu masih bayi aku ditemukan dan diselamatkan oleh Suhu Thian Bong Sianjin, ketika aku hanyut dibawa arus air Huang-ho (Sungai Kuning). Aku lalu diambil murid dan diaku sebagai cucu angkatnya. Setelah aku dewasa dan mendengar keterangan Suhu, aku lalu pergi mencari keterangan mengenai orang tuaku. Suhu pernah bermimpi bertemu seorang wanita berpakaian bangsawan yang menitipkan anaknya kepadanya. Oleh karena itu aku pun pergi ke kota raja untuk mencari keterangan mengenai ayah bundaku, karena kami menduga bahwa ibuku adalah seorang wanita bangsawan.”

Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika terlibat dalam urusan Pangeran Leng Kok Cun yang mengumpulkan orang-orang sakti dengan maksud hendak merampas tahta kerajaan. Ketika dia dikeroyok para jagoan pembantu Pangeran Leng, dia lari dan ditolong oleh Pangeran Cu Kiong, kemudian di gedung Pangeran Cu Kiong ini ia bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah kandung ibunya.

“Ahh, maksudmu Kakek Cui Sam dari dusun Kia-jung itu?”

“Benar, Twako. Ketika aku bercerita mengenai keinginanku, mencari orang tuaku kepada Pangeran Cu Kiong yang menolongku, Kong-kong (Kakek) Cui Sam telah mendengarkan tanpa sengaja. Ketika itu dia bekerja sebagai pelayan kepada Pangeran Cu Kiong.”

Thian Hwa melanjutkan ceritanya, tapi dia tidak menceritakan hubungan batin yang timbul antara dia dan Pangeran Cu Kiong. Dia hanya menceritakan betapa Pangeran Cu Kiong hendak memperalatnya untuk membantunya dalam perebutan kekuasaan, maka dia lalu meninggalkannya.

Pangeran Cu lalu mengerahkan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian untuk menangkapnya. Dia melawan mati-matian dan dalam keadaan terkepung serta terancam bahaya, muncul Ui Yan Bun membantunya.

“Siapakah Ui Yan Bun itu, Sian-li?”

“Dia adalah seorang sahabatku, boleh juga dianggap suheng-ku (Kakak Seperguruanku) karena ia pernah diberi pelajaran silat oleh Kong-kong atau Suhu Thian Bong Sianjin. Nah, kami berdua berhasil membunuh empat dari ketujuh orang jagoan itu. Orang bersenjata Long-ge-pang di perahu itu adalah salah seorang di antara mereka yang lolos, yaitu ada tiga orang.”

Thian Hwa lalu melanjutkan lagi ceritanya, betapa sebelum pertempurannya melawan para pengawal Pangeran Cu Kiong, ia dapat mendengar dari Kakek Cui Sam mengenai ayah ibunya.

“Wah, beruntung sekali engkau, Sian-li. Jadi engkau bisa bertemu dengan orang tuamu?”

Thian Hwa menghela napas. “Dari Cui Kong-kong (Kakek Cui) aku mendengar riwayat ibu kandungku yang menyedihkan. Dahulu, ketika Kakek Cui bekerja sebagai kepala pelayan pada keluarga Pangeran Tua Ciu di kota raja, dia telah menduda dan dia juga membawa anak perempuannya yang belum dewasa. Kemudian anak perempuannya yang bernama Cui Eng juga bekerja di situ sebagai pelayan. Sesudah Cui Eng dewasa, dia saling jatuh cinta dengan Pangeran Ciu Wan Kong, putera dari Pangeran Tua Ciu. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibunya, tidak setuju apa bila puteranya mengambil seorang pelayan sebagai selir, apa lagi sebagai isterinya. Akan tetapi pada waktu itu Cui Eng sudah... mengandung sebagai hasil hubungannya dengan Pangeran Ciu Wan Kong.” Thian Hwa berhenti dan menatap tajam wajah pemuda itu. Akan tetapi Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajahnya, dia tetap tenang mendengarkan.

“Ketika mendengar bahwa Cui Eng sudah mengandung, ibu dari Pangeran Ciu Wan Kong lalu memutuskan bahwa bila Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, dia akan diterima menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi kalau yang terlahir anak perempuan, dia akan diusir dari gedung Pangeran Ciu. Dan ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan sehingga dia diusir dari gedung itu dan dibawa ayahnya keluar dari kota raja. Tapi ketika mereka menggunakan perahu berlayar di Sungai Kuning, perahu itu diserang badai kemudian tenggelam!”

Melihat Thian Hwa menghentikan ceritanya dan tampak terharu dan berduka, Kong Liang berkata. “Ah, kejadian seperti itu sudah sering kudengar, terjadi sejak jaman dulu. Kaum bangsawan memang suka sewenang-wenang menyia-nyiakan selirnya, dan mereka pada umumnya tidak suka kalau mempunyai keturunan wanita. Sungguh tidak adil! Sian-li, aku dapat menduga sekarang. Tentu engkaulah anak itu, dan ternyata engkau diselamatkan Locianpwe (Orang Tua Gagah) Thian Bong Sianjin. Kakekmu, Cui Sam, ternyata sudah dapat menyelamatkan diri pula dan masih hidup sampai sekarang. Akan tetapi, apa yang terjadi dengan ibumu yang bernama Cui Eng itu?”

Thian Hwa menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang.....


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 06

“Tidak ada kabar ceritanya lagi tentang ibuku. Cui Kong-kong juga tidak tahu dan hanya mengira bahwa ibuku tentu telah tewas, tenggelam dalam Sungai Huang-ho. Ketika Suhu Thian Bong Sianjin menemukan aku, dia memberi nama Thian Hwa kepadaku, memakai marga Thian, yaitu marga dari Suhu sendiri. Namun sebetulnya ayah kandungku adalah Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang masih hidup, maka aku akan memakai nama Ciu Thian Hwa, dua marga itu kupakai dan namaku Hwa (Kembang) saja! Akan tetapi untuk umum, aku lebih suka dikenal sebagai Huang-ho Sian-li.”

Bu Kong Liang menghela napas panjang. “Aihh, riwayatmu sungguh menyedihkan sekali, Sian-li. Terima kasih bahwa engkau telah mempercayai aku dan menceritakan riwayatmu kepadaku.”

“Bu-twako, sesudah engkau mengetahui namaku, jangan engkau sebut aku Sian-li (Dewi) lagi. Panggil saja aku Hwa (Bunga)!”

Kong Liang tersenyum. “Baiklah, Hwa-moi (Adik Hwa). Sekarang apa yang hendak kau lakukan? Apakah engkau akan ke kota raja untuk menemui ayah kandungmu, Pangeran Ciu Wan Kong itu?”

“Dulu, kurang lebih dua tahun yang lalu aku pernah mengunjunginya. Ingin aku membalas penghinaannya terhadap ibuku, betapa tega hatinya mengusir Ibu yang telah mengandung puteri keturunannya sendiri. Ingin aku membunuhnya. Tetapi ketika aku memasuki kamar Pangeran Ciu Wan Kong, kulihat dia dengan sedih sedang merenung sambil memandang lukisan wajah ibu kandungku Cui Eng, dan dia memperlihatkan tanda-tanda seorang yang pikirannya tidak waras. Aku menjadi tidak tega dan meninggalkannya. Kemudian, malam tadi... aku mendengar keterangan yang rinci dari Kakek Cui Sam bahwa sebenarnya ayah kandungku Pangeran Ciu Wan Kong sangat mencinta ibu kandungku Cui Eng dan yang memaksa untuk mengusir ibuku adalah orang tuanya, terutama ibunya. Sayangnya kedua orang tua Ayah Ciu Wan Kong telah meninggal dunia sehingga aku tidak dapat membalas sakit hati ibuku. Menurut Kakek Cui Sam, bahkan sampai sekarang ayah kandungku itu tidak mau mempunyai seorang selir pun dan selalu mengurung diri dalam kesedihan.”

“Hemm, kalau begitu nasib ayah dan ibumu benar-benar malang, Hwa-moi. Akan tetapi... maafkan pendapatku ini kalau tidak cocok dengan pendapatmu. Niatmu untuk membalas sakit hati ibumu terhadap ayah dan ibu Pangeran Ciu Wan Kong itu sungguh tidak benar, Hwa-moi. Pangeran Tua Ciu itu adalah kakekmu sendiri yang menurunkan ayahmu, ada pun isterinya adalah nenekmu sendiri yang melahirkan ayah kandungmu. Memang terasa kejam sekali mengusir ibumu dari gedung mereka, akan tetapi jangan lupa bahwa tidak menyukai anak perempuan merupakan penyakit yang turun menurun. Nah, sekarang apa yang hendak engkau lakukan, Hwa-moi?”

“Pendapatmu itu memang ada benarnya, Bu-twako. Tapi bagaimana pun juga Kakek dan Nenek Ciu sudah meninggal dunia, maka urusannya dengan ibu kandungku itu pun tidak perlu dibicarakan lagi. Sekarang aku hendak menyelidiki, benarkah ibu kandungku sudah meninggal dunia. Kalau sudah wafat mana kuburnya dan seandainya masih hidup di mana tempat tinggalnya. Aku hendak mencari keterangan itu mulai dari rumah ayahku. Sesudah mendengar keterangan Kakek Cui Sam, aku ingin dekat ayahku, ingin menghiburnya dan membantu padanya. Tentu saja kalau dia berada di pihak yang benar. Agaknya di antara kalangan pangeran di kota raja terdapat semacam persaingan dan perebutan pengaruh.”

“Nah, keadaan itulah yang harus kuselidiki di kota raja, Hwa-moi. Para suhu menghendaki aku selain menyelidiki keadaan kehidupan rakyat, juga bagaimana keadaan pemerintahan penjajah di kota raja,” kata Kong Liang.

“Akan tetapi berhati-hatilah, Bu-twako. Sesudah bentrokan dengan Pembesar Bong yang jahat itu, tentu engkau akan dicari!”

“Hemm, engkau juga harus hati-hati, Hwa-moi. Seharusnya engkau membunuh pembesar jahat macam Jaksa Bong agar dia tak akan menyusahkan lagi. Dia tentu akan membalas dendam kepadamu.”

“Hemm, memang aku masih mengampuninya, hanya memotong kedua daun telinga serta hidungnya. Tetapi kalau dia masih berani membuat ulah, lehernya yang akan kubuntungi!” kata gadis itu gemas.

Mereka berhenti bicara dan melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. Dalam perjalanan itu Thian Hwa membandingkan Bu Kong Liang dengan Ui Yan Bun. Dua orang pemuda yang sama-sama gagah perkasa dan baik budi. Akan tetapi dia harus mengakui bahwa di dalam hatinya hanya ada rasa kagum dan suka terhadap dua orang pemuda ini, tidak ada perasaan mesra seperti yang pernah dirasakan hatinya terhadap Pangeran Cu Kiong!

Dan naluri kewanitaannya membuat dia dapat merasakan bahwa Bu Kong Liang, seperti juga Ui Yan Bun, mencinta dirinya. Ada perasaan bangga dalam hatinya bahwa ia dicinta dua orang pendekar budiman seperti kedua orang pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa sedih karena dia tidak atau belum dapat membalas cinta mereka…..

********************

Untuk menjaga keamanan, Thian Hwa dan Bu Kong Liang menanti sampai senja tiba dan cuaca sudah mulai gelap baru memasuki pintu gerbang kota raja. Sebelum sampai di situ, mereka memang sudah bersepakat untuk berpisah mencari jalan masing-masing.

“Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing, Bu-twako. Dan terima kasih untuk semua kebaikanmu,” kata Thian Hwa.

“Hwa-moi, akulah yang berterima kasih kepadamu. Engkau telah menolongku. Kalau tidak ada engkau, mungkin aku sudah mati tenggelam ke dalam sungai. Jaga dirimu baik-baik, Hwa-moi. Dan semoga kita akan dapat bertemu kembali.”

“Selamat berpisah, Twako.”

Thian Hwa langsung menuju ke gedung Pangeran Ciu Wan Kong, ada pun Bu Kong Liang yang merasa berat harus berpisah dengan gadis yang dikaguminya itu, pergi mencari Gui Tiong, murid Siauw-lim-pai yang membuka perguruan silat ‘Bangau Putih’ di kota raja.

Gui Tiong adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sejak muda sudah tinggal di kota raja dan membuka perguruan silat ‘Bangau Putih’. Dia menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang di kota raja dan mempunyai seorang puteri bernama Gui Siang Lin.

Gadis ini tentu saja mewarisi ilmu silat ayahnya sehingga ia dikenal sebagai seorang gadis cantik yang lihai. Sebagai seorang wanita gagah ia tidak pemalu seperti gadis lain, bahkan ia membantu ayahnya dalam melatih silat kepada para murid Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau Putih).

Sayang bahwa semenjak Siang Lin berusia sepuluh tahun isteri Gui Tiong telah meninggal dunia. Nyonya Gui Tiong meninggal dunia karena wabah yang pernah mengamuk di kota raja sehingga menimbulkan banyak korban. Kini Gui Tiong yang berusia empat puluh lima tahun itu hidup sebagai seorang duda, bersama puterinya.

Gui Tiong yang kini berusia empat puluh lima tahun dan tetap menduda adalah seorang laki-laki yang perawakannya sedang tetapi tegap. Wajahnya cukup gagah dengan jenggot pendek dan tatapan matanya tajam. Gui Tiong terkenal dengan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) yang dia ajarkan, dan dia juga seorang ahli memainkan senjatanya, yaitu siang-to (sepasang golok).

Puterinya, Gui Siang Lin, yang berusia sembilan belas tahun, adalah seorang gadis yang berwajah bundar, berkulit putih mulus, matanya lebar, senyumnya manis dihias lesung di sepasang pipinya. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan sebagian digelung ke atas. Gadis yang cantik manis ini agak pendiam dan lembut, akan tetapi sikapnya tegas dan dia dapat memainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan indah dan kuatnya.

Sesuai dengan pendirian Siauw-lim-pai, selama ini Gui Tiong tak pernah memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah Mancu, sebab itu dia pun tidak pernah mendapat gangguan. Apa lagi banyak pemuda putera para pembesar yang belajar di perguruan itu.

Akan tetapi, biar pun dia tidak pernah memperlihatkan sikap menentang penjajah Mancu, di dalam hatinya Gui Tiong tetap tidak sudi diperalat oleh penjajah. Bahkan pelajaran silat yang dia berikan kepada para pemuda Mancu hanya kulit dan kembangannya saja. Intinya hanya dia ajarkan kepada puterinya.

Bu Kong Liang tidak menemukan kesulitan untuk mencari guru silat yang masih terhitung susiok-nya (Paman Gurunya) itu. Gui Tiong pernah belajar silat di Siauw-lim-pai, sungguh pun tidak mencapai tingkat terakhir, dan Bu Kong Liang adalah murid Thian Beng Hwesio yang merupakan murid Siauw-lim-pai satu angkatan dengan Gui Tiong. Hanya bedanya Thian Beng Hwesio terus memperdalam ilmu silatnya sehingga kini menjadi pelatih ilmu silat di kuil Siauw-lim. Karena itu, biar pun Gui Tiong merupakan susiok dari Kong Liang, namun dalam hal tingkat ilmu silat, sang murid keponakan ini lebih tinggi.

Setelah menemukan rumah susiok-nya, pada suatu pagi Bu Kong Liang berdiri di depan rumah yang cukup besar dan memandang ke arah papan nama perguruan silat ‘PEK HO BUKOAN’.

Dengan gembira akan tetapi juga tegang karena selama hidup belum pernah dia bertemu dengan Gui Tiong, hanya mendengar namanya saja dari Thian Beng Hwesio, Kong Liang menghampiri pintu depan rumah itu. Dia mengetuk pintu, akan tetapi agaknya tidak ada yang mendengarnya karena pada saat itu terdengar suara bentakan dan hentakan kaki orang-orang yang sedang berlatih silat sehingga suara ketukannya tidak terdengar.

Kong Liang mendorong daun pintu yang ternyata tidak terpalang dari dalam. Dia melihat ada belasan orang laki-laki, tua muda tengah berlatih silat dan dia mengenal gerakan kaki tangan mereka itu sebagai ilmu silat Siauw-lim-pai, biar pun gerakan mereka tampak kaku karena tidak berbakat. Yang membuat dia merasa sangat heran, di antara belasan orang murid yang tingkatnya masih rendah dan gerakannya hanya mengandalkan kekuatan otot itu terdapat seorang gadis yang amat manis!

Gadis itu adalah Gui Siang Lin. Seperti biasanya, dia mewakili ayahnya memberi petunjuk kepada para murid itu dan ia pun mengerti bahwa ayahnya hanya mengajarkan dasar dan kembangan saja. Para murid itu mempelajari ilmu silat hanya untuk gagah-gagahan saja. Mereka cukup puas kalau sudah dapat melakukan gerakan yang tampak indah dan gagah dan sudah merasa dirinya hebat.

Melihat Kong Liang yang sekarang berdiri di ambang pintu yang sudah terbuka itu, Siang Lin memandang heran karena ia tidak mengenal pemuda itu. Ia lalu memesan para murid untuk melanjutkan latihan mereka, dan melangkah keluar menghampiri tamu itu.

Melihat gadis itu menghampirinya, Bu Kong Liang segera mengangkat kedua tangannya di depan dada memberi hormat yang dibalas oleh Siang Lin yang sudah biasa berhadapan dengan tamu lelaki yang hendak belajar silat. Ia mengira bahwa pemuda ini tentu datang untuk belajar ilmu silat seperti yang lain.

“Maaf, Nona, kalau kunjunganku ini mengganggu kesibukanmu,” kata Kong Liang.

Siang Lin tersenyum. Begitu bertemu, ia melihat bahwa pemuda ini berbeda dengan para murid ayahnya. Dia melihat sikap sopan pemuda ini yang wajar dan keluar dari dalam. Hal ini dapat dia ketahui dari pandang mata pemuda ini. Pemuda-pemuda lain kalau berbicara dengannya, sikap sopannya hanya dibuat-buat akan tetapi ia dapat melihat pandang mata yang penuh berahi kepadanya. Namun pemuda ini memandangnya dengan jujur, bahkan sinar matanya demikian tajam berwibawa.

“Engkau tidak mengganggu. Siapakah engkau dan apakah engkau datang berkunjung ke sini untuk belajar ilmu silat?”

“Tidak, Nona. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat, melainkan untuk bertemu dengan pemimpin Pek-Ho Bu-koan. Bukankah yang menjadi pemimpin perguruan ini bernama Gui Tiong?”

Siang Lin memandang tajam penuh selidik dan dia mulai merasa curiga. Hal ini tidak aneh karena dia tahu bahwa sebagai seorang murid Siauw-lim-pai yang menentang kejahatan, tentu saja ayahnya dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat dari dunia kangouw (sungai telaga/ persilatan).

“Kalau bukan untuk belajar ilmu silat, lantas apa keperluanmu hendak menemui ayahku? Kauwsu (Guru Silat) perguruan ini memang Gui Tiong, ayahku.”

“Ahh… maafkan aku. Aku adalah Bu Kong Liang dan aku datang untuk bertemu dengan susiok (Paman Guru) Gui Tiong.”

“Susiok...? Kalau begitu, engkau ini... murid Siauw-lim-pai?”

“Benar, Nona. Aku datang dari Siauw-lim-pai dan Suhu Thian Beng Hwesio yang memberi-tahu agar aku menemui Susiok Gui Tiong di sini.”

“Ah, kalau begitu kita masih ada hubungan perguruan! Namaku Gui Siang Lin, Bu Suheng (Kakak Seperguruan Bu). Mari kuantar menemui Ayah di dalam!”

“Terima kasih, Sumoi (Adik Seperguruan)!” kata Kong Liang dengan hati girang. Dia lalu mengikuti Siang Lin memasuki rumah dan melewati para murid yang masih berlatih silat di halaman depan rumah itu.

“Sekarang kalian boleh istirahat dulu, nanti latihannya akan kita lanjutkan lagi,” kata Siang Lin kepada belasan orang yang belajar ilmu silat itu.

Para murid itu berhenti lalu mengaso di bawah pohon yang tumbuh di tepi halaman. Dua orang dari mereka berbisik-bisik membicarakan tamu yang baru datang.

“Kau dengar tadi? Pemuda itu murid Siauw-lim-pai, dia murid keponakan Suhu Gui Tiong. Hemm, mencurigakan sekali. Mau apa Siauw-lim-pai menghubungi Suhu Gui Tiong?” kata seorang dari mereka yang usianya sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus kering seperti orang berpenyakitan.

“Hemm, ini perlu kita laporkan. Pergilah, aku akan memberi-tahu Nona Gui bahwa engkau merasa sakit perut dan pamit pulang lebih dulu,” bisik orang ke dua yang bertubuh gemuk dan usianya sekitar tiga puluh tahun.

Si Kurus Kering mengangguk, kemudian bangkit berdiri, menekan perut dan menyeringai, lalu dipapah keluar oleh Si Gendut yang berkata kepada para murid lain bahwa Si Kurus itu sakit perut dan hendak pulang lebih dulu.

Sementara itu Kong Liang bersama Siang Lin memasuki ruangan samping rumah itu. Gui Tiong yang sedang duduk di sana, memandang heran melihat puterinya masuk bersama seorang pemuda.

“Ayah, ini adalah Suheng Bu Kong Liang, murid Supek (Uwa Guru) Thian Beng Hwesio yang datang hendak bertemu Ayah,” kata Siang Lin. Kong Liang segera merangkap kedua tangan dan memberi hormat kepada laki-laki setengah tua itu.

Mendengar ucapan puterinya, Gui Tiong segera bangkit lantas membalas penghormatan Kong Liang. “Ah, kiranya murid Suheng Thian Beng Hwesio? Kalau begitu engkau datang dari Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim)?”

“Benar, Susiok. Suhu mengirim salam untuk Susiok.”

“Ah, duduklah, Kong Liang! Gembira sekali aku mendapat kunjungan seorang keponakan murid yang datang dari Siauw-lim-si! Siang Lin, cepat ambilkan minuman untuk suheng-mu!”

“Tidak perlu repot, Sumoi!”

“Ah, minuman tinggal ambil saja, Suheng!” kata Siang Lin dan segera gadis ini keluar dari ruangan. Tidak lama kemudian dia kembali lagi sambil membawa minuman air teh.

“Suheng, silakan duduk dan bicara dengan Ayah. Aku harus mengurus latihan para murid tadi.” Setelah berkata demikian Siang Lin keluar lagi.

“Nah, Kong Liang, coba kau ceritakan bagaimana keadaan Siauw-lim-pai sekarang. Sudah belasan tahun aku tidak pernah mendengar beritanya semenjak aku meninggalkan Kuil Siauw-lim.”

Dengan singkat Kong Liang lalu menceritakan tentang kuil Siauw-lim, dan memberi-tahu bahwa kini yang bertugas melatih murid-murid tingkat akhir adalah gurunya, yaitu Thian Beng Hwesio.

Gui Tiong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, memang Suheng Thian Beng memiliki bakat yang jauh melampaui aku dan tentu dia telah memperoleh kemajuan pesat karena dia begitu tekun berlatih memperdalam ilmunya.”

“Setelah saya tamat belajar, Suhu dan para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus saya untuk pergi merantau ke kota raja, untuk melihat bagaimana keadaan rakyat setelah pemerintah dikuasai oleh bangsa Mancu. Suhu memesan agar kalau sampai di kota raja saya harus mencari Susiok dan minta keterangan kepada Susiok tentang keadaan di kota raja.”

Gui Tiong memberi-tahukan bahwa keadaan di kota raja baik saja dan bahwa pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) mau menyesuaikan diri dengan kebudayaan bangsa pribumi Han dan ada banyak orang Han diangkat menjadi pejabat pemerintah. Juga bahwa pemerintah Mancu bersikap baik terhadap perkumpulan-perkumpulan. Kerajaan Ceng hanya bersikap keras dan tegas terhadap mereka yang menunjukkan sikap memberontak.

“Karena itu sikap yang diambil Siauw-lim-pai agar tidak memancing permusuhan dan tidak melawan pemerintah Ceng, cukup bijaksana. Buktinya, biar pun semua orang mengetahui bahwa aku adalah murid Siauw-lim-pai, namun aku tidak pernah diganggu, bahkan boleh membuka perguruan silat dan yang datang belajar silat bahkan banyak kaum bangsawan dan hartawan.”

“Suhu juga berpesan seperti itu, Susiok. Para murid Siauw-lim-pai diharuskan menjaga diri supaya jangan menentang pemerintah, tetapi bersikap sebagai pendekar yang menentang kejahatan dan membela yang benar. Kalau ada yang ingin menentang Pemerintah Mancu, dipersilakan pergi ke Secuan dan membantu pemerintah Raja Muda Wu Sam Kwi. Akan tetapi, biar pun saya tidak pernah menentang, tanpa sebab saya dihadang dan dikeroyok seregu prajurit Mancu. Beruntung saya dapat meloloskan diri, Susiok.”

“Ahh, mengapa tanpa sebab engkau dihadang dan dikeroyok oleh pasukan kerajaan?” Gui Tiong bertanya heran dan khawatir.

“Mereka hanya mengatakan bahwa aku murid Siauw-lim-pai dan menjadi pemberontak.”

“Hemm, ini aneh sekali. Padahal mereka tahu bahwa aku murid Siauw-lim-pai, akan tetapi aku tidak pernah diganggu.”

Mereka lalu bercakap-cakap dengan asyik…..

********************

Sementara itu Gui Siang Ling yang keluar lalu menemui para murid yang sedang berlatih. Mereka tampak sudah kelelahan karena memang sudah sejak pagi sekali mereka berlatih. Karena dia ingin sekali turut bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang, Siang Lin kemudian menghentikan latihan itu dan menyuruh para murid pulang.

Akan tetapi ada seorang murid pribumi Han yang berusia sekitar tiga puluh tahun, sengaja membiarkan dirinya tertinggal dan setelah tidak ada murid lain, dia menghampiri Siang Lin lalu berkata dengan suara berbisik.

“Siocia (Nona), aku tadi mendengar Ma Kiu bicara dengan Lui Hok tentang Suheng Nona tadi, lalu Ma Kiu pergi meninggalkan tempat latihan dengan alasan sakit perut, sebetulnya dia hendak melaporkan kedatangannya, dan agaknya mereka berdua mencurigai Suheng Nona.”

Tentu saja Siang Lin menjadi terkejut bukan kepalang. “Ma Kiu? Orang setengah tua yang mengaku sebagai pembantu kantor Jaksa Ji, yang tubuhnya kurus kering itu?”

“Benar, Siocia.”

“Dia hendak melaporkan tentang apa? Suheng-ku tidak melakukan pelanggaran apa pun, dan kepada siapa dia hendak melaporkan?”

“Mereka tidak mengatakan kepada siapa, Siocia. Saya hanya ingin memberi-tahu supaya Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Nona mengetahui dan berhati-hati.”

“Terima kasih, dan sekarang pulanglah.”

Setelah murid itu keluar, Siang Lin segera menutupkan pintu gerbang di depan halaman, memanggil seorang pelayan laki-laki setengah tua yang sedang membersihkan halaman bekas tempat latihan itu, lantas memesan agar menjaga di situ dan melaporkan kalau ada yang datang bertamu. Setelah itu Siang Lin pun bergegas memasuki rumah dan langsung menemui ayahnya yang sedang bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang.

“Ayah, di luar ada suatu kejadian yang mencurigakan dan agaknya cukup gawat,” katanya melaporkan. “Menurut salah seorang murid, Ma Kiu mencurigai Bu Suheng dan dia akan melaporkan kepada atasannya yang tidak diketahui entah siapa.”

Gui Tiong mengerutkan alisnya. “Ma Kiu? Pekerja di kantor Jaksa Ji itu? Hemm, sejak dia menjadi murid di sini setahun yang lalu, aku telah mencurigainya. Aku yakin dia itu hanya berpura-pura saja belajar silat. Dari sinar matanya aku dapat menduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang memiliki tenaga dalam cukup kuat. Tentu dia menjadi murid di sini untuk memata-matai, akan tetapi karena perguruan ini memang tidak memiliki niat untuk menentang pemerintah, aku juga hanya diam dan tenang-tenang saja.”

“Aihh, kalau begitu kedatangan saya ini hanya menimbulkan masalah dan kesulitan bagi Susiok!” kata Bu Kong Liang dengan suara menyesal. “Lebih baik saya pergi secepatnya agar jangan mendatangkan kesulitan bagi Susiok.”

“Tidak, Kong Liang. Kau jangan khawatir, para pejabat tidak akan mengganggu kita. Aku mengenal banyak pejabat dan selama belasan tahun ini mereka tentu sudah yakin bahwa aku sama sekali tidak pernah menentang pemerintah. Biarkan saja kita dicurigai dan kita pura-pura tidak tahu saja. Kalau engkau pergi dari sini lalu mereka datang bertanya, tentu kecurigaan mereka bertambah melihat engkau telah pergi tanpa aku dapat memberi-tahu ke mana pergimu. Tenang sajalah, kita hadapi bersama.”

“Benar, Suheng. Kalau kita tidak bersalah apa pun, untuk apa melarikan diri seperti orang yang bersalah?”

“Pendapat Susiok dan Sumoi memang benar, akan tetapi hendaknya Susiok ingat bahwa seperti yang saya ceritakan tadi, saya pernah dihadang dan dikeroyok oleh seregu prajurit yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin karena dituduh sebagai pemberontak. Pada waktu itu muncul Ang-mo Niocu, seorang penyelidik utusan Raja Muda Wu Sam Kwi di Secuan dan ia telah membunuh enam orang prajurit. Dengan adanya peristiwa itu, tentu saya dianggap sebagai pemberontak dan jika saya tidak cepat meninggalkan rumah ini, Susiok dan Sumoi pasti akan terbawa-bawa.”

“Hal itu juga dapat kita jelaskan. Tanpa sebab engkau dihadang dan diserang, tentu saja engkau berhak membela diri. Kalau di antara para pengeroyok itu ada yang tewas, itu pun bukan kesalahanmu, apa lagi seperti kau ceritakan tadi, yang membunuh adalah Ang-mo Niocu, bukan engkau. Tenanglah, di kota raja ini banyak pejabat yang adil, aku pasti akan membelamu.”

“Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin, aku seperti pernah mendengar nama itu, Ayah!”

“Tentu saja. Mereka cukup terkenal di sini. Mereka adalah dua orang di antara para jagoan yang menjadi anak buah Pangeran Leng Kok Cun.”

Kong Liang mengangguk. “Saya pun sudah mendengar tentang itu dari seorang pendekar wanita bernama Thian Hwa yang pernah bentrok dengan mereka.”

“Wah, Bu Suheng mempunyai banyak kawan pendekar wanita, ya? Tadi Ang-mo Niocu, sekarang Thian Hwa! Tentu mereka itu lihai dan cantik!”

Wajah Kong Liang berubah merah. “Bukan kawan, hanya kebetulan bertemu kemudian berkenalan saja, Sumoi.”

“Sudahlah, Kong Liang. Menurut aku sebaiknya engkau tinggal dulu di sini. Kalau engkau pergi malah mungkin akan menyusahkan kami. Apa bila ada petugas pemerintah datang, kita hadapi berdua, akan tetapi kuperingatkan lebih dulu, jangan sekali-kali menggunakan kekerasan untuk melawan. Hal itu bahkan akan memperuncing keadaan dan menambah kecurigaan mereka.”

Akhirnya Kong Liang terpaksa menyetujui walau pun dia merasa tak enak kepada paman gurunya. Dia tidak menceritakan betapa dia dan Thian Hwa juga menghajar seorang jaksa berikut para prajurit pengawalnya. Dia merasa serba salah.

Kalau dia pergi, akibatnya Gui Tiong dan Gui Siang Lin dicurigai lalu ditekan pemerintah, hal itu akan memperlihatkan bahwa dia seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab! Akan tetapi kalau dia tinggal di sana, susiok dan sumoi-nya itu akan terseret atau terlibat urusannya dengan pasukan kerajaan! Di antara dua pilihan itu, dia memilih yang pertama. Dia akan tinggal di situ dan menghadapi segala kemungkinan bersama Gui Tiong supaya dia dapat membantu kalau sampai ada bahaya mengancam paman gurunya.

Apa yang mereka khawatirkan ternyata terjadi pada siang hari itu juga. Seorang perwira dengan dua losin orang prajurit keamanan datang membawa surat perintah Jaksa Ji untuk memanggil Gui Tiong dan pemuda yang menjadi tamunya menghadap.

“Harap Gui Kauwsu dan tamunya suka ikut dengan baik dan tidak melakukan perlawanan agar kami tak perlu menggunakan kekerasan,” kata perwira itu yang sudah mengenal Gui Tiong.

Bu Kong Liang mengerutkan alis, akan tetapi Gui Tiong memberi isyarat dengan pandang matanya agar pemuda itu tidak mengeluarkan bantahan.

“Aihh, Ciangkun (Perwira), mengapa harus melawan? Kami tidak merasa bersalah, maka tentu saja kami akan menaati panggilan Ji Thaijin.”


Ketika Gui Siang Lin keluar, ayahnya berkata kepadanya. “Siang Lin, engkau jaga rumah dan sebaiknya para murid diliburkan dahulu. Aku dan Kong Liang hendak pergi ke kantor Jaksa Ji untuk memenuhi panggilannya.”

“Kenapa Ayah dipanggil Jaksa Ji?” Siang Lin bertanya.

“Ahh, mungkin ada urusan yang hendak beliau tanyakan. Tapi jangan khawatir, Siang Lin. Jaksa Ji orangnya baik, pasti tidak ada apa-apa.”

“Baiklah, Ayah,” kata gadis itu.

Diam-diam Bu Kong Liang kagum kepada ayah dan anak ini. Apa bila mereka melakukan perlawanan tentu Siang Lin juga akan ditangkap. Tetapi karena Gui Tiong bersikap lunak, maka pasukan itu juga tidak bertindak kasar sehingga mereka berdua kini hanya dikawal saja tanpa dibelenggu menuju ke kantor Jaksa Ji.

Setelah tiba di kantor itu, ternyata Jaksa Ji telah menunggu dengan mengenakan pakaian kebesarannya. Dengan sikap angkuh dia duduk di atas kursi, dan belasan orang prajurit pengawal berjaga di situ dengan senjata pedang di tangan.

Gui Tiong dan Kong Liang dikawal masuk dan setelah tiba di ruangan itu dan berhadapan dengan Jaksa Ji, Gui Tiong cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil membungkuk, ditiru oleh Kong Liang. Akan tetapi perwira pengawal di belakang mereka membentak.

“Hayo kalian berdua berlutut memberi hormat kepada Ji Thaijin!”

Mendengar bentakan ini Gui Tiong segera berlutut, dan biar pun hatinya terasa mengkal, terpaksa Kong Liang juga ikut berlutut. Gui Tiong maklum bahwa dia diperlakukan sebagai seorang terdakwa, maka diharuskan berlutut. Padahal biasanya dia bersikap biasa saja terhadap jaksa yang sudah dikenalnya ini.

“Ji Thaijin, saya Gui Tiong dan murid keponakan saya bernama Bu Kong Liang, memberi hormat memenuhi panggilan Thaijin,” kata Gui Tiong sambil berlutut.

“Gui Tiong!” kata Jaksa Ji dengan suara kereng. “Sudah tahukah engkau akan dosamu?”

“Ji Thaijin, sesungguhnya saya masih merasa amat heran dan tidak tahu mengapa Thaijin memanggil kami, maka mohon Thaijin menjelaskan apakah maksud Thaijin mengatakan bahwa saya berdosa? Dosa apakah yang telah saya lakukan?”

“Hemm, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Jaksa Ji mengejek. “Kami sudah mendapatkan kabar dari Pangeran Lu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai yang memberontak. Karena dia berada di rumahmu, berarti engkau menyembunyikan seorang pemberontak! Oleh karena itu, sambil menanti keputusan pengadilan, kalian harus ditahan di dalam penjara!”

“Maaf, Thaijin, saya memprotes! Saya memang murid Siauw-lim-pai, tetapi tidak pernah memberontak. Andai kata sayalah yang dituduh memberontak, kenapa Susiok Gui Tiong ikut ditahan pula? Dia bersama puterinya sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan saya. Bahkan baru pagi tadi saya mengunjungi paman guru saya ini. Maka mohon Thaijin membebaskan Susiok Gui Tiong!” kata Bu Kong Liang dengan lantang.

“Ssstt, Kong Liang, jangan berkata begitu. Aku yakin penangkapan ini hanya akibat fitnah. Biarlah di pengadilan nanti kita bicara membela diri kita yang tidak bersalah.”

“Diam kalian!” bentak jaksa itu, lalu menoleh kepada para prajurit pengawal. “Masukkan mereka dalam penjara!”

Andai kata Kong Liang seorang diri dan tidak melibatkan paman gurunya, tentu dia takkan sudi ditawan, dia akan mengamuk dan meloloskan diri. Tapi dia maklum bahwa kalau dia berbuat demikian, dia malah membahayakan keselamatan guru dan adik seperguruannya. Tentu saja dia tidak mau hal ini terjadi.

Maka dia pun menurut saja ketika dia dan Gui Tiong digiring belasan orang prajurit menuju rumah penjara di mana mereka berdua dimasukkan sebuah kamar tahanan yang kokoh dan berterali besi amat kuatnya. Rumah tahanan itu dijaga banyak prajurit, bahkan di luar sel mereka terlihat lima orang prajurit duduk berjaga.....








KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 07

Tadi mereka datang menghadap Jaksa Ji tanpa membawa senjata. Gui Tiong yang sudah melarang murid keponakannya membawa senjata. Guru silat ini mengetahui bahwa pada masa itu, sudah dikeluarkan pengumuman bahwa rakyat yang bukan petugas pemerintah, dilarang membawa senjata. Setelah mereka berdua dimasukkan dalam sel, mereka duduk bersila di atas lantai batu yang keras dan dingin.

“Susiok, ini sangat tidak adil!” Kong Liang berkata lirih penuh penyesalan. “Jika saya yang dituduh sebagai pemberontak, kenapa Susiok juga ikut ditahan? Maka dalam persidangan pengadilan, harap Susiok jangan membela saya. Katakan saja terus terang bahwa saya datang berkunjung sebagai sesama murid Siauw-lim-pai, dan Susiok tidak tahu menahu tentang semua perbuatan saya. Kalau hanya saya yang dihukum maka saya akan mudah berusaha untuk meloloskan diri. Sebaliknya Susiok tidak mungkin melakukan perlawanan karena itu akan membahayakan diri Sumoi Siang Lin.”

Gui Tiong tersenyum, sikapnya tenang sekali. “Jangan khawatir, Kong Liang. Aku percaya bahwa Jaksa Ji tak bermaksud buruk. Seperti katanya tadi, dia hanya memenuhi perintah Pangeran Lu. Bagaimana kita akan bersikap dan bertindak, kita tunggu saja sampai nanti di pengadilan. Jangan risau. Dalam keadaan begini kita harus tetap tenang dan kita harus mengumpulkan tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan.”

Sore harinya, seorang penjaga mengantar makan dan minum untuk mereka, dimasukkan lewat sela-sela terali. Prajurit itu yang mengenal Gui Tiong berkata ramah. “Gui Kauwsu, kalau membutuhkan sesuatu, beri-tahu saja kepada kami.”

“Terima kasih,” kata Gui Tiong.

Mereka lalu makan minum dan makanan yang diberikan ternyata cukup baik. Gui Tiong memberi-tahu Kong Liang bahwa jika melihat makanan yang mereka terima itu saja sudah membedakan mereka dengan tahanan biasa. Agaknya mereka diperlakukan dengan baik dan kenyataan ini menunjukkan bahwa pembesar yang menyuruh menangkap mereka itu tentu mempunyai maksud lain.

Malam itu para penjaga penjara tampak sibuk sekali. Bahkan di depan sel yang ditempati Gui Tiong dan Bu Kong Liang kini dijaga belasan orang prajurit yang sudah siap dengan senjata di tangan. Namun mereka hanya berdiri tegap dengan sikap hormat, sama sekali tidak mengeluarkan suara.

Gui Tiong dan Kong Liang memandang kesibukan itu dari balik terali. Tak lama kemudian tampak seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tiga tahun, bertubuh bongkok dan mukanya buruk.

Orang tua ini tampak ringkih (lemah), akan tetapi dia berpakaian mewah sekali. Di tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat hitam, tangan kanannya memegang sebuah kipas dan di ikat pinggangnya terselip tujuh buah belati. Kalau melihat dandanannya, orang ini sama sekali tidak kelihatan garang menakutkan, melainkan tampak aneh dan lucu sekali. Tetapi jika orang mendengar namanya, dia tentu akan terkejut dan juga takut.

Kakek aneh ini adalah Pat-chiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan Delapan) yang namanya di dunia kangouw terkenal sebagai seorang yang sakti. Di samping ilmu tongkatnya yang hebat, ia pandai memainkan kipas yang kini dia pakai mengebuti badannya, sebagai senjata yang ampuh. Kipasnya itu disebut Yangliu-san (Kipas Cemara) karena bentuknya seperti pohon cemara. Selain itu, ilmunya menyambit dengan hui-to (belati terbang) juga amat dahsyat. Dia selalu membekali dirinya dengan tujuh batang belati yang dapat dia terbangkan untuk menyerang lawan. Pada saat itu Pat-chiu Lo-mo adalah seorang di antara para pembantu utama Pangeran Leng Kok Cun!

Di belakang kakek itu berjalan lima orang pria yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun. Kelima orang ini bertubuh tinggi besar dan tegap, tampak gagah. Mereka adalah saudara seperguruan yang terkenal dengan julukan Twa-to Ngo-liong (Lima Naga Bergolok Besar). Sungguh aneh kalau melihat betapa kakek bongkok yang tampak berpenyakitan itu malah menjadi pimpinan lima orang yang tampak kokoh kuat itu!

Setelah tiba di luar sel mereka berhenti dan kakek itu memandang ke arah Gui Tiong dan Bu Kong Liang.

“Kalian yang bernama Gui Tiong dan Bu Kong Liang?”

“Betul,” jawab Gui Tiong yang belum pernah bertemu dengan kakek itu karena memang Pat-chiu Lo-mo tidak pernah keluar dari istana Pangeran Leng Kok Cun.

“Hemm, ketahuilah kalian berdua, bahwa kami datang sebagai utusan Pangeran Leng Kok Cun untuk bertanya kepada kalian. Kalian dipersilakan memilih satu di antara dua pilihan. Pertama, kalian akan diadili sebagai pemberontak-pemberontak dan pasti akan dihukum mati. Ada pun yang ke dua, kalian akan bebas dari tuduhan kalau kalian mau membantu Pangeran Leng dan melaksanakan segala perintahnya, malah kalian juga akan menerima imbalan yang amat berharga. Nah, kalian memilih yang mana? Menolak, berarti diadili dan dihukum mati, kalau menerima, mari menghadap Pangeran Leng malam ini juga!”

Melihat sikap kakek bongkok ini, Kong Liang sudah merasa tak senang. Dia pun bertanya dengan suara tegas. “Kalau kami mau, lalu disuruh melakukan apa?”

“Hal itu akan ditentukan oleh Pangeran Leng sendiri! Bagaimana jawabanmu, Gui Tiong? Engkau menerima atau menolak tawaran Pangeran Leng?” tanya Pat-chiu Lo-mo.

“Kalau benar Pangeran Leng Kok Cun yang ingin agar kami membantunya, kenapa beliau tidak langsung saja menemui kami? Mengapa harus lebih dulu menangkap kami dengan tuduhan yang bohong? Lagi pula bagaimana kami tahu bahwa engkau benar-benar diutus oleh Pangeran Leng? Kami tidak mengenalmu, sobat,” kata Gui Tiong yang bersikap hati-hati.

“Hemm, bagaimana mungkin Pangeran Leng merendahkan diri berkunjung ke rumahmu, Gui Kauwsu? Tuduhan itu bukan fitnah. Engkau sudah menyembunyikan pemuda ini yang memberontak dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Agaknya engkau belum mengenal aku, bukan? Aku dikenal sebagai Pat-chiu Lo-mo dan bekerja membantu Pangeran Leng. Nah, cukuplah, cepat beri keputusan. Engkau menolak atau bersedia kubawa menghadap Pangeran Leng sekarang juga?”

Kini Gui Tiong dapat menduga bahwa penangkapan ini tentu atas perintah Pangeran Leng yang memiliki kekuasaan besar. Dia teringat akan cerita Bu Kong Liang betapa pemuda itu pernah bentrok dengan dua orang jagoan kaki tangan Pangeran Leng, yaitu Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin. Tentu karena itulah Kong Liang dianggap sebagai pemberontak.

Akan tetapi sebetulnya pemuda itu bukan seorang pemberontak, melainkan tanpa alasan dihadang dan diserang pasukan yang dipimpin dua orang jagoan itu. Dia mengerti bahwa kalau menolak, nyawa mereka pasti tak akan tertolong lagi. Akan tetapi kalau menyerah, apakah dia bersama murid keponakannya harus membantu Pangeran Leng yang bersaing dengan para pangeran lain untuk menjadi pengganti Kaisar?

Melihat paman gurunya bimbang dan ragu, Kong Liang menyentuh pinggangnya sebagai isyarat dan berkata, “Susiok, kita terima sajalah dan menghadap Pangeran Leng!”

Gui Tiong maklum bahwa penyerahan diri Kong Liang ini mungkin hanya siasat pemuda itu. Akan tetapi kakek itu adalah seorang yang sangat cerdik. Dia pun maklum dan dapat menduga bahwa mungkin sesudah keluar dari situ dan dibawa ke istana Pangeran Leng, dua orang ini akan melawan dan melarikan diri. Dia sudah mendengar akan kelihaian para murid Siauw-lim-pai ini, maka jika benar seperti yang dia duga, berarti dia membahayakan diri sendiri. Kalau mereka sampai lolos, tentu dia mendapat marah besar dari majikannya!

Walau pun dia sudah mengajak Twa-to Ngo-liong dan di luar masih ada dua losin prajurit yang akan mengawal dua orang tawanan ini menuju istana Pangeran Leng, namun kalau dua orang ini mengamuk, tetap saja ada bahaya mereka atau seorang dari mereka dapat lolos! Akan tetapi kakek bongkok ini tidak merasa khawatir, bahkan dia tertawa terkekeh-kekeh.

“He-he-heh-heh, jangan kalian berniat yang bukan-bukan. Cepatlah karena puterimu juga sudah menanti di sana, Gui Kauwsu!”

Seketika wajah Gui Tiong berubah pucat. “Apa? Anakku Siang Lin juga kalian tawan? Apa salahnya? Awas kalau ada yang berani mengganggu anakku!” teriaknya marah.

Kong Liang juga terkejut mendengar ini dan dia mengepal tinju. Memang tadi dia memberi isyarat kepada paman gurunya dengan maksud untuk mengajak paman gurunya melawan dan memberontak di tengah perjalanan menuju istana Pangeran Leng lalu melarikan diri. Akan tetapi mendengar bahwa Siang Lin sudah berada di tangan mereka, maka tentu saja dia pun merasa tidak berdaya!

“Heh-heh-heh, jangan marah dan jangan khawatir, Gui Kauwsu. Puterimu hanya diundang ke sana untuk meyakinkan kalian bahwa Pangeran Leng memang berniat baik. Jika kalian bersedia menjadi pembantunya dan menaati semua perintahnya, pasti semuanya berjalan dengan baik. Mari kita berangkat karena beliau sudah menunggumu! Bagaimana, engkau bersedia, Gui Kauwsu?”

Gui Tiong merasa tidak berdaya sama sekali. Kini puterinya disandera, maka tidak ada pilihan lain kecuali menyerah.

“Baiklah, Lo-mo, aku siap menghadap Pangeran Leng. Tetapi dia ini tidak ada urusannya denganku, maka harap segera dibebaskan. Aku yang siap membantu Pangeran Leng!”

“Tidak!” Bu Kong Liang berseru. “Aku yang menyebabkan semua ini maka aku harus ikut bertanggung jawab!”

“Bagus!” kata Pat-chiu Lo-mo. “Memang Pangeran Leng menghendaki kalian berdua yang ikut menghadap beliau!”

Kakek bongkok itu lalu memberi tanda kepada kepala penjara yang cepat membuka pintu sel tahanan itu. Gui Tiong dan Bu Kong Liang diperintah dan dibawa keluar. Di luar sudah menunggu dua losin prajurit dan kedua orang murid Siauw-lim-pai itu lalu dikawal menuju istana Pangeran Leng.

Kalau saja Siang Lin tidak berada di tangan Pangeran Leng, sudah pasti dua orang murid Siauw-lim-pai itu akan memberontak dan melarikan diri. Mereka tidak gentar menghadapi enam orang jagoan dan dua losin prajurit itu. Akan tetapi ditawannya Siang Lin membuat mereka tidak berdaya, tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah dan menurut.

Setelah tiba di gedung berupa istana megah itu, Gui Tiong dan Kong Liang dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan luas yang diterangi banyak lampu besar dan berisikan perabot rumah yang serba indah. Di situ telah duduk Pangeran Leng Kok Cun. Di luar ruangan itu berjaga banyak prajurit pengawal dan di belakang Sang Pangeran terdapat pula belasan orang yang duduk berjajar. Mereka tampak gagah dan menyeramkan.

Gui Tiong sudah pernah melihat Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi Bu Kong Liang baru sekarang melihatnya/ Dia memandang penuh perhatian.

Pangeran itu mengenakan pakaian yang indah gemerlapan. Usianya sekitar empat puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, akan tetapi matanya yang lincah dan tajam itu membayangkan kecerdikan, wibawa, serta kekuatan. Tidak mungkin orang yang memiliki pandang mata seperti itu adalah seorang yang lemah, pikir Kong Liang.

“Kalian berdua duduklah!” kata Sang Pangeran mempersilakan kedua orang itu duduk di atas kursi-kursi yang terdapat di situ.

“Terima kasih, Pangeran.” Mereka berkata dan keduanya lalu duduk berhadapan dengan Sang Pangeran.

Melihat betapa pangeran itu mempersilakan mereka duduk di atas kursi dan berhadapan dengannya, tidak harus berlutut di atas lantai, diam-diam Gui Tiong memuji pangeran ini sebagai orang yang pandai mengambil hati orang. Dia menjadi semakin hati-hati karena sikap ini saja sudah membayangkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang cerdik sekali.

“Apakah kalian berdua sudah mendengar keterangan Locianpwe Pat-chiu Lo-mo tentang mengapa kalian kini dihadapkan kepadaku di sini?” tanya pangeran itu, suaranya lembut dan manis.

“Saya sudah mendengar dan mengerti, Pangeran. Akan tetapi sebelum kita bicara lebih lanjut, saya mohon dapat diperbolehkan melihat apakah benar anak perempuan saya kini berada di sini.”

“Hemm, ternyata engkau seorang yang cerdik dan tidak mudah dibohongi, Gui Kauwsu. Hal ini semakin memperkuat harga dirimu sebagai pembantu kami yang dapat dipercaya. Ketahuilah bahwa kami bukan tukang bohong. Tentu saja engkau boleh melihat puterimu agar yakin bahwa puterimu berada di tangan kami yang menanggung keselamatannya.”

Pangeran Leng memberi isyarat kepada seorang pengawal yang duduk di belakangnya. Orang itu, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar, memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Tidak lama kemudian daun pintu yang menembus ruangan itu terbuka dan di ambang pintu muncul Gui Siang Lin dengan kedua kakinya memakai gelang rantai baja yang panjang dan di belakang gadis itu terdapat lima orang menodongkan pedang mereka ke arah gadis itu!

“Siang Lin...!” Gui Tiong berseru khawatir.

“Tenanglah, Ayah!” kata gadis itu dengan suara lantang dan berani. “Dan jangan sampai Ayah menurut saja bila disuruh melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati Ayah. Lebih baik aku mati dari pada Ayah harus melakukan perbuatan jahat. Aku tak takut mati, Ayah!”

Mendengar ini, Pangeran Leng cepat memberi isyarat dan daun pintu itu ditutup kembali. Gui Tiong hanya mendengar suara rantai yang tergantung pada kaki puterinya itu diseret ketika gadis itu meninggalkan ruangan itu.

“Ha-ha-ha, ayahnya naga, puterinya tentu naga pula! Sungguh mengagumkan sekali! Akan tetapi jika engkau tidak mau membantu kami, maka dengan hati berat terpaksa aku akan menyerahkan puterimu kepada puluhan orang prajurit yang boleh berbuat apa saja pada dirinya, bahkan sampai mati! Dia akan tersiksa lahir batin sampai mati, dan kalian berdua juga tidak akan terbebas dari hukuman mati!”

Ancaman ini sungguh hebat. Meski pun tidak takut mati, Kong Liang sendiri menjadi ragu apakah dia akan melawan dengan kekerasan kalau keselamatan Gui Tiong dan Gui Siang Lin terancam. Terutama sekali ancaman terhadap Siang Lin membuat dia bergidik ngeri dan juga membuat mukanya menjadi merah saking marahnya.

“Baik, demi keselamatan anak saya, saya menyerah dan bersedia membantu Pangeran. Akan tetapi, pekerjaan apakah yang harus saya lakukan?” tanya Gui Tiong.

“Nanti dulu, yang kami inginkan adalah agar kalian berdua yang menyerah dan membantu kami, mentaati semua perintah kami. Sekarang engkau belum menyatakan kesediaanmu membantu kami, Bu Kong Liang. Ingat, engkau pernah membunuh prajurit kerajaan. Jika engkau menolak untuk membantu kami, berarti engkau memang seorang pemberontak yang menentang kerajaan kami. Kalau engkau bukan pemberontak, tentu dengan senang hati engkau akan membantu kami!”

Bu Kong Liang mengerutkan alisnya dan merasa tidak berdaya. Sekarang dia tahu bahwa dua orang anak buah pangeran ini, Phang Houw dan Louw Cin yang pernah mengerahkan prajurit mengeroyoknya, tentu sudah melaporkan kepada Pangeran Leng.

Boleh saja dia menyangkal bahwa yang membunuh prajurit bukan dia melainkan Ang-mo Niocu, akan tetapi apa gunanya? Tetap saja dia harus menyerah dan menurut, jika tidak, tentu Gui Tiong dan Gui Siang Lin akan celaka. Maka ia pun diam saja dan menyerahkan percakapan itu kepada susiok-nya.

Sesudah menghela napas panjang akhirnya Gui Tiong berkata, “Baiklah, Pangeran, untuk membuktikan bahwa kami berdua sama sekali bukan pemberontak, kami menyerah dan akan menaati perintah Paduka dan bersedia untuk membantu.”

“Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, akulah yang akan melindungi kalian dan takkan ada yang berani menuduh kalian pemberontak. Kalian adalah pembantu-pembantuku, tidak mungkin memberontak!”

“Terima kasih, Pangeran. Harap Paduka jelaskan, perintah apa yang harus kami lakukan?” tanya Gui Tiong dengan perasaan amat tidak enak.

“Jangan tergesa-gesa. Malam ini kalian beristirahatlah dahulu. Besok baru akan kami beri-tahukan, apa yang harus kalian lakukan untuk kami.” Pangeran Leng lalu berkata kepada Pat-chiu Lo-mo untuk membawa dua orang murid Siauw-lim-pai itu ke kamar mereka.

Gui Tiong dan Bu Kong Liang lalu dikawal Pat-chiu Lo-mo, Twa-to Ngo-liong dan ditambah empat orang pengawal lain dari mereka yang duduk di belakang Pangeran Leng, masuk ke dalam dan ternyata mereka mendapatkan kamar yang terpisah. Mereka terkejut dan kecewa, akan tetapi tidak dapat menolak.

Begitu memasuki kamar masing-masing, kamar yang tak berapa besar tapi cukup bersih dan perabotnya serba mewah, mereka berdua lantas duduk bersila di atas pembaringan untuk mengendalikan perasaan sambil mengumpulkan tenaga. Dalam keadaan seperti itu mereka harus selalu tenang dan sehat agar jika sewaktu-waktu harus bertanding, mereka sudah siap.

Agak sukar bagi kedua orang itu untuk dapat tidur pulas. Gui Tiong lalu membayangkan puterinya dan hatinya langsung merasa khawatir bukan main. Sedangkan Bu Kong Liang memikirkan nasib ayah dan anak itu.

Mereka tertimpa mala petaka akibat kunjungannya ke rumah mereka. Andai kata dia tidak datang berkunjung, tentu Gui Tiong dan puterinya masih berada di rumah mereka dalam keadaan selamat. Dia merasa menyesal bukan kepalang dan di dalam hatinya mengambil keputusan untuk membela ayah dan anak itu sekuat tenaga.

Pada keesokan harinya mereka belum juga ditemui Pangeran Leng. Mereka diperlakukan dengan baik, bahkan diberi kesempatan bertemu dengan Gui Siang Lin. Gadis itu berada dalam sebuah kamar lain yang pintunya berterali kokoh dan kuat. Dari luar pintu, mereka dapat melihat keadaan dalam kamar itu yang indah dan bersih.

Gui Tiong dapat bicara dengan puterinya melalui daun pintu itu dan diberi waktu beberapa lamanya oleh para prajurit yang mengawal mereka. Lega hatinya ketika Gui Tiong melihat betapa puterinya berada dalam keadaan sehat.

“Engkau baik-baik saja, Siang Lin?” tanya Gui Tiong.

Gadis itu mengangguk. “Mereka menganggap aku sebagai seorang tamu, dan sejauh ini mereka memperlakukan aku dengan baik dan sopan, Ayah. Bagaimana dengan Ayah dan Bu Suheng?”

“Kami pun baik-baik saja,” kata Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk kepada gadis itu ketika mereka saling berpandangan.

“Ayah, apa arti penangkapan ini? Apakah rencana Pangeran Leng terhadap kita bertiga?”

Gui Tiong menghela napas panjang. “Kami diminta untuk menyerah dan bersedia menjadi pembantu Pangeran Leng dan menaati semua perintahnya.”

“Perintah apa yang diberikan kepada Ayah dan Suheng yang harus kalian lakukan?”

“Kami belum tahu, belum menerima perintah melakukan sesuatu untuk Pangeran Leng.”

Pada saat itu Gui Tiong merasa betapa lengannya disentuh Kong Liang. Dia menengok dan melihat pemuda itu menujukan pandang matanya ke arah kaki Siang Lin. Cepat Gui Tiong menoleh dan melihat betapa kedua kaki puterinya tidak dibelenggu lagi, dia maklum isyarat apa yang diberikan pemuda itu. Setelah Siang Lin bebas tidak terbelenggu, tentu Kong Liang berpikir bahwa kini mereka bertiga dapat melawan dan melarikan diri dari situ.

Akan tetapi semenjak tadi Gui Tiong sudah melihat sesuatu dan kini dia memberi isyarat kepada Kong Liang dengan matanya mengerling ke atas. Pemuda itu memandang ke atas dan dia pun terkejut karena di atap kamar itu terdapat lubang-lubang dan tidak kurang dari enam batang anak panah tampak sudah siap diluncurkan ke bawah! Ini berarti bahwa di atas atap itu terdapat enam orang pemanah yang selalu siap menyerang Siang Lin.

Agaknya, bagaimana pun lihainya gadis itu, bila berada dalam kamar dan diserang enam batang anak panah dan tentu saja dapat disusul anak panah berikutnya, sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri. Apa lagi Kong Liang melihat betapa mata anak panah itu hijau kehitaman, tanda bahwa mata anak panah itu beracun.....!



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 08

Maka maklumlah Kong Liang bahwa Pangeran Leng yang cerdik itu telah mempersiapkan segala-galanya. Tidak mungkin bagi dia dan Gui Tiong untuk melawan karena akibatnya yang pertama adalah kematian Siang Lin akibat dihujani anak panah beracun! Tampaknya untuk sementara ini tidak ada jalan lain lagi kecuali menyerah dan melaksanakan perintah Pangeran Leng!

Waktu yang diberikan kepala pengawal bagi mereka untuk bicara dengan Siang Lin telah habis, dan mereka diminta supaya kembali ke kamar masing-masing. Seharian itu mereka mendapat makan minum yang cukup mewah, diantar ke kamar masing-masing. Mereka diberi kesempatan untuk mandi, bahkan pakaian Gui Tiong serta puterinya sudah diambil dari rumah mereka kemudian diberikan kepada mereka.

Juga buntalan pakaian Kong Liang diambil dari rumah Gui Tiong lantas diberikan pemuda itu. Uang yang terdapat di dalam buntalan itu dan senjata mereka berdua diserahkan juga! Gui Tiong menerima sepasang goloknya dan Bu Kong Liang sepasang siang-kek (senjata tombak pendek bercabang) miliknya.

Mereka berdua dapat menduga bahwa Pangeran Leng tentu merasa yakin akan ketidak-berdayaan mereka berdua. Memang perhitungan pangeran itu tepat sekali. Selama Siang Lin disandera, tentu saja keduanya tidak berani melawan karena hal itu berarti tewasnya Siang Lin!

Malam itu mereka diundang makan malam oleh Pangeran Leng. Sesudah mereka tiba di kamar makan yang luas, di sana telah duduk Pangeran Leng di kepala meja makan dan di situ hadir pula Pat-chiu Lo-mo yang bongkok, lima orang Twa-to Ngo-liong yang bertubuh tinggi besar serta dua orang lain yang membuat Bu Kong Liang menjadi merah mukanya karena marah.

Dua orang itu bukan lain adalah Hui-eng-to Phang Houw yang gemuk pendek dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang tubuhnya tinggi kurus! Mereka berdua itu hanya tersenyum ketika melihat Kong Liang memasuki ruangan bersama Gui Tiong.

“Ha, Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Bu Enghiong (Pendekar Bu), silakan duduk dan marilah makan bersama kami! Oh ya, perkenalkan ini Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin.”

Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk dan mereka lalu mengambil tempat duduk di atas dua buah kursi yang agaknya memang disediakan untuk mereka.

“Kita makan dulu baru nanti membicarakan hal penting!” kata Sang Pangeran dan dia lalu bertepuk tangan.

Sepuluh orang gadis pelayan yang muda dan cantik datang bagaikan sepuluh ekor kupu-kupu terbang. Agaknya mereka sudah diatur karena tanpa ragu-ragu mereka lalu masing-masing menghampiri seorang tamu. Dengan gaya yang manis dan lembut sopan mereka menuangkan arak ke dalam cawan sepuluh orang itu.

Mereka lalu makan minum, dilayani masing-masing oleh seorang pelayan yang membuat Bu Kong Liang merasa tak tenang. Dia merasa amat canggung dan malu dilayani seorang gadis, hal yang belum pernah dia alami sepanjang hidupnya!

Setelah selesai makan minum, Pangeran Leng lalu mengajak sepuluh orang itu ke sebuah kamar yang biasa digunakan untuk mengadakan rapat tertutup dan rahasia. Sekarang Gui Tiong dan Kong Liang melihat betapa ruangan-ruangan di mana mereka berdua berada tak lagi terjaga pasukan pengawal dengan ketat. Mereka berdua maklum bahwa memang hal ini tidak diperlukan lagi. Pangeran Leng tentu yakin bahwa selama Siang Lin menjadi sandera, dua orang itu tidak akan berbuat sesuatu untuk menentangnya!

Sesudah semua orang duduk mengitari sebuah meja besar dan semua daun pintu berikut jendela tertutup rapat, Pangeran Leng lalu berkata kepada dua orang ‘pembantu’ baru itu.

“Gui Kauwsu dan Bu Enghiong, malam inilah saatnya kalian berdua membuktikan bahwa kalian betul-betul mau menjadi pembantuku dan menaati semua perintahku. Kalian berdua akan dibantu oleh lima saudara Ngo-liong (Lima Naga) ini untuk melaksanakan tugas dari kami, yaitu membunuh seseorang.”

Pangeran Leng menghentikan kata-katanya dan sepasang matanya menatap pada wajah kedua orang itu dengan penuh selidik, ingin melihat bagaimana tanggapan mereka. Akan tetapi baik Gui Tiong mau pun Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajah mereka, walau pun hati mereka terkejut mendapat tugas untuk membunuh orang! Mereka juga tidak bertanya siapa yang harus mereka bunuh itu.

“Kalian berdua harus membunuh seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang kini berada di dalam gedung Pangeran Bouw Hun Ki.”

Bu Kong Liang tidak tahu siapa yang dimaksudkan Pangeran Leng, akan tetapi Gui Tiong terkejut dan cepat bertanya. “Siapa anak laki-laki itu, Pangeran?”

“Dia adalah pangeran yang dititipkan kepada Pangeran Bouw Hun Ki untuk dididik, yaitu Pangeran Kang Shi....”

“Ahh...! Dia... dia... Putera Mahkota...?” seru Gui Tiong kaget sekali.

“Benar, Putera Mahkota Kang Shi yang berusia sepuluh tahun. Tugas yang mudah sekali, bukan?”

“Akan tetapi... mengapa harus membunuh Thai-cu (Pangeran Putera Mahkota)?” kata Gui Tiong dengan muka pucat. Tugas itu kalau dilaksanakan merupakan dosa yang teramat besar dan tidak dapat diampuni. Dia dan Bu Kong Liang akan diburu oleh seluruh pasukan Kerajaan Ceng (Mancu)!

Pangeran Leng tersenyum. “Sekarang belum saatnya engkau mengetahui sebabnya, Gui Kauwsu. Kelak engkau akan kami beri-tahu dan akan mengerti. Sekarang yang penting kerjakan dulu perintahku dan jangan khawatir, akulah yang akan menanggung akibatnya. Aku akan melindungi dan membelamu. Nah, berangkatlah kalian berdua ditemani Twa-to Ngo-liong. Ingat bahwa puterimu berada di sini dalam keadaan sehat dan selamat. Kalau kalian berdua berhasil, tidak saja puterimu segera akan mendapat kebebasan, juga kalian berdua akan kami beri kedudukan tinggi. Apa bila engkau gagal, puterimu tetap akan kami bebaskan asal kalian tidak mengaku kepada siapa pun juga bahwa kami yang mengutus kalian membunuh Pangeran Mahkota. Tetapi jika kalian membocorkan rahasia ini, berarti puterimu juga tidak akan selamat.”

Twa-to Ngo-liong sudah bangkit dan yang tertua bermuka penuh brewok berkata kepada Gui Tiong. “Mari kita berangkat sekarang, Pangeran sudah memerintahkan.”

Ketika kedua orang itu memandang kepada Pangeran Leng, Sang Pangeran lalu memberi isyarat dengan pandang mata dan gerakan tangannya agar mereka segera berangkat.

“Jangan lupa membawa senjata kalian!” pesan pangeran itu yang cepat bangkit kemudian masuk ke sebelah dalam istananya yang besar dan megah.

“Kami hendak mengambil senjata kami dulu!” kata Gui Tiong dan bersama Bu Kong Liang dia lalu pergi ke kamar mereka.

Di dalam perjalanan ini, sebelum mereka berpisah memasuki kamar masing-masing, Gui Tiong berkata lirih, “Kau perhatikan isyaratku nanti bila tiba di atas istana Pangeran Bouw Hun Ki.” Sesudah berkata demikian dengan suara berbisik, Gui Tiong dan Kong Liang lalu memasuki kamar masing-masing.

Twa-to Ngo-liong yang bertugas menemani dan juga diam-diam harus mengawasi mereka berdua, segera mengejar cepat, tetapi mereka masih kurang cepat sehingga tidak sempat mendengar bisikan Gui Tiong kepada Kong Liang tadi.

Melihat kedua orang murid Siauw-lim-pai itu memasuki kamar masing-masing, lima orang Twa-to Ngo-liong itu menunggu di luar kamar. Tidak lama kemudian Gui Tiong dan Kong Liang sudah keluar dengan mengenakan pakaian ringkas dan membawa senjata masing-masing. Kemudian Twa-to Ngo-liong mengajak keluar melalui pintu rahasia yang berada di taman bunga di belakang istana pangeran itu.

Sesudah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi istana, Gui Tiong berkata kepada Twa-to Ngo-liong. “Sesuai dengan perintah Pangeran Leng Kok Cun tadi, kami berdualah yang diberi tugas membunuh, sedangkan kalian berlima hanya menemani dan membantu kami. Oleh karena itu akulah yang memimpin tugas ini dan kalian berlima harus menaati petunjukku karena aku yang bertanggung jawab.”

Twa-to Ngo-liong yang oleh Pangeran Leng dikatakan menemani dan membantu mereka itu sebenarnya ditugaskan mengawasi dua orang itu, maka mendengar ini mereka berlima hanya mengangguk. Tubuh tujuh orang ini berkelebat di dalam kegelapan bayang-bayang pohon yang disinari cahaya bulan yang hampir purnama…..

********************

Gedung Pangeran Bouw Hun Ki tidaklah semegah gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang seperti istana. Perabot rumahnya juga tidak terlampau mewah walau pun gedung itu tetap besar dan luas.

Pangeran Bouw Hun Ki adalah seorang sastrawan, usianya sekitar lima puluh tiga tahun, rambutnya telah dihiasi uban tetapi wajahnya masih tampan dan sikapnya gagah sungguh pun pangeran ini tidak pernah mempelajari ilmu silat.

Dia adalah adik Kaisar Shun Chi, juga seorang sastrawan yang sangat tekun mempelajari Agama Buddha, filsafat Guru Besar Khong Cu dan Lo Cu. Tetapi sebenarnya dia adalah pemeluk Agama Buddha yang amat tekun dan mempelajari ajarannya sampai mendalam.

Kaisar Shun Chi sangat percaya akan kebaikan budi dan kesetiaan adiknya itu, maka dia pun menyerahkan Pangeran Kang Shi, yang merupakan Thai-cu (Putera Mahkota) sejak berusia tujuh tahun kepada Pangeran Bouw untuk dididik dalam ilmu tata-negara, sastra, agama dan bahkan di rumah itu pula pangeran kecil itu mendapat pendidikan dasar ilmu silat dari isteri Pangeran Bouw Hun Ki.

Kini Pangeran Kang Shi telah berusia sepuluh tahun dan pangeran kecil ini senang sekali tinggal di rumah pamannya. Di dalam istana dia harus menghadapi banyak peraturan dan peradatan yang membuat anak ini merasa terikat dan tidak bebas. Akan tetapi setelah dia berada di rumah pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, anak ini merasa bebas dan setelah tinggal selama tiga tahun di rumah itu, dia merasa akrab dan sayang kepada penghuni rumah itu.

Pangeran Bouw Hun Ki tidak mempunyai seorang pun selir. Dia sangat mencinta isterinya yang dinikahinya ketika dia berusia dua puluh tahun dan isterinya berusia delapan belas tahun. Sekarang isterinya yang dulu ketika menikah bernama Souw Lan Hui telah berusia lima puluh satu tahun. Akan tetapi Souw Lan Hui atau Nyonya Pangeran Bouw ini masih tampak cantik, tubuhnya masih tampak seperti orang muda.

Hal ini tidak aneh, karena semenjak masa kanak-kanak wanita itu sudah mempelajari ilmu silat sehingga ketika masih gadis dia sudah menjadi seorang pendekar wanita sakti yang dijuluki Sin-hong-cu (Si Burung Hong Sakti)! Ia adalah seorang murid yang pandai dari Bu-tong-pai. Maka tidak mengherankan bila Pangeran Mahkota Kang Shi dapat memperoleh pendidikan silat pula di keluarga Bouw.

Pangeran Bouw dan isterinya mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang anak laki-laki yang diberi nama Bouw Kun Liong, yang kini telah berusia dua puluh empat tahun namun belum menikah. Bouw Kun Liong ini tentu saja mendapat pendidikan sastra dari ayahnya dan ilmu silat tinggi dari ibunya.

Wajahnya tampan mirip wajah ayahnya, ada pun sikapnya gagah perkasa seperti ibunya. Pakaiannya selalu rapi, bersih dan indah sehingga pemuda bangsawan yang tak memiliki selir seperti para pemuda bangsawan lainnya, amat menarik hati banyak orang, terutama para gadis yang pernah melihatnya. Tapi, mungkin karena ayahnya adik kaisar dan ibunya seorang pendekar wanita sakti dan keduanya amat sayang kepadanya, Bouw Kun Liong agak tinggi hati dan angkuh walau pun belum sampai dapat disebut sombong.

Anak mereka yang ke dua adalah seorang gadis yang kini berusia sekitar delapan belas tahun. Anak ini bernama Bouw Hwi Siang, cantik jelita seperti ibunya dan sungguh pun ia juga mendapatkan pendidikan ilmu silat, walau pun tidak setinggi tingkat kakaknya, tetapi sikapnya lembut halus seperti sikap ayahnya. Wajah Bouw Hwi Siang mirip ibunya. Kakak beradik ini belum memiliki tunangan karena keduanya selalu menolak kalau ayah ibunya bicara tentang perjodohan mereka.

Pangeran cilik Kang Shi disayang keluarga Bouw dan sebaliknya dia pun sangat sayang kepada mereka, terutama sekali pada Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang kakak misannya itu. Pemuda dan gadis itu pun merasa sangat sayang kepada Kang Shi yang termasuk seorang anak yang cerdas.

Malam itu biar pun terang bulan, hampir bulan purnama, karena hawa udara amat dingin, maka sebelum tengah malam keadaan sudah mulai sunyi. Tidak ada orang berlalu-lalang di jalan raya. Rumah-rumah sudah menutup pintu dan jendela. Bahkan di gedung-gedung para bangsawan juga sudah kelihatan sunyi. Hanya para penjaga malam, prajurit-prajurit pengawal yang masih berada di luar. Akan tetapi mereka pun lebih suka tinggal di dalam gardu penjagaan di mana tidak begitu dingin seperti kalau berada di luar.

Bayangan tujuh orang yang berkelebat di antara pohon-pohon itu sedemikian cepatnya sehingga para penjaga di luar gedung-gedung itu pun tidak ada yang melihatnya. Mereka adalah Gui Tiong, Bu Kong Liang dan lima orang Twa-to Ngo-liong. Mereka menuju ke gedung keluarga Pangeran Bouw Hun Ki.

Setelah berada di belakang bangunan besar itu, Gui Tiong memberi isyarat kepada enam orang temannya untuk melompat ke atas pagar tembok. Akan tetapi ia sengaja melompat lebih dahulu bersama Bu Kong Liang dan sebelum lima orang Twa-to Ngo-liong menyusul, Gui Tiong cepat berbisik kepada pemuda itu.

“Setibanya di atas, kita turun tangan dan bunuh mereka, jangan ada yang sampai lolos!”

Kong Liang terkejut, akan tetapi dia segera dapat mengerti kenapa Gui Tiong mengambil keputusan nekat itu. Kalau mereka berdua menyerang Twa-to Ngo-liong di luar gedung, di jalan raya, besar kemungkinan perbuatan mereka akan terlihat orang. Hal ini berbahaya karena jika sampai ketahuan Pangeran Leng, mereka pasti dikeroyok dan lebih parah lagi, Gui Siang Lin terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Kalau lima orang kaki tangan Pangeran Leng ini tidak dibunuh, maka mereka harus melaksanakan tugas membunuh Putera Mahkota, dan hal ini agaknya tidak mau dilakukan Gui Tiong.

Maka dia mengangguk dan setelah lima orang itu menyusul, mereka segera melompat ke atas wuwungan gedung besar itu, didahului oleh Gui Tiong sebagai pimpinan.

Tujuh orang itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tubuh mereka seolah-olah menjadi bayangan hitam yang berlompatan di atas wuwungan, diterangi cahaya bulan yang cerah. Hawa dingin tidak dirasakan oleh mereka yang berada dalam ketegangan.

Twa-to Ngo-liong merasa tegang karena sebagai anak buah Pangeran Leng tentu saja mereka mengerti betapa kuatnya penjagaan untuk melindungi Putera Mahkota di gedung itu. Mereka pun telah mendengar bahwa biar pun Pangeran Bouw Hun Ki adalah seorang sastrawan yang bertubuh lemah, namun isterinya adalah seorang wanita yang lihai sekali karena Nyonya Pangeran Bouw itu dulunya adalah seorang pendekar wanita yang pernah malang melintang di dunia persilatan dengan julukan Sin-hong-cu.

Penjagaan kuat atas diri Putera Mahkota Kang Shi inilah yang membuat Pangeran Leng sampai lama tidak berani melakukan usaha untuk membunuh pangeran kecil yang sudah ditetapkan sebagai putera mahkota dan kelak akan menggantikan kedudukan Kaisar Shun Chi. Berarti pangeran kecil itu menjadi penghalang utama bagi Pangeran Leng yang amat berambisi untuk menggantikan ayahnya kelak!

Kemudian, pada waktu dua orang pembantunya, Phang Houw dan Louw Cin melaporkan mengenai kegagalan penyerangan mereka terhadap murid Siauw-lim-pai Bu Kong Liang, Pangeran Leng yang cerdik memesan kepada para anak buahnya untuk waspada sambil menyelidiki kalau-kalau pemuda murid Siauw-lim-pai itu masuk ke kota raja. Hal itu benar saja terjadi!

Maka, begitu mendengar bahwa Bu Kong Liang berada di Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau Putih), dia langsung mengatur siasat untuk menangkap Gui Tiong dan Bu Kong Liang. Dengan perantaraan Jaksa Ji, yakni seorang di antara para pejabat yang menjadi anak buahnya, dua orang murid Siauw-lim-pai itu ditangkap. Dan untuk menyempurnakan siasatnya untuk memaksa dua orang itu, Pangeran Leng juga menyuruh orang-orangnya menangkap Gui Siang Lin dan menawannya di gedungnya.

Sekarang dia berani mencoba untuk membunuh Putera Mahkota Kang Shi, menggunakan tenaga dua orang murid Siauw-lim-pai yang sudah menyerah dan taat untuk melindungi keselamatan Gui Siang Lin. Dengan cara ini, andai kata usaha itu gagal sekali pun, yang akan dipersalahkan adalah Siauw-lim-pai!

Mudah saja dia mengelak dari tuduhan andai kata dua orang Siauw-lim-pai itu mengaku dia yang menyuruh mereka. Bahkan dia dapat membuktikan bahwa dirinya juga diserang oleh puteri Gui Tiong yang berhasil dia tangkap. Dia sendiri dimusuhi murid Siauw-lim-pai, bagaimana mungkin dia dapat menggunakan murid-murid Siauw-lim-pai untuk membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi yang adik tirinya sendiri? Oleh karena itu, Twa-to Ngo-liong yang diutus menemani dua orang murid Siauw-lim-pai itu sesungguhnya ditugaskan untuk mengawasi mereka!

Setelah mereka tiba di atas wuwungan rumah induk yang cukup luas, Gui Tiong memberi isyarat kepada Bu Kong Liang dan mereka berdua cepat mencabut senjata mereka. Gui Tiong mencabut sepasang goloknya, ada pun Bu Kong Liang mencabut sepasang tombak bercabang, lalu menyerang lima orang Twa-to Ngo-liong!

Serangan yang dilakukan Kong Liang sedemikian cepatnya sehingga seorang dari Twa-to Ngo-liong yang sama sekali tidak pernah menduga, tidak mampu menghindarkan diri dan dia pun roboh mandi darah karena lehernya tertusuk tombak cagak! Sedangkan orang ke dua yang diserang Gui Tiong, masih mampu mengelak walau pun pundak kirinya tergores golok sehingga baju dan kulit pundaknya terobek dan berdarah.

Tentu saja Twa-to Ngo-liong terkejut bukan main. Mereka dengan waspada mengikuti dua orang itu untuk melihat apakah betul mereka melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Pangeran Leng. Andai kata mereka berdua ketahuan hingga terjadi perkelahian, mereka berlima tidak akan membantu, bahkan akan melarikan diri. Mereka dipesan oleh Pangeran Leng agar tidak melibatkan diri kalau terjadi pertempuran sehingga nama Pangeran Leng tetap bersih.

Maka, ketika dua orang murid Siauw-lim-pai itu mendadak menyerang mereka dan sudah merobohkan seorang dari mereka, tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main. Tetapi sebagai ahli-ahli silat berpengalaman, tentu saja mereka dapat bertindak cepat. Mereka sudah mencabut golok masing-masing dan terjadilah perkelahian seru di atas wuwungan gedung tempat tinggal Pangeran Bouw!

Gui Tiong yang dikeroyok dua memutar sepasang goloknya dan pertandingan antara dia melawan dua orang pengeroyok itu terjadi amat serunya. Agaknya dua orang pengeroyok itu pun telah mempunyai ilmu golok yang amat tangguh sehingga perkelahian itu seru dan seimbang.

Akan tetapi, dua orang lain dari Twa-to Ngo-liong yang mengeroyok Kong Liang, begitu saling serang, menjadi terkejut karena pemuda ini memiliki tenaga yang sangat kuat dan gerakannya juga lebih cepat dari pada mereka. Mereka berdua berusaha untuk membela diri mati-matian, akan tetapi sesudah bertahan selama belasan jurus, begitu Kong Liang memperhebat tekanannya, dua orang pengeroyok itu berturut-turut roboh, yang seorang tertusuk lehernya, yang ke dua tertusuk dadanya oleh siang-kek pada kedua tangan Kong Liang. Mereka roboh dan tewas di atas wuwungan.


Kong Liang cepat menoleh untuk melihat keadaan Gui Tiong yang juga sedang dikeroyok dua orang lawan. Dia melihat betapa keadaan mereka seimbang. Pada saat itu, sebelum dia dapat melompat untuk membantu Gui Tiong, terdengar bunyi berdesing nyaring tinggi menusuk pendengaran dan tampaklah tiga sinar putih berkeredepan secara berturut-turut menyambar dari bawah ke arah tiga orang yang sedang bertanding itu.

Kong Liang membelalakkan matanya ketika melihat Gui Tiong roboh bersama dua orang pengeroyoknya!

“Tangkap yang seorang! Jangan bunuh, dia harus dapat memberi keterangan!” terdengar bentakan suara wanita dan tiba-tiba ada tiga bayangan hitam berkelebat dan melayang ke atas wuwungan!

Kong Liang cepat menghampiri tubuh Gui Tiong lalu berjongkok memeriksanya. Ternyata keadaan Gui Tiong parah sekali, dadanya mengeluarkan banyak darah. Ternyata sebuah senjata rahasia berbentuk bintang yang putih mengkilap sudah masuk ke dalam dadanya. Kong Liang terkejut sekali melihat paman gurunya dalam keadaan sekarat dan dia pun mengenal senjata rahasia itu sebagai Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak).

“Ah, Susiok...!” Ia mengeluh sambil menggunakan jari tangannya menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri, akan tetapi dia maklum bahwa nyawa paman gurunya tidak mungkin dapat tertolong.

“Kong Liang... jaga... jaga Siang... Lin...!” Tubuh itu segera terkulai dan Gui Tiong telah menghembuskan napas terakhir setelah meninggalkan pesan itu.....


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 09

“Susiok... ahh, ampunkan saya, Susiok! Sayalah yang menyebabkan semua ini...!” Kong Liang meratap penuh penyesalan.

“Orang muda, menyerahlah engkau!” terdengar bentakan di belakangnya.

Sambil memutar tubuhnya Kong Liang melompat ke depan. Dia melihat seorang wanita bertubuh ramping, tapi wajahnya yang cantik menunjukkan bahwa wanita itu tentu sudah setengah tua, berusia sekitar lima puluh tahun, pakaiannya indah seperti pakaian wanita bangsawan. Di punggung wanita itu tampak sepasang pedang dan pada pinggang depan tergantung sebuah kantung merah yang biasanya dipergunakan untuk menyimpan senjata rahasia. Maklumlah Kong Liang bahwa tentu wanita ini yang telah membunuh susiok-nya.

“Engkau sudah membunuh Susiok!” bentaknya dan Kong Liang cepat menyerang dengan sepasang siang-kek di tangannya.

Akan tetapi wanita itu bergerak cepat bukan main sehingga serangannya yang bertubi-tubi itu mengenai tempat kosong! Karena penasaran, Kong Liang menyerang lebih gencar lagi, mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.

Namun lawannya berkelebatan dan semua serangannya gagal.

“Heii! Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?” bentak wanita itu.

Kong Liang tidak peduli dan menyerang terus dengan hati semakin penasaran, namun kini wanita itu sudah mencabut sepasang pedangnya dan begitu dia menggerakkan sepasang pedang itu dengan gerakan yang indah dan cepat, Kong Liang terkejut dan terdesak!

“Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)?” katanya kaget dan mendengar ini, wanita itu mempercepat gerakannya.

“Trang-tranggg...!”

Bunga api berpijar dan Kong Liang terhuyung ke belakang. Dia melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat seorang pemuda dan seorang gadis yang berdiri menonton perkelahian itu. Mereka tidak membantu kawannya, dan memang kawannya tak perlu dibantu karena dialah yang terdesak hebat.

Tiba-tiba saja wanita itu mengeluarkan bentakan dan Kong Liang lantas terhuyung ketika wanita itu dapat menotok pundaknya dengan gagang pedang. Sebelum Kong Liang dapat memulihkan kuda-kudanya, pundaknya sudah tertotok lagi dan dia pun lemas, sepasang siang-kek itu terlepas dari pegangan tangannya.

“Kun Liong, jangan bunuh dia!” bentak wanita yang telah merobohkan Kong Liang ketika pemuda yang tadi hanya menonton kini melompat dan menodongkan sebatang pedang ke dada Kong Liang yang roboh telentang dalam keadaan lemas. Pemuda itu tidak berani menusukkan pedangnya.

“Kun Liong, bawa dia ke bawah! Hwi Siang, cepat perintahkan pengawal agar menurunkan mayat-mayat itu!” Setelah berkata demikian, wanita yang sangat lihai itu melayang turun dari atas wuwungan.

Wanita itu bukan lain adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau Souw Lan Hui yang dahulu ketika masih gadis terkenal di dunia kang-ouw sebagai Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti).

Ketika bayangan tujuh orang itu tadi berlompatan ke atas wuwungan, ia telah mengetahui. Cepat ia memberi isyarat kepada para penjaga agar menjaga kamar suaminya dan kamar Putera Mahkota dengan ketat, sedangkan ia sendiri lalu mengajak puteranya, Bouw Kun Liong, dan puterinya, Bouw Hwi Siang, untuk naik ke atas wuwungan.

Dalam keadaan remang-remang itu Nyonya Bouw tidak dapat mengenal orang, tidak tahu mengapa ada yang bertanding di atas wuwungan gedungnya. Baginya, orang-orang yang berada di atas wuwungan gedungnya pastilah bukan orang baik. Maka dia pun tidak ragu lagi untuk menyerang mereka dengan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang merobohkan Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya.

Melihat bahwa mereka yang berada di wuwungan sudah roboh semua dan hanya tinggal seorang pemuda, maka Nyonya Bouw melarang anak-anaknya untuk menyerangnya, lalu dengan cepat ia sendiri menghampiri Kong Liang dan membentaknya agar menyerah.

Kini Kong Liang yang sudah diikat kaki tangannya dibawa meloncat turun oleh Bouw Kun Liong. Nyonya Bouw dan Bouw Hwi Siang juga sudah berada di ruangan tamu yang luas dan terang benderang. Enam buah mayat juga telah diturunkan dibawa ke dalam ruangan itu pula oleh para prajurit pengawal, direbahkan berjajar di atas lantai.

“Ah, bukankah dia ini... Gui Kauwsu, guru di Pek-ho Bukoan itu...?” kata Bouw Kun Liong ketika melihat mayat Gui Tiong.

“Benarkah?” kata Nyonya Bouw dengan suara heran, lalu dia memandang kepada Kong Liang yang dibiarkan duduk di atas lantai dengan kaki tangan terbelenggu. “Akan tetapi, mengapa murid-murid Siauw-lim-pai memusuhi kita?”

Kini Kong Liang sudah pulih dari totokan tadi. Tubuhnya terlalu kuat sehingga totokan tadi tidak dapat lama mempengaruhinya. Meski dia sudah mampu bergerak, akan tetapi tentu saja tidak dapat menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dan dia pun tidak ingin memaksa diri mematahkan belenggu karena dia tahu bahwa menghadapi wanita setengah tua itu saja dia tidak menang, apa lagi di situ terdapat pemuda dan gadis itu ditambah lagi beberapa orang prajurit pengawal.

Kini Kong Liang memandang kepada tiga orang yang berada di depannya, duduk di atas kursi dengan penuh perhatian. Nyonya setengah tua ternyata seorang wanita bangsawan, tampak dari pakaian dan gaya gelung rambutnya, berusia sekitar lima puluh tahun.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh empat tahun, gagah dan tampan, sedangkan gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik seperti wanita setengah tua hingga mudah diduga bahwa dia tentu puterinya. Mendengar seruan pemuda itu yang mengenal susiok-nya, Kong Liang lalu berkata dengan suara tenang dan tegas.

“Gui Kauwsu adalah Susiok saya dan kami berdua sama sekali tidak memusuhi penghuni gedung ini, bahkan kami berdua sudah berusaha untuk mencegah niat buruk lima orang itu terhadap Thai-cu yang berada di gedung ini.”

Nyonya Bouw terkejut bukan main. “Hemm, mereka hendak berbuat apa terhadap Thai-cu?” tanyanya lantang.

“Mereka ditugaskan untuk membunuh Pangeran Kang Shi!”

“Siapa yang hendak membunuh Thai-cu?”

Semua orang menengok ke arah pintu. Kong Liang melihat seorang pria berusia sekitar lima puluh tiga tahun, wajahnya tampan dan gagah, sinar matanya begitu lembut namun tajam sekali.

“Ayah, mereka datang dengan rencana membunuh Pangeran Kang Shi. Enam orang telah dapat ditewaskan dan yang seorang ini ditangkap,” kata Bouw Kun Liong.

Pangeran Bouw Hun Ki mengerutkan kedua alisnya. “Siapakah kalian? Orang muda, tidak sadarkah engkau bahwa perbuatan kalian ini merupakan dosa yang amat besar dan dapat membuat engkau dihukum mati?” tanyanya kepada Bu Kong Liang. Lalu ketika ia melihat mayat Gui Tiong, dia berseru kaget. “Ahh, bukankah ini adalah Guru Silat Gui Tiong yang membuka Pek-ho Bu-koan? Bagaimana mungkin dia melakukan ini? Bukankah dia adalah orang Siauw-lim-pai?”

“Orang muda, hayo ceritakan semua dengan jelas! Tak ada gunanya engkau menyangkal atau berbohong!” bentak Nyonya Bouw.

Pandang matanya membuat Kong Liang menundukkan mukanya. Begitu tajam pandang mata itu, laksana menembus jantungnya. Akan tetapi dia segera teringat bahwa dia dan Gui Tiong tidak bersalah, maka dia mengangkat lagi mukanya dan berkata dengan suara tenang dan tegas.

“Seperti yang saya akui tadi, saya bernama Bu Kong Liang dan ini adalah jenazah Susiok (Paman Guru) Gui Tiong. Kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai dan tidak mungkin kami memusuhi pemerintah, apa lagi berniat membunuh Pangeran Mahkota!”

“Ceritakan saja dengan jelas, orang muda, apa yang sebetulnya terjadi?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.


Melihat sikap halus pangeran itu, Bu Kong Liang maklum bahwa dia berhadapan dengan orang bijaksana yang dapat diajak bicara, maka dia pun menceritakan dengan sejujurnya.

“Saya mau menceritakan yang sejujurnya, akan tetapi saya juga ingin mengetahui kepada siapa saya akan bercerita.”

Bouw Kun Liong yang biasanya dipanggil Bouw Kongcu (Tuan Muda Bong) menghardik. “Kamu ini penjahat yang tertawan dan menjadi pesakitan, tetapi masih lancang bertanya lagi! Hayo ceritakan dengan sebenarnya!”

Pangeran Bouw Hun Ki mengangkat tangan kanan ke atas sambil memandang puteranya, lalu berkata kepadanya. “Biarlah, Kun Liong, supaya dia mengetahui siapa kita. Bu Kong Liang, aku adalah Pangeran Bouw Hun Ki, adik Sribaginda Kaisar dan ini adalah isteriku. Pemuda ini puteraku Bouw Kun Liong dan gadis ini puteriku Bouw Hwi Siang.”

Mendengar ini, Kong Liang yang duduk di atas lantai cepat membungkukkan badan untuk memberi hormat.

“Pangeran, saya datang dari Kuil Siauw-lim di kaki Gunung Sung-san dan menuju ke kota raja untuk meluaskan pengalaman sambil mengunjungi susiok Gui Tiong dan keluarganya. Tetapi di tengah perjalanan saya dihadang dan diserang oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang membawa sepasukan prajurit. Saya berhasil selamat dan dua orang itu melarikan diri. Agaknya itulah sumber mala petaka. Ketika saya datang dan mengunjungi Perguruan Pek-ho Bu-koan yang dipimpin oleh Susiok Gui Tiong, datang utusan Jaksa Ji memanggil Susiok Gui Tiong dan saya untuk menghadap. Sesudah kami menghadap, kami langsung ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan memberontak. Kemudian, malamnya datang para pembantu Pangeran Leng Kok Cun yang mengambil kami dari rumah tahanan dan kami dihadapkan kepada Pangeran Leng Kok Cun. Ternyata yang mengatur penangkapan saya dan Susiok Gui Tiong adalah Pangeran Leng itu.”

Pangeran Bouw Hun Ki saling pandang dengan isterinya, lalu mengangguk-angguk.

“Saya tidak pernah memberontak, begitu pula dengan Susiok Gui Tiong, maka di hadapan Pangeran Leng kami juga menolak tuduhan memberontak itu. Kemudian Pangeran Leng memaksa kami berdua untuk menyerah dan menaati semua perintahnya, kalau tidak dia akan menyeret kami ke pengadilan dengan tuduhan memberontak supaya kami dijatuhi hukuman mati. Pangeran Leng lalu memperlihatkan puteri Susiok Gui Tiong, yaitu Sumoi Gui Siang Lin yang ternyata juga sudah ditawannya kepada kami. Melihat ini, kami berdua merasa tidak berdaya. Kalau kami melawan dan melarikan diri, tentu Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuhnya. Dengan gadis itu menjadi sandera, maka untuk sementara waktu kami terpaksa tunduk kepada Pangeran Leng.”

“Lalu apa hubungannya semua itu dengan kedatangan kalian bertujuh ke atas wuwungan rumah kami?” tanya Bouw Hujin (Nyonya Bouw) sambil menatap tajam.

“Malam itu Susiok Gui Tiong dan saya ditugaskan Pangeran Leng Kok Cun untuk datang ke sini dan membunuh Putera Mahkota yang katanya berada di sini.”

“Huh! Dan engkau menaati perintah itu, ya? Hendak membunuh Thai-cu?” bentak Bouw Kun Liong tidak sabar. Agaknya tangan pemuda ini sudah terasa gatal untuk membunuh Kong Liang, saking marahnya setelah mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu hendak membunuh Pangeran Kang Shi!

“Tidak, kami menaati hanya untuk mencegah dia membunuh Sumoi Siang Lin saja. Kami berdua diikuti Twa-to Ngo-liong, lima orang jagoan pembantu Pangeran Leng. Diam-diam kami berdua bersepakat untuk turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong sesudah tiba di sini, lalu kami akan berusaha membebaskan Sumoi. Maka begitu tiba di atas wuwungan, kami langsung bertindak. Saya berhasil membunuh tiga dari lima orang Twa-to Ngo-liong, sedangkan pada saat itu Susiok Gui Tiong sedang dikeroyok dua orang. Tiba-tiba saya melihat Susiok Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya roboh.”

“Akan tetapi mengapa engkau menyerangku ketika aku minta engkau menyerahkan diri?” tanya Nyonya Bouw sambil mengerutkan alis. Jika cerita pemuda itu benar, dan agaknya tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, berarti ia telah salah tangan membunuh Kauwsu Gui Tiong yang tidak berdosa!

“Begini soalnya, Hujin. Karena saya melihat Paduka menyerang Susiok Gui Tiong dengan Gin-seng-piauw, maka saya menyangka bahwa Paduka tentu seorang dari musuh-musuh kami, sebab itu saya menyerang Paduka ketika Paduka menyuruh saya menyerah,” ucap Bu Kong Liang dengan suara yang tenang dan tegas sehingga kebenarannya tidak dapat diragukan.

“Hemmm, kalau benar begitu, sungguh aku merasa menyesal sekali. Aku menyerang tiga orang yang sedang berkelahi di atas wuwungan, tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan, maka sangat menyesal aku sudah kesalahan tangan membunuh Gui Kauwsu yang tidak berdosa. Sekarang ada sebuah pertanyaan lagi, Bu Kong Liang! Kenapa engkau dan Gui Kauwsu tidak menaati perintah Pangeran Leng untuk membunuh Putera Mahkota, bahkan berbalik menyerang dan membunuh lima orang anak buahnya?”

“Hujin yang mulia, Susiok Gui Tiong sudah bertahun-tahun tinggal di kota raja. Pernahkah dia melakukan pemberontakan? Saya sendiri baru keluar dari kuil Siauw-lim, ada pun para suhu di sana melarang saya ikut mencampuri urusan mereka yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng. Bagaimana bisa kami berdua mau melakukan tugas membunuh Putera Mahkota yang sama sekali tidak saya kenal dan sama sekali tak ada urusan dengan kami berdua? Kalau kami berpura-pura menaati perintah Pangeran Leng, hal itu hanya karena kami ingin menyelamatkan Sumoi Gui Siang Lin yang disandera.”

Tiba-tiba saja Pangeran Bouw Hun Ki berkata kepada puteranya. “Kun Liong, buka ikatan tangan dan kakinya!”

Sesudah mendengar cerita Kong Liang, Bouw Kun Liong juga menyadari bahwa pemuda Siauw-lim-pai ini tidak bersalah, maka mendengar perintah ayahnya, dia lalu melepaskan ikatan kaki dan tangan Kong Liang.

“Duduklah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.

Kong Liang mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas sebuah kursi.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu menyuruh para penjaga untuk mengurus keenam mayat itu. Lima buah mayat Ngo-liong itu dimasukkan ke dalam peti, akan tetapi jenazah Gui Tiong dirawat baik-baik, dimasukkan peti mati yang tebal dan diatur meja sembahyang di depan peti.

Dengan sedih Kong Liang bersembahyang di depan peti mati susiok-nya. Tidak hanya dia sendiri yang melakukan sembahyang, malah Nyonya Bouw juga ikut bersembahyang dan mengucapkan permintaan maaf karena ia telah salah mengerti dan membunuh Gui Tiong yang tidak berdosa. Tadinya, dengan marah Pangeran Bouw Hun Ki ingin mengirim lima jenazah Twa-to Ngo-liong kepada Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi Kong Liang sudah cepat mencegah dengan ucapan penuh hormat.

“Saya mohon Paduka suka mempertimbangkan kembali pengiriman lima jenazah Twa-to Ngo-liong itu kepada Pangeran Leng, karena kalau hal itu dilakukan, sudah pasti Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuh.”

“Hemm, memang pengiriman itu sebaiknya ditunda lebih dulu, biar aku dan Bu Kong Liang malam ini juga membebaskan gadis itu!” kata Nyonya Bouw.

Malam itu juga, dengan pakaian ringkas berwarna hitam, Bouw Hujin bersama Kong Liang menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng. Dalam perjalanan ini Bouw Hujin telah berunding dengan Kong Liang, mengatur siasat bagaimana caranya untuk membebaskan Gui Siang Lin.

Sesudah sampai di belakang gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang megah seperti istana, sesuai dengan rencana siasat mereka, Bouw Hujin menanti dalam kebun belakang dan Kong Liang langsung saja memasuki gedung lewat pintu depan. Beberapa orang petugas yang menjaga di situ segera menyambut dan mengenalnya.

Maka Kong Liang diantar masuk menuju ruangan dalam di mana telah menanti Pangeran Leng Kok Cun yang didampingi oleh Pat-chiu Lo-mo, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pangcu Louw Cin dan lima orang lainnya yang berpakaian sebagai perwira tinggi. Agaknya mereka itu adalah perwira-perwira yang mendukung Pangeran Leng.

Begitu Kong Liang memasuki ruangan itu dan prajurit yang mengawalnya meninggalkan ruangan, Pangeran Leng Kok Cun segera menyambut Kong Liang dengan pertanyaan penuh harapan.

“Bagaimana hasilnya tugasmu, Bu Kong Liang? Mana Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong?”

“Pangeran, saya harap Gui Siang Lin segera dibebaskan karena saya telah melaksanakan perintah Paduka,” kata Kong Liang.

“Nanti dulu, jangan tergesa-gesa. Ceritakan dulu kepada kami bagaimana hasil tugasmu itu!” kata Pat-chiu Lo-mo dan Pangeran Leng Kok Cun yang mendengar ini.

“Saya telah berhasil membunuh Pangeran Mahkota.”

“Akan tetapi di mana enam orang lainnya?” tanya pula Pangeran Leng.

“Mereka semua tewas. Kami mendapat perlawanan yang kuat. Saya berhasil masuk dan membunuh pangeran itu seperti yang Paduka perintahkan. Akan tetapi Susiok Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong tewas.” Pemuda itu lalu menoleh ke arah dalam di mana Siang Lin ditahan. “Saya harap sekarang juga Paduka membebaskan Nona Gui Siang Lin. Ayahnya telah melaksanakan perintah Paduka sampai mengorbankan nyawanya.”

“Bagus!” Pangeran Leng Kok Cun tersenyum gembira sekali mendengar bahwa Pangeran Kang Shi yang masih kanak-kanak itu telah berhasil dibunuh. Dia sama sekali tidak peduli mendengar betapa Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong yang membantunya itu tewas.

“Bebaskan gadis itu!” perintahnya kepada Phang Houw dan Louw Cin. “Bawa dia ke sini!”

“Nanti dulu!” Pat-chiu Lo-mo berseru menahan dua orang itu yang hendak melaksanakan perintah Pangeran Leng sehingga mereka berhenti melangkah. “Pangeran, sungguh tidak bijaksana jika membebaskan gadis itu sekarang. Sebaiknya Paduka tunggu sampai berita mengenai kematian Pangeran Mahkota Kang Shi disiarkan besok sehingga keterangan Bu Kong Liang ini benar!”

“Ahh, engkau benar, Lo-mo! Kita tunggu sampai besok pagi!” kata Pangeran Leng sambil memberi isyarat kepada dua orang pembantunya agar membatalkan perintahnya. Mereka pun duduk kembali.

Tahulah Kong Liang bahwa siasatnya yang pertama untuk membebaskan Gui Siang Lin sudah gagal dan dia harus menggunakan siasatnya yang ke dua. Dia mencabut sepasang tombak bercabang kemudian berseru kepada Pat-chiu Lo-mo. “Kakek busuk! Engkau tak percaya kepadaku berarti engkau menghinaku!” Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan siang-kek di kedua tangannya.

Pat-chiu Lo-mo cepat melompat ke belakang sambil menggerakkan tongkatnya.

“Kalau engkau laki-laki, mari keluar! Kita bertanding di luar gedung!” Kong Liang berseru lagi sambil melompat ke luar.

“Kejar dia!” Pat-chiu Lo-mo berseru sambil mengejar. “Pangeran, dia menipu kita!”

Mendengar ini, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pang Louw Cin dan lima orang perwira tinggi itu mencabut senjata masing-masing kemudian mengejar keluar.

Pangeran Leng Kok Cun yang mulai curiga terhadap Kong Liang segera memberi tanda kepada para penjaga di istananya untuk membantu Pat-chiu Lo-mo, bahkan dia sendiri juga keluar karena pangeran ini pun bukan orang lemah.

Kong Liang sudah bertanding melawan Pat-chiu Lo-mo dan tak lama kemudian dia sudah dikeroyok banyak orang. Akan tetapi pemuda itu membela diri dengan sangat gagahnya. Sepasang tombak pendek itu digerakkan sedemikian rupa hingga membentuk dua gulung sinar yang mengurung tubuhnya dan semua serangan pengeroyok itu dapat tertangkis.

Pengeroyok yang tidak begitu kuat, begitu senjatanya tertangkis, terhuyung atau bahkan ada yang senjatanya terpental dan terlepas dari pegangannya, karena jago muda Siauw-lim-pai ini mengerahkan tenaga saktinya.

Sementara itu, Bouw Hujin yang berada di atas atap, mendapat kesempatan baik. Selagi semua penjaga lari keluar untuk turut mengeroyok Kong Liang, maka penjaga Gui Siang Lin hanya enam orang pemanah yang berada di atas genteng dan yang siap membunuh gadis itu dengan anak panah mereka kalau ada isyarat Pangeran Leng Kok Cun seperti yang diperintahkannya.

Bouw Hujin yang ketika mudanya menjadi pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) yang mengintai dari atas, begitu melihat Kong Liang dikeroyok banyak orang di luar gedung, segera turun tangan. Beberapa kali kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar perak menyambar ke arah enam orang yang memegang busur dan anak panah itu.

Mereka segera roboh dan tubuh mereka terguling dari atap ke bawah. Bouw Hujin cepat membobol atap yang sudah dilubangi bagi para pemanah itu lalu dengan ringan tubuhnya melayang ke dalam kamar.

“Engkau Gui Siang Lin?” tanyanya kepada gadis yang duduk bersila di atas pembaringan. Siang Lin mengangguk.

“Hayo cepat, kita bantu Bu Kong Liang!” Bouw Hujin berkata dan dia segera memegang tangan Siang Lin lalu keduanya melompat ke atas melalui lubang di atas.

Cepat mereka berloncatan ke atas genteng istana itu dan begitu tiba di depan, Bouw Hujin kembali menyambitkan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak). Hanya dalam waktu singkat saja delapan orang pengeroyok telah tergeletak roboh. Hanya mereka yang berilmu cukup tangguh seperti Phang Houw, Louw Cin dan Pat-chiu Lo-mo yang mampu menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia itu, yaitu dengan menangkis sinar perak dengan senjata mereka.

Tetapi melihat betapa para perwira dan penjaga roboh, juga dalam waktu singkat delapan orang sudah roboh, mereka juga terkejut dan cepat berlompatan mundur. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Kong Liang untuk melompat dan menghilang dalam kegelapan malam.....



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 10

Memang sebelumnya telah dia atur bersama Bouw Hujin. Dia memancing Pangeran Leng Kok Cun beserta para pembantunya keluar sehingga Bouw Hujin dapat bergerak dengan leluasa meloloskan Siang Lin, kemudian sesudah beberapa orang pengeroyok roboh oleh senjata rahasia Nyonya Pangeran yang amat lihai itu, dia pun tahu bahwa Siang Lin telah dibebaskan, maka dia lalu melompat dan melarikan diri!

“Kejar...!” Teriak Pat-chiu Lo-mo.

Akan tetapi karena malam itu gelap dan para pengejar merasa gentar terhadap serangan senjata rahasia yang ampuh itu, mereka tidak dapat menemukan Bu Kong Liang.

Pangeran Leng Kok Cun marah sekali ketika melihat betapa Gui Siang Lin lolos dan enam orang prajurit yang menodong dengan panah di atap sudah tewas semua. Lebih hebat lagi kemarahannya ketika pada pagi harinya ada yang mengantarkan lima buah peti mati yang terisi mayat Twa-to Ngo-liong!

Dia tahu bahwa dia sudah ditipu Bu Kong Liang dan bahwa Pangeran Mahkota Kang Shi sama sekali belum terbunuh! Akan tetapi dia tidak berdaya dan belum begitu nekat untuk menyerang Pangeran Bouw Hun Ki yang dekat dengan Kaisar.

Sebaliknya Pangeran Bouw Hun Ki juga tidak dapat menuduh bahwa Pangeran Leng Kok Cun hendak membunuh Pangeran Mahkota karena tak ada bukti nyata. Twa-to Ngo-liong sudah tewas, dan Bu Kong Liang tentu saja tidak dapat dijadikan saksi karena dia bukan anak buah Pangeran Leng.

Maka urusan ini hanya diketahui kedua pihak. Kaisar sendiri tidak diberi-tahu sebab selain hal itu akan membuat Kaisar khawatir tentang keselamatan Putera Mahkota, juga belum dapat dibuktikan bahwa Pangeran Leng Kok Cun mengirim orang-orang untuk membunuh Pangeran Kang Shi. Maka diam-diam terdapat permusuhan hebat antara Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Bouw Hun Ki, atau lebih tepat Nyonya Bouw, karena wanita inilah yang berani menentang Pangeran Leng.

Mulai saat itu Bouw Hujin melakukan penjagaan yang sangat ketat. Bahkan dia membuat bangunan rahasia di bawah tanah agar kalau sewaktu-waktu ada bahaya, Pangeran Kang Shi dapat bersembunyi di situ.

Sementara itu, Gui Siang Lin yang dibawa Bouw Hujin ke istana Pangeran Bouw, setelah tiba di sana dan mendengar bahwa ayahnya telah tewas, ia pun menangis tersedu-sedu di depan peti mati ayahnya.

Bu Kong Liang yang sudah tiba di sana pula segera memberi penjelasan kepada gadis itu. Dia menceritakan betapa dia bersama Gui Tiong terpaksa berpura-pura menurut perintah Pangeran Leng untuk membunuh Pangeran Mahkota sebab mereka berdua melihat Siang Lin ditawan, dan jika mereka tidak menaati perintah Pangeran Leng, maka Siang Lin tentu dibunuh.

“Aih, mengapa Ayah dan engkau mau melakukan perintah Pangeran Leng yang jahat itu, Suheng? Biarlah aku dibunuhnya, aku tidak takut. Akan tetapi tak semestinya kita tunduk kepadanya!” Siang Lin mencela sambil terisak-isak.

“Sumoi, kami menuruti perintah Pangeran Leng hanya sebagai siasat belaka. Kalau sudah meninggalkan istana Pangeran Leng dan tiba di gedung Pangeran Bouw, kami bermaksud akan membunuh Twa-to Ngo-liong yang ditugaskan menemani dan mengawasi kami. Aku sudah berhasil membunuh tiga orang di antara mereka, akan tetapi sayang, pada saat itu Bouw Hujin keluar dan karena mengira bahwa ayahmu seorang di antara penjahat, beliau lalu menyerang dua orang di antara Twa-to Ngo-liong beserta ayahmu sehingga mereka bertiga tewas.”

“Benar, Gui Siang Lin. Akulah yang salah sangka, membunuh tiga orang yang berada di atas genteng gedung kami. Kalau saja aku tahu bahwa yang seorang adalah Gui Kauwsu dari Pek-ho Bukoan, tentu dia takkan kuserang. Akan tetapi malam-malam begitu di atas genteng, tentu saja aku tidak dapat melihat jelas mukanya. Nah, walau pun karena salah duga, namun aku telah kesalahan tangan membunuh ayahmu. Kalau engkau mendendam sakit hati padaku, aku tidak akan menyalahkanmu!” kata Bouw Hujin dengan lembut tetapi gagah.

“Sumoi, Bouw Hujin tidak dapat disalahkan. Tadinya aku sendiri menyangka beliau adalah musuh karena telah merobohkan Susiok. Aku lalu menyerangnya, tetapi aku tertotok dan ditawan. Barulah aku mengerti duduknya persoalan sesudah aku mendapat kesempatan bicara dengan keluarga Pangeran Bouw. Kami yang bersalah, Sumoi. Sebelum tiba di sini semestinya kami turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong, baru kemudian menolongmu. Akan tetapi semua sudah terjadi, dan kematian Susiok sudah merupakan takdir, kita tidak mungkin dapat menyalahkan Bouw Hujin. Beliau tidak bersalah, bahkan beliau yang telah membebaskan engkau dari tawanan Pangeran Leng.”

Hati Siang Lin laksana ditusuk, perih dan sakit. Dengan kedua mata bercucuran air mata dia memandang kepada nyonya itu. Bouw Hujin nampak begitu cantik dan gagah, begitu penuh wibawa yang kuat. Dan wanita setengah tua itu tadi telah menolongnya keluar dari tahanan Pangeran Leng Kok Cun.

Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan diderita kalau Pangeran Leng tahu bahwa ayahnya telah mengkhianatinya. Ia bukan hanya akan dibunuh, melainkan disiksa dengan penghinaan yang lebih hebat dari pada maut. Dia tidak boleh mendendam kepada Bouw Hujin.

“Ayaaahhhh...!” Gui Siang Lin menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati ayahnya sambil menangis sesenggukan, membuat semua orang yang berada di situ merasa terharu.

“Nona, hentikanlah tangisanmu. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah sejati menentang kekuasaan yang jahat. Tiada gunanya ditangisi lagi. Bahkan arwahnya tidak akan tenang melihat engkau membenamkan diri dalam kesedihan,” kata Bouw Kun Liong.

“Akan tetapi sekarang saya... saya... seorang yatim piatu... hidup sebatang kara...!” gadis itu lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya, tidak menyadari siapa yang bicara menghiburnya tadi.

“Nona, kami merasa bertanggung jawab terhadap nasibmu. Ibuku telah salah sangka dan salah tangan membunuh ayahmu, maka anggaplah kami sebagai keluargamu. Ayah dan ibu pasti akan menerimamu dengan hati dan tangan terbuka. Bukankah begitu, Ibu?” kata Bouw Kun Liong kepada ibunya.

Pangeran aBouw Hun Ki dan Nyonya Bouw saling pandang. Kedua orang tua ini maklum bahwa putera mereka itu agaknya telah jatuh cinta kepada Gui Siang Lin! Suaranya ketika menghibur menggetar penuh perasaan iba, itulah tanda mulai berseminya cinta!

“Apa yang dikatakan Liong-ko (Kakak Liong) tadi memang benar, Enci Siang Lin!” Bouw Hwi Siang berkata sambil memegang tangan gadis yang menangis itu. “Mulai sekarang, engkau tinggallah di sini bersama kami. Ayah Ibu pasti menyetujui sepenuhnya!”

Kini barulah Siang Lin menyadari bahwa yang menghiburnya tadi adalah Bouw Kun Liong, pemuda yang tampan gagah itu. Ia mengusap air mata dengan dua tangannya, kemudian mengangkat muka memandang ke arah Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw dengan hati ragu.

Bouw Hujin memandang wajah gadis itu dengan senyum, lalu mengangguk dan berkata. “Kedua anakku berkata benar, Siang Lin. Dengan senang hati kami menerimamu dan kau anggaplah kami sebagai pengganti orang tuamu. Kami akan menganggap engkau sebagai anak angkat kami!”

“Benar, Gui Siang Lin, kami senang sekali kalau engkau menjadi anggota keluarga kami,” kata pula Pangeran Bouw Hun Ki.

Mendengar ini, Siang Lin segera menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu tanpa mampu mengucapkan kata-kata saking terharu hatinya. Bila mana tidak ada suami isteri bangsawan ini yang menerimanya, bagaimana ia dapat hidup menjadi buruan kaki tangan Pangeran Leng yang pasti akan membalas dendam?

“Aihh, Ibu bagaimana sih? Bukan menjadi anak angkat, akan tetapi menjadi anak mantu, begitu!”

“Hushh, Siang-moi!” Bouw Kun Liong membentak adiknya, lantas dengan muka berubah kemerahan pemuda itu meninggalkan ruangan, diikuti tawa adiknya.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu berkata kepada Kong Liang, “Bu Kong Liang, engkau sudah menunjukkan kebijaksanaanmu dengan menentang perbuatan Pangeran Leng yang jahat. Engkau juga sudah mengetahui bahwa kini Pangeran Mahkota dititipkan kepada kami. Ini merupakan tugas yang berat dan berbahaya dengan adanya orang-orang yang bersaing memperebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, kalau kiranya engkau tidak keberatan, kami minta agar engkau bersedia membantu kami melindungi keselamatan Pangeran Kang Shi di sini. Bagaimana pendapatmu?”

“Bu-enghiong (Pendekar Bu) adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang selalu membela kebenaran dan keadilan, juga menentang kejahatan. Sudah sepatutnya jika dia membantu kami melindungi Pangeran Mahkota dari ancaman para pengkhianat dan penjahat,” kata Bouw Hwi Siang yang memang merupakan seorang gadis lincah dan tidak bersikap malu-malu seperti gadis lain. Ia memang berwatak gagah seperti ibunya.

“Hwi Siang!” tegur Nyonya Bouw, akan tetapi sambil tersenyum. “Jangan lancang, biarkan Bu Kong Liang memutuskannya sendiri!”

Bouw Hwi Siang cemberut manja. Bu Kong Liang yang tadi menundukkan mukanya, kini memandang Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw, lalu menjawab,

“Mengingat bahwa Pangeran Leng mengumpulkan orang-orang pandai dan merencanakan perbuatan jahat terhadap Pangeran Mahkota, maka saya siap untuk membantu Paduka melindungi beliau. Terima kasih atas kepercayaan Paduka kepada saya.”

Suami isteri itu girang sekali. Mereka sama sekali tak pernah menduga bahwa kesediaan pemuda murid Siauw-lim-pai itu membantu mereka melindungi keselamatan Pangeran Kang Shi, terutama sekali karena di sana ada Bouw Hwi Siang! Hanya Bu Kong Liang sendiri yang merasakan betapa hatinya terpikat oleh gadis bangsawan itu!

Bouw Hujin lantas berkata kepada Hwi Siang. “Hwi Siang, kau ajaklah Siang Lin ke dalam dan suruh pelayan menyiapkan sebuah kamar untuknya. Juga berikan pakaian pengganti untuknya sebelum pakaiannya diambil dari rumahnya.”

“Ahh, Ibu. Mengapa harus susah-susah menyiapkan kamar lain? Biar Enci Siang Lin tidur bersamaku saja!” kata Hwi Siang, kemudian dia menggandeng Siang Lin, diajak masuk ke kamarnya di bagian belakang dan memberikan pakaiannya yang baru untuk dipakai Siang Lin.

Pangeran Bouw memanggil pelayan dan menyuruh pelayan menyiapkan sebuah kamar untuk Bu Kong Liang. Mulai saat itu, Gui Siang Lin dan Bu Kong Liang tinggal di gedung Pangeran Bouw Hun Ki yang besar…..

********************

Berdebar rasa jantung Thian Hwa ketika dia tiba di depan gedung besar tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong. Tidak seperti gedung tempat tinggal para bangsawan lain yang masih kerabat kaisar, rumah Pangeran Ciu Wan Kong tidak tampak angker, tidak terjaga banyak prajurit. Hanya ada dua orang penjaga yang tidak berpakaian prajurit, melainkan sebagai pengawal biasa. Hal ini memang mengherankan kalau diingat bahwa Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik dari Kaisar Shun Chi.

Semenjak ditinggalkan Cui Eng, wanita yang amat dicintanya karena wanita itu diusir oleh kedua orang tuanya, semangat hidup Pangeran Ciu Wan Kong seolah-olah sudah lenyap. Kehidupannya berubah sama sekali. Dia lebih banyak berdiam di dalam kamarnya, atau pergi pesiar dikawal beberapa orang pelayan yang juga menjadi pengawalnya. Bahkan dia tak pernah mempunyai isteri atau selir, hidup membujang dan tidak mempedulikan urusan dunia.

Pada waktu Thian Hwa memasuki pintu gerbang rumah itu, dua orang penjaga langsung menyambutnya.

“Maaf, Nona. Siapakah Nona dan apa keperluan Nona memasuki pintu gerbang gedung ini?” tanya seorang dari mereka dengan sikap sopan.

Melihat sikap dua orang penjaga ini, hati Thian Hwa merasa senang. Dari sikap petugas yang paling rendah pangkatnya dapat diketahui watak majikannya yang tingkatnya paling tinggi. Dua orang penjaga ini bersikap sopan, tentu mereka takut untuk bersikap kurang ajar sebab atasan mereka yang menjunjung tinggi kesusilaan pasti akan menegur bahkan menghukum mereka.

“Tolong laporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa aku, Thian Hwa, mohon untuk menghadap karena urusan yang teramat penting.”

“Maafkan kami, Nona. Beliau sudah lama tidak mau menerima kunjungan siapa pun. Saya akan melapor, akan tetapi sebaiknya Nona memberi-tahu urusan apa yang hendak Nona sampaikan agar beliau dapat mempertimbangkan untuk menemui Nona atau tidak.”

“Hemm, katakan bahwa aku membawa berita tentang diri seorang wanita yang bernama Cui Eng. Aku yakin beliau pasti akan menerimaku.”

“Baiklah, harap tunggu sebentar, Nona,” kata penjaga itu, lalu salah seorang dari mereka menyeberangi pekarangan yang luas menuju gedung yang besar dan tampak sunyi itu.

Thian Hwa menanti dengan hati tegang. Biasanya gadis yang amat tabah ini tidak merasa gentar atau tegang dalam menghadapi apa pun. Namun kini, menghadapi pertemuannya dengan ayah kandungnya, hatinya berdebar kencang penuh ketegangan. Bagaimana nanti ayah kandungnya itu akan menyambutnya? Apakah Pangeran Ciu akan ketakutan dan melarikan diri seperti dulu? Lalu apa yang akan ia lakukan?

Tidak lama kemudian penjaga yang tadi keluar dari dalam gedung berlari keluar menemui Thian Hwa. “Nona, Pangeran tidak mengenal nama Thian Hwa, tetapi mendengar bahwa Nona membawa berita mengenai wanita bernama Cui Eng, Nona diperkenankan masuk menghadap beliau. Mari saya antarkan, Nona.”

Dengan jantung berdebar keras, Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki gedung yang besar. Ternyata di ruangan depan juga tidak terlihat pengawal bersenjata seperti lazimnya rumah para bangsawan tinggi. Hanya ada beberapa orang pembantu rumah tangga yang sedang membersihkan perabot di situ dan menyapu lantai. Thian Hwa dibawa ke ruangan tamu dan ketika tiba di pintu ruangan itu, penjaga tadi berkata.

“Beliau menanti di dalam, Nona. Silakan masuk.” Dia lalu keluar lagi.

Thian Hwa memasuki pintu ruangan itu dan ia pun melihat Pangeran Ciu Wan Kong yang pernah ditemuinya dua kali, yaitu pertama kali ketika ia menyelamatkan pangeran itu dari serangan ular, kedua kalinya ketika ia datang ke gedung ini dengan niat membunuhnya. Pangeran yang usianya baru sekitar lima puluh dua tahun itu sudah kelihatan tua karena mukanya kurus dan rupanya sudah putih semua.

Saat Thian Hwa melangkah masuk, Pangeran Ciu Wan Kong yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat mukanya dan memandang. Thian Hwa lega melihat wajah orang tua itu tidak liar ketakutan seperti dahulu, melainkan terheran-heran. Matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia bangkit perlahan dari kursinya ketika Thian Hwa melangkah menghampirinya.

Thian Hwa berdiri di hadapannya dalam jarak sekitar sepuluh langkah. Pangeran Ciu Wan Kong menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, lalu menggelengkan kepala.

“Tidak mungkin... tidak mungkin... kau... kau Dinda Cui Eng...!” Suaranya gemetar.

Thian Hwa menggelengkan kepalanya. “Bukan, saya bukan Cui Eng....”

“Ah, Dinda Cui Eng, isteriku... kekasihku... jangan engkau membenciku. Aku... ampunkan aku, Cui Eng... engkau sampai terusir dari sini dan aku… aku tidak dapat melindungimu. Ampunkan aku... ampunkan aku yang berdosa padamu....”

Pangeran Ciu Wan Kong memandang dengan air mata menetes membasahi sepasang pipinya yang kurus.

Thian Hwa merasa terharu sekali dan ia khawatir kalau-kalau pangeran itu akan berubah ingatan karena kejutan ini.

“Bukan, saya bukan Cui Eng. Cui Eng mempunyai tahi lalat di atas bibirnya, ingat? Saya tidak mempunyai tahi lalat itu!” Thian Hwa melangkah mendekat agar pangeran itu dapat melihat wajahnya lebih jelas. “Dan Cui Eng sekarang tentu tidak semuda saya, bukan?”

Sepasang mata yang basah itu lalu berkejap-kejap. “Ahh... engkau benar... engkau masih muda walau pun wajahmu persis Cui Eng-ku... dan tidak ada tahi lalat yang manis itu di atas bibirmu... Engkau bukan Cui Eng, lalu engkau... engkau siapa?”

“Saya yang dulu menyelamatkan Paduka dari serangan ular,” Thian Hwa mengingatkan.

Agaknya Pangeran Ciu mulai ingat. “Ya... ya... engkau adalah gadis yang menyelamatkan aku dari serangan ular dan... rasanya aku pernah bertemu lagi... engkau pernah ke sini malam-malam itu, bukan?”

“Benar, saya pernah ke sini,” kata Thian Hwa, merasa lega karena pangeran itu agaknya kini sudah dapat mengingatnya.

“Tapi siapakah engkau yang begini mirip dengan Cui Eng? Dan engkau membawa kabar tentang isteriku Cui Eng? Di mana sekarang isteriku yang tercinta itu?”

“Hemm, kalau Paduka memang mencinta Cui Eng, mengapa Paduka begitu tega untuk mengusirnya, membawa anaknya yang masih bayi? Apakah Paduka tak merasa kasihan kepada ibu dan anak itu?”

Wajah yang kurus itu berkerut penuh perasaan duka. “Ah, jangan kau ingatkan itu, aku... aku tidak berdaya... mendiang orang tuaku yang dulu memaksaku. Aihh, anak yang baik, cepat ceritakan bagaimana keadaan Cui Eng sekarang? Di mana dia?”

“Cui Eng sudah tewas setelah diusir pergi dan naik perahu. Perahunya terbalik di Sungai Huang-ho dan dia lenyap ditelan air!” kata Thian Hwa dengan suara tegas, mengandung teguran.

“Aduh... Cui Eng... ampunkan aku, Cui Eng...! Kalau engkau sudah tewas, bawalah aku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup menanggung dosa dan penyesalan...” Pangeran itu kini menangis tersedu-sedu.

Hati Thian Hwa yang tadinya mengeras dan membeku itu sekarang mencair melihat laki-laki setengah tua itu menangis seperti anak kecil. Akan tetapi ia lalu teringat akan ibunya, maka dia cepat-cepat mengeraskan hatinya. Dia dapat membayangkan betapa sengsara ibunya ketika diusir bersama anaknya yang masih bayi.

“Pangeran Ciu Wan Kong, Paduka seorang pangeran berbangsa Mancu, begitu tega dan memandang rendah seorang wanita Han yang katanya engkau cinta. Di manakah peri-kemanusiaanmu?”

“Aku bersalah, aku berdosa... ah, Nona, siapakah engkau yang begini mirip Cui Eng, yang berani datang untuk menghancurkan hatiku seperti ini...?”

“Akulah bayi yang dilahirkan Cui Eng tetapi kemudian engkau usir dari sini!”

Pangeran Ciu Wan Kong terbelalak, sepasang matanya masih merah dan basah karena tangis, tubuhnya gemetar seperti mendadak terserang demam.

“Engkau... engkau anak Cui Eng... ya, ya... engkau benar-benar sama dengan Cui Eng... engkau... engkau anakku...?”

Thian Hwa tidak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Ia cepat menubruk kaki ayahnya, berlutut dan menangis.

“Ayah... aku... Ciu Thian Hwa... aku... anakmu...!” katanya tersendat-sendat.

Pangeran Ciu Wan Kong juga berlutut dan merangkul gadis itu, mendekap kepala gadis itu ke dadanya erat sekali, seolah dia menemukan kembali sebuah mustika yang hilang dan dia ingin membenamkan mustika di dalam hatinya agar tidak hilang lagi.

“Anakku...! Ahh, Cui Eng, terima kasih, Eng-moi... agaknya engkau telah mengampuniku dan memberiku anak ini... Thian (Tuhan)... terima kasih bahwa Engkau telah melindungi anakku ini sehingga kini dapat bertemu denganku...!” Ayah dan anak itu berangkulan dan bertangisan.

Sampai lama mereka bertangisan. Akhirnya Thian Hwa lebih dahulu dapat menenangkan hatinya yang tadinya pilu penuh haru. Dia bangkit berdiri membimbing tangan ayahnya, mengusap air matanya dan berkata.

“Ayah, mengapa kita bertangisan? Bukankah sepatutnya kita bergembira oleh pertemuan ini?”

Pangeran Ciu Wan Kong tertawa! Entah sudah berapa lamanya dia tidak pernah tertawa sehingga dia sendiri merasa aneh sekali. Akan tetapi wajahnya kini berseri dan mulutnya tersenyum, matanya yang basah bersinar menemukan kembali gairah hidupnya.

“Ha-ha-ha, engkau benar, Anakku! Mengapa kita menjadi orang-orang cengeng? Padahal anakku Ciu Thian Hwa telah menjadi seorang pendekar wanita! Ya, pendekar wanita yang gagah perkasa. Aku bangga sekali! Sepatutnya kita bergembira. Kita rayakan pertemuan ini!” Pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan wanita setengah tua.

Mereka berdiri terlongong memandang majikan mereka yang tampak begitu gembira. Hal ini sungguh amat mengherankan hati mereka karena selama bekerja di situ belum pernah mereka melihat pangeran itu bergembira. Kini pangeran itu berdiri, menggandeng tangan seorang gadis cantik dan tampak begitu gembira!

“Hayo cepat siapkan pesta! Kami hendak merayakan kembalinya anakku! Ini puteriku, Ciu Thian Hwa. Kalian harus menyebutnya Ciu Siocia (Nona Ciu)!”

Dua orang pelayan itu terkejut, heran, akan tetapi juga girang sekali. Mereka cepat-cepat memberi hormat kepada Thian Hwa dan menyebut “Ciu Siocia” lalu mereka segera pergi untuk melaksanakan perintah majikan mereka.....


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 11
Pangeran Ciu lalu membawa Thian Hwa ke ruangan dalam dan mereka duduk bercakap-cakap.

“Anakku, sekarang ceritakanlah semuanya kepadaku. Benarkah Ibumu, Cui Eng isteriku yang kucinta dan yang bernasib malang, telah meninggal dunia?”

Thian Hwa menghela napas panjang. “Agaknya memang begitu, Ayah, walau pun belum ada buktinya bahwa ibuku telah meninggal dunia. Semua hal tentang diriku juga kudengar dari guruku.”

“Ceritakanlah, ceritakan semuanya, Anakku!”

“Guruku, Thian Bong Sianjin bercerita padaku bahwa sembilan belas tahun yang lalu dia menolong aku yang masih bayi dari air Sungai Huang-ho. Dia tidak melihat orang lain biar pun dia sudah berusaha mencari di sungai itu. Maka dia berkesimpulan bahwa kalau aku pergi dibawa ibuku, tentu ibuku telah meninggal dunia. Aku lalu dipelihara dan dididik oleh guruku itu sebagai muridnya, bahkan diangkat sebagai cucunya. Kong-kong Thian Bong Sianjin memberiku nama Thian Hwa. Dia amat sayang kepadaku dan menurunkan semua ilmu silatnya kepadaku.”

“Ahh, sungguh besar budi kebaikan Thian Bong Sianjin. Ingin sekali aku dapat berjumpa dengan dia agar bisa mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga. Akan tetapi, kalau engkau dan Thian Bong Sianjin tak pernah melihat Cui Eng, bagaimana engkau tadi dapat mengatakan bahwa Cui Eng mempunyai ciri tahi lalat di atas bibirnya?”

“Begini, Ayah. Setelah menolongku dari sungai, Kong-kong bermimpi, katanya dia melihat seorang wanita cantik dengan tahi lalat di atas bibir, mohon kepadanya supaya merawat anaknya. Maka Kong-kong berpendapat bahwa wanita cantik itu tentu ibuku.”

“Aih, Cui Eng... jika engkau sudah muncul dalam mimpi... benar-benar engkau telah mati, kekasihku?”

Melihat ayahnya tampak sedih kembali, Thian Hwa berkata menghibur. “Ayah, tenanglah. Menurut perkiraan Kong-kong, ibuku tentu selamat karena jenazahnya tidak diketemukan. Masih ada harapan ibu masih hidup, entah di mana.”

“Mudah-mudahan demikian, Anakku. Sekarang lanjutkan ceritamu. Bagaimana malam itu kau dapat datang di sini dan agaknya engkau... engkau ketika itu seperti mengancamku.”

“Memang benar, Ayah. Ketika itu aku datang ke sini dengan niat untuk... membunuhmu!”

“Ahh, Thian Hwa anakku, silakan jika engkau hendak membunuhku untuk membalas sakit hati ibumu. Sekarang juga aku akan menerimanya dengan rela. Memang aku pantas mati karena dosaku terhadap Cui Eng!”

“Tidak, Ayah. Buktinya aku tidak jadi membunuhmu. Aku tidak tega dan bahkan merasa kasihan kepadamu. Aku tahu bahwa engkau adalah ayahku setelah aku bertemu dengan kakekku, Kong-kong Cui Sam.”

“Ah, Lo Sam! Ia adalah pembantu keluarga di sini yang amat setia dan juga menjadi ayah mertuaku! Di mana dia, Anakku? Aku pun ingin bertemu dan minta maaf kepadanya!”

“Aku bertemu dengan Kong-kong Cui Sam di istana Pangeran Cu Kiong dan dialah yang bercerita mengenai riwayat ibuku. Mendengar betapa ibuku diusir setelah melahirkan aku, aku merasa sakit hati dan hendak membunuhmu, Ayah. Akan tetapi melihat Ayah begitu berduka dan menangisi Ibu, aku menjadi tidak tega.”

“Hemm, tentu engkaulah yang mengambil gambar ibumu itu!” kata Pangeran Ciu. “Tetapi bagaimana engkau sampai berada di istana Pangeran Cu Kiong sehingga dapat bertemu dengan kakekmu?”

Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya, dan bagian terakhir ia menceritakan bahwa kakeknya, Cui Sam, kini tinggal di dusun Kia-jung dekat kota Thian-cin.

“Ahh, biarlah aku akan mengirim pasukan menjemput ayah mertuaku Cui Sam. Dia harus ikut bersama kita tinggal di sini, dia sudah banyak menderita sengsara. Kasihan dia. Akan tetapi ceritamu tentang para pangeran itu sungguh mengejutkan hatiku, Anakku. Apa lagi mengenai niat Pangeran Leng Kok Cun yang hendak merebut tahta kerajaan! Ini sungguh gawat, dan meski pun selama ini aku juga sudah menaruh curiga kepadanya, namun tidak ada bukti akan maksud pengkhianatannya. Sekarang kita harus segera mengabarkan hal ini kepada Sribaginda supaya dapat dilakukan tindakan sebelum dia dapat melaksanakan pemberontakannya itu.”

Karena menganggap berita yang dibawa puterinya itu sangat penting, Pangeran Ciu Wan Kong lalu mengajak puterinya makan hidangan yang sudah disiapkan, kemudian bertukar pakaian dan mereka pun berangkat ke istana.

Hal ini merupakan peristiwa yang amat luar biasa bagi para pelayan Pangeran Ciu. Sudah bertahun-tahun pangeran itu hidup terbenam kesedihan, tidak pernah tampak senyum apa lagi tawa pada bibirnya, dan selalu tampak lesu dan muram. Akan tetapi mendadak saja, setelah gadis yang diperkenalkan sebagai puterinya itu datang, wajah Pangeran itu terlihat cerah gembira, matanya berahaya penuh semangat dan gerak-geriknya gesit, tidak loyo seperti biasanya. Dia bahkan tersenyum kepada setiap pelayan yang ditemuinya ketika dia memegang tangan Thian Hwa dan mereka berdua keluar dari gedung besar.

Para pengawal istana tentu saja mengenal Pangeran Ciu Wan Kong dengan baik, karena itu komandan pasukan pengawal segera melaporkan ke dalam akan kunjungan Pangeran Ciu. Laporannya diterima oleh para Thaikam (Orang Kebiri) yang menyampaikan kepada Boan Thaijin, Thaikam yang menjadi penasihat utama Kaisar Shun Chi.

Boan Kit yang sebutannya Boan Thaikam atau Boan Thaijin ini mengerutkan alisnya saat mendengar bahwa Pangeran Ciu Wan Kong minta menghadap Sribaginda Kaisar. Meski Boan Thaijin tidak suka dengan Pangeran Ciu yang sangat setia terhadap kakaknya yang menjadi kaisar, namun dia tidak berani menolak kunjungan ini. Apa lagi dia menganggap Pangeran Ciu sama sekali tidak berbahaya.

Namun ketika Pangeran Ciu dan Thian Hwa disambut Thaikam Boan Kit, penasihat kaisar ini lantas menatap wajah Thian Hwa dengan tajam penuh selidik. Pangeran Ciu telah tahu orang macam apa adanya Thaikam Boan Kit, maka melihat pandang matanya dia segera memperkenalkan.

“Boan Thaikam, dia ini adalah puteriku bernama Ciu Thian Hwa. Karena Kakanda Kaisar belum mengenal keponakan ini, maka kami hendak menghadap Sribaginda Kaisar supaya beliau dapat mengenal keponakannya.”

Boan Thaikam mengangguk dan merasa lega. Kalau hanya pertemuan keluarga saja, dia tidak perlu curiga dan khawatir.

“Harap Pangeran suka menanti sebentar. Saya akan melaporkan kepada Sribaginda yang kini sedang berada di dalam ruangan meditasi. Apa bila beliau sudah selesai bermeditasi, tentu Pangeran berdua dapat menghadap, akan tetapi kalau masih bermeditasi, tentu saja Paduka tidak akan mengganggu beliau.”

“Tentu saja, kami akan menunggu di sini,” kata Pangeran Ciu.

Diam-diam Boan Thaikam merasa heran bukan buatan melihat Pangeran Ciu. Dia sudah melakukan penyelidikan dan mengenal benar keadaan semua pangeran. Menurut laporan dari para penyelidiknya, Pangeran Ciu adalah seorang yang lemah bahkan jiwanya agak terganggu, selalu mengasingkan diri dan tenggelam dalam duka. Tetapi hari ini dia melihat Pangeran Ciu demikian gembira, wajahnya berseri, sinar matanya penuh semangat!

Tak lama kemudian Thaikam Boan Kit sudah datang menemui Pangeran Ciu dan berkata, “Pangeran, kebetulan sekali Sribaginda Kaisar sudah selesai semedhinya dan mendengar bahwa Paduka hendak menghadap, Beliau sangat gembira dan memperkenankan Paduka berdua memasuki Ruangan Meditasi.”

“Terima kasih, Boan Thaikam,” kata Pangeran Ciu.

Tentu saja dia telah mengenal keadaan dalam istana, maka tanpa ragu lagi dia mengajak Thian Hwa menuju ruangan itu.

Ruangan itu luas, akan tetapi tidak terisi banyak perabot yang serba mewah seperti yang terdapat di lorong-lorong dan ruangan lain dalam istana itu. Bahkan ruangan luas ini cukup sederhana bagi ukuran istana. Selain sebuah meja bundar dengan enam buah kursi, d situ hanya terdapat sebuah almari besar dan sebuah dipan ukuran sedang. Tentu saja ruangan itu terlampau luas untuk perabot yang sedikit itu.

Begitu melangkah melewati ambang pintu, Thian Hwa melihat seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun lebih sedang duduk bersila di atas dipan dan menghadap ke arah pintu. Wajahnya bersih dari jenggot dan kumis, bahkan rambutnya dipotong pendek. Jubahnya berwarna kuning seperti yang biasa dipakai para pendeta Buddha. Kalau saja kepala itu gundul, maka laki-laki itu jelas seorang hwesio (pendeta Buddha)! Thian Hwa memandang heran. Inikah Sribaginda Kaisar? Seorang pendeta, seorang hwesio?

Begitu melangkah masuk, Pangeran Ciu Wan Kong sudah menjatuhkan diri berlutut dan tentu saja Thian Hwa segera ikut pula berlutut.

“Ban-swe, ban-ban-swe...! Semoga Sribaginda Kaisar panjang umur!” kata Pangeran Ciu dan ucapan ini pun diikuti oleh Thian Hwa.

Secara harafiah penghormatan umum bagi kaisar itu berarti “panjang umur selaksa tahun” dan Thian Hwa yang meniru ayahnya meneriakkan salam penghormatan itu diam-diam merasa geli. Laksaan tahun? Bagaimana kalau harapan itu dikabulkan? Bagaimana rupa kaisar itu nanti kalau usianya mencapai laksaan tahun? Baru enam puluh tahun lebih saja sudah tampak tua! Maka dia tidak dapat menahan geli hatinya dan sambil menggigit bibir dia menahan tawanya sehingga tampak tersenyum aneh.

Terdengar suara Kaisar Shun Chi yang lembut, suara yang penuh kesabaran seperti suara seorang hwesio. “Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, adikku yang baik! Menurut keterangan Boan Thaikam, engkau berkunjung bersama puterimu. Ah, ini adalah pertemuan keluarga, bukan persidangan resmi, maka jangan banyak memakai peraturan yang kaku. Sungguh tidak enak kalau antara keluarga berbincang-bincang dengan kaku begini. Ciu Wan Kong, dan engkau keponakanku, kalian bangkit dan duduklah di atas kursi.”

Pangeran Ciu Wan Kong merupakan adik misan Kaisar Shun Chi yang di waktu mudanya sangat akrab dengan kakaknya, mengenal betul watak kaisar itu yang lembut dan bahkan ramah. Dia segera bangkit berdiri, diikuti oleh Thian Hwa.

“Banyak terima kasih, Kakanda Kaisar,” katanya dengan akrab. Mereka lalu duduk di atas kursi menghadap ke arah Kaisar Shun Chi.

“Ciu Wan Kong, sudah bertahun-tahun kami mendengar bahwa engkau tenggelam dalam kedukaan, bahkan engkau seperti mengasingkan diri. Telah lama sekali kami tak bertemu denganmu, akan tetapi hari ini kami melihat engkau berwajah ceria. Syukurlah bila engkau telah bisa mengatasi kedukaanmu. Dan kami mempunyai keponakan sudah begini besar, mengapa selama ini tidak pernah diajak menghadap ke sini?”

“Maafkan saya, Kakanda Kaisar. Sebenarnya saya sendiri baru saja menemukan kembali puteri saya yang hilang sejak dia masih bayi.”

“Omitohud! Menarik sekali itu, kenapa kami tak pernah mendengarnya? Ceritakanlah apa yang terjadi dengan engkau dan anakmu ini, Dinda,” kata Kaisar dan kembali Thian Hwa merasa heran. Mendengar ucapan Kaisar, ia merasa seolah berhadapan dengan seorang hwesio!

Pangeran Ciu Wan Kong lalu menuturkan kepada Kaisar Shun Chi tentang Cui Eng yang diusir orang tuanya sejak melahirkan seorang anak perempuan. Kemudian menceritakan tentang pertemuannya kembali dengan Thian Hwa yang sesudah menjadi seorang gadis pendekar yang lihai lalu mencari ayah ibunya.

“Hemm, kami masih ingat bahwa ibumu, adik ayahku, adalah orang yang berwatak keras. Akan tetapi sungguh tak kusangka ia akan tega terhadap cucunya sendiri. Beginilah kalau manusia membiarkan dirinya terikat pada derajat dan kehormatan. Ikatan menjadi sumber kesengsaraan,” kata Sribaginda Kaisar. “Tetapi sekarang engkau sudah dapat berkumpul kembali dengan puterimu, kami ikut merasa gembira dan bahagia!”

“Terima kasih, Kakanda Kaisar. Akan tetapi saya menghadap Kakanda ini, selain untuk memperkenalkan puteri saya, juga untuk melaporkan keadaan yang teramat gawat, yang didapatkan oleh Thian Hwa.”

Kaisar Shun Chi tersenyum. “Hal gawat apakah itu?”

“Thian Hwa, ceritakanlah kepada Sribaginda Kaisar,” kata Pangeran Ciu kepada puterinya.

Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika dia bertemu dengan Pangeran Leng Kok Cun, mengenai apa yang dia ketahui tentang pangeran yang hendak merampas tahta kerajaan dengan mengumpulkan banyak tokoh sesat dunia kang-ouw dan mengadakan persekutuan dengan para pejabat yang sehaluan.

“Mohon beribu ampun, Yang Mulia. Sebetulnya hamba tak berani menyusahkan perasaan Paduka dengan cerita ini, akan tetapi untuk menaati perintah Ayah, hamba menceritakan juga.” Thian Hwa menutup ceritanya ketika melihat betapa wajah yang penuh kesabaran itu diselimuti kedukaan setelah mendengar ceritanya.

Kaisar Shun Chi menarik napas panjang. “Baik sekali engkau menceritakan hal itu, Thian Hwa. Sesungguhnya urusan seperti itu sudah lama kukhawatirkan, Dinda Ciu Wan Kong. Perebutan kekuasaan, seolah kekuasaan harta benda dapat mendatangkan kebahagiaan! Padahal semua itu bahkan mendatangkan ikatan dengan dunia yang lebih kuat lagi. Jelas bahwa Pangeran Leng Kok Cun menuruti hawa nafsu angkara murka. Memang dia yang paling tua di antara putera-puteraku, akan tetapi dia lahir dari selir sehingga tidak berhak menggantikan aku. Orang pertama yang paling berhak adalah putera bungsuku Pangeran Mahkota Kang Shi. Ah, kedudukan dan harta hanyalah mendatangkan pertengkaran dan perebutan. Keadaan inilah yang membuat aku ingin melepaskan semua itu. Bebas dari pengaruh dunia yang hanya mendatangkan kesenangan palsu dan akan berakhir dengan kesengsaraan. Bebas dari segala persoalan yang hanya menimbulkan permusuhan dan kebencian.” Kaisar itu menghela napas lagi, lalu duduk diam seperti orang melamun.

“Maafkan saya, Kakanda Kaisar. Menurut cerita Thian Hwa tadi, bahaya dan keributan itu baru merupakan ancaman saja, tapi sebaiknya ancaman itu cepat-cepat disingkirkan agar jangan terjadi mala petaka. Ampunkan saya karena saya usulkan ini hanya demi menjaga kejayaan Kerajaan Ceng.”

Kembali Kaisar Shun Chi menarik napas panjang. “Adikku Ciu Wan Kong, bagaimana pun juga, Pangeran Leng Kok Cun adalah puteraku sendiri. Aku akan menasihatinya agar dia insaf dan menyadari kekeliruannya sehingga tidak melanjutkan niatnya yang tak baik itu.”

Mendadak terdengar gerakan orang di pintu. Thian Hwa yang memiliki kepekaan terhadap ancaman bahaya, cepat menengok dan dia melihat lima orang prajurit pengawal masuk ke ruangan itu. Tiba-tiba mereka berlima mengayun tangan, lantas terdengar suara bersiutan ketika lima sinar meluncur ke arah Kaisar!

Dengan gerakan cepat sekali Thian Hwa segera menyambar kursi yang tadi didudukinya, lantas melompat ke depan Kaisar dan menangkis lima batang piauw (senjata gelap) yang menyambar itu sehingga terdengar suara berdentingan pada waktu lima batang piauw itu terlempar ke atas lantai.

Sementara itu, Pangeran Ciu Wan Kong cepat melompat dan memegang tangan Kaisar Shun Chi, menariknya ke belakang almari besar untuk berlindung.

Melihat serangan mereka digagalkan gadis cantik yang berada di sana, lima orang prajurit pengawal itu berlompatan sambil mencabut pedang mereka. Thian Hwa tidak membawa senjata karena hal itu dilarang oleh ayahnya. Menghadap Kaisar memang dilarang keras membawa senjata.

Melihat lima orang itu bergerak demikian gesit, Thian Hwa dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan prajurit pengawal biasa. Mungkin orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat yang menyamar sebagai prajurit pengawal.

Dia tahu bahwa keselamatan Kaisar tengah terancam, maka dia cepat mengambil jarum-jarum kecil yang disembunyikan di saku bajunya. Kursi yang tadi dipakai menangkis lima batang piauw itu dia lontarkan ke arah lima orang pengawal yang menyerbu masuk.

Tepat seperti dugaannya, lima orang itu dengan mudah menghindarkan diri dari sambaran kursi, bahkan seorang dari mereka menggunakan pedangnya membacok kursi sehingga patah-patah. Akan tetapi serangan dengan lemparan kursi itu dilakukan Thian Hwa hanya untuk mengalihkan perhatian mereka saja. Segera sinar-sinar putih menyusul kursi itu dan itulah jarum-jarum Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang meluncur dengan kecepatan kilat ke arah lima orang itu.

Terdengar teriakan mengaduh dan dua orang dari mereka lantas terpelanting roboh akibat terkena jarum yang menyambar dengan sangat cepatnya itu. Tiga orang yang lain masih sempat menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum lembut itu.

Thian Hwa melompat ke depan, disambut serangan tiga orang itu. Memang jelas bahwa mereka itu bukan prajurit biasa karena serangan pedang mereka cukup lihai dan ganas.

Karena Thian Hwa harus melindungi Kaisar, maka ia mengambil tempat melindungi Kaisar yang berada di belakangnya agar dia dapat mencegah tiga orang itu melakukan serangan terhadap Kaisar Shun Chi dan Pangeran Ciu Wan Kong yang berlindung di balik almari. Thian Hwa bergerak dengan ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan). Gerakannya ringan dan gesit seperti seekor burung, berkelebatan di antara tiga gulungan sinar pedang pengeroyoknya.

Memang ketiga orang itu mempunyai ilmu pedang yang cukup lihai, terutama sekali yang seorang, yaitu yang bertubuh tinggi kurus. Dialah yang paling lihai dan agaknya orang ini mencari kesempatan untuk menerobos lewat Thian Hwa agar dapat membunuh Kaisar!

Sudah beberapa kali Pangeran Ciu Wan Kong membujuk Kaisar supaya memberi tanda memanggil para pengawal. Akan tetapi Kaisar Shun Chi yang bersikap sangat tenang itu menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara tegas.

“Tidak, Dinda. Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian puterimu. Kita lihat saja. Aku yakin ia akan dapat mengalahkan mereka.”

Tentu saja hati Pangeran Ciu Wan Kong gelisah sekali melihat puterinya tengah dikeroyok tiga orang yang bersenjata pedang, sedangkan puterinya bertangan kosong! Akan tetapi dia tak berani membantah ucapan Kaisar dan hanya menonton dengan jantung berdebar.

Dugaan Kaisar memang benar. Tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi dari pada tingkat tiga orang pengeroyoknya, atau lebih tepat yang dua orang, karena yang seorang itu memang benar lebih tangguh dari pada yang lain.

Sesudah bertanding belasan jurus, dengan tendangan kakinya akhirnya Thian Hwa dapat merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi ia sempat terkejut melihat lawannya yang tinggal seorang itu, tiba-tiba saja menyerang ke arah kawan-kawannya sendiri! Empat kali pedangnya menyambar ke arah empat orang yang sudah roboh terluka itu hingga mereka pun tewas seketika.

“Jahanam!” Thian Hwa membentak marah dan dia cepat menyerang dengan pengerahan tenaga saktinya. Orang tinggi kurus itu mencoba memapaki serangan ini dengan bacokan pedangnya.

“Trakkk...!”

Pedang itu terpental lantas terlepas dari pegangan tangannya ketika terpukul oleh tangan Thian Hwa yang terisi penuh tenaga sakti yang amat kuat itu. Kaki Thian Hwa menyusul dengan tendangan dan tubuh orang itu terlempar, menabrak dinding ruangan itu dan jatuh terkulai.

Thian Hwa segera melompat untuk menangkapnya karena dia perlu mengorek keterangan dari satu-satunya lawan yang masih hidup itu agar dapat diketahui siapa yang mendalangi penyerangan itu. Akan tetapi orang itu segera memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dan tubuhnya menggelepar lalu tewas!

“Keparat! Dia telah menelan racun!” Thian Hwa berseru marah.

Sesudah lima orang penyerang itu tewas semua, barulah Kaisar Shun Chi membunyikan kelenengan sebagai tanda memanggil para pengawal. Belasan orang prajurit pengawal segera berlari masuk, dipimpin oleh Boan Thaikam sendiri yang datang dengan pedang di tangan!

Boan Thaikam adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia terbelalak memandang mayat lima orang prajurit pengawal itu dan cepat dia memandang kepada Kaisar Shun Chi yang masih bergandengan tangan dengan Pangeran Ciu Wan Kong dan kini sudah keluar dari balik almari besar.

“Ya Tuhan...!” Thaikam itu berseru sambil memandangi mayat-mayat itu, lalu menyembah kepada Kaisar dengan membalikkan pedang di bawah lengannya. “Sribaginda, apakah yang telah terjadi? Siapa lima orang yang berpakaian seperti pengawal ini dan mengapa mereka mati di sini...?”

Dengan sikap tenang saja Kaisar berkata. “Mereka berusaha untuk membunuhku, namun keponakanku yang gagah perkasa ini sudah dapat menggagalkan niat jahat mereka. Boan Thaikam, cepat perintahkan anak buahmu untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dari sini dan membersihkan lantai ruangan ini!”

“Baik, Sribaginda.” Thaikam itu lalu sibuk mengatur orang-orangnya untuk menyingkirkan lima mayat itu, membawanya keluar.

Kaisar Sun Chi lalu berkata kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa. “Mari kita melanjutkan pembicaraan kita di ruangan lain.” Sesudah berkata demikian, dia menekan tombol yang tersembunyi di balik almari dan... terbukalah sebuah pintu di dekat almari itu! Thian Hwa dan ayahnya lalu mengikuti Kaisar masuk ke ruangan lain melalui pintu rahasia itu. Setelah mereka masuk, pintu itu segera tertutup kembali dan dinding itu tampak utuh.

Ruangan itu lain dari ruangan tadi. Tak seluas tadi dan perabotnya seperti di ruangan lain, indah dan mewah. Jelas bukan merupakan kamar tidur karena tidak ada pembaringannya. Hanya ada meja kursi serta perabot hiasan. Sesudah mereka duduk, Pangeran Ciu Wan Kong tidak dapat menahan keingin-tahuannya.

“Maaf, Kakanda Kaisar, saya benar-benar merasa heran dan ingin tahu sekali. Tadi ketika Kakanda terancam oleh lima orang pembunuh itu dan kita berada di balik almari, mengapa Kakanda tidak menggunakan pintu rahasia itu untuk menyelamatkan diri?”

Kaisar Shun Chi tersenyum lebar. “Dan tidak bisa menyaksikan keponakanku yang gagah perkasa ini bagaimana gagahnya dia menggagalkan usaha mereka? Omitohud! Aku tidak begitu bodoh, Dinda Pangeran. Aku ingin melihat buktinya lebih dahulu bahwa Thian Hwa adalah seorang pendekar wanita yang betul-betul pantas kuserahi tugas untuk melindungi Pangeran Mahkota, dan pantas pula kuberi sebuah Tek-pai.”

Pangeran Ciu terbelalak memandang Kaisar. “Melindungi Pangeran Mahkota? Dan diberi Tek-pai (Bambu Tanda Kuasa Kaisar)? Akan tetapi bukankah Pangeran Mahkota sudah dilindungi oleh Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan keluarganya? Dan puteri saya ini... ia... ia... masih amat muda, sudah pantaskah ia menerima sebuah Tek-pai? Saya mohon Kakanda mempertimbangkan kembali.”

Tentu saja Pangeran Ciu Wan Kong merasa amat khawatir mendengar ucapan Kaisar itu. Melindungi Pangeran Mahkota merupakan sebuah tugas besar yang teramat penting dan melihat betapa para pangeran agaknya merasa iri dan ingin mendapatkan tahta kerajaan menggantikan Sang Kaisar, maka pekerjaan melindungi Pangeran Kang Shi merupakan pekerjaan yang penuh bahaya.

Dan diberi Tek-pai, yaitu sepotong bambu yang ada cap dan tanda tangan Kaisar dengan tulisan bahwa pemegangnya diberi kekuasaan oleh Kaisar, juga berarti memberi tanggung jawab yang teramat berat di atas pundak puterinya, seorang gadis muda! Biasanya yang diberi Tek-pai adalah mereka yang sudah benar-benar dipercaya oleh Kaisar, seorang pejabat tinggi yang setia dan sudah banyak jasanya!

Kembali Kaisar Shun Chi tersenyum. “Adinda Ciu, engkau tahu aku selalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Telah kupertimbangkan dengan baik ketika aku mengangkat Thian Hwa menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi. Thian Hwa, engkau akan membantu Pangeran Bouw Hun Ki yang telah kuserahi tugas untuk mendidik dan menjaga Pangeran Mahkota. Engkau bertugas menjaga keselamatannya dan menentang siapa pun juga yang berniat jahat terhadap Pangeran Kang Shi. Untuk itu engkau akan kuberi Tek-pai agar ke mana pun engkau minta bantuan, semua pejabat pemerintah pasti akan menerimamu dan membantumu. Nah, Thian Hwa, keponakanku yang gagah, sanggupkah engkau menerima tugas ini?”

Thian Hwa lalu bangkit dari kursinya dan menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar.

“Hamba menaati semua perintah Paduka Sribaginda!”

Kaisar Shun Chi tertawa senang. “Ha-ha-ha-ha, engkau pantas menjadi puteri Dinda Ciu Wan Kong yang merupakan adikku yang paling bijaksana dan setia!” Kaisar tertawa lagi. Akan tetapi dia lalu bersikap serius, senyumnya lenyap dan dia berkata lirih.

“Dengar baik-baik kalian berdua yang kupercaya. Sesungguhnya aku telah menduga akan semua yang kalian ceritakan itu. Aku pun sudah tahu akan niat puteraku Pangeran Leng Kok Cun yang tidak sehat itu. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia adalah puteraku. Aku akan seperti mencoreng arang di mukaku sendiri jika bertindak terhadap puteraku sendiri. Oleh karena itu aku sudah mengambil keputusan yang sudah sejak lama kurencanakan.” Dengan suara bisik-bisik Kaisar Shun Chi lalu memberi-tahu kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa tentang rencananya.

Keputusan yang diambil Kaisar Shun Chi memang luar biasa dan hebat. Kaisar yang telah lama menekuni Agama Buddha itu sehingga dia tidak acuh lagi terhadap urusan kerajaan, ingin meniru apa yang dilakukan Pangeran Sidharta Gautama yang meninggalkan istana dengan semua kesenangan dan kemewahannya untuk mencari jalan kebenaran sehingga akhirnya menjadi Buddha.

Kaisar Shun Chi juga ingin meninggalkan istana secara diam-diam supaya jangan sampai menggegerkan rakyat, untuk menjadi pendeta Buddha dan menghabiskan hidupnya untuk melepaskan diri dari semua ikatan. Agar tidak sampai menimbulkan kekacauan, mereka yang dekat dengannya dan dipercaya akan mengabarkan bahwa Kaisar Shun Chi sudah wafat!

“Akan tetapi, Kakanda...!” Pangeran Ciu Wan Kong berseru kaget dan heran.

Kaisar Shun Chi mengangkat tangan kanannya ke atas. “Cukup, Dinda Ciu, keputusan ini tidak akan dapat diubah oleh siapa pun juga karena telah menjadi keputusanku. Aku akan meninggalkan surat wasiat bahwa penggantiku haruslah Pangeran Kang Shi. Dinda Ciu Wan Kong, terutama engkau Thian Hwa, sangat kuharapkan untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki serta para menteri dan panglima yang setia agar penobatan Pangeran Kang Shi sebagai kaisar penggantiku kelak berjalan dengan lancar dan tak ada hambatan atau halangan. Ini adalah perintahku yang terakhir! Maukah engkau berjanji, Ciu Thian Hwa?”

Thian Hwa sangat terkejut dan heran mendengar rencana Kaisar yang diucapkan dengan suara tenang namun tegas itu. Ia pun menjawab tanpa ragu.

“Hamba siap melaksanakan semua perintah Paduka, Sribaginda!”

“Bagus, kini hatiku menjadi tenang. Biar pun aku sudah menyerahkan semua harapan dan kepercayaan kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang didukung oleh isterinya yang bijaksana dan tinggi ilmunya, namun mereka masih membutuhkan bantuan seorang seperti engkau, Thian Hwa. Surat wasiat itu telah kutulis, tetapi masih kubawa. Tugas pertamamu adalah membawa surat wasiat ini kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan menyerahkan surat wasiat ini kepadanya.”

“Maaf, Kakanda Pangeran, apakah Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki sudah mengetahui akan rencana Kakanda membuat surat wasiat ini?”

“Sudah, dia sudah mengetahui semua rencanaku. Berikan saja surat wasiat ini kepadanya dan dia akan mengerti.” Kaisar mengambil surat wasiat itu dari balik jubahnya kemudian menyerahkannya kepada Thian Hwa.

Gadis itu menerimanya kemudian menyimpannya baik-baik di balik bajunya sehingga tidak tampak dari luar.

“Nah, sekarang kalian boleh pergi dari sini.”

“Akan tetapi, Kakanda. Ke manakah saya harus mencari bila saya ingin berjumpa dengan Kakanda?” tanya Pangeran Ciu Wan Kong dengan hati pilu.

“Dinda Ciu Wan Kong! Kalau nanti ada berita tentang Kaisar Shun Chi wafat, berarti aku sudah tidak berada di sini. Jangan tanya lagi ke mana aku pergi dan jangan mengharap akan bertemu dengan aku lagi. Anggap saja aku benar-benar sudah mati.”

“Kakanda....”

“Cukup, jangan lemah dan cengeng, Dinda Ciu Wan Kong. Lihat puterimu begitu gagah dan tegar! Laksanakan saja pesanku itu dengan baik dan aku yakin Kerajaan Ceng akan tetap jaya! Sekarang pergilah, kalau kalian terlalu lama berada di sini akan menimbulkan kecurigaan.”

Sesudah menerima Tek-pai dan surat wasiat dari Kaisar Shun Chi, Thian Hwa bersama ayahnya lalu meninggalkan istana dengan hati berat. Terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong. Pertemuannya dengan Kaisar tadi mungkin merupakan pertemuan yang terakhir!

Tapi dengan adanya Thian Hwa di sampingnya, Pangeran Ciu Wan Kong dapat terhibur. Penghidupannya berubah sepenuhnya sesudah puterinya itu tinggal bersamanya. Dia lalu menyuruh orang supaya menjemput Lo Sam yang tinggal di dusun Kia-jung untuk datang dan tinggal di gedungnya, bukan lagi sebagai seorang pelayan seperti dahulu, melainkan sebagai ayah mertua yang dihormati…..!

********************





KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 12 

Kita tinggalkan dulu Thian Hwa yang sekarang tinggal bersama ayahnya di kota raja dan mengemban tugas yang penting dan berat dari Kaisar. Mari kita ikuti pengalaman Ui Yan Bun yang sudah hampir dua tahun kita tinggalkan.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yan Bun membantu Thian Hwa yang dikeroyok oleh Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng), yaitu para pengawal Pangeran Cu Kiong. Thian Hwa yang tadinya terdesak hebat, dengan bantuan Yan Bun berbalik dapat merobohkan empat orang pengeroyok hingga tewas. Tiga yang lain melarikan diri. Ketika Yan Bun hendak mengejar dan membunuh Pangeran Cu Kiong, Thian Hwa melarangnya. Kemudian gadis itu meninggalkan Yan Bun karena ketika itu dia hendak mencari kakek angkat atau gurunya, yaitu Thian Bong Sianjin.

Sebagai orang yang berperasaan peka, pada waktu Thian Hwa mencegah dia membunuh Pangeran Cu Kiong yang tampan gagah itu, Yan Bun sudah dapat menduga akan isi hati Thian Hwa. Gadis itu agaknya jatuh cinta kepada Sang Pangeran!

Tentu saja hal ini menusuk hatinya. Dia yang sejak dahulu amat mencinta Thian Hwa kini mendapat kenyataan betapa gadis itu tidak membalas cintanya, bahkan mencinta laki-laki lain, yaitu Pangeran Cu Kiong!

Dengan hati kecewa dan sedih karena harus berpisah dari gadis yang dicintanya, Yan Bun lalu meninggalkan kota raja dan menuju ke Lam-hu di selatan. Dia hendak mengunjungi Ui Tiong, yakni pamannya yang juga menjadi gurunya yang pertama, yang tinggal di sana. Pek-hunya (Paman Tuanya) itu membuka sebuah toko obat di Lam-hu karena selain ahli silat yang cukup pandai, Ui Tiong juga pandai tentang ilmu pengobatan.

Kota Lam-hu merupakan kota yang cukup ramai. Letaknya di dekat sebuah telaga yang besar. Kota itu dinamakan Lam-hu yang sebenarnya nama dari telaga itu, yakni Lam-hu (Telaga Selatan). Kota Lam-hu berseberangan dengan sederetan bukit-bukit yang rimbun dengan hutan.

Pada saat matahari sudah mulai panas dan orang-orang mulai bekerja, menggarap sawah ladang, mencari ikan di telaga, ada pula yang mengumpulkan hasil hutan di pegunungan itu, masuklah Ui Yan Bun ke kota Lam-hu. Dia mengenal benar kota ini karena dahulu dia tinggal di rumah pamannya selama tidak kurang dari tujuh tahun, membantu pekerjaan Ui Tiong yang berdagang obat sambil belajar silat dari pamannya itu. Ui Tiong dan isterinya amat sayang kepada Yan Bun karena mereka sendiri tidak mempunyai anak.

Begitu memasuki kota Lam-hu, Yan Bun merasa gembira. Seakan tidak ada perubahan sama sekali setelah dia meninggalkannya selama beberapa tahun ini. Dia membayangkan betapa akan senangnya paman dan bibinya menyambut kedatangannya.

Ketika lewat di jalan yang berada di dekat telaga, dia berhenti sebentar dan memandang ke permukaan telaga dengan wajah berseri. Teringatlah dia betapa dulu dia sering main-main naik perahu atau berenang dengan kawan-kawan di telaga itu.

Indah sekali pemandangan di telaga. Dari tempat dia berdiri, dia melihat pegunungan yang hijau itu membayang pada permukaan air di seberang. Perahu-perahu nelayan hilir mudik perlahan. Tampak beberapa nelayan menebarkan jala dan banyak pula yang memegang tangkai kail untuk memancing ikan di bagian yang airnya tenang.

Yan Bun yang berpakaian serba biru, berwajah tampan dan bertubuh tegap, melanjutkan langkahnya dengan hati merasa gembira. Kini dia telah dapat melupakan kekecewaan dan kesedihannya memikirkan Thian Hwa yang seolah tidak mempedulikannya, dan dia ingin segera bertemu Ui Tiong dan isterinya.

Akan tetapi ketika dia tiba di rumah Ui Tiong, dia segera melihat keanehan itu. Matahari telah naik tinggi, akan tetapi toko obat itu belum dibuka! Ini aneh sekali, karena biasanya paman dan bibinya itu amat rajin dan dulu selama dia berada di situ, tidak sehari pun toko itu ditutup. Maka dia pun cepat mengetuk daun pintu rumah yang berada di samping toko. Ketika pelayan membuka daun pintu, dia disambut tangis memilukan oleh isteri Ui Tiong!

“Bibi, apa yang terjadi?” Yan Bun bertanya.

“Pamanmu... Pamanmu....” Nyonya itu menangis semakin sedih.

“Pek-hu (Paman Tua) kenapa? Di mana dia?”

Wanita itu tidak dapat bicara lagi, hanya menangis sesenggukan. Yan Bun menghiburnya dan setelah tangisnya reda, barulah wanita itu dapat menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpa Ui Tiong, suaminya.

Nyonya Ui Tiong segera menceritakan apa yang menimpa suaminya. Terjadinya baru tadi malam. Ketika itu toko obat sudah ditutup dan Ui Tiong bersama isterinya sedang makan malam ketika tiba-tiba saja pintu rumah mereka terbuka lalu muncul seorang gadis cantik.

“Hei, siapakah engkau dan apa keperluanmu, Nona?” Ui Tiong yang sudah selesai makan menegur dengan alis berkerut karena perbuatan gadis itu memang tidak sewajarnya dan kurang ajar, memasuki rumah orang begitu saja dan tahu-tahu berada di dalam.

Tetapi dia masih bersabar karena menyangka bahwa gadis itu tentu sedang resah karena ada keluarganya yang sedang sakit parah dan sekarang datang hendak minta tolong atau mencari obat. Yang membuat Ui Tiong dan isterinya merasa heran adalah karena melihat bahwa gadis itu seorang yang sama sekali tidak mereka kenal. Padahal, suami isteri ini sudah tinggal di kota Lam-hu selama belasan tahun dan dapat dikatakan bahwa mereka mengenal semua penduduk kota itu.

Gadis itu berusia sekitar sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi semampai, pinggangnya ramping dan wajahnya cantik manis dengan setitik tahi lalat hitam pada dagu sebelah kiri. Pakaiannya indah dan mewah seperti pakaian seorang puteri bangsawan. Dengan sinar matanya yang tajam ia menatap Ui Tiong dan isterinya, kemudian bertanya dengan sikap angkuh, ditujukan kepada Ui Tiong.

“Apakah engkau yang bernama Ui Tiong, pemilik rumah obat ini?”

“Benar, Nona,” jawab Ui Tiong singkat. “Silakan duduk, Nona.”

“Tidak perlu duduk. Apakah engkau juga memiliki kepandaian mengobati orang sakit?”

“Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan.”

“Bagus, kalau begitu marilah ikut denganku untuk mengobati orang sakit,” ajak gadis itu dengan suara mendesak.

“Nona, sebaiknya si sakit itu engkau bawa ke sini, aku akan memeriksanya dan kalau aku mampu, akan kuobati dia.”

“Tidak bisa! Engkau harus ikut denganku dan memeriksanya di rumah kami!”

Ui Tiong mengerutkan alis. Gadis ini bersikap demikian angkuh dan hendak memaksanya! Akan tetapi sebagai seorang yang berpengalaman, dia mampu menahan kesabarannya.

“Nona, maafkan karena malam ini aku tidak dapat ikut. Besok pagi saja aku akan datang ke rumahmu. Di manakah rumahmu, Nona?”

“Tidak, harus sekarang! Rumahku di seberang telaga, kuberi-tahu juga engkau tidak akan menemukannya. Marilah Ui Sinshe (Tabib Ui), engkau ikut denganku sekarang. Aku telah menyediakan seekor kuda untukmu!”

Ui Tiong menggelengkan kepala. “Tidak bisa, Nona. Kalau orang sakit itu dibawa ke sini, malam ini juga akan kuperiksa dia, kalau aku yang harus pergi ke sana, besok pagi baru dapat kulakukan.”

“Engkau harus pergi bersamaku sekarang juga!” gadis itu berkata dengan suara tegas.

Ui Tiong mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang murid Thai-san-pai yang cukup lihai, bahkan ilmu silatnya lebih mendalam dibandingkan ilmu pengobatannya. Kini ada seorang gadis muda seakan hendak memaksa pergi, tentu saja dia merasa penasaran sekali dan yakin bahwa gadis ini tentu bukan penduduk Lam-hu maka tidak mengenal dia sebagai seorang ahli silat.

“Hemm, siapa yang berhak mengharuskan agar aku pergi bersamamu, Nona?” tanyanya dengan senyum seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal.

Gadis itu segera mengerutkan alisnya dan pandang matanya tampak mencorong. “Akulah yang mengharuskan! Tabib Ui Tiong, engkau harus pergi bersamaku, kalau perlu kuseret engkau!”

“Heh, bocah kurang ajar! Jaga sikap dan bicaramu!” Ui Tiong membentak marah.

Sekarang Nyonya Ui mencampuri. “Nona yang baik, harap jangan memaksa. Sebaiknya cepatlah bawa si sakit ke sini, siapa tahu suamiku dapat menyembuhkannya.” Nyonya itu melangkah maju untuk mencegah terjadinya keributan antara suaminya dan gadis itu.

“Pergi kau, jangan mencampuri!” Tiba-tiba gadis itu membentak dan sekali tangan kirinya bergerak, ia telah mendorong Nyonya Ui sehingga terjengkang jatuh!

“Gadis jahat!” Ui Tiong berseru marah dan dia pun cepat menggerakkan tangannya untuk mendorong pundak gadis itu. Akan tetapi gadis itu menggerakkan tangan menangkis.

“Dukk!” Tubuh Ui Tiong terdorong ke belakang.

Tentu saja murid Thai-san-pai ini sangat terkejut dan semakin penasaran, akan tetapi dia juga menyadari bahwa gadis itu bukan orang sembarangan. Ketika dorongannya ditangkis tadi, terbukti bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat! Melihat kelihaian dan sikapnya yang demikian angkuh, Ui Tiong dapat menduga bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) golongan sesat.

Di dunia persilatan memang terdapat orang-orang dari berbagai golongan. Yang pertama tentu saja dari golongan pendekar yang mempergunakan kepandaian silatnya selain untuk menjaga, membela dan melindungi diri sendiri dan orang lain dari gangguan orang jahat, juga untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan.

Golongan ke dua adalah yang disebut golongan hitam atau golongan sesat, yaitu mereka yang biasa mempergunakan kepandaian silatnya untuk menjadi jagoan dan memaksakan keinginan mereka sendiri pada orang lain, suka mengganggu, menindas, dan melakukan kejahatan-kejahatan seperti perampok, bajak, atau tukang-tukang pukul bayaran.

Ada pun golongan ke tiga adalah mereka yang menggunakan kepandaian silatnya untuk memperoleh pekerjaan sebagai prajurit atau penjaga keamanan seperti piauwsu (pengawal kiriman barang) atau pengawal-pengawal para bangsawan atau hartawan.

Masih ada satu golongan lainnya, yaitu mereka yang menjadi pendeta atau pertapa, yang jarang mencampuri urusan dunia tapi memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga mereka ini banyak dicari orang muda untuk dijadikan guru mereka.

Menduga bahwa gadis itu hendak memaksakan kehendaknya secara kasar, Ui Tiong lalu menjadi marah sekali sehingga dia pun membentak,

“Gadis liar, pergilah!” Ui Tiong menyerang dengan jurus Lim-houw-to-yo (Harimau Rimba Menyambar Kambing).

Sebagai murid Thai-san-pai, tentu saja Ui Tiong bukan seorang yang lemah. Ilmu silatnya cukup lihai, juga dia mempunyai tenaga murni yang kuat karena hidupnya bersih dan dia seorang ahli pengobatan. Meski pun tidak dilakukan dengan niat melukai atau membunuh, namun serangannya itu cukup kuat.

“Wuuutttt...! Takk!”

Kembali tubuh Ui Tiong tergetar dan terdorong ke samping ketika gadis itu menggunakan jurus Sin-ho-liang-ci (Bangau Sakti Pentang Sayap). Gerakannya amat ringan, cepat dan mengandung tenaga sakti yang kuat ketika ia memutar tubuh dengan merentangkan dua lengannya menangkis serangan Ui Tiong. Dengan cepat pula ia lantas balas menyerang.

Maklum bahwa gadis itu lihai juga liar dan ganas, Ui Tiong mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan. Terjadilah perkelahian di depan toko obat itu dan Ui Tiong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa gadis itu sungguh amat lihai. Biar pun dia sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, tetap saja dia terdesak terus.

Ui Tiong masih dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Itu juga karena gadis itu agaknya tidak ingin melukai atau membunuhnya. Andai kata tidak demikian halnya, kiranya dia tak akan mampu bertahan sampai sekian lamanya.

“Haiiitt, robohlah!” gadis yang semenjak tadi telah mendesaknya itu tiba-tiba saja berhasil menyarangkan totokan jari tangannya ke pundak Ui Tiong hingga laki-laki ini terpelanting roboh dan lemas tidak mampu bergerak lagi!

Gadis itu menoleh ke belakang dan ternyata ia tadi diiringkan oleh empat orang pengikut, semuanya lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh tegap. Ia memberi isyarat dan empat orang itu segera datang sambil menuntun lima ekor kuda.

Tanpa banyak cakap lagi mereka langsung mengangkat tubuh Ui Tiong ke atas punggung seekor kuda dan seorang duduk di belakangnya. Kemudian mereka semua, juga gadis itu, meloncat ke atas punggung kuda masing-masing lalu mereka membalapkan kuda pergi meninggalkan kota Lam-hu.

Nyonya Ui hanya dapat menangis. Ia adalah isteri seorang laki-laki gagah, maka biar pun merasa khawatir akan keselamatan suaminya, tapi ia tidak berteriak minta tolong melihat suaminya dibawa pergi. Pertama, karena ia tahu benar bahwa para tetangganya tidak ada yang akan mampu menolong suaminya, dan ia pun khawatir bahwa apa bila dia menjerit, gadis liar itu mungkin malah akan menjadi marah dan mencelakai suaminya. Selain itu ia pun tahu bahwa gadis itu hanya ingin minta pertolongan suaminya untuk mengobati orang sakit, walau pun caranya minta tolong dengan paksaan dan kekerasan.

Ia hanya dapat mengingat-ingat keadaan gadis itu, supaya kelak ia dapat mengenalnya. Ketika Ui Yan Bun, keponakan suaminya datang, Nyonya Ui Tiong menceritakan semua peristiwa itu.

Yan Bun mengerutkan alisnya, merasa penasaran sekali bagaimana seorang gadis muda dapat bersikap demikian kasar, memaksa pamannya untuk pergi memeriksa orang sakit.

“Bibi, apakah gadis itu tidak memberi-tahu siapa namanya dan ke manakah ia membawa Pek-hu Ui Tiong?”

“Ia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa rumahnya berada di seberang telaga. Yan Bun, tolonglah Paman tuamu, susul dan carilah dia. Aku khawatir sekali akan keselamatannya karena gadis itu demikian liar, ganas dan berkepandaian tinggi.” Nyonya itu berkata sambil menyusut air matanya.

“Tentu aku akan mencarinya, Bibi. Akan tetapi, ke mana aku harus mencari? Di seberang telaga, sebelah mana? Telaga itu demikian luas dan di sana terdapat daerah perbukitan. Tanpa ada petunjuk yang jelas, tentu akan sulit sekali menemukan tempat kemana Pek-hu mereka bawa.”

Malam itu Yan Bun menginap di rumah Ui Tiong. Maksudnya besok pagi barulah dia akan mencoba untuk mencari pamannya yang diculik gadis liar itu.

Tetapi pada keesokan harinya, baru saja dia selesai mandi lalu menyantap sarapan yang disediakan bibinya, tiba-tiba pintu toko yang tertutup itu diketuk keras dari luar. Nyonya Ui terkejut dan tampak takut, maka Yan Bun cepat bangkit lalu membuka pintu depan. Yang mengetuk pintu itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian ringkas dan pada punggungnya terdapat sebuah golok besar.

Melihat wajah yang membayangkan kekerasan dengan sepasang mata lebar melotot itu, Yan Bun mengerutkan alisnya. Tetapi dia menahan kesabarannya dan bertanya dengan lembut.

“Siapakah saudara dan ada keperluan apakah engkau mengetuk pintu kami?”

Laki-laki itu memandang ke arah Nyonya Ui yang muncul di belakang Yan Bun.

“Aku datang untuk membeli obat!” Dia menyodorkan sehelai kertas bertuliskan resep obat, bukan kepada Yan Bun, melainkan kepada Nyonya Ui.

Yan Bun hendak menegur sikap kasar itu, akan tetapi Nyonya Ui segera menerima resep obat itu dan Yan Bun hanya melihat betapa bibinya mulai melayani permintaan itu, dengan jari-jari tangan gemetar mengumpulkan rempah-rempah yang tertulis pada resep. Setelah lengkap, ia membungkusnya dan menyerahkannya kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu menerima bungkusan obat, mengambil sepotong uang perak dari kantungnya, lalu menyerahkannya kepada Nyonya Ui. Wanita itu menolak dan berkata dengan suara agak gemetar.

“Tidak perlu bayar, obat ini saya beri cuma-cuma, bawalah,” katanya.

“Uang ini harus diterima!” bentak laki-laki itu. “Aku diharuskan menyerahkan uang ini dan harus engkau menerimanya!”

“Ini terlalu banyak....” Nyonya Ui membantah.

Akan tetapi laki-laki itu sudah melempar potongan perak ke atas meja lantas melangkah keluar, melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda dari situ.

“Dia seorang dari mereka...” bisik Nyonya Ui kepada Yan Bun.

Mendengar ini Yan Bun segera mengejar keluar.

“Jangan khawatir, Bibi. Aku akan mencari dan membawa pulang Pek-hu!”

Dengan menggunakan ginkang-nya yang tinggi, Yan Bun lalu mengejar penunggang kuda itu dan membayangi dari jauh. Dia yakin bahwa orang itulah yang akan menjadi penunjuk jalan ke tempat di mana pamannya dilarikan para penculik itu. Biar pun pembeli obat tadi kini membalapkan kudanya menuju ke Telaga Lam-hu, kemudian setibanya di tepi telaga dia mengambil jalan menyusuri pinggir telaga dan agaknya hendak mengitarinya, Yan Bun dapat terus membayanginya dengan menggunakan ilmu berlari cepat Hong-yang-liap-in (Tiupan Angin Mengejar Awan)…..

********************

Kita tinggalkan dulu Ui Yan Bun yang membayangi pembeli obat itu. Mari kita melihat Ui Tiong yang dalam keadaan tertotok dilarikan oleh gadis liar bersama para pembantunya.

Gadis liar itu bernama Wan Kim Hui, berusia sembilan belas tahun. Dia berwajah manis dengan tahi lalat kecil pada dagunya. Pakaiannya mewah seperti yang biasa dipakai para puteri bangsawan.

Dia adalah puteri dari seorang tokoh besar kang-ouw daerah selatan yang bernama Wan Cun dan di dunia kang-ouw dikenal sebagai Lam-ong (Raja Selatan). Di Propinsi Se-cuan di selatan, namanya amat terkenal. Ibu dari Wan Kim Hui, yaitu Nyonya Wan, juga adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal lihai. Maka tidaklah mengherankan kalau Wan Kim Hui yang digembleng oleh ayah ibunya menjadi seorang yang amat lihai pula.

Mungkin karena terlalu dimanja oleh ayahnya, Wan Kim Hui menjadi seorang gadis yang berwatak liar, galak, nakal dan agak tinggi hati, selalu menuntut agar keinginannya dapat dipenuhi. Akan tetapi sesungguhnya ia mewarisi watak ayahnya yang gagah dan patriotik, juga watak ibunya yang adil dan menentang kejahatan.

Seperti tercatat dalam sejarah, ketika bangsa Mancu mulai membangun kekuatan besar di utara, di luar Tembok Besar yang menjadi benteng pertahanan, Kerajaan Beng mulai lemah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan. Bahkan akhirnya Kerajaan Beng tamat riwayatnya, kaisarnya yang terakhir menggantung diri pada saat Peking diserbu dan diduduki oleh pemberontak Li Cu Seng.

Mendengar hal ini, Jenderal Wu Sam Kwi yang menjadi panglima pasukan yang menjaga tapal batas kerajaan di sebelah utara Peking, mengadakan persekutuan dengan Pangeran Dorgan yang menjadi raja atau wakil raja bangsa Mancu yang sudah mendirikan Kerajaan Ceng dan menguasai seluruh Mancuria, kemudian persekutuan ini menyerbu Peking. Li Cu Seng melarikan diri ke barat, dikejar-kejar Wu Sam Kwi hingga akhirnya Li Cu Seng tewas dibunuh sendiri oleh para petani yang menjadi pengikutnya.

Sesudah Kerajaan Beng, kerajaan terakhir yang dikuasai pemerintah pribumi jatuh, maka Kerajaan Ceng yang dikuasai bangsa Mancu mulai menjajah Cina. Jenderal Wu Sam Kwi tentu saja menentang bangsa Mancu yang tadinya merupakan sekutunya. Akan tetapi dia kalah dan terpaksa melarikan diri ke daerah Se-cuan, di mana dia mempertahankan diri mati-matian dari serangan Pemerintah Ceng (Mancu). Di Se-cuan, Wu Sam Kwi menjadi Raja Muda dan masih banyak orang-orang pandai mendukungnya sehingga tidak mudah bagi Pemerintah Mancu untuk menaklukkannya.

Kisah ini terjadi sekitar tahun 1660. Pada masa itu yang menjadi Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661), dan putera mahkotanya adalah Pangeran Kang Shi yang baru berusia sepuluh tahun. Sementara itu Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi Raja Muda di Se-cuan, masih belum dapat ditundukkan.

Kita kembali kepada keluarga Wan. Wan Cun bersama isteri dan puterinya Wan Kim Hui, sejak dahulu juga tinggal di Se-cuan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan politik, tidak mau ikut dalam perebutan kekuasaan. Maka dia pun tidak mau ketika Jenderal Wu Sam Kwi menawarkan kedudukan kepadanya.

Wan Cun yang berjuluk Lam-ong itu lebih suka bebas. Hal ini membuat dia tidak disukai oleh para datuk kang-ouw lainnya yang mendukung Wu Sam Kwi. Bahkan seorang datuk yang terkenal dengan nama Lam Hai Cin-jin, yang dulunya menjadi sahabat baiknya, kini menjauhinya.

Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan itu pun menjabat kedudukan tinggi di dalam pemerintahan Jenderal Wu Sam Kwi. Dia diangkat menjadi Koksu (Guru Negara) yang bekerja sebagai penasehat Raja Muda Wu Sam Kwi.

Wan Kim Hui yang cantik manis serta pandai ilmu silat membuat banyak pemuda tergila-gila. Tetapi sebagian besar dari mereka yang tidak pandai ilmu silat dan bukan merupakan putera hartawan atau bangsawan, hanya berani memandang dan mengaguminya dari jauh saja. Hanya ada beberapa orang pemuda putera bangsawan yang berkedudukan tinggi saja yang berani mendekati Kim Hui. Akan tetapi selama ini gadis itu menghadapi mereka dengan sikap acuh tak acuh. Belum ada satu orang pun di antara mereka yang menarik perhatian gadis ini.

Seorang dari mereka yang paling berani mendekati Wan Kim Hui adalah Wu Kongcu, seorang di antara putera-putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) ini bernama Wu Kan, seorang pemuda yang tampan akan tetapi terkenal sebagai seorang kongcu hidung belang dan tukang pelesir. Usianya dua puluh lima tahun dan biar pun dia belum menikah, namun selirnya sudah ada belasan orang!

Wu Kan tergila-gila kepada Wan Kim Hui. Dia ingin sekali mendapatkan Kim Hui sebagai isterinya. Selain Kim Hui cantik manis, juga gadis itu lihai, pandai ilmu silat, sehingga jika menjadi isterinya berarti dia mempunyai pelindung yang boleh diandalkan. Wu Kan sendiri memiliki kepandaian silat, namun dibandingkan Wan Kim Hui, dia tertinggal jauh sekali.

Ketika Wu Kan memberi-tahukan ayahnya bahwa ia ingin berjodoh dengan Wan Kim Hui, Raja Muda Wu Sam Kwi merasa setuju karena kalau gadis itu menjadi mantunya, maka dapat diharapkan ayah gadis itu, Wan Cun yang sakti, bisa membantunya.

Pinangan lalu diajukan, tetapi sungguh membuat Raja Muda Wu Sam Kwi dan puteranya merasa penasaran sebab lamaran itu dengan halus ditolak oleh keluarga Wan! Tentu saja penolakan ini berdasarkan penolakan Wan Kim Hui, dan orang tuanya tak mau memaksa puteri tunggal mereka menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya.

Wu Kan marah sekali mendengar pinangannya ditolak. Semua gadis di seluruh Se-cuan, siapakah yang akan menolak pinangannya? Semua tentu akan senang menjadi isterinya, menjadi mantu Raja Muda Wu Sam Kwi! Akan tetapi ternyata pinangannya terhadap Wan Kim Hui ditolak mentah-mentah!

Dalam keadaan mabok sambil dikawal belasan orang jagoannya, Wu Kan lalu mendatangi rumah keluarga Wan. Pada saat itu kebetulan suami isteri Wan Cun sedang tidak berada di rumah dan yang ada hanyalah Wan Kim Hui.

Gadis itu segera keluar ketika melihat Wu Kan datang dikawal dua belas orang. Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia tidak ingin pemuda itu memasuki rumahnya, maka dia langsung keluar dan menyambut pemuda itu di pekarangan rumahnya.

“Wu Kongcu, mau apa engkau datang berkunjung? Ayah dan Ibuku sedang tidak berada di rumah,” kata Kim Hui, suaranya mengandung perasaan tidak senang mengingat bahwa beberapa hari yang lalu pemuda itu ‘berani’ mengirim orang untuk meminangnya.

Wu Kan yang sedang mabok dan memang merasa marah dan penasaran atas penolakan pinangannya, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu.

“Wan Kim Hui, gadis yang sombong dan bodoh! Engkau berani menolak pinanganku! Jika engkau tidak mau menjadi isteriku, lalu ingin menjadi isteri laki-laki macam apa? Apakah engkau ingin menjadi isteri seorang laki-laki kang-ouw yang tidak punya kedudukan tidak punya harta, seorang gelandangan dan pengemis?”

Muka yang manis itu berubah merah. Dengan suara galak ia berseru, “Wu Kan, tidak ada yang mengundang kau datang ke sini! Pergilah dan jangan lanjutkan mengeluarkan kata-kata busuk atau terpaksa aku akan menghajarmu!”

Wu Kan menjadi semakin marah. Sejak kecil belum pernah ada orang yang bicara seperti itu kepadanya. Kalau dia tidak sedang mabok, kiranya dia masih berpikir-pikir dulu untuk bersikap kasar terhadap Wan Kim Hui. Akan tetapi dalam keadaan mabok dan sakit hati karena lamarannya ditolak, Wu Kan lupa diri dan membentak marah.

“Gadis brengsek! Engkau ini siapa sih? Apa yang kau andalkan berani mengancam aku, putera Pangeran Muda Wu Sam Kwi, pahlawan bangsa yang gagah berani dan dihormati seluruh bangsa? Engkau perempuan rendah berani hendak menghajar aku....”

Belum habis dia bicara, tubuh Wan Kim Hui berkelebat cepat sekali kemudian tangannya menyambar seperti kilat.

“Plak! Plak!”

Kedua pipi pemuda itu sudah ditamparnya. Demikian kuat tamparannya hingga tubuh Wu Kan terpelanting dan dia roboh pingsan dengan kedua pipi bengkak dan kedua ujung bibir berdarah karena giginya banyak yang copot!

Dua belas orang pengawal itu terkejut. Mereka pun tadi minum-minum sehingga setengah mabok dan keadaan ini membuat mereka menjadi lebih berani. Melihat majikan mereka dipukul roboh, mereka segera mencabut golok lantas menyerang Wan Kim Hui.

Tetapi bagaikan seekor burung rajawali marah, tubuh gadis itu berkelebatan menyambar-nyambar, membagi pukulan dan tendangan. Dalam waktu singkat saja dua belas orang itu sudah terpelanting roboh. Mereka menjadi ketakutan, bangkit dan tertatih-tatih mereka menolong Wu Kongcu lalu membawanya pergi dari situ!

Ketika Wan Cun dan isterinya pulang, kemudian mendengar keterangan Kim Hui tentang apa yang terjadi, Wan Cun mengerutkan alisnya dan menegur puterinya.

“Ah, Kim Hui, engkau telah membuat gara-gara. Biar pun kita tidak takut tetapi perkara ini tentu akan berekor panjang dan akhirnya akan mencelakakan kita semua. Tidak mungkin kita melawan Jenderal Wu Sam Kwi yang memiliki pasukan besar. Mari kita menghadap Jenderal Wu Sam Kwi. Kalau kita melaporkan apa yang terjadi sesungguhnya, tentu dia mempunyai cukup keadilan untuk melihat bahwa puteranya yang mencari gara-gara dan mau menghabiskan urusan itu sampai di sini saja.”

Wan Cun mengajak puterinya untuk pergi menghadap Raja Muda Wu Sam Kwi. Kim Hui yang menyadari bahwa ia telah bertindak agak terlalu keras kepada Wu Kan yang sedang mabok, bersedia ikut ayahnya dan minta maaf kepada Raja Muda Wu Sam Kwi. Mereka berdua berangkat, meninggalkan Nyonya Wan Cun di rumah.

Akan tetapi ketika mereka sampai di istana, para pengawal istana memberi-tahu mereka bahwa Raja Muda sedang mengadakan persidangan dengan para panglimanya sehingga tentu saja tidak dapat menerima kunjungan mereka yang hendak menghadap. Wan Cun dan Wan Kim Hui terpaksa menunda niat mereka menghadap, segera pulang ke rumah mereka.....


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 13

Alangkah kaget hati mereka ketika mereka melihat ada banyak prajurit mengepung rumah mereka sementara di depan rumah tampak Nyonya Wan Cun sedang berkelahi melawan seorang kakek pendek gendut yang lihai sekali. Pada waktu Wan Cun dan Wan Kim Hui berlari cepat seperti terbang ke rumah mereka, mereka melihat lawan Nyonya Wan Cun berjongkok dan menyerang dengan pukulan jarak jauh dan dia mengeluarkan suara kok-kok-kok seperti seekor katak buduk. Nyonya Wan Cun terjengkang roboh!

“Lam-hai Cin-jin, apa yang kau lakukan itu?!” Wan Cun membentak. Sekali melompat dia sudah melompati kepala para prajurit dan langsung dia menyerang kakek pendek gendut itu dengan dahsyat.

Kakek pendek itu menyambut serangan dengan tangkisannya.

“Wuuuttt...! Dukkk...!”

Tubuh kedua orang laki-laki itu terdorong ke belakang sampai lima langkah!

Wan Kim Hui juga melompat, tetapi ayahnya cepat berseru, “Kim Hui, cepat selamatkan dan bawa pergi ibumu!”

Kim Hui cepat tanggap apa yang dimaksudkan ayahnya. Ia mengenal siapa adanya kakek pendek gendut itu yang bukan lain adalah Lam-hai Cin-jin, datuk yang terkenal di selatan dan sekarang menjadi Koksu kerajaan kecil Raja Muda Wu Sam Kwi.

Ia tahu betapa lihainya orang itu dan dibantu demikian banyaknya prajurit, sungguh bukan merupakan lawan yang sepadan bagi dia dan ayahnya. Dia pun dapat menduga bahwa penyerangan itu tentu akibat pukulannya terhadap Wu Kan, putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Sekarang yang terpenting memang menyelamatkan ibunya yang sudah terluka oleh pukulan Lam-hai Cin-jin yang lihai.

Cepat ia berlari dan memondong ibunya yang pingsan, lalu membawa ibunya lari dari situ. Dengan mudah Kim Hui segera merobohkan para prajurit yang mencoba menghadangnya dengan pedangnya. Tangan kiri memanggul tubuh ibunya di atas pundak, ada pun tangan kanan ia pergunakan untuk mengamuk dengan pedangnya.

Para prajurit yang berani menghadangnya roboh mandi darah dan sebentar saja sudah ada belasan orang prajurit yang roboh. Hal ini membuat prajurit lain ketakutan dan Kim Hui cepat melompat kemudian berlari cepat keluar dari kota.

Lam-hai Cin-jin tidak dapat mencegah gadis itu melarikan ibunya karena dia sendiri sibuk menghadapi Wan Cun yang menyerang dengan ganas. Sebetulnya dia diperintah oleh Wu Kongcu untuk menangkap dan menyeret Wan Kim Hui kepadanya, akan tetapi ketika dia datang bersama tiga losin prajuritnya, Kim Hui dan ayahnya tidak berada di rumah.

Ketika dia memaksa hendak menggeledah ke dalam rumah, Nyonya Wan Cun langsung melarangnya sehingga mereka berdua pun berkelahi. Tapi ilmu kepandaian Nyonya Wan ternyata masih belum cukup tangguh untuk melawan Lam-hai Cin-jin. Biar pun ia melawan mati-matian, akhirnya ia terkena pukulan Hek-tok-ciang dari lawannya sehingga roboh dan pingsan.

Lam-ong Wan Cun masih mengamuk, dikeroyok oleh Lam-hai Cin-jin serta para prajurit. Raja Selatan ini menggunakan sebuah pedang yang besar panjang dengan ujung pedang bercabang dua. Dengan pedang ini dia mampu dengan mudah merampas senjata lawan. Kalau senjata lawan dapat tertangkap di tengah ujung yang bercabang itu lalu pedangnya diputar dengan tenaga sentakan, maka senjata lawan tentu akan patah atau terlepas dari pegangan lawan.

Beberapa orang prajurit telah kehilangan golok atau roboh oleh sabetan pedang di tangan Wan Cun. Akan tetapi karena dia juga harus menghadapi serangan Lam-hai Cin-jin yang mempergunakan sebuah ruyung baja berduri diselingi pukulan Hek-tok-ciang, maka tentu saja Wan Cun mulai terdesak hebat. Sukar juga baginya untuk bisa melarikan diri, karena dia telah dikepung banyak prajurit dan Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan tangguh yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkatnya sendiri.

Mendadak nampak bayangan berkelebat dan terdengar seruan lantang. “Ayah, mari kita basmi anjing-anjing busuk ini!” Dan Wan Kim Hui telah berada di situ, mengamuk dengan pedangnya. Begitu ia bergerak, empat orang prajurit lantas terjengkang mandi darah dan gadis itu kemudian membantu ayahnya menghadapi Lam-hai Cin-jin yang dibantu banyak prajurit.

Munculnya gadis yang lihai itu membuat Lam-hai Cin-jin menjadi gentar. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hampir menyamai tingkat ayahnya!

Tetapi melihat puterinya datang membantu, Wan Cun menjadi khawatir akan keselamatan isterinya. “Kim Hui, mari kita pergi!” katanya sambil menggerakkan pedangnya menyerang Lam-hai Cin-jin yang segera melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan ayah dan anak itu untuk melompat keluar dari kepungan dan mereka lalu melarikan diri keluar kota.

Setelah tiba di luar kota, Wan Cun bertanya. “Di mana ibumu?”

“Ibu selamat walau pun terluka, Ayah. Kutitipkan di rumah seorang petani di sana.”

Mereka lalu berlari cepat menuju ke dusun kecil itu. Wan Cun menemukan isterinya rebah dalam keadaan masih pingsan di dalam rumah sederhana milik seorang petani. Dia cepat memeriksa keadaannya.

Ternyata isterinya terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Pada lambungnya terdapat tanda tapak jari hitam. Dia cepat membantu isterinya dengan penyaluran tenaga sinkang untuk mencegah menjalarnya hawa beracun pukulan itu. Isterinya siuman namun keadaannya lemah.

“Ayah, mari kita kembali dan bunuh jahanam Lam-hai Cin-jin itu!” Kim Hui berkata sambil mengepal tinju.

Ayahnya menggelengkan kepala. “Tidak mudah membunuhnya. Dia dilindungi Raja Muda Wu Sam Kwi dan kita akan berhadapan dengan pasukan yang berjumlah besar. Lagi pula sekarang yang paling penting bukanlah membalas dendam, melainkan mencarikan obat untuk menyembuhkan ibumu.”

Demikianlah, untuk menjaga supaya prajurit-prajurit Raja Muda Wu Sam Kwi tidak dapat menemukan mereka, Wan Cun dan Wan Kim Hui membawa lari Nyonya Wan keluar dari daerah Se-cuan dan akhirnya mereka tiba di sebuah bukit tidak jauh dari Telaga Lam-hu.

Bukit itu dikenal sebagai Bukit Siluman. Tidak ada penduduk yang tinggal di sekitar Lam-hu berani mendaki bukit itu karena dikabarkan bahwa bukit itu menjadi tempat tinggal para setan dan siluman! Mendengar ini, Wan Cun menganggap bahwa bukit itu adalah tempat yang baik untuk menyembunyikan diri.

Tetapi ketika mereka bertiga sedang mendaki bukit itu, mereka dihadang oleh sekitar dua puluh orang. Mereka adalah gerombolan penjahat di bukit itu yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka penuh brewok yang mengaku berjuluk Tiat-thouw-ciang (Si Kepalan Besi). Terjadilah perkelahian, namun dengan mudah saja Wan Cun dan Kim Hui membunuh Tiat-thouw-ciang dan lima orang anak buah yang menjadi pembantunya. Lima belas orang anak buah lain melihat pemimpin mereka tewas, segera berlutut minta ampun dan takluk.

Karena dia membutuhkan anak buah untuk membangun rumah tinggal di situ, maka Wan Cun menerima lima belas orang ini menjadi anak-anak buahnya dan menggunakan rumah bekas tempat tinggal Tiat-thouw-ciang sebagai tempat tinggalnya.

Akan tetapi luka dalam yang diderita Nyonya Wan makin parah. Usaha pengobatan Wan Cun tidak mampu menyembuhkannya, hanya dapat mencegah luka itu menjalar semakin parah. Dari anak buahnya, Wan Cun mendengar bahwa di kota Lam-hu terdapat seorang ahli pengobatan yang membuka toko obat bernama Ui Tiong. Maka dia segera mengutus puterinya untuk mengundang Ui Tiong ke Bukit Siluman untuk memeriksa dan mengobati isterinya.

Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Wan Kim Hui mengajak lima orang anak buahnya, menunggang kuda pergi ke kota Lam-hu. Karena Ui Tiong tidak mau diundang dan minta agar yang sakit dibawa ke tokonya, Wan Kim Hui yang menjadi semakin galak karena khawatir akan keadaan ibunya, lalu memaksanya, menotoknya dan menculiknya, dibawa ke Bukit Siluman!

Setelah tiba di rumah perkampungan kecil di puncak bukit, Ui Tiong lalu dibebaskan dari totokan. Dia memeriksa si sakit dan terkejut. Ternyata luka dalam yang diderita Nyonya Wan sungguh hebat.

“Hemm, lukanya sungguh berat. Aku hanya dapat memberi obat pencegah rasa nyeri dan pembersih darah supaya darahnya jangan sampai dikotori oleh hawa beracun itu.” Dia lalu menulis resep obat dan seorang anak buah Bukit Siluman segera diutus untuk membeli obat di rumah Ui Tiong.

Ketika utusan itu membeli obat lalu pergi naik kuda, kesempatan itu segera dipergunakan Ui Yan Bun yang datang berkunjung ke rumah pamannya untuk membayanginya. Pemuda itu merasa penasaran dan marah sekali mendengar cerita bibinya betapa seorang gadis liar menculik pamannya dan memaksanya untuk mengobati orang sakit.

Penunggang kuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia dibayangi Yan Bun. Setelah tiba di perkampungan itu, dia langsung menyerahkan bungkusan obat itu kepada Ui Tiong yang segera memasaknya dan meminumkannya kepada Nyonya Wan. Agaknya obat itu amat manjur karena setelah minum obat itu, rasa nyeri tidak begitu menyiksa Nyonya Wan Cun lagi.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar rumah. Mendengar ini, Wan Kim Hui langsung berlari keluar dan dia melihat lima orang anak buahnya sedang mengeroyok seorang pemuda.

Sambil menghindarkan diri dari serangan lima orang itu dengan gerakan mengelak yang ringan dan cepat, pemuda itu berseru, “Aku tidak ingin mencari permusuhan! Aku hanya ingin melihat apakah Paman Ui Tiong dalam keadaan baik-baik saja dan ingin mengajak dia pulang!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang sangat cepat dia pun balas menyerang. Kedua tangan dan kakinya bergerak, dan berturut-turut lima orang itu berteriak dan golok yang mereka pegang itu telah terlepas karena pergelangan tangan mereka kena pukulan atau tendangan.

“Kalian mundur semua!” bentak Kim Hui.

Mendengar bentakan gadis itu, lima orang anak buah cepat mundur dan para anak buah lain yang berdatangan juga tidak berani mendekat. Kini Wan Kim Hui berhadapan dengan Ui Yan Bun. Keduanya saling pandang, dan sepasang alis pemuda itu berkerut. Yan Bun lantas teringat akan cerita bibinya tentang seorang gadis cantik yang menculik pamannya dan mendorong roboh bibinya. Gadis liar dan kasar!

“Nona, apakah engkau yang telah menculik pamanku Ui Tiong?” tanyanya dengan suara ketus.

Diam-diam kemarahan Ui Tiong bercampur dengan rasa heran. Gadis itu cantik manis dan pakaiannya mewah, sama sekali tidak tampak liar. Tetapi mengapa gadis seperti ini dapat memaksa dan menculik pamannya?

Sementara itu Wan Kim Hui juga tertegun ketika berhadapan dengan Yan Bun. Ia melihat seorang pemuda yang berpakaian serba biru, usianya kurang lebih dua puluh dua tahun dan bertubuh tegap, wajahnya tampan gagah dan sinar mata serta sikapnya lembut. Akan tetapi pertanyaan yang agak ketus itu membuat ia mendongkol juga. Ia tersenyum manis sekali walau pun senyum itu dibarengi pandang mata yang mengejek.

“Kalau benar, engkau mau apa? Siapa sih engkau ini?”

“Aku bernama Ui Yan Bun dan yang kau culik adalah pamanku Ui Tiong! Siapakah engkau ini seorang wanita muda berani melakukan kekerasan memaksa paman ikut denganmu?”

“Aku bernama Wan Kim Hui dan memang aku memaksa pamanmu karena dia tidak mau pergi dengan suka rela.”

“Aku datang untuk menjemput pamanku. Di mana dia? Bebaskan dia atau....”

“Atau apa?” Kim Hui tertawa.

“Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”

Senyum Kim Hui melebar. “Engkau? Hendak menggunakan kekerasan? Hemm, aku ingin sekali melihat bagaimana engkau akan melakukannya.”

“Nona, kuharap engkau suka membebaskan pamanku supaya dapat kuajak pulang. Aku datang bukan hendak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau menolak, terpaksa aku akan mengimbangi perbuatanmu. Engkau memaksa pamanku ikut denganmu dan kini terpaksa aku pun hendak memaksa mengajaknya pulang!”

“Tidak perlu banyak cakap! Perlihatkan kepandaianmu kalau memang engkau mempunyai kepandaian!”

Tentu saja Yan Bun tidak mau menyerang seorang gadis. Dia lalu menggunakan ginkang-nya untuk berkelebat cepat menuju ke pintu rumah itu, dengan niat untuk masuk ke dalam mencari pamannya.

Akan tetapi mendadak tubuh gadis itu pun sudah berkelebat dan sebelum Yan Bun tiba di depan pintu, gadis itu telah menghadangnya dan begitu dekat, tangan Kim Hui menyerang dengan tamparan ke pundak pemuda itu.

Yan Bun kagum juga melihat betapa gadis itu bisa mendahuluinya, dan melihat tamparan yang mendatangkan angin pukulan kuat itu dia cepat mengelak lantas balas menyerang dengan tamparan pula. Kim Hui menangkis dengan cepat.

“Dukk!”

Keduanya sama terdorong ke belakang tiga langkah, menandakan bahwa tenaga mereka amat seimbang. Hal ini mengejutkan keduanya karena mereka tak mengira bahwa lawan masing-masing sedemikian kuatnya!

Kim Hui merasa penasaran dan dia menyerang lebih ganas. Yan Bun harus bersikap hati-hati karena kini dia pun dapat mengerti mengapa pamannya dapat ditawan gadis ini yang ternyata amat lihai.

Perkelahian tangan kosong berjalan dengan seru. Meski pun keduanya membawa pedang di punggung mereka, akan tetapi keduanya tidak mencabut pedang, hanya saling serang dengan tangan kosong.

Yan Bun memang hanya ingin menjemput pamannya, sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan gadis itu, maka dia tidak mau menggunakan senjata tajam. Sebaliknya Kim Hui yang biasanya ganas dan galak itu, sekali ini juga tidak menggunakan pedangnya karena dia ingin menguji sampai di mana hebatnya ilmu silat tangan kosong pemuda yang secara diam-diam amat menarik hatinya itu. Baru pertama kali ini ia merasa tertarik oleh seorang pemuda!

Setelah bertanding sekitar empat puluh jurus, diam-diam Yan Bun menjadi semakin kaget. Lawannya benar-benar hebat. Semua serangannya dapat dipatahkan dengan mudah dan sebaliknya, kadang-kadang serangan gadis itu membuat dia terdesak sehingga terpaksa mundur!

Tiba-tiba terdengar bentakan suara yang parau dan dalam. “Kim Hui, minggir kau!”

Sesosok bayangan menyambar dan Yan Bun terkejut sekali. Dia cepat menangkis sebuah tangan yang mencengkeram ke arah pundaknya.

“Dukkk!”

Tubuhnya tergetar dan terhuyung ke belakang! Kini di hadapannya berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, mukanya brewok mirip muka singa dan sepasang matanya bersinar mencorong. Kini laki-laki itu yang bukan lain adalah Wan Cun sudah menerjang lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.

Yan Bun membela diri sedapat mungkin. Namun dia hanya dapat bertahan sepuluh jurus saja karena tanpa dapat dia hindarkan, pundaknya terkena totokan yang ampuh dan dia pun terguling roboh dengan tubuh lemas lunglai.

Wan Cun mencengkeram punggung baju pemuda itu lantas menjinjingnya, membawanya masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Kim Hui yang mengambil pedang dari punggung Yan Bun.

Setelah tiba di ruangan dalam di mana Ui Tiong sedang menunggu si sakit sambil duduk di atas kursi, barulah Wan Cun melepaskan tubuh Yan Bun sehingga pemuda itu terkulai dan rebah telentang di atas lantai.

“Yan Bun...! Engkau di sini...?” Ui Tiong memandang dengan mata terbelalak heran dan khawatir.

Melihat Pek-hu (Paman Tua) itu dalam keadaan baik-baik saja, Yan Bun yang tak mampu menggerakkan kedua kaki tangannya namun masih dapat mengeluarkan suara, berkata lega, “Syukurlah Pek-hu dalam keadaan selamat.”

Tiba-tiba Nyonya Wan terbatuk-batuk, lalu muntah-muntah. Wan Cun, Ui Tiong dan juga Kim Hui cepat menghampiri si sakit. Setelah muntah-muntah, nyonya itu tampak lelah dan napasnya terengah-engah. Ui Tiong cepat-cepat memeriksa denyut nadi dan pernapasan Nyonya Wan, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. Melihat ini, Wan Cun cepat bertanya.

“Bagaimana keadaan isteriku?”

“Ah, terpaksa sekali saya katakan bahwa keadaan nyonya ini berat sekali. Hawa beracun dalam dadanya sukar untuk dibersihkan, bahkan kalian dapat lihat, obat yang diminumnya tadi banyak yang dimuntahkannya kembali. Hawa beracun itu sungguh ganas dan jahat sekali.”

Tentu saja keterangan ini membuat ayah dan anak itu menjadi gelisah sekali. “Engkau harus dapat menyembuhkan dia! Harus dapat menyembuhkan dia!” bentak Wan Kim Hui dan kedua mata yang bersinar tajam itu menjadi basah dengan air mata.

Melihat sikap dan mendengar ucapan gadis yang liar dan galak itu, Ui Tiong mengerutkan alisnya dan sambil memandang keponakannya yang masih menggeletak telentang di atas lantai, dia berkata dengan hati kesal.

“Hemm, kalian ini orang-orang kang-ouw akan tetapi sama sekali tidak menghargai sopan santun dan peraturan orang-orang dunia kang-ouw. Kalian telah memaksa aku ke sini dan kini kalian malah menangkap keponakanku. Apa sih kehendak kalian ini?”

Wan Cun menghela napas kemudian berkata, “Kami bukan tidak tahu aturan, akan tetapi keadaanlah yang memaksa kami berbuat seperti ini. Isteriku terluka, keluarga kami terusir dan karena khawatir akan keselamatan ibunya, anakku sudah bersikap kasar kepadamu. Keponakanmu ini datang dengan maksud mengajakmu pulang, maka terpaksa kutangkap pula agar dia jangan membikin kacau. Kami hanya menghendaki agar isteriku sembuh.”

Ui Tiong menggelengkan lagi kepalanya. “Sulit, Lam-ong,” katanya.

Wan Cun memang sudah memperkenalkan nama dan julukannya kepadanya sebelum dia mengobati, karena itu dia mengetahui bahwa ayah dari gadis yang menculiknya ini adalah seorang datuk persilatan dari Selatan.

“Terus terang saja, aku sendiri tidak ada kemampuan untuk menyembuhkan isterimu. Dan kukira di seluruh daerah ini tidak ada orang yang akan mampu menyembuhkannya. Satu-satunya orang yang kukira dapat memberi obat yang dapat menyembuhkannya hanyalah Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang berada di Beng-san. Dia saja yang dapat menyembuhkan segala luka dari pukulan beracun yang amat jahat seperti Hek-tok-ciang yang hawa beracunnya berasal dari katak hitam raksasa ini.”

Mendengar ini, ayah dan anak tampak semakin bingung, bahkan Kim Hui mulai menangis sambil memeluk ibunya. Melihat ini timbullah rasa iba di hati Yan Bun. Ayah dan anak ini lihai bukan main, terutama ayah yang berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Kalau mereka bertindak kasar dan tampak sewenang-wenang hanya karena mereka berdua gelisah dan bingung. Keinginan satu-satunya bagi mereka hanyalah menyembuhkan ibu dari gadis itu.

“Aku sanggup menghadap Bu Beng Kiam-sian untuk mencarikan obat itu,” katanya.

Mendengar ini, Lam-ong cepat menghampiri pemuda yang masih rebah telentang di atas lantai itu dan sekali ia menekan punggung Yan Bun, pemuda itu terbebas dari totokan. Dia lalu bangkit berdiri dan Kim Hui dengan tak sabar cepat bertanya.

“Benarkah engkau dapat mencarikan obat untuk ibuku?” tanyanya sambil menatap wajah Yan Bun dengan pandang mata penuh harapan, sepasang mata yang masih basah.

“Orang muda, betulkah kata-katamu bahwa engkau sanggup mintakan obat untuk isteriku kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san?” tanya Wan Cun pula.

“Yan Bun, bagaimana engkau menyanggupi semudah itu? Beng-san merupakan gunung yang tinggi dan sukar didaki, juga Bu Beng Kiam-sian adalah seorang manusia aneh yang tidak mudah berhubungan dengan manusia lain,” kata Ui Tiong.

“Pek-hu, saya sanggup karena dahulu saya pernah diajak oleh Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sana. Karena saya sudah pernah berjumpa dengan Bu Beng Kiam-sian, maka saya berani menyanggupi pekerjaan itu.”

“Bagus! Orang muda, siapakah namamu?” tanya Wan Cun dengan suara gembira karena dia mendapatkan harapan baru.

“Nama saya Yan Bun, Locianpwe (sebutan hormat orang tua).”

“Nah, Ui Yan Bun, kalau memang sanggup untuk mencarikan obat untuk menyembuhkan isteriku, minta kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san, kami sekeluarga akan berterima kasih sekali kepadamu, dan kami juga akan mohon maaf atas pemaksaan kami terhadap pamanmu, juga terhadap dirimu yang telah kutangkap tadi,” kata Wan Cun.

“Tidak mengapa, Locianpwe. Sesudah saya mengetahui apa yang menyebabkan puterimu memaksa Pek-hu untuk ikut ke sini, maka hal itu hanyalah merupakan salah paham saja. Akan tetapi saya baru akan berusaha mencarikan obat itu jika Locianpwe suka memenuhi permintaan saya.”

“Hei, Ui Yan Bun, engkau mengajukan syarat, ataukah hendak memeras ayahku?” Wan Kim Hui bertanya penasaran.

“Aku hanya ingin mendapat imbalan untuk tugas yang berat ini, demi kesembuhan ibumu, Nona,” kata Yan Bun.

“Katakanlah, orang muda. Apakah yang kau minta dariku bila mana engkau telah berhasil mendapatkan obat dari Bu Beng Kiam-sian?” Wan Cun bertanya, penuh harapan.

“Saya hanya minta agar Locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepada saya.”

“Boleh! Aku berjanji kalau engkau berhasil mendapatkan obat dan isteriku sembuh, maka engkau akan menjadi muridku dan akan kuberikan semua ilmuku kepadamu!”

Tanpa mengeluarkan ucapan apa pun, Wan Kim Hui lalu menyerahkan pedang Yan Bun yang tadinya ia rampas. Akan tetapi pada saat pandang mata mereka bertemu, Yan Bun melihat bahwa sinar mata gadis itu kini tidak galak lagi, bahkan kedua pipi Kim Hui terlihat kemerahan!

Untuk membuktikan niat baiknya, Wan Cun memberi kebebasan kepada Ui Tiong. Tabib ini boleh pulang ke Lam-hu, dengan janji bahwa setiap hari ia akan datang menjenguk dan memeriksa keadaan Nyonya Wan.

Pada hari itu juga Ui Yan Bun segera berangkat, dengan membawa buntalan pakaian dan pedangnya. Dia melakukan perjalanan cepat sekali karena ingin segera sampai di Beng-san. Nyonya Wan Cun harus bisa disembuhkan, bukan hanya karena dia ingin menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Lam-ong Wan Cun, tapi terutama sekali supaya pamannya segera terbebas dari ancaman dan agar hati Wan Kim Hui menjadi senang melihat ibunya dapat disembuhkan!

Tetapi baru saja dia meninggalkan Bukit Siluman sejauh belasan kilometer, tiba-tiba ada bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Wan Kim Hui telah berdiri di depannya! Gadis itu menggendong sebuah buntalan pakaian dan pedangnya juga tergantung pada punggungnya, tanda bahwa gadis itu hendak melakukan perjalanan jauh.

“Ehh, engkaukah ini, Nona Wan...?” Yan Bun menegur heran.

“Tidak usah nona-nonaan, Ui Yan Bun! Namaku Kim Hui, sebut saja namaku!” gadis itu memotong cepat.

Yan Bun tersenyum dan menarik napas panjang. Gadis ini benar-benar bersikap terbuka, polos dan agak liar.

“Baiklah, Kim Hui. Ke manakah engkau hendak pergi, kalau aku boleh bertanya? Atau... engkau memang mengejarku dan kalau begitu, ada kepentingan apakah?” Mendadak dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang karena terpikir olehnya bahwa jangan-jangan ibu gadis itu meninggal!

“Aku hendak ikut denganmu ke Beng-san!” kata Kim Hui singkat.

Yan Bun terkejut. “Ehh? Kenapa? Aku yang akan mencarikan obat itu, Kim Hui, dan aku tidak memerlukan bantuan.”

Kim Hui cemberut, sinar matanya menyambar marah. “Yan Bun, yang sakit adalah ibuku, ibu kandungku! Aku lebih berhak mencari obat untuknya dari pada engkau! Dan lagi, aku bukan ingin membantumu, aku ingin mencari sendiri kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku!”

Melihat betapa gadis itu amat marah, Yan Bun cepat berkata, “Sama sekali bukannya aku tidak ingin melakukan perjalanan bersamamu, Kim Hui. Aku malah senang sekali karena engkau lihai dan dapat diandalkan, akan tetapi....”

“Akan tetapi apa lagi? Apa bila engkau tidak keberatan melakukan perjalanan bersamaku, sudahlah jangan banyak cakap. Mari kita segera melanjutkan perjalanan agar dapat cepat memperoleh obat itu!”

Yan Bun harus mengakui bahwa gadis ini dapat merupakan bantuan besar sekali baginya karena kelihaian gadis ini bahkan melampauinya sehingga kalau dia bertemu penghalang di jalan, gadis ini dapat membantu mengatasinya. Lagi pula, tentu saja gadis ini memang mempunyai hak dan kewajiban untuk berusaha mencarikan obat bagi ibunya. Dia khawatir kalau-kalau Kim Hui akan menjadi semakin marah jika dia membantah lagi, maka dia lalu berkata,

“Baiklah, mari kita pergi.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, dengan cepat mereka berlomba lari…..!

********************

Beng-san merupakan pegunungan yang amat panjang, terdiri dari banyak bukit-bukit dan puncaknya menjulang tinggi menembus awan. Di atas puncak sebuah di antara bukit-bukit itu, yaitu Bukit Kera, tinggal seorang pertapa wanita berjuluk Im Yang Sian-kouw. Wanita ini berusia sekitar empat puluh satu tahun, masih tampak cantik dan lembut, berpakaian jubah pendeta yang longgar berwarna putih.

Di puncak itu dia mempunyai sebuah pondok kayu yang cukup besar dan dia mempunyai seorang pelayan wanita setengah baya berusia lima puluh tahun. Selain itu ia mempunyai pula seorang murid laki-laki, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bernama Si Han Bu yang merupakan murid tunggalnya.

Pada suatu pagi yang cerah, walau pun matahari masih tampak merah dan bulat besar di ufuk timur, terlihat seorang pemuda sedang berlatih silat di lapangan yang datar di puncak Bukit Kera. Dia berlatih silat di antara tanaman bunga-bunga yang merupakan taman di belakang pondok dan di tengah taman itu memang sengaja dibuat sebuah lapangan untuk berlatih silat.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya yang berkulit putih itu tampan. Sepasang matanya bersinar terang membayangkan semangat hidup dan kegembiraan, mulutnya mengandung senyum nakal. Tetapi wajahnya membuat orang yang memandangnya sukar untuk menjadi marah karena wajah itu tampak ramah sekali. Pakaiannya sangat sederhana dan baik celana mau pun bajunya terbuat dari kain berwarna putih bersih.

Pada saat itu pemuda yang bernama Si Han Bu ini tengah berlatih silat. Tangan kanannya memegang sebatang pedang dan dengan gerakan indah ia memainkan pedang itu, mula-mula lambat saja, kemudian semakin cepat hingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar putih.

Tiba-tiba dari dalam pondok itu muncul seorang wanita yang berpakaian serba putih pula. Wanita ini adalah Im-yang Sian-kouw. Walau pun usianya sudah empat puluh satu tahun lebih, namun dia masih tampak cantik dengan wajahnya yang lembut, sepasang matanya yang bersinar lembut tapi terkadang mencorong penuh wibawa, kulitnya yang putih mulus, rambutnya yang panjang hitam dan mulutnya yang selalu tersenyum ramah biar pun ada garis-garis kedukaan membekas di kedua ujung mulutnya. Tubuhnya juga masih tampak ramping padat.

Dengan langkah perlahan Im-yang Sian-kouw keluar dari pintu belakang menuju ke dalam taman di mana murid tunggalnya, Si Han Bu, sedang berlatih silat pedang. Dia duduk di atas bangku tidak jauh dari lapangan berlatih silat itu, menonton dengan penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Hemm, begitulah seharusnya Im-yang Kiam-sut (Ilmu Pedang Im Yang) dimainkan, Han Bu. Coba sekarang imbangi dengan Im-yang Po-san (Kipas Im Yang)!”

Tanpa menghentikan gerakan pedangnya, Si Han Bu mencabut sebuah kipas lebar yang mukanya berwarna putih akan tetapi belakangnya berwarna hitam, kemudian tangan kiri yang memegang kipas itu membuat gerakan silat melengkapi gerakan pedangnya hingga tampak dua buah senjata yang saling menunjang dan saling melindungi. Indah dan juga berbahaya sekali bagi lawan permainan kombinasi pedang dan kipas itu!

Sesudah pemuda itu berhenti berlatih dan berdiri di hadapan gurunya, Im-yang Sian-kouw berkata lembut namun dengan nada suara bersungguh-sungguh.

“Han Bu, kalau ilmu pedangmu sudah baik sekali, tetapi permainan kipasmu masih terlalu lemah. Kipasmu itu hanya mengambil bagian pertahanan saja, padahal jika engkau selingi dengan serangan tiba-tiba, dapat membuat lawan terkejut dan bingung. Engkau mainkan kipasmu seperti sedang menari saja, hanya mementingkan segi keindahannya dari pada kegunaannya dalam pertandingan.”

Pemuda itu tersenyum lebar. “Maafkan, Subo (Ibu Guru), teecu (murid) tadi memang lebih banyak mempergunakan kipas ini untuk mengipasi tubuh teecu yang panas berkeringat. Maklum, sudah sejak pagi sekali tadi teecu berlatih sehingga teecu merasa gerah sekali. Maaf, Subo.”

Dia kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap keringat yang membasahi muka dan lehernya. Melihat lagak muridnya yang lucu itu, Im-yang Sian-kouw tersenyum. Ia sangat menyayang muridnya itu dan menganggapnya seperti puteranya sendiri.....



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 14

Sebenarnya yang menemukan Si Han Bu adalah gurunya, yaitu Bu Beng Kiam-sian yang kini sudah meninggal dunia sekitar setahun yang lalu. Bu Beng Kiam-sian menemukan Si Han Bu yang sudah yatim piatu, ketika anak yang baru berusia sepuluh tahun itu bersama ayah ibunya meninggalkan dusun karena pergi mengungsi setelah terjadi perang.

Dalam pengungsian mereka di kaki pegunungan Beng-san, mereka lalu bertemu dengan pasukan pengikut Jenderal Wu Sam Kwi dan melihat ibu Si Han Bu yang cantik, mereka hendak mengganggunya. Ayah ibu Si Han Bu melawan sampai akhirnya mati dikeroyok dan Han Bu yang berusia sepuluh tahun melarikan diri dikejar beberapa orang prajurit.

Untung pada saat yang gawat dan berbahaya bagi keselamatan anak itu, muncul Bu Beng Kiam-sian yang langsung menghajar para prajurit dan menolong anak itu. Bu Beng Kiam-sian lalu mengubur jenazah ayah ibu Han Bu dan membawa anak itu ke Bukit Kera.

Demikianlah, sejak berusia sepuluh tahun Han Bu menjadi murid Im-yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian. Setelah Bu Beng Kiam-sian meninggal, maka di puncak Bukit Kera itu tinggal Im-yang Sian-kouw, Si Han Bu, dan nenek pelayan yang menempati pondok itu.

“Han Bu, ingatlah bahwa engkau tidak boleh jumawa, jangan dikira bahwa kepandaianmu sudah paling hebat. Tidak ada batas bagi tingkat kepandaian manusia. Yang pandai ada yang lebih pandai lagi, yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Engkau harus selalu rendah hati karena hanya orang yang rendah hati sajalah yang memiliki kesempatan besar untuk meningkatkan kepandaiannya. Sebaliknya orang yang merasa dirinya paling hebat takkan dapat maju, bahkan kesombongannya ini akan menjatuhkan dirinya sendiri. Engkau harus terus belajar, tidak ada kata akhir bagi orang belajar, bahkan sampai mati pun kita harus tetap belajar.”

Han Bu menggaruk-garuk bagian belakang telinganya biar pun tidak terasa gatal, “Waduh, alangkah akan lelahnya kalau harus belajar terus selama hidup, Subo!”

Im-yang Sian-kouw tertawa. “Hush, bukan hanya belajar silat terus menerus. Hidup bukan sekedar belajar silat saja, Han Bu. Hidup ini sendiri merupakan proses belajar, sejak lahir sampai akhir usia. Belajar dari kehidupan ini agar engkau bukan hanya mahir memainkan pedang dan kipasmu untuk melindungi diri sendiri dan orang lain, untuk mempertahankan dan membela kebenaran serta keadilan, akan tetapi banyak hal-hal yang perlu kau pelajari sehingga engkau dapat mengerti benar apa artinya hidup ini dan apa kewajibanmu dalam kehidupan. Jangan sekali-kali merasa dirimu pandai.”

Han Bu tertawa. “He-he-he, Subo telah sering mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini! Tadinya teecu bingung. Masa tidak ada orang pandai? Bukankah mendiang Sukong (Kakek Guru) dan Subo sendiri juga orang-orang pandai? Akan tetapi sekarang teecu telah mendapatkan jawabannya kenapa Subo mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada orang pandai.”

Sambil tersenyum melihat cara muridnya bicara yang lucu, Im-yang Sian-kouw berkata, “Hemm, benarkah engkau sudah mengerti mengapa? Coba katakan pendapatmu.”

“Memang tidak ada orang pandai di dunia ini, Subo. Sepandai-pandainya orang, dia masih amat bodoh. Buktinya, orang yang bagaimana pandai pun, tidak dapat mengatur apa yang menempel di tubuhnya sendiri. Tidak dapat menghentikan tumbuhnya rambut, tidak dapat mencegah kuku menjadi panjang, apa lagi menghitung rambutnya sendiri. Maafkan, Subo, teecu berani bertaruh bahwa Subo sendiri juga tidak dapat menghitung berapa banyaknya rambut yang berada di kepala Subo. Maka, benarlah kalau Subo mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini!”

Im-yang Sian-kouw tertawa dan menutupi mulutnya. “Karena itu jangan sekali-kali engkau menjadi sombong dan merasa dirimu pandai. Kepandaian manusia terbatas sekali. Yang Maha Pandai hanyalah Thian Yang Maha Kuasa. Apa yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah merupakan karunia yang diberikan oleh Thian, bukan karena si manusia sendiri yang pandai. Nah, sudahlah, Han Bu, kalau bicara denganmu aku selalu menjadi geli dan ingin tertawa. Berlatihlah lagi sampai Im-yang Po-san dapat kau mainkan dengan sebaik-baiknya. Aku akan bersemedhi dan kalau engkau ingin sarapan lagi, minta saja kepada Sun-ma (Ibu Sun) di dapur, tidak perlu menunggu aku karena aku tidak ingin makan pagi ini.”

“Wah, Subo tentu selalu memegang pedoman Subo, yaitu tidak makan kalau tidak lapar, tidak minum kalau tidak haus, tidak tidur kalau tidak mengantuk!”

“Tentu saja, anak bodoh. Mengerjakan lebih dari apa yang dibutuhkan badan merupakan pemborosan tenaga dan pengrusakan kepada diri sendiri.” Setelah berkata demikian, Im-yang Sian-kouw meninggalkan tempat itu, kembali memasuki pondok dengan bibir masih menahan senyum.

Hidup dekat pemuda itu orang tidak mungkin dapat menahan tawa dan gembira. Ia amat bersyukur kepada Tuhan bahwa terdapat seorang murid seperti Han Bu yang dianggapnya putera sendiri yang selalu mendatangkan seri gembira di dalam hidupnya, menghiburnya dari duka nestapa yang pernah dia alami di masa mudanya.

Han Bu memandang gurunya yang berjalan santai menuju pondok sampai gurunya lenyap di balik pintu belakang pondok. Dia tersenyum dan hatinya merasa bangga sekali kepada ibu gurunya yang dia anggap sebagai ibunya sendiri.

Betapa bahagianya dia! Biar pun sejak kecil kehilangan ayah ibunya yang terbunuh oleh para prajurit dari Selatan, namun dia memperoleh penggantinya. Sebelum meninggal, Bu Beng Kiam-sian juga amat baik padanya. Biar pun kini kakek itu sudah meninggal, namun dia mendapatkan pengganti ayah ibunya dalam diri Im-yang Sian-kouw!

Si Han Bu amat menyayang ibu gurunya, menyayangnya seperti ibunya sendiri. Ia selalu menyanjung gurunya, mengagumi kecantikannya, kelembutannya, kebijaksanaannya, dan kepandaiannya. Terkadang dia juga dapat merasakan betapa ada sesuatu yang membuat gurunya itu seolah menderita batin yang selalu ditahan-tahannya.

Tentu ada hubungannya dengan riwayat subo-nya ketika masih muda. Akan tetapi subo-nya tidak pernah menceritakan riwayat hidupnya dan dia pun tidak berani bertanya.

Si Han Bu mulai berlatih lagi. Kini dia hanya melatih ilmu silat kipasnya saja. Setelah dia berlatih dengan gaya yang indah tapi lucu sampai puluhan jurus dan mulai merasa gerah, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan orang. Han Bu cepat menghentikan permainan silat kipasnya.

Ketika dia memandang, di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba biru yang berwajah tampan gagah dan seorang gadis berpakaian mewah seperti puteri bangsawan yang berwajah manis dengan tahi lalat hitam kecil di dagu kirinya. Melihat mereka berdua membawa pedang di punggung, Han Bu dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat.

Melihat gadis cantik manis yang sikapnya angkuh, berdiri sambil menegakkan kepala dan membusungkan dada yang telah mulai dewasa itu, timbullah kenakalan Han Bu. Dia lalu tersenyum cengar-cengir mengamati dua orang itu, terutama gadis yang manis itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Mereka adalah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui. Melihat pemuda yang cengar-cengir dengan senyum yang seolah-olah menertawakan itu, Kim Hui sudah naik darah. Ia cemberut dan sepasang alisnya berkerut, sinar matanya berkilat. Tadi dia sempat melihat pemuda yang cengar-cengir itu bersilat dengan kipas, gayanya seperti seorang badut menari.

“Hei, kamu tukang kebun, ya?” tegurnya.

Han Bu tidak marah melihat orang demikian galak dan memandang rendah. “Benar, Nona yang cantik manis. Aku tukang kebun di sini.”

“Heh, lancang mulut kamu! Berani menyebut aku Nona yang cantik manis! Kamu hendak kurang ajar, ya?” bentak Kim Hui.

Sedangkan Yan Bun hanya melihat saja karena dia merasa betapa Kim Hui terlalu kasar dalam bertanya. Selama melakukan perjalanan bersama Kim Hui, Yan Bun sudah dapat mengenal watak gadis itu. Gagah berani dan terbuka, juga mempunyai perasaan adil dan menentang yang jahat, akan tetapi galaknya bukan main!

Si Han Bu membelalakkan matanya dan mulutnya terbuka, lantas bibirnya dimonyongkan meruncing.

“Maafkanlah aku, Nona yang jelek dan pahit,” katanya sambil membungkuk dengan sikap hormat.

Sikap dan ucapan Han Bu ini bagaikan minyak disiramkan kepada api. Mukanya menjadi merah, matanya berapi, kedua tangannya dikepal lalu dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka pemuda itu.

“Monyet kurang ajar! Pantas saja bukit ini disebut Bukit Kera, tentu karena monyet busuk seperti kau berada di sini! Keparat busuk kau, berani mengatakan aku jelek dan pahit!” Kim Hui membanting kakinya lalu mencabut pedangnya.

“Eiitt, tenang dulu, Nona. Engkau ini bagaimana sih? Aku jadi bingung. Tadi kusebut Nona yang cantik dan manis, engkau marah. Lalu aku mengubah sebutan menjadi Nona yang jelek dan pahit, engkau malah semakin marah. Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”

“Cerewet! Engkau memang kurang ajar dan pantas sekali dihajar. Biar kurobek mulutmu yang lancang itu!”

Gadis itu sudah menerjang dan menyerang Han Bu dengan pedangnya. Pedang meluncur ke arah mulut pemuda itu.

“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun berteriak mencegah, akan tetapi serangan telah dilakukan.

“Tranggg...!”

Cepat sekali Han Bu sudah mencabut pedang lantas menangkis serangan itu. Keduanya melangkah mundur karena pertemuan dua batang pedang itu terasa menggetarkan tangan mereka. Kim Hui memandang kepada pemuda di depannya itu dengan marah.

Han Bu berdiri dengan pedang di tangan kanan, ada pun tangan kirinya masih memegang kipasnya yang sekarang dia pergunakan untuk mengipasi tubuhnya. Dia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aduh-aduh, baru kali ini aku bertemu orang yang segalak ini! Datang-datang mengamuk seperti kerbau kehilangan tanduk....”

“Engkau yang anjing! Engkau yang kerbau, babi, monyet, kadal busuk!” Kim Hui memaki-maki marah. “Kau maki aku kerbau, ya? Mampuslah!” Kim Hui menyerang dengan marah, kini menyerang untuk membunuh.

“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun kembali berseru.

Akan tetapi dalam keadaan marah seperti itu, Kim Hui tak mempedulikan siapa pun juga. Dia menyerang dengan mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus-jurus terampuhnya. Akan tetapi ia makin penasaran karena ternyata Han Bu dapat mengelak atau menangkis semua serangannya!

Akan tetapi secara diam-diam Han Bu terkejut bukan main karena gadis yang galak dan dianggapnya sombong itu ternyata bukan lawan yang ringan! Dia harus berhati-hati sekali dan mempergunakan pedang serta kipasnya untuk membela diri! Bahkan dia harus balas menyerang karena jika dia terus membela diri saja, akhirnya dia pasti akan terluka. Gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di bawah tingkatnya sendiri!

Perkelahian itu seru sekali dan Yan Bun sudah menjadi bingung. Sukarlah untuk melarang seorang gadis seperti Kim Hui yang keras hati. Kalau dia turun tangan melerai, maka dia khawatir kalau-kalau pemuda yang senang bergurau dan nakal itu akan salah sangka dan mengira dia mengeroyoknya. Maka dia hanya dapat berseru berulang kali.

“Kim Hui, berhentilah! Berhentilah kalian berkelahi!”

Akan tetapi karena Kim Hui yang merasa penasaran terus saja menyerang, terpaksa Han Bu membela diri sehingga perkelahian itu tidak dapat dihentikan.

Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat.

“Tarrr-tarrr...!” Segulung sinar putih menyambar.

Kim Hui berseru kaget dan pedangnya hampir saja terlepas dari tangannya ketika bertemu sinar putih. Ia cepat melompat ke belakang, sementara Han Bu segera menyimpan kedua senjatanya dan memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw yang sudah berdiri di antara dua orang yang tadi berkelahi.

“Subo, teecu terpaksa membela diri dan tidak dapat berhenti karena dia yang amat galak ini terus mendesak teecu dan tidak mau berhenti menyerang.”

“Tentu saja aku menyerangmu, engkau laki-laki kurang ajar! Engkau memaki aku kerbau!” teriak Kim Hui.

Dia memandang kepada wanita berpakaian serba putih yang kini memandangnya. Wanita itu tadi telah melerai perkelahian menggunakan sehelai pita putih dan dia merasa terkejut sekali betapa pita sutera putih itu demikian kuat sehingga hampir saja pedangnya terlepas ketika terbentur pita yang berubah menjadi sinar putih. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali.

Ui Yan Bun juga maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sangat lihai, dan diam-diam ia merasa heran sekali. Mengapa dia merasa seolah pernah bertemu dengan wanita ini? Bahkan dia merasa seolah dia telah mengenalnya dengan baik. Akan tetapi dia tak ingat lagi di mana dan kapan pernah bertemu dengannya. Cepat dia memberi hormat kepada wanita itu.

“Locianpwe, saya mohon maaf atas kelancangan kami berdua yang sudah mengganggu ketenangan di sini.”

Im-yang Sian-kouw memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan ia pun tersenyum. Begitu wanita itu tersenyum, jantung Yan Bun berdebar aneh. Dia merasa yakin pernah bertemu dengan wanita ini, akan tetapi tetap saja dia tidak ingat di mana dan kapan.

“Baik, orang muda. Aku yakin bahwa kalian berdua bukan orang-orang sesat yang hendak membuat kacau tempat ini. Apa yang terjadi dengan muridku tadi tentu hanya merupakan kesalah-pahaman belaka. Maklumlah, muridku Si Han Bu ini memang nakal dan senang bergurau! Nona muda, kau maafkan muridku,” katanya sambil menoleh kepada Kim Hui.

Wan Kim Hui memang seorang gadis yang liar dan galak, namun ia memiliki keadilan dan bila berhadapan dengan orang yang lembut dan ramah, kekerasan hatinya akan mencair seperti salju dibakar.

“Bibi yang baik, aku juga minta maaf, akan tetapi harap engkau suka mengajar muridmu itu agar dia bersikap sopan kepada seorang gadis.”

Mendengar suara gadis itu yang kini melembut dan sama sekali tidak tampak marah atau mendongkol, Si Han Bu tersenyum.

“Aku yang bersalah, Nona yang... baik dan lihai sekali, maafkan aku.”

Kim Hui tersenyum dan semua orang tersenyum. Im-yang Sian-kouw kini berkata kepada Yan Bun. “Orang muda, siapakah kalian dan apakah maksud kalian datang berkunjung ke rumah kami?”

“Locianpwe, saya bernama Ui Yan Bun dan Nona ini bernama Wan Kim Hui. Kami datang dari Lam-hu dan sesungguhnya jauh-jauh kami berkunjung ke Beng-san ini adalah untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian.”

“Aih, sungguh sayang, kedatangan kalian berdua sia-sia karena Suhu Bu Beng Kiam-sian sudah wafat sekitar setahun yang lalu,” kata Im-yang Sian-kouw dengan suara menyesal karena ia merasa kasihan kepada dua orang muda yang datang dari jauh dengan sia-sia itu.

“Aduh, celaka... Yan Bun...!” Tiba-tiba Kim Hui berseru dan dia pun menangis.

Hampir saja Si Han Bu berseru saking herannya, akan tetapi ditahan ketika ingat betapa galaknya gadis itu. Yang membuat dia bengong terheran-heran adalah melihat gadis yang demikian galaknya kini dapat menangis tersedu-sedu!

“Ui Yan Bun, apa yang terjadi? Mengapa kalian mencari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan mengapa pula Kim Hui ini menangis sedih ketika mendengar beliau telah tiada?”

“Locianpwe, kami berdua dari Lam-hu berkunjung ke sini untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian dan mohon pertolongan beliau untuk menyelamatkan nyawa ibu dari Adik Wan Kim Hui ini. Akan tetapi ternyata beliau sudah wafat, maka habislah harapan kami untuk mendapatkan obat itu...,” kata Yan Bun dengan nada sedih.

“Ah, mengapa langsung putus harapan? Nona Wan Kim Hui, hentikan tangismu. Biar pun Kakek Guru Bu Beng Kiam-sian telah wafat setahun yang lalu, tapi masih ada yang dapat mengobati ibumu!” kata Si Han Bu dengan suara lantang mengandung hiburan.

Mendengar ini, seketika Kim Hui menghentikan tangisnya dan Yan Bun juga memandang pemuda yang riang itu dengan penuh harapan baru.

“Benarkah? Engkau dapat mengobati ibuku?” Kim Hui bertanya dan dia melangkah maju menghadapi pemuda itu.

Si Han Bu tersenyum. “Tenanglah, Nona dan jangan kau khawatir. Bukan aku yang dapat mengobati ibumu, tetapi Subo Im-yang Sian-kouw ini adalah murid mendiang Sukong Bu Beng Kiam-sian dan Subo telah mewarisi semua kepandaian mendiang Sukong. Beliau ini yang akan mampu menyembuhkan ibumu.”

“Si Han Bu! Engkau sudah lupa akan pesanku agar engkau tidak menyombongkan diri?” tegur Im-yang Sian-kouw kepada muridnya.

Han Bu tersenyum dan memberi hormat kepada gurunya. “Maaf, Subo, akan tetapi teecu bukan menyombongkan diri, hanya membanggakan Subo. Apa itu tidak boleh?”

Sulitlah untuk marah kepada seorang seperti Han Bu. Im-yang Sian-kouw tersenyum lalu berkata kepada Yan Bun dan Kim Hui.

“Kalian hendak bertemu dengan mendiang guruku, biarlah aku mewakilinya. Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam pondok.”

Setelah berkata demikian Im-yang Sian-kouw memasuki pondoknya. Ketika Yan Bun dan Kim Hui tampak ragu-ragu, Han Bu memberi isyarat agar mereka berdua ikut masuk. Dia mengiringkan dari belakang.

Setelah berada di dalam pondok, mereka berempat duduk mengelilingi meja dan Sun-ma, pelayan tua itu, menghidangkan air teh.

“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang sudah terjadi dengan ibumu, Wan Kim Hui,” kata wanita cantik yang berpakaian pendeta itu kepada Kim Hui.

Kim Hui memandang kepada Yan Bun lalu kepada nyonya rumah dan berkata, “Bibi, biar Ui Yan Bun yang menceritakannya karena dialah yang bertugas mencari obat. Aku hanya menemaninya saja. Yan Bun, ceritakanlah kepada Bibi Im-yang Sian-kouw seperti yang pernah kuceritakan kepadamu tentang keluargaku.”

Yan Bun memang telah mendengar dari gadis itu tentang semua peristiwa yang menimpa keluarga Wan Cun. Maka dia pun lalu menceritakan kepada Im-yang Sian-kouw apa yang telah terjadi di daerah Se-cuan, yang menimpa keluarga Wan sehingga Nyonya Wan Cun mengalami luka dalam yang parah dan mereka bertiga terpaksa melarikan diri dari daerah yang dikuasai pemerintahan Raja Muda Wu Sam Kwi.

Im-yang Sian-kouw dan Si Han Bu mendengarkan dengan penuh perhatian sampai Yan Bun mengakhiri ceritanya. Sesudah pemuda itu selesai bercerita, Im-yang Sian-kouw lalu memandang kepada Kim Hui dan bertanya.

“Kim Hui, ayahmu bernama Wan Cun. Bukankah dia yang berjuluk Lam-ong?”

“Benar, Bibi. Ibuku terluka oleh pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, harap engkau suka memberi obat untuk menyembuhkannya.”

Im-yang Sian-kouw mengangguk-anggukkan kepala. “Aku pernah mendengar nama Lam-ong dan juga Lam-hai Cin-jin. Kabarnya Lam-hai Cin-jin menjadi Koksu (Guru Negara) dari Raja Muda Wu Sam Kwi. Hemm, keluargamu dimusuhi karena engkau memukul putera Raja Muda Wu Sam Kwi?”

“Pemuda itu kurang ajar sekali, hendak memaksa aku menerima lamarannya, Bibi. Kalau aku tahu akan berekor panjang sehingga ibuku terluka, tentu pemuda she Wan itu bukan hanya kuhajar, melainkan sudah kubunuh dia!”

Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang. “Dan engkau, Yan Bun, mengapa engkau yang mencarikan obat untuk Nyonya Wan? Ada hubungan apakah antara engkau dengan keluarga Wan?” wanita itu bertanya sambil melirik ke arah Kim Hui karena muncul dugaan bahwa tentu ada hubungan antara gadis cantik itu dengan pemuda she Ui ini.

Kim Hui sudah mengerutkan alisnya. Ia khawatir kalau-kalau Yan Bun akan menceritakan tentang ia yang menculik Ui Tiong untuk dipaksa mengobati ibunya. Yan Bun memandang kepadanya dan mengerti akan kegelisahan hati Kim Hui, maka dia tersenyum dan berkata kepada Im-yang Sian-kouw.

“Begini, Locianpwe. Sebenarnya saya tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Wan, bahkan saya bukan penduduk Lam-hu. Ketika saya mengunjungi Paman saya Ui Tiong di Lam-hu, Paman Ui Tiong sedang berusaha untuk mengobati Nyonya Wan. Akan tetapi luka beracun yang diderita Nyonya Wan itu amat parah dan Paman Ui Tiong tidak mampu menyembuhkannya. Paman saya lalu mengatakan bahwa orang yang mampu mengobati hanyalah Locianpwe Bu Beng Kiam-sian. Karena itu saya yang pernah bertemu dengan Locianpwe Bu Beng Kiam-sian lalu memberanikan diri untuk membantu keluarga Wan.”

“Ahh, kiranya engkau pernah bertemu dengan mendiang Suhu,” kata Im-yang Sian-kouw. “Kenapa aku tidak pernah melihatmu?”

“Dulu saya pernah diajak Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sini, Locianpwe, ketika Locianpwe Bu Beng Kiam-sian masih hidup. Ketika itu, sekitar lima tahun yang lalu, beliau tinggal seorang diri di pondok ini.”

“Lima tahun yang lalu? Ah, ketika itu aku bersama muridku Si Han Bu ini memang masih tinggal di lereng bukit. Aku mengenal nama Thian Bong Sianjin. Jadi engkau muridnya? Baiklah, Yan Bun dan Kim Hui, aku suka menolong Nyonya Wan. Keterangan Han Bu tadi bukan bualan belaka, memang aku sudah mewarisi ilmu pengobatan dari mendiang Suhu dan kebetulan sekali aku menyimpan obat yang amat langka untuk menyembuhkan luka beracun berbahaya seperti akibat pukulan Hek-tok-ciang itu.” Wanita itu lalu menghampiri almari kayu, mengambil sebuah bungkusan dan menyerahkan kepada Yan Bun.

“Ini adalah Jamur Salju Putih. Masak jamur ini dengan air tiga mangkok, biarkan mendidih sampai tinggal satu mangkok, lalu minumkan kepada si sakit. Kemudian ampasnya boleh diulang lagi, masak dengan dua mangkok air sampai tersisa satu mangkok, diulang pagi dan sore selama tiga hari. Kalau Thian menghendaki, hawa beracun itu pasti dapat terusir bersih!”

Yan Bun dan Kim Hui merasa girang sekali. Mereka mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Han Bu mengantar mereka sampai menuruni puncak dan tiba di lereng paling bawah. Yan Bun menghentikan langkahnya dan berkata kepada Han Bu.

“Saudara Si Han Bu, kami kira cukuplah engkau mengantar kami sampai di sini. Banyak terima kasih atas kebaikanmu dan sampaikan terima kasih kami yang sedalam-dalamnya kepada gurumu.”

“Ah, Yan Bun dan Kim Hui, setelah tadi aku bertanding dengan Kim Hui kemudian kalian bertemu dengan Subo dan diberi obat, bukankah kita bertiga kini sudah menjadi sahabat? Setelah menjadi sahabat, di antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan lagi, bukan?”

Melihat wajah yang cerah dan ramah itu, Yan Bun tertawa. “Ahh, tentu saja, Han Bu. Aku senang dan bangga menjadi sahabatmu!”

Han Bu memandang kepada Kim Hui. “Lho, kenapa engkau cemberut, Kim Hui? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabatku? Apakah sekarang engkau masih menganggap aku seorang pemuda kurang ajar?”

“Selama engkau menganggap aku galak, aku juga akan menganggap engkau kurang ajar,” jawab Kim Hui tanpa senyum.

“Aih, Kim Hui, ternyata engkau masih belum dapat memaafkan aku? Sekarang aku tidak menganggap engkau galak lagi. Engkau manis.... budi, maksudku engkau baik hati dan aku bangga sekali menjadi sahabatmu! Sekali lagi maafkan aku dan jangan engkau benci padaku, Kim Hui.”

“Siapa yang benci? Aku tidak benci padamu!” kata Kim Hui, kini tidak lagi cemberut.

“Bagus! Kalau begitu engkau sayang padaku?”

“Apa?! Sayang...?”

“Maksudku, sayang sebagai sahabat. Kalau tidak benci berarti sayang, bukan? Wah-wah, jangan marah lagi, sobat.”

Kim Hui tersenyum. Memang harus ia akui bahwa sukarlah untuk marah kepada pemuda yang periang ini. “Aku tidak benci kepadamu, itu saja sudah cukup dan aku menganggap engkau sahabatku. Nah, sekarang, selamat berpisah dan jangan ikuti kami lagi.”

“Baiklah, aku berhenti mengantar sampai di sini. Yan Bun, selamat berpisah dan selamat jalan. Kim Hui, selamat jalan dan mudah-mudahan kita segera akan saling berjumpa lagi. Harap jaga dirimu baik-baik, sahabatku tersayang.” Han Bu melambaikan tangan kepada mereka berdua yang melanjutkan perjalanan.

Yan Bun juga melambaikan tangan sementara Han Bu menanti-nanti, akan tetapi Kim Hui berjalan terus, tidak menengok. Dia mengerutkan alisnya, benar-benarkah gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya? Akan tetapi sebelum mereka membelok, tiba-tiba gadis itu membalikkan tubuhnya, lalu tersenyum dan melambaikan tangan sambil berseru.

“Han Bu, sampai jumpa dan jaga dirimu baik-baik!”

Setelah mereka berdua menghilang di belokan, Han Bu meloncat-loncat kegirangan. “Ha-ha-ha, ia suka padaku! Suka padaku!” Dia lalu berlari cepat mendaki Bukit Kera…..

********************

Sementara itu, Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui melakukan perjalanan secepatnya kembali ke Bukit Siluman di dekat Lam-hu. Ketika mereka sampai di tempat tinggal keluarga Wan, mereka melihat betapa penyakit yang diderita Nyonya Wan sudah makin parah. Kebetulan sekali hari itu Ui Tiong juga datang menengok dan memeriksa si sakit, maka kedatangan kedua orang muda itu disambut dengan gembira dan muncul kembali harapan dalam hati Wan Cun.

Kim Hui segera memasak obat itu seperti yang dipesankan Im-yang Sian-kouw, kemudian sesudah tersisa satu mangkok dan agak dingin, obat itu lalu diminumkan kepada ibunya. Sesudah minum obat itu, benar saja wajah Nyonya Wan menjadi agak merah dan dia pun siuman dari pingsannya. Begitu siuman ia mengatakan bahwa dadanya tak terasa terlalu nyeri dan sesak lagi.

Semua orang bergembira dan setelah obat itu diminum pagi sore sampai tiga hari, nyonya itu sembuh sama sekali. Tanda telapak tangan menghitam itu pun lenyap dan suami isteri itu mengucapkan terima kasih kepada Ui Yan Bun.

Setelah Nyonya Wan sembuh, mulailah Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Lam-ong Wan Cun dan Yan Bun tinggal di Bukit Siluman sampai selama satu tahun…..

********************

Pangeran Bouw Hun Ki adalah adik kaisar yang setia mendukung Kaisar Shun Chi. Dia sendiri seorang sastrawan yang berwatak gagah berani menentang kelaliman biar pun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat tinggi. Akan tetapi dia mempunyai seorang isteri yang amat lihai. Isterinya atau Bouw Hujin (Nyonya Bouw) dahulu bernama Souw Lan Hui dan di dunia kang-ouw ia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti). Memang agak aneh bila dua orang yang berlainan keahlian ini, yang laki-laki ahli sastra yang wanita ahli silat, dapat saling jatuh cinta lalu menikah.

Sekarang Pangeran Bouw Hun Ki berusia lima puluh empat tahun, masih terlihat tampan dan gagah dengan rambut tercampur uban. Ada pun isterinya, Bouw Hujin, berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih cantik dan tubuhnya ramping padat. Meski gerak-gerik dan suaranya lembut seperti seorang wanita bangsawan karena dia isteri seorang pangeran, namun sinar matanya terkadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan.

Suami isteri ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama bernama Bouw Kun Liong, kini berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan seperti ayahnya dan pakaiannya indah, sikapnya agak galak tapi dia menghargai kejujuran dan kegagahan.

Yang ke dua adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun bernama Bouw Hwi Siang, cantik seperti ibunya. Dua orang anak ini juga menerima gemblengan ilmu silat ibu mereka dan juga mempelajari sastra dari ayah mereka.

Karena maklum bahwa di antara para pangeran banyak yang ingin memperebutkan tahta, maka Kaisar Shun Chi merasa khawatir akan keselamatan putera mahkota, yaitu putera dari permaisuri, Pangeran Kang Shi yang ketika itu baru berusia sekitar sebelas tahun. Karena dia percaya sepenuhnya kepada Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali karena dia maklum bahwa Panglima Bouw Hun Ki memiliki isteri dan dua orang anak yang amat lihai dan boleh diandalkan, maka Kaisar Shun Chi menitipkan Pangeran Mahkota Kang Shi pada keluarga Pangeran Bouw agar dididik dan dilindungi.

Bouw Hujin amat berhati-hati menjaga keamanan Pangeran Mahkota. Ia membuat sebuah ruangan rahasia di bawah lantai gedung sehingga kalau sewaktu-waktu ada bahaya yang mengancam, ia dapat mengungsikan dan menyembunyikan pangeran itu ke dalam ruang rahasia itu.

Kini, setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap kaisar, dan percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota seperti yang dilakukan oleh Pangeran Leng Kok Cun yang mengutus Gui Tiong dan Bu Kong Liang yang dibayangi Twa-to Ngo-liong, maka keluarga Bouw menjadi semakin waspada dan berhati-hati. Kini penjagaan dilakukan dengan ketat. Terlebih lagi kini mereka mendapat bantuan dari Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang diminta tinggal untuk sementara di gedung keluarga Bouw dan ikut menjaga keselamatan Pangeran Kang Shi.....




KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 15

Setelah Kong Liang dan Gui Siang Lin yang masih adik seperguruannya itu tinggal kurang lebih satu bulan di gedung keluarga Bouw, keduanya menjadi akrab dengan putera dan puteri Pangeran Bouw. Bouw Hwi Siang tertarik sekali kepada Bu Kong Liang yang gagah perkasa, sopan, jujur dan tegas penuh kejantanan itu. Ada pun Bouw Kun Liong juga jatuh cinta kepada Gui Siang Lin, sebaliknya gadis yatim piatu itu pun tertarik kepada pemuda bangsawan yang tampan dan gagah itu.

Pada suatu pagi yang cerah, Pangeran Bouw Hun Ki bercakap-cakap dengan isterinya di serambi sambil minum teh. Mereka berdua tadi melihat putera dan puteri mereka bersama Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin pergi ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat) dengan wajah gembira.

Setiap pagi empat orang muda itu berlatih ilmu silat dan mereka saling menguji dan saling memberi petunjuk sehingga dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Kong Liang dan Siang Lin adalah murid-murid Siauw-lim-pai, ada pun Kun Liong dan Hwi Siang keduanya menerima pelajaran silat Bu-tong-pai dari ibu mereka. Padahal dahulu ilmu silat Bu-tong-pai juga bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai, maka kedua aliran itu memang dapat saling mengisi dan melengkapi.

“Lihatlah, Pangeran, keakraban anak-anak kita dengan pemuda dan gadis itu!” kata Bouw Hujin kepada suaminya.

Pangeran Bouw mengangkat muka, memandang ke arah ruangan belajar silat, kemudian memandang isterinya. “Kalau mereka akrab, lalu apa salahnya?”

Bouw Hujin tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Pangeran Bouw merasa kagum dan heran bahwa sampai sekarang setiap kali isterinya tersenyum, jantungnya bergetar penuh kasih sayang.

“Tentu saja tidak salah, bahkan saya akan merasa senang sekali kalau Kun Liong dapat berjodoh dengan Siang Lin dan Hwi Siang dapat berjodoh dengan Kong Liang. Bukankah gagasan ini baik sekali, Pangeran?”

Akan tetapi Pangeran Bouw menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya. “Hemm…, gagasan itu sungguh tidak tepat!”

Pandang mata Bouw Hujin berubah tajam ketika dia menatap wajah suaminya. Dia pun mengerutkan kedua alisnya dan suaranya biar pun tetap halus tapi mengandung teguran, “Pangeran, apakah engkau tidak setuju karena mengingat bahwa pemuda dan pemudi itu tidak berdarah bangsawan? Apakah mereka itu dianggap terlampau rendah untuk menjadi jodoh anak-anak kita?”

Pangeran Bouw balas memandang isterinya dan dia tersenyum lebar. “Isteriku yang baik, engkau tahu betul bahwa aku bukan orang yang mempersoalkan keturunan. Buktinya aku menikah denganmu dan kita menjadi suami isteri yang berbahagia sampai sekarang.”

“Kalau begitu, mengapa gagasan saya tadi dikatakan tidak tepat?”

Kembali pangeran itu tersenyum lebar. “Karena dengan demikian kita mendahului mereka, isteriku yang baik! Apakah engkau ingin menjodohkan anak-anak kita tanpa persetujuan mereka terlebih dahulu? Kalau begitu, aku tidak setuju. Mereka harus menentukan sendiri dengan siapa mereka akan berjodoh.”

Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui tertawa dengan hati lega. “Aihh, tentu saja, Pangeran! Yang saya maksudkan tadi, saya akan senang sekali kalau kedua orang anak kita dapat berjodoh dengan Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Tentu saja yang menentukan adalah mereka sendiri.”

“Yah, mudah-mudahan anak kita dapat menentukan pilihan yang tepat sehingga mereka akan dapat hidup berbahagia dengan jodoh masing-masing,” kata Pangeran Bouw.

“Ya, seperti kita,” kata isterinya.

Pada saat itu seorang prajurit pengawal yang bertugas menjaga di gapura depan, datang memasuki serambi itu kemudian memberi hormat kepada Pangeran Bouw dan isterinya. Dengan sikap hormat dia melapor bahwa di luar terdapat Pangeran Ciu Wan Kong yang datang berkunjung.

Sejak Pangeran Mahkota berada di gedung keluarga Pangeran Bouw, tempat itu memang selalu dijaga pasukan pengawal. Hal ini untuk menambah penjagaan supaya keselamatan Pangeran Mahkota dapat terjamin.

Mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah adik tirinya, Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw cepat-cepat memerintahkan agar para penjaga mempersilakan tamu itu memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri gedung. Mereka berdua sendiri lalu meninggalkan serambi menuju ke ruangan tamu untuk menyambut tamu.

Belum lama suami isteri itu duduk di ruangan tamu, Pangeran Ciu Wan Kong memasuki ruangan itu bersama puterinya, Ciu Thian Hwa. Pangeran Bouw Hun Ki cepat bangkit dan menyambut Pangeran Ciu Wan Kong dengan gembira.

“Aihh, Dinda Pangeran Ciu Wan Kong! Sungguh berbahagia sekali hati kami menerima kunjunganmu. Selamat datang, Dinda, engkau tampak sehat dan gembira!” kata Pangeran Bouw yang menyambut bersama isterinya dengan perasaan heran dan gembira.

Selama ini dia tahu bahwa adik tirinya ini selama bertahun-tahun hidup tidak wajar, selalu tenggelam dalam kesedihan, tidak pernah tersenyum, tidak pernah keluar dari gedungnya, bahkan ada pula yang mendesas-desuskan bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi seorang linglung yang miring otaknya. Akan tetapi sekarang pangeran itu muncul bersama seorang gadis cantik dan tampak demikian cerah gembira penuh semangat!

Pangeran Ciu Wan Kong memberi hormat kepada kakak tirinya serta kakak iparnya, dan sesudah mereka semua duduk mengelilingi meja, Pangeran Ciu berkata, “Maafkan saya, Kanda Pangeran Bouw Hun Ki, sudah lama saya tidak pernah datang menghadap. Hari ini saya sengaja datang, selain sudah merasa rindu, juga untuk memperkenalkan anak saya ini, Ciu Thian Hwa.”

Thian Hwa cepat memberi hormat. Pangeran Bouw beserta isterinya memandang dengan hati tertarik, akan tetapi juga dengan perasaan heran. Mereka tahu bahwa Pangeran Ciu tidak pernah menikah, bahkan selir pun tidak punya, bagaimana sekarang tahu-tahu telah mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa? Melihat sikap dan pandangan mata kakak tirinya yang terheran-heran, Pangeran Ciu Wan Kong berkata.

“Maaf, Kanda Pangeran, saya akui bahwa selama ini saya hidup dalam keadaan seperti di dalam mimpi, penuh penderitaan dan menyimpan rahasia. Sesungguhnya hidup ini tidak ada artinya lagi bagi saya sesudah wanita yang saya cinta, terpaksa meninggalkan saya sambil membawa anak kami. Tetapi secara tiba-tiba anakku, anakku tersayang, Ciu Thian Hwa ini, muncul! Ahh, betapa bahagia rasa hati saya, Kakanda. Saya seolah bangkit dari jurang kematian. Saya hidup lagi! Dan anak saya ini sudah menjadi seorang yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi! Baru saja kami berdua menghadap Sribaginda untuk memberi laporan tentang beberapa hal rahasia yang diketahui anak saya, dan di sana, Thian Hwa ini sudah menyelamatkan Sribaginda Kaisar dari usaha pembunuhan lima orang penjahat. Dia telah membunuh mereka!”

“Ahh, lalu bagaimana dengan Kakanda Kaisar?” tanya Pangeran Bouw.

“Kakanda Kaisar selamat, kemudian beliau memberi tugas yang sangat penting kepada Thian Hwa, dan mengutus kami menyerahkan surat ini kepada Kanda.”

Pangeran Ciu Wan Kong mengeluarkan surat dari kaisar, lantas menyerahkannya kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang segera membacanya lalu menyerahkannya kepada isterinya untuk dibaca. Di dalam surat itu Kaisar Shun Chi memberi-tahu kepada mereka bahwa dia sudah memberi Tek-pai (tanda kuasa) kepada Ciu Thian Hwa dan memerintahkan gadis perkasa itu untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar penobatan Putera Mahkota Kang Shi sebagai kaisar baru berjalan lancar.

Sesudah membaca surat itu, suami isteri itu memandang kepada Thian Hwa dengan rasa kagum. “Ciu Thian Hwa, aku merasa kagum dan bangga mempunyai seorang keponakan sepertimu. Seorang gadis muda sepertimu ini sudah mendapatkan Tek-pai dari Sribaginda Kaisar, sungguh luar biasa,” kata Pangeran Bouw.

“Sekarang aku jadi ingat,” kata Bouw Hujin. “Baru-baru ini aku mendengar bahwa di dunia kang-ouw muncul seorang gadis pendekar yang namanya amat terkenal sebagai Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Engkaukah Huang-ho Sian-li itu, Ciu Thian Hwa?”

Thian Hwa yang telah mendengar dari ayahnya bahwa Nyonya Pangeran Bouw ini adalah seorang wanita sakti yang mempunyai ilmu silat tinggi sehingga mendapat kepercayaan kaisar untuk mendidik dan melindungi Pangeran Mahkota, memberi hormat.

“Memang saya yang dimaksudkan, akan tetapi julukan yang diberikan orang kepada saya itu terlalu dilebih-lebihkan.”

“Thian Hwa, coba engkau ceritakan kepada kami rahasia penting apa yang sudah engkau sampaikan kepada Kakanda Kaisar,” kata Pangeran Bouw.

Dengan singkat tetapi jelas Thian Hwa bercerita kepada suami isteri itu tentang Pangeran Leng Kok Cun yang memiliki ambisi untuk memberontak dan merebut kedudukan Kaisar dengan menyingkirkan saingan-saingannya, antara lain Pangeran Cu Kiong dan tentu saja Pangeran Mahkota Kang Shi. Juga ambisi Pangeran Cu Kiong yang hendak merampas kedudukan pengganti kaisar dari tangan Putera Mahkota Kang Shi.

Mendengar keterangan Thian Hwa, Bouw Hujin mengangguk-angguk dan berkata, “Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa, sebenarnya kami sendiri sudah lama mengetahui tentang mereka yang tidak setia itu. Akan tetapi Kakanda Kaisar selalu melarang untuk bertindak karena bagaimana pun juga, mereka adalah putera-puteranya sendiri. Apa bila mereka itu ditindak dan terdengar rakyat, tentu akan mencemarkan nama keluarga kerajaan sendiri.”

Pangeran Bouw Hun Ki menyambung. “Benar, kami dan juga Kakanda Kaisar sudah tahu bahwa Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong sedang membujuk para pejabat tinggi agar mendukungnya. Pangeran Cu sendiri kabarnya diam-diam mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi di selatan. Namun Kakanda Kaisar selalu menutup-nutupi kesalahan para puteranya, bahkan sekarang beliau mengambil keputusan yang luar biasa, yaitu hendak meninggalkan kerajaan dan menghilang.”

“Hemm, agaknya Kakanda Pangeran Bouw sudah tahu pula tentang keinginan Kakanda Kaisar yang luar biasa itu. Sesungguhnya saya sendiri merasa tidak setuju. Bagaimana Kakanda Kaisar yang masih hidup dan sehat dikabarkan mati? Dan bagaimana mungkin beliau yang sudah tua akan merantau sebagai seorang pendeta?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan terharu.

“Sesungguhnya hal itu tidak aneh, Dinda Pangeran Ciu. Seperti kita ketahui, beliau dalam kemuliaannya sebagai Kaisar, penuh kekuasaan dan kemuliaan, ternyata malah jauh dari kebahagiaan dengan adanya perebutan kekuasaan di antara para puteranya. Lalu beliau melihat kenyataan bahwa kekuasaan dan harta benda, segala kesenangan duniawi tidak mendatangkan kebahagiaan malah mendatangkan penderitaan batin. Karena itulah beliau malah memilih meninggalkan semua itu untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Dengan cara meninggal dan menunjuk Pangeran Mahkota sebagai penggantinya, berarti melenyapkan pula keraguan dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran lainnya.”

“Akan tetapi bagaimana jika keputusan itu memancing timbulnya pemberontakan dari para pangeran yang merasa tidak puas melihat Putera Mahkota yang masih kecil diangkat menjadi kaisar?” tanya Pangeran Ciu dengan khawatir.

“Kalau ada pemberontakan, maka pemerintah tentu akan menumpasnya! Karena itulah Sribaginda telah memberi kekuasaan kepada kami dan kini malah dibantu oleh Ciu Thian Hwa. Kami telah menghubungi semua panglima dan mereka semua sepakat mendukung Putera Mahkota apa bila diangkat menjadi kaisar. Setiap pemberontakan pasti akan dapat kita hancurkan,” kata Pangeran Bouw.

“Jika ada penyerangan terhadap pribadi Pangeran Mahkota, kami yang bertanggung jawab untuk melindunginya. Di sini sudah kami persiapkan untuk melindungi beliau. Saya sendiri dibantu oleh kedua orang anak kami sudah siap, dan kami malah mendapat bantuan dua orang pendekar muda yang boleh diandalkan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang lihai. Dan sekarang ada lagi Ciu Thian Hwa ini yang membuat tenaga perlindungan Putera Mahkota menjadi semakin kuat. Kita tidak perlu khawatir.”

“Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa. Kalian berdua sudah maklum bahwa rencana yang hendak dilakukan Sribaginda Kaisar merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui oleh kita berempat dan mereka yang diberi kepercayaan di istana oleh Sribaginda saja. Oleh karena itu kita berempat harus merahasiakannya, bahkan kepada anak-anak kita pun tak perlu kita ceritakan. Biarlah rencana Sribaginda yang mulia itu menjadi rahasia bagi orang lain,” kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, Pangeran Ciu mengangguk.

“O ya, biar kupanggil anak-anak itu ke sini. Mereka harus berkenalan dengan Thian Hwa!” kata Bouw Hujin. Kemudian, saking girangnya dan menghendaki anak-anaknya serta dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera datang ke situ, ia mengerahkan tenaga saktinya dan berseru. “Anak-anak, kalian berempat ke sinilah, ke ruangan tamu, cepat!”

Suaranya lirih saja tetapi membuat Thian Hwa terkejut karena dalam suara itu terkandung getaran yang amat kuat sehingga dia dapat menduga bahwa orang-orang yang dipanggil itu, biar pun berada di tempat jauh, tentu dapat mendengarnya dengan jelas.

Benar saja dugaannya. Tidak lama kemudian berkelebat empat bayangan orang dan tahu-tahu di dalam ruangan tamu itu telah berdiri dua orang pemuda dan dua orang gadis yang semua masih berkeringat di leher dan muka mereka. Thian Hwa terkejut, akan tetapi juga girang ketika mengenal seorang di antara dua orang pemuda itu yang bukan lain adalah Bu Kong Liang. Akan tetapi tentu saja dia hanya diam dan memandang mereka.

“Anak-anak, perkenalkan, dia ini adalah paman kalian, Pangeran Ciu Wan Kong, dan ini puterinya, Ciu Thian Hwa yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li. Thian Hwa, ini adalah anak-anak kami, Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan inilah dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu kami, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin.”

Mereka yang diperkenalkan saling memberi hormat. Di dalam kesempatan ini Kong Liang menyapa Thian Hwa. “Hwa-moi, aku girang dapat berjumpa kembali denganmu di sini.”

“Aku juga tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Liang-ko,” jawab Thian Hwa.

“Ahh, kiranya kalian sudah saling mengenal?” kata Bouw Hujin sambil tersenyum.

Kong Liang lalu bercerita kepada mereka tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Setelah bercakap-cakap, Thian Hwa segera dapat akrab dengan kedua orang putera dan puteri Pangeran Bouw dan juga dengan Gui Siang Lin.

Karena mereka semua merupakan orang-orang yang menerima tugas penting yang sama, yaitu melindungi Pangeran Mahkota Kang Shi dan menjaga terlaksananya pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar, maka mereka mengadakan perundingan bagaimana baiknya tugas itu bisa dilaksanakan. Lalu diambil keputusan bahwa untuk sementara, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin tinggal di rumah keluarga Pangeran Bouw sebagai tamu, ada pun Ciu Thian Hwa tetap tinggal di rumah ayahnya, akan tetapi selalu mengadakan kontak dengan keluarga Pangeran Bouw, bahkan setiap pagi datang ke gedung keluarga itu. Pangeran Bouw Hun Ki juga mengadakan hubungan dengan para panglima yang setia terhadap Kaisar.

Biar pun pada waktu itu hampir seluruh daratan Cina dijajah oleh orang Mancu, dan hanya sedikit daerah Barat Daya yang masih dikuasai Jenderal Wu Sam Kwi, tetapi kebanyakan kaum pendekar akhirnya mendukung Kerajaan Ceng. Hal ini terutama sekali karena para pemimpin Mancu menggunakan siasat yang amat pandai.

Mereka melihat betapa kebudayaan pribumi Cina (Han) sangat tinggi dan luhur, dan satu-satunya cara untuk menarik perhatian serta rasa suka rakyat adalah dengan menghargai budaya dan adat istiadat mereka. Karena itu para bangsawan Mancu lalu mengikuti adat dan kebudayaan pribumi Han.

Selain itu mereka juga menerima dan menghargai orang-orang pribumi yang mau bekerja kepada pemerintah Kerajaan Mancu, memberi mereka kedudukan-kedudukan penting di bagian tata negara dan urusan sipil. Hanya kedudukan di kemiliteran yang tidak diberikan kepada pribumi Han, melainkan tetap dipegang oleh bangsa Mancu sendiri.

Penyebab lain yang membuat rakyat pribumi tak banyak menentang pemerintah penjajah Mancu adalah karena tak ada lagi yang menjadi penerus Dinasti atau Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh pemberontak-pemberontak bangsa pribumi sendiri hingga akhirnya negara jatuh ke tangan bangsa Mancu.

Satu-satunya pihak yang menentang Kerajaan Ceng (Mancu) sampai waktu itu hanyalah yang dipimpin oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang berpusat di Yunnan-hu. Akan tetapi Wu Sam Kwi bukanlah pewaris Kerajaan Beng, bahkan dia adalah seorang panglima Kerajaan Beng yang memberontak terhadap Kerajaan Beng sehingga dia boleh dikata menjadi satu di antara penyebab jatuhnya Kerajaan Beng. Karena itu, meski dia merupakan penentang Kerajaan Mancu yang paling gigih dan bertahan lama, tapi tetap saja rakyat menganggap dia sebagai pemberontak dan tidak mendapat banyak dukungan rakyat.

Dunia kang-ouw, yaitu dunia kaum persilatan, pada waktu itu juga terpecah belah menjadi beberapa kelompok, tetapi yang terbesar adalah mereka yang mendukung tiga kelompok. Pertama tentu saja orang-orang yang mendukung Kerajaan Ceng (Mancu) atau yang setia kepada Kaisar Shun Chi, terdiri dari para pendekar Han dan Mancu sendiri. Kedua adalah mereka yang mendukung Pangeran Leng Kok Cun yang berambisi untuk merampas tahta kerajaan, yang didukung oleh para tokoh kang-ouw golongan sesat. Sedangkan yang ke tiga adalah mereka yang mendukung dan bekerja sama dengan Jenderal Wu Sam Kwi, termasuk Pangeran Cu Kiong dan sekutunya.

Demikianlah keadaannya pada waktu itu. Karena sedih dan bingung melihat ada di antara putera-puteranya yang mempunyai niat jahat untuk memperebutkan tahta kerajaan, maka Kaisar Shun Chi yang sudah tua dan menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, lantas mengambil keputusan untuk berpura-pura mati dan mengundurkan diri secara rahasia, meninggalkan surat wasiat dan pesan kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membantunya…..

********************

Beberapa malam kemudian…

Malam itu bulan purnama bersinar cemerlang karena tak ada awan yang menghalanginya. Akan tetapi hawa yang amat dingin membuat orang tidak betah lama-lama di luar rumah. Sebelum tengah malam, keadaan sudah sunyi sekali di kota raja.

Akan tetapi justru malam yang dingin sepi namun terang dan indah itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya. Tadi, ketika ia bercakap-cakap dengan ayahnya, tanpa disengaja ia membicarakan tentang Bouw Hujin yang memiliki ilmu silat tinggi, yang membuat ia amat kagum.

“Aku merasa heran, Ayah. Pangeran Bouw Hun Ki itu....”

“Dia adalah Pamanmu, Thian Hwa, Paman tuamu (Kakak Ayahmu)!” tegur Pangeran Ciu Wan Kong.

“Oh ya, Paman Pangeran Bouw itu, bagaimana dapat memiliki isteri yang demikian gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya? Apakah Bibi Bouw itu juga seorang wanita bangsawan Mancu?”

“Bukan, Thian Hwa. Ia seorang wanita pribumi Han, dan memang sejak dulu dia seorang pendekar wanita yang amat terkenal dengan julukan Burung Hong Sakti.”

Mendengar julukan ini Thian Hwa memandang ayahnya dengan mata terbelalak. “Ah, Sin-hong-cu, Ayah? Julukannya Sin-hong-cu?”

Kini Pangeran Ciu yang memandang anaknya dengan hati heran. “Benar, julukannya Sin-hong-cu. Kenapa, Thian Hwa?”

Thian Hwa tidak ingin membuka rahasia gurunya, biar kepada ayahnya sekali pun. Akan tetapi ia ingat benar bahwa gurunya, Thian Bong Sianjin dulu pernah bercerita kepadanya bahwa gurunya itu dahulu saling mencinta dengan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu, akan tetapi kemudian pendekar wanita itu menikah dengan seorang pangeran! Kini dia tidak sangsi lagi bahwa Bouw Hujin yang lihai itulah yang dahulu menjadi kekasih gurunya!

“Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya pernah mendengar nama julukan itu.”

Ayahnya mengangguk. “Tidak aneh karena memang dahulu namanya sebagai pendekar wanita terkenal sekali.”

Demikianlah, oleh karena hatinya amat tertarik mendengar bahwa Bouw Hujin adalah Sin-hong-cu bekas pacar gurunya, malam itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya dengan niat mengelilingi gedung keluarga Pangeran Bouw. Dia memang merasa ikut bertanggung jawab akan keselamatan Pangeran Mahkota yang berada di gedung itu dan setiap pagi ia pasti datang ke gedung itu. Akan tetapi ada baiknya kalau sewaktu-waktu ia berkunjung di waktu malam, menyelidiki dan menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam pada waktu malam.

Sementara itu, di malam bulan purnama yang dingin itu, Bouw Hujin keluar dari kamarnya dan menuju ke taman bunga seorang diri. Pangeran Bouw Hun Ki, suaminya, sudah tidur pulas. Ketika melihat sinar bulan melalui jendelanya, ia lalu keluar dari dalam kamar, ingin menikmati malam yang amat indah itu.

Biar pun usianya sudah lima puluh satu tahun, Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui ini masih tampak cantik dan tubuhnya masih ramping padat. Diterangi sinar bulan purnama, berada di tengah taman bunga itu, ia seolah-olah seorang bidadari yang sedang menghibur diri di taman.

Ia berjalan-jalan sebentar, lalu duduk di atas bangku dekat kolam ikan, memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik di kolam air yang jernih itu. Terkadang ada ikan emas yang membalikkan tubuh sekilas dan tampak perutnya mengkilap terkena sinar bulan purnama.

Tiba-tiba kedua tangan Bouw Hujin bergerak menyambit ke arah kiri dan dua sinar perak meluncur cepat sekali ke arah bayangan orang yang bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang. Akan tetapi bayangan itu segera miringkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia menangkap Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang datang menyambar ke arah tubuhnya itu.

“Gin-seng-piauw-mu sungguh masih hebat dan berbahaya sekali!” seru bayangan itu yang ternyata seorang laki-laki berpakaian serba putih bertubuh tinggi kurus, dan dari gelung rambut serta pakaiannya dapatlah diketahui bahwa dia adalah seorang tosu (Pendeta To), berusia sekitar lima puluh tujuh tahun.

“Kui Thian Bong...!” Bouw Hujin berseru ketika melihat laki-laki itu.

Laki-laki itu ternyata adalah Thian Bong Sianjin yang dulu bernama Kiu Thian Bong, guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.

“Hui-moi (Adik Hui)... ehh, maksudku Bouw Hujin, maafkan kalau aku sudah mengejutkan dan mengganggumu,” kata Thian Bong Sianjin sambil memberi hormat.

“Bong-ko (Kakak Bong), aku sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang tosu. Ah, aku memang kaget sekali melihatmu, akan tetapi aku... aku amat senang melihat engkau sehat. Tapi... tapi... mengapa engkau kini menjadi seorang tosu?” kata Bouw Hujin sambil bangkit dari tempat duduknya.

Thian Bong Sianjin melangkah maju menghampiri hingga mereka kini berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak. Sejenak mereka saling pandang dan dalam sinar mata mereka terdapat keharuan yang mendalam. Bagaimana pun juga, mereka berdua dahulu adalah sepasang kekasih yang saling mencinta. Namun hati Souw Lan Hui kemudian tertarik oleh Pangeran Bouw Hun Ki yang meski pun tidak sangat lihai tetapi terkenal sebagai seorang yang gagah berani.

Akhirnya Souw Lan Hui menikah dengan pangeran Bouw yang dianggapnya lebih dapat menjamin kehidupannya kemudian, memberinya kemuliaan serta kehormatan di samping cinta kasih yang mendalam. Jauh lebih meyakinkan bila dibandingkan keadaan Kui Thian Bong yang hidup sebagai seorang pendekar yang keras, tidak tentu keadaan dan tempat tinggalnya.

Dan ternyata pilihannya itu benar karena dia hidup berbahagia di samping suaminya dan kedua orang anaknya, hidup terhormat dan mulia, juga amat dicinta suaminya yang meski pun seorang pangeran namun tidak mengambil isteri atau selir lain. Walau pun demikian, kini melihat bekas kekasihnya muncul secara tiba-tiba dan sudah menjadi seorang tosu, hati Souw Lan Hui merasa terharu sekali.

Mendengar pertanyaan itu, Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai.... apa salahnya kalau menjadi seorang tosu, Bouw Hujin? Pinto sekarang bukan Kui Thian Bong yang dulu lagi, melainkan Thian Bong Sianjin, dan engkau adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki yang terhormat.”

“Akan tetapi... mengapa engkau tidak... menikah dan berumah tangga...?” Hati wanita itu merasa terharu karena kini baru ia merasa betapa ia yang memutus cinta telah membuat laki-laki ini tidak mau menikah bahkan menjadi seorang pendeta! Mengingat hal ini, kedua mata wanita itu menjadi basah. Dia merasa kasihan dan berdosa sudah menghancurkan kebahagiaan hidup bekas kekasihnya. “Maafkanlah aku... Bong-ko...,” katanya dan wanita itu terisak.

“Siancai, tidak ada yang perlu dimaafkan, Bouw Hujin. Bahkan pinto harus berterima kasih kepadamu karena keputusanmu itu ternyata membuat kita menjadi orang-orang bahagia. Pinto mendapatkan kebahagiaan sebagai seorang tosu dan pinto mendengar pula bahwa engkau pun menjadi seorang ibu yang berbahagia. Sungguh pinto patut bersyukur.”

Ucapan tulus dari Thian Bong Sianjin itu memancing keluarnya air mata lebih banyak lagi sehingga Bouw Hujin terisak.

Pada saat itu pula terdengar bentakan nyaring. “Keparat, berani engkau mengganggu ibu kami!”

Tiba-tiba Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang sudah melompat dekat lantas menyerang Thian Bong Sianjin dengan senjata siang-kiam (sepasang pedang) mereka! Serangan ini dahsyat sekali. Empat batang pedang menyambar ke arah tubuh Thian Bong Sianjin!

Tosu itu maklum akan serangan yang cukup berbahaya, maka dengan sekali berkelebat tubuhnya sudah cepat melompat ke belakang sehingga serangan dua orang muda itu tak mengenai sasaran. Akan tetapi pemuda dan gadis itu segera berlompatan mengejar dan menyerang lagi dengan hebatnya. Karena serangan itu memang berbahaya sekali, Thian Bong Sianjin terpaksa mencabut pedangnya dan memutar pedang itu sehingga berubah menjadi sinar pedang yang menggulung menyelimuti dirinya.

“Trang-trang-trang-trang...!”

Empat batang pedang yang menyerang itu bertemu dengan sinar pedang Thian Bong Sianjin dan tampaklah bunga api berpijar menyilaukan mata. Dua orang muda itu terkejut karena sepasang pedang mereka terpental oleh tangkisan yang amat kuat itu.

“Kun Liong! Hwi Siang! Berhenti dan mundur!” Tiba-tiba Bouw Hujin membentak dan dua orang muda itu cepat menahan pedang mereka kemudian mundur ke dekat ibunya sambil memandang dengan heran mengapa ibunya melarang mereka menyerang penjahat itu.

“Siancai! Mereka ini tentu putera-puterimu. Hebat, mereka gagah dan lihai seperti ibunya,” kata Thian Bong Sianjin sambil menyimpan kembali pedangnya.

“Benar, Totiang (Bapak Pendeta), ini adalah Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang anakku. Kun Liong dan Hwi Siang, tosu ini adalah Thian Bong Sianjin, bukan musuh dan tidak boleh kalian menyerangnya.”

“Benar sekali, dia bukan penjahat, bukan musuh. Dia adalah sahabat baik ibumu, sahabat baik kami berdua!” Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Bouw Hun Ki dan dia pun muncul kemudian menghampiri isterinya.

Muka Thian Bong Sianjin menjadi merah. Segera dia memberi hormat kepada Pangeran Bouw Hun Ki. “Maafkan pinto, Pangeran, kalau kehadiran pinto di tengah malam ini tidak pantas dan mengganggu.”

“Ah, tidak mengapa, Totiang. Totiang adalah sahabat lama kami yang sangat baik, karena itu kedatanganmu akan selalu kami sambut dengan senang hati. Mari, silakan masuk ke dalam di mana kita dapat berbicara lebih leluasa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki dengan ramah.

Dalam hatinya Thian Bong Sianjin merasa girang melihat bahwa pangeran ini benar-benar berhati bersih dan berbudi baik, sehingga dia pun yakin bahwa Souw Lan Hui pasti hidup bahagia di samping suami yang bijaksana itu. Sejak dahulu Pangeran itu memang sudah mengenalnya.....





KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 16

“Terima kasih, Pangeran. Pinto tidak dapat lama di sini. Sebenarnya kedatangan pinto ini hendak menyampaikan hal yang amat penting, dan maafkan kalau pinto terpaksa datang malam-malam begini dengan alasan supaya tidak diketahui oleh mereka yang akan pinto laporkan. Mereka itu sangat lihai dan kalau mereka tahu pinto datang ke sini melaporkan, tentu usaha pinto akan gagal dan keluarga di sini terancam bahaya besar.”

“Thian Bong Sianjin! Siapakah mereka itu dan apa yang sudah terjadi?” tanya Bouw Hujin yang terkejut sekali karena tentu saja dia khawatir kalau-kalau ada bahaya mengancam Pangeran Mahkota yang dilindunginya.

“Ketika pinto merantau ke daerah selatan, ke daerah Se-cuan di mana Jenderal Wu Sam Kwi menjadi raja muda, pinto mendengar akan persekutuan antara Jenderal Wu Sam Kwi dengan seorang pangeran di sini yang merencanakan untuk merebut kekuasaan Kerajaan Ceng dengan cara membunuh Pangeran Mahkota. Pinto lalu mendengar bahwa Pangeran Mahkota yang masih kecil berada dalam perlindungan keluarga Pangeran Bouw Hun Ki, maka pinto sengaja datang ke sini untuk melaporkan ancaman bahaya itu. Jenderal Wu Sam Kwi sudah mengirim dua orang bawahannya yang lihai untuk melaksanakan tugas pembunuhan itu, dan pinto khawatir kalau mereka tahu bahwa pinto melaporkan ke sini, tentu rencana mereka akan diubah dan kita tidak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan dan hal itu akan jauh lebih berbahaya dari pada kalau kita mengetahui lebih dulu apa yang hendak mereka lakukan.”

“Hemmm, mereka mau coba-coba membunuh Pangeran Mahkota di sini? Boleh mereka coba!” kata Souw Lan Hui dengan sikap gagah.

“Nanti dulu, Totiang, dapatkah engkau memberi-tahu kami, siapakah pangeran yang telah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.

“Dia adalah Pangeran Cu Kiong, Pangeran,” jawab Thian Bong Sianjin yang lalu menjura dengan hormat kepada ayah ibu serta dua orang anak mereka itu sambil berkata. “Nah, semua sudah pinto laporkan, legalah hati pinto karena pinto percaya bahwa Pangeran dan Bouw Hujin akan dapat menjaga dan melindungi Pangeran Mahkota dengan baik. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu itu berkelebat dan lenyap dari situ.

“Bukan main! Dia lihai sekali!” kata Bouw Kun Liong melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat itu.

“Ibu, tadi saya melihat Ibu menangis, mengapa Ibu menangis terisak-isak ketika bertemu Thian Bong Sianjin tadi sehingga kami berdua menyangka dia mengganggu Ibu kemudian kami menyerangnya?” tanya Bouw Hwi Siang sambil menatap wajah ibunya.

Mendengar pertanyaan ini wajah Bouw Hujin menjadi agak kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab. “Aku terkejut sekali dan sama sekali tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan dia, Hwi Siang. Dia adalah seorang sahabat baikku dan kami berdua dahulu bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia kang-ouw. Melihat dia muncul dan sudah menjadi seorang pendeta, hatiku terharu maka aku sampai menangis.”

“Ibumu benar, dahulu Thian Bong Sianjin adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan menjadi sahabat baik kami.” Pangeran Bouw yang bijaksana menolong isterinya.

Dia tahu benar bahwa dulu hubungan isterinya dengan pendekar itu memang amat dekat, dan dia tahu bahwa Kui Thian Bong sangat mencinta isterinya ketika dia masih seorang gadis pendekar. Akan tetapi Souw Lan Hui memilih dia sebagai suaminya, hal yang amat membahagiakan hatinya. Kemudian dia mengalihkan perhatian dan percakapan.

“Keterangan Thian Bong Sianjin tadi betul-betul mengejutkan. Kita mencurahkan perhatian terhadap Pangeran Leng Kok Cun yang jelas berniat memberontak, malah kita tidak syak lagi bahwa tentu dia juga yang mengirim lima orang pembunuh ke istana untuk membunuh Sribaginda. Dia telah berniat membunuh Pangeran Mahkota pula seperti yang diceritakan Kong Liang. Siapa tahu kini ternyata justru Pangeran Cu Kiong yang merupakan ancaman bahaya yang lebih besar karena dia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi.”

“Sebaiknya mari kita berbicara di dalam saja,” ajak Souw Lan Hui atau Bouw Hujin yang merasa tidak enak berada di sana, karena mengingatkan dia akan pertemuannya dengan bekas pacarnya dulu.

Mereka semua lalu memasuki gedung dan setelah berada di dalam, mereka melanjutkan percakapan, sekarang ditambah dengan hadirnya Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang mendengar suara keluarga itu. Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja besar.

Pada waktu Bu Kong Liang mendengar keterangan Pangeran Bouw Hun Ki akan laporan Thian Bong Sianjin bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi dan mengancam akan membunuh Pangeran Mahkota, dia segera berseru.

“Ahh, sekarang saya ingat, Paman Pangeran! Ketika baru turun gunung, saya berjumpa dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Ia adalah seorang gadis yang menjadi kaki tangan Wu Sam Kwi dan ia menuju ke kota raja. Mungkin sekali ia merupakan mata-mata dari Jenderal Wu Sam Kwi dan kedatangannya di kota raja untuk menghubungi Pangeran Cu Kiong!” Pemuda murid Siauw-lim-pai ini lalu menceritakan pertemuannya dengan gadis yang dikenalnya sebagai Ang-mo Niocu itu.

“Hemm, memang sangat boleh jadi,” kata Bouw Hujin. “Thian Bong Sianjin menceritakan bahwa persekutuan itu mempunyai rencana untuk membunuh Pangeran Mahkota, maka mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati dan waspada.”

“Ibu benar,” kata Bouw Kun Liong. “Penjagaan kita masih kurang kuat. Apa bila ada orang berilmu tinggi masuk, ternyata para penjaga tidak dapat mengetahui, seperti ketika Thian Bong Sianjin tadi masuk, tahu-tahu telah berada di taman!”

“Paman Pangeran,” kata Bu Kong Liang. “Kalau boleh saya mengetahui, mengapa para pangeran itu mempunyai niat yang demikian buruk? Padahal mereka itu semuanya adalah putera Sribaginda Kaisar. Akan tetapi kenapa seolah-olah saling bermusuhan dan bahkan hendak membunuh Pangeran Mahkota yang masih kecil?”

Pangeran Bouw Hun Ki menghela napas panjang. “Hal ini sungguh memalukan dan amat menyedihkan. Aku yang menjadi paman mereka pun merasa sedih. Sebenarnya pewaris tahta kerajaan tentu saja adalah Pangeran Mahkota Kang Shi. Akan tetapi dia masih kecil sehingga kalau dia tidak menjadi pengganti kaisar atau sampai terbunuh mati, maka yang berhak mewarisi tahta adalah Pangeran Cu Kiong yang menjadi putera dari selir ke tiga karena selir ke dua hanya memiliki seorang puteri. Mungkin karena itulah maka Pangeran Cu Kiong berniat jahat membunuh Pangeran Kang Shi dan karena merasa kurang kuat, ia lalu bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Ada pun Pangeran Leng Kok Cun, biar pun dia itu putera dari selir ke tujuh tetapi dia merupakan pangeran yang paling tua, maka dia agaknya merasa bahwa dia yang paling berhak mewarisi tahta. Karena Sribaginda Kaisar sudah memutuskan mengangkat Pangeran Kang Shi yang masih kecil menjadi Pangeran Mahkota, maka diam-diam dia merasa penasaran dan berniat memberontak. Demikianlah keadaan yang amat menyedihkan itu. Aku merasa kasihan sekali kepada Kakanda Kaisar, karena beliau yang paling menderita batin melihat keadaan para puteranya.”

Sesudah bercakap-cakap, Bouw Hujin memerintahkan para panglima yang setia kepada kaisar untuk memperketat penjagaan dan memasang para perwira yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi untuk bergiliran melakukan penjagaan…..

********************

Sementara itu Thian Bong Sianjin dengan cepat meninggalkan taman gedung Pangeran Bouw. Dengan menggunakan ginkang yang luar biasa hingga tubuhnya hanya berkelebat seperti bayang-bayang melompati pagar tembok belakang, dia bisa keluar dari gedung itu seperti masuknya tadi, tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang melakukan perondaan mengelilingi pagar tembok gedung besar itu.

Tetapi sekali ini ternyata lain. Baru saja dia tiba di luar pagar tembok, sesosok bayangan segera menghadangnya dan terdengar suara wanita yang nyaring membentaknya.

“Berhenti!”

Di bawah sinar bulan purnama Thian Bong Sianjin melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang gadis jelita dengan pedang di tangan.

“Thian Hwa...?!” Tosu itu berseru dengan girang.

“Kong-kong...?” Thian Hwa juga berseru girang, akan tetapi juga kaget dan heran. “Kong-kong yang memasuki gedung Pangeran Bouw? Akan tetapi... mengapa...? Apakah Kong-kong tahu bahwa... bahwa... Bouw Hujin adalah....”

“Ssst, mari kita pergi menjauh agar jangan sampai kelihatan petugas jaga yang meronda dan bicara di sana,” kata kakek itu.

Mereka berdua lantas melompat dan dua sosok bayangan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.

Sesudah tiba di tempat sunyi, Thian Hwa berkata, “Kong-kong, mari kita ke rumah ayah saja. Sekarang aku tinggal bersama ayah kandungku, Pangeran Ciu Wan Kong. Kakekku, ayah dari ibuku, juga tinggal di sana. Mari, Kong-kong, marilah kita ke sana dan bicara di sana.”

Thian Bong Sianjin tidak dapat menolak ajakan muridnya yang dianggapnya seperti anak atau cucu sendiri itu. Dia sangat menyayangi Thian Hwa maka dia ikut berbahagia bahwa gadis itu kini telah bertemu dan tinggal bersama ayah kandungnya.

Setelah tiba di gedung ayahnya, Thian Hwa menyuruh petugas jaga untuk membuka pintu dan begitu masuk, dia langsung membangunkan ayahnya, juga Lo Sam atau Cui Sam, ayah mertua Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang turut tinggal di gedung itu sebagai ayah mertua yang terhormat.

Ketika diperkenalkan, Pangeran Ciu Wan Kong cepat-cepat memberi hormat kepada tosu itu sambil berkata terharu. “Totiang yang bijaksana dan berbudi mulia, perkenankan saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Totiang!” Dia hendak berlutut di depan kaki Thian Bong Sianjin, akan tetapi tosu itu cepat memegang kedua pundaknya dan mengangkat bangkit kembali.

“Siancai, jangan begitu, Pangeran. Kalau hendak berterima kasih, marilah kita berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Pinto hanya melakukan kewajiban pinto, lain tidak.”

“Bagaimana saya tidak berterima kasih kepada Totiang? Totiang sudah menyelamatkan anak perempuan saya, dan kembalinya Thian Hwa kepada saya berarti sudah memberi kehidupan baru bagi saya. Totiang bukan hanya menyelamatkannya, bahkan memelihara dan mendidiknya sehingga dia menjadi seorang gadis yang dapat dibanggakan oleh orang tuanya. Terima kasih, Totiang.”

Melihat sikap pangeran ini, diam-diam Thian Bong Sianjin sangat bersyukur. Kiranya ayah dari Thian Hwa adalah seorang lelaki yang halus dan baik budi, tidak seperti pangeran lain yang biasanya bersikap congkak dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada orang biasa yang bukan bangsawan atau hartawan.

Cui Sam juga segera mengucapkan terima kasih kepada Thian Bong Sianjin yang sudah menyelamatkan, memelihara dan mendidik cucunya. Setelah itu, kakek yang tahu diri ini, yang merasa tidak tahu apa-apa mengenai urusan negara, lantas berpamit mengundurkan diri. Kini tinggal Pangeran Ciu dan Thian Hwa yang duduk bercakap-cakap dengan Thian Bong Sianjin.

“Sekarang katakan, Kong-kong. Apakah Kong-kong sudah tahu siapa Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki sesungguhnya?” tanya Thian Hwa sambil menatap wajah kakek angkatnya.

Melihat cara bicara dan sikap Thian Hwa terhadap tosu itu yang demikian akrab bahkan manja, diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan semakin bersyukur bahwa puterinya ditolong seorang tosu yang demikian baik budi.

Thian Bong Sianjin tersenyum dan mengangguk. “Dia Souw Lan Hui, bukan?”

“Ahh, Kong-kong sudah tahu?”

“Tentu saja, Thian Hwa. Sejak dulu juga pinto sudah tahu bahwa Souw Lan Hui menjadi Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki!”

“Akan tetapi kenapa engkau pada tengah malam memasuki tempat keluarga Bouw secara menggelap? Apa yang Kong-kong lakukan di sana?” tanya Thian Hwa heran.

“Thian Hwa, bersikaplah sopan terhadap gurumu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong menegur puterinya.

Thian Bong Sianjin tertawa. “Ha-ha-ha...! Tidak mengapa, Pangeran! Thian Hwa memang adalah cucuku sendiri maka dia sudah terbiasa bersikap manja, bicara terbuka dan jujur. Pertanyaan yang jujur itu perlu jawaban yang jujur pula. Bukankah begitu, Thian Hwa?”

“Tentu saja, Kong-kong. Bukankah sejak dulu Kong-kong mengajarkan agar aku terbuka dan jujur?”

“Akan tetapi urusan ini merupakan rahasia yang menyangkut Kerajaan Ceng, menyangkut keselamatan Pangeran Mahkota.”

“Ahh, kalau begitu justru aku harus tahu! Ketahuilah, Kong-kong, aku adalah orang yang ditugaskan oleh Sribaginda Kaisar untuk membantu keluarga Pangeran Bouw melindungi Pangeran Mahkota, bahkan aku telah diberi Tek-pai oleh Sribaginda Paman Kaisar.”

Diam-diam Thian Bong Sianjin terkejut, akan tetapi juga bangga. “Engkau? Diberi kuasa oleh Sribaginda Kaisar?” Dia menoleh dan memandang kepada Pangeran Ciu Wan Kong seolah minta kesaksiannya.

“Benar, Totiang. Thian Hwa pernah menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan lima orang penjahat, kemudian diberi Tek-pai oleh Kakanda Kaisar dan diberi tugas membantu keluarga Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk melindungi Pangeran Mahkota.”

“Hebat! Engkau hebat sekali, Thian Hwa, dan pinto ikut bangga mendengarnya. Sekarang memang tidak ada rahasia lagi, tentu saja engkau boleh mendengar penjelasanku. Ketika aku merantau ke selatan, ke daerah yang dikuasai oleh Wu Sam Kwi, di Yunnan-hu pinto mendengar bahwa Wu Sam Kwi mengadakan persekutuan dengan Pangeran Cu Kiong di kota raja untuk merampas tahta kerajaan dan rencana pertama mereka adalah mengirim dua orang pembunuh yang amat sakti untuk membunuh Pangeran Mahkota.”

“Ih! Pangeran keparat itu!” Thian Hwa berseru, demikian marahnya sehingga ia memaki, membuat ayahnya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.

“Thian Hwa, perbuatan Pangeran Cu Kiong itu memang tidak benar dan jahat sekali. Kita menyangka bahwa Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak dan membunuh Pangeran Mahkota, tidak tahunya Pangeran Cu Kiong juga demikian, malah dia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi! Akan tetapi mengapa engkau membenci dan memakinya begitu kasar?”

Thian Hwa menghela napas, teringat bahwa ia memang tidak menceritakan persoalannya dengan Pangeran Cu Kiong yang dulu hendak memperalatnya. Ia lupa pula bahwa ia kini adalah seorang puteri bangsawan, puteri seorang pangeran, keponakan kaisar, sehingga tidak semestinya mengeluarkan kata makian.

“Maaf, Ayah. Aku benci mendengar orang berniat jahat,” katanya.

Thian Bong Sianjin yang sudah mendengar cerita Thian Hwa mengenai persoalan gadis itu dengan Pangeran Cu Kong, maklum bahwa gadis itu belum menceritakannya kepada ayahnya. Maka dia pun tidak menanggapi dan melanjutkan ceritanya.

“Nah, mendengar itu aku cepat pergi ke sini untuk menceritakan kepada yang berwenang akan ancaman itu supaya Sang Pangeran tidak jadi terbunuh. Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota berada dalam lindungan Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kukenal. Karena itulah aku tadi berkunjung ke sana dan telah bertemu dengan Pangeran Bouw, isterinya, dan dua orang anaknya. Sudah kuberi laporan tentang ancaman bahaya itu. Sekarang kewajibanku sudah selesai, aku akan melanjutkan perjalananku. Pangeran, maafkan, pinto hendak melanjutkan perjalanan pinto.”

“Aihh, kenapa tergesa-gesa amat, Totiang? Tinggallah di rumah kami supaya kami dapat membuktikan rasa syukur dan terima kasih kami kepada Totiang.”

“Terima kasih, Pangeran. Sudah pinto katakan tadi, tidak perlu ada rasa terima kasih itu. Pinto sudah merasa bahagia sekali melihat Thian Hwa dapat bertemu dan berkumpul lagi dengan ayah kandungnya serta kakeknya. Pinto akan pergi sekarang juga.”

“Tidak...!” Tiba-tiba Thian Hwa bangkit dari tempat duduknya, menghampiri lalu merangkul pundak Thian Bong Sianjin. “Tidak, Kong-kong, engkau tak boleh pergi begitu saja! Paling tidak tinggallah di sini selama beberapa hari, aku masih rindu dan banyak hal yang perlu kubicarakan denganmu! Kong-kong, jangan pergi...!” Suara Thian Hwa manja dan seperti hendak menangis.

Thian Bong Sianjin tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, akan tetapi dengan penuh sentuhan sayang dia mengelus rambut kepada gadis itu. Melihat ini Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu. Ia lalu bangkit dari duduknya dan berkata kepada Thian Bong Sianjin dengan suara agak gemetar menahan haru.

“Totiang, silakan Totiang bicara berdua dengan Thian Hwa, dan mudah-mudahan Totiang tidak segera pergi sekarang melainkan suka tinggal dulu beberapa lama di sini. Selamat malam.” Pangeran itu lantas masuk ke dalam dan membiarkan puterinya berdua dengan tosu itu.

“Siancai! Anak nakal, engkau memaksa sehingga aku merasa tidak enak kepada ayahmu kalau pergi juga. Nah, mari kita bicara. Apa yang ingin kau bicarakan?”

Thian Hwa duduk kembali, berhadapan dengan kakek itu terhalang oleh meja. “Aku rindu sekali kepadamu, Kong-kong. Aku ingin mendengar semua pengalaman Kong-kong sejak kita berpisah dan nanti akan kuceritakan semua pengalamanku kepadamu.”

“Ha-ha-ha, anak nakal. Apa yang dapat kuceritakan? Aku merantau ke selatan, ke arah Se-cuan dan tiba di Yunnan-hu, melihat keadaan daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi dan para pengikutnya. Di sanalah aku mendengar tentang persekutuan Wu Sam Kwi dengan Pangeran Cu Kiong itu, maka aku segera kembali ke utara untuk melaporkan hal itu agar tidak lagi terjadi perang karena perang hanya mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat jelata.”

“Kong-kong, ceritakan, bagaimana pertemuan Kong-kong dengan Bouw Hujin?”

Thian Bong Sianjin tertawa. “Ha-ha-ha…! Tentu saja pertemuan antara kami itu baik-baik saja. Bouw Hujin hanya merasa terharu melihat aku kini telah menjadi seorang tosu. Akan tetapi kami bertemu sebagai dua orang sahabat, demikian pula suami dan anak-anaknya menganggap aku sebagai seorang sahabat baik. Tidak ada sesuatu yang aneh dan kau jangan membayangkan yang bukan-bukan! Nah, sekarang kau ceritakan pengalamanmu sejak kita berpisah, Thian Hwa.”

“Nanti dulu, Kong-kong. Ada satu hal penting yang belum Kong-kong ceritakan. Siapakah dua orang sakti yang diutus Wu Sam Kwi untuk membunuh Pangeran Mahkota?”

“Yang pertama adalah Koksu (Guru Negara), penasehat dari Wu Sam Kwi sendiri yang disebut Lam-hai Cin-jin (Datuk Laut Selatan).”

“Apakah dia lihai sekali, Kong-kong?”

“Dia adalah datuk dari selatan, tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi orang ke dua lebih hebat lagi, karena dia seorang pertapa yang menjadi Susiok (Paman Guru) dari Lam-hai Cin-jin. Dia berjuluk Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Bernyawa Lima), yang kabarnya selain ahli silat tingkat tinggi juga merupakan ahli sihir, sedangkan Lam-hai Cin-jin adalah seorang ahli racun.”

“Ihh, mengerikan. Apakah Bouw Hujin sudah mengetahui dan mengenal mereka?”

“Aku tadi belum menceritakan kepada keluarga Bouw siapa dua orang pembunuh utusan Wu Sam Kwi itu. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu.”

Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya sejak ia meninggalkan gurunya yang disebutnya kong-kong (kakek) itu. Dia menceritakan betapa dia bertemu dengan Bu Kong Liang, pemuda murid Siauw-lim-pai itu, betapa bersama Kong Liang dia membasmi para perampok jahat dan memberi hajaran kepada Jaksa Bong yang sewenang-wenang.

“Dan ketika aku mengunjungi keluarga Pangeran Bouw, aku bertemu lagi dengan Bu Kong Liang. Ternyata dia juga membantu keluarga Bouw melindungi Pangeran Mahkota yang berada di gedung Pangeran Bouw.”

Karena Thian Bong Sianjin ingin mendengar secara jelas bagaimana murid yang diakunya sebagai cucu itu menyelamatkan kaisar, gadis itu menceritakan lagi peristiwa itu sehingga Sribaginda Kaisar berterima kasih kepada keponakannya ini dan memberi kepercayaan besar.

“Aku harus melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar pelaksanaan pengangkatan dia menjadi kaisar dapat terlaksana tanpa ada gangguan.”

“Pangeran Mahkota diangkat menjadi Kaisar? Bukankah dia masih kecil? Kabarnya baru berusia sekitar sepuluh tahun!”

Thian Hwa sudah terlanjur bicara, akan tetapi kepada gurunya ini dia merasa tidak perlu menyembunyikan rahasia Kaisar Shun Chi. Ia lantas berbisik. “Kong-kong, ini merupakan rahasia besar dan hanya kepada Kong-kong aku berani memberi-tahu. Kaisar Shun Chi berduka sekali melihat para puteranya saling memperebutkan tahta, oleh karena itu beliau mengambil keputusan untuk pura-pura mati.”

“Siancai...! Pura-pura mati? Apa maksudmu?”

“Begini, Kong-kong. Paman Kaisar yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, ingin diam-diam meninggalkan istana untuk hidup sebagai seorang pendeta Buddha, dan diam-diam beliau akan dikabarkan meninggal dunia. Beliau sudah meninggalkan surat wasiat kepadaku untuk diserahkan kepada Pangeran Bouw. Surat itu adalah surat pengangkatan Pangeran Mahkota sebagai pengganti Kaisar.”

“Siancai... keputusan yang diambil oleh Sribaginda Kaisar itu pantas dipuji dan dikagumi. Engkau mendapat tugas yang sangat penting dan mulia, Thian Hwa. Maka lakukanlah itu sebaik mungkin agar engkau dapat mengangkat tinggi nama dan kehormatan ayahmu.”

“Kong-kong, tugas ini memang berat dan berbahaya, apa lagi mengingat akan niat buruk Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Karena itu, aku ingin agar engkau suka membantu kami, Kong-kong. Bukankah Kong-kong adalah sahabat baik Bouw Hujin dan sudah sepatutnya kalau Kong-kong turut membantunya?”

Thian Bong Sianjin menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. “Sayang sekali, Thian Hwa. Aku tidak dapat mencampuri urusan keluarga Kaisar dan tentu saja tak mungkin aku membantu Pemerintah Ceng....”

“Maksudmu Pemerintah Mancu, Kong-kong? Engkau tidak mau turun tangan membantu karena pemerintah ini adalah pemerintah Mancu?”

“Ya, begitulah, Thian Hwa. Betapa pun juga pemerintah Kerajaan Ceng adalah pemerintah penjajah, bukan bangsaku. Maka, tentu tidak mungkin aku membantunya.”

“Kalau begitu Kong-kong tentu akan membantu Jenderal Wu Sam Kwi karena dia adalah seorang pribumi Han?” Thian Hwa mengejar dan suaranya mengandung penasaran.

Thian Bong Sianjin menggelengkan kepalanya. “Wu Sam Kwi memang seorang Han, tapi dia bukan anggota keluarga Kerajaan Beng. Dahulu dia bahkan memberontak terhadap Kerajaan Beng. Dia adalah seorang petualang yang berjuang untuk dirinya sendiri, sama sekali bukan pejuang untuk menegakkan Kerajaan Beng yang telah jatuh, dan bukan pula pejuang rakyat. Jelas aku tak akan mau membantunya. Dalam keadaan sekarang ini, aku ingin bebas, tidak mencampuri perang yang hanya akan membuat rakyat kita menderita sengsara.”

“Akan tetapi Kong-kong menganjurkan aku untuk membantu Pamanda Kaisar!”

“Tentu saja, Thian Hwa. Jangan lupa, engkau adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong, jadi keponakan dari Sribaginda Kaisar, maka tentu saja sudah merupakan kewajibanmu untuk membelanya, berarti membela keluarga ayah kandungmu sendiri, menentang orang-orang yang hendak memberontak dan mempunyai niat jahat terhadap Pangeran Mahkota yang juga merupakan saudara misanmu sendiri.”

“Akan tetapi bukankah sahabat Kong-kong, yaitu Sin-hong-cu Souw Lan Hui juga seorang wanita pribumi Han? Ia juga membela Paman Kaisar tapi Kong-kong tidak menentangnya!” bantah Thian Hwa.

Tosu itu tersenyum. “Aih, Thian Hwa, perlukah kujelaskan padamu? Souw Lan Hui adalah isteri Pangeran Bouw Hun Ki, dia pun telah menjadi keluarga Kaisar, maka tentu saja dia pun berkewajiban untuk membela keluarganya sendiri. Ketahuilah baik-baik, Thian Hwa. Aku tidak membela Kaisar Kerajaan Mancu bukan karena aku membencinya, sebab tidak ada permusuhan pribadi antara aku dengan dia. Aku tidak dapat membelanya karena itu berlawanan dengan hati nuraniku sebagai anak bangsa yang tidak mau membantu pihak yang menjajah tanah air dan bangsa Han. Akan tetapi aku pun tidak memusuhinya karena dalam urusan kebangsaan ini dia tak dapat disalahkan, dia pun hanya anggota bangsanya yang melaksanakan tugas. Selama kaisar atau pembesar mana pun, baik bangsa Mancu atau pun bangsa Han sendiri, selalu bertindak bijaksana dan tidak menindas rakyat, aku pasti tidak akan memusuhinya, mengertikah engkau, Thian Hwa?”

Thian Hwa terdiam sejenak, berpikir dan mengingat-ingat akan apa yang pernah diajarkan gurunya itu. “Apakah Kong-kong maksudkan hal ini menyangkut kebaktian kepada bangsa seperti yang Kong-kong sering katakan dahulu?”

“Benar, Thian Hwa. Ada tiga kebaktian yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Pertama adalah berbakti terhadap Thian, yang berarti pantang melakukan segala bentuk kejahatan yang dilarang olehNya menurut petunjuk semua kitab suci agama-agama di dunia. Ke dua adalah berbakti kepada orang tua yang berarti membela dan menjunjung tinggi nama dan kehormatan mereka dengan cara hidup sebagai orang yang baik dan budiman. Dan yang ke tiga, berbakti kepada bangsa yang berarti membela negara sebagai seorang pahlawan bangsa. Kalau seseorang melanggar salah satu di antara tiga kebaktian ini maka dia akan menjadi seorang manusia yang tercela dan tidak baik.”

“Aku ingat, dulu Kong-kong mengatakan bahwa yang melanggar kebaktian terhadap Thian adalah orang yang berdosa. Yang melanggar kebaktian terhadap orang tua disebut orang durhaka. Dan yang melanggar kebaktian terhadap bangsa dan negara disebut seorang pengkhianat.”

“Benar, Thian Hwa. Dan engkau tentu tidak ingin mempunyai guru dan kakek angkat yang disebut pengkhianat, bukan?”

Thian Hwa segera berlutut dan merangkul kedua kaki tosu itu dan ia pun menangis. Thian Bong Sianjin hanya mengelus rambut gadis itu penuh kasih sayang.

“Kong-kong...., mengapa Kong-kong bukan bangsa Mancu atau aku bukan keturunan Han saja agar kita dapat bersikap, berpendirian dan bertindak yang sama...?” Ia meratap.

“Hentikan tangismu dan duduklah, Thian Hwa. Keluhanmu tadi mungkin dikeluhkan juga oleh banyak sekali manusia yang menghadapi kesulitan dan kebingungan karena adanya bentrokan antara suku atau bangsa. Bentrokan yang sering membuat orang-orang yang saling menyayangi terpaksa harus menjadi terpecah belah, terpecah oleh suku, bangsa, atau bahkan agama yang saling bertentangan. Namun lahir sebagai suatu warga bangsa merupakan takdir, merupakan kehendak dan rahasia Thian yang takkan dapat dimengerti oleh siapa pun. Kenapa aku dilahirkan sebagai keturunan Han dan mengapa pula engkau dilahirkan sebagai keturunan Mancu? Ini merupakan kehendak Thian dan sesungguhnya tidak ada salahnya sama sekali. Yang bersalah adalah manusianya, kenapa bisa bercerai-berai, terpecah-belah dan saling bermusuhan! Sebenarnya Thian tidak menghendaki yang demikian itu terjadi. Semuanya adalah ulah manusia karena pengaruh nafsu daya rendah sehingga akibatnya terjadilah permusuhan, bunuh membunuh, yang kesemuanya hanya mendatangkan kekacauan di dunia dan penderitaan bagi manusia sendiri.”

Thian Hwa tidak dapat membujuk guru atau kakek angkatnya untuk ikut membela Kaisar, namun dia berhasil menahan Thian Bong Sianjin yang terpaksa menuruti permintaannya untuk tinggal di gedung Pangeran Ciu sampai tiga hari lamanya.

Kemudian Thian Bong Sianjin pergi meninggalkan gedung itu, akan tetapi sebelum pergi dia mendapatkan sebuah hiasan rambut berbentuk Burung Hong dari emas permata yang diberikan Thian Hwa kepadanya. Hal ini dilakukan Thian Hwa setelah gurunya itu berjanji akan menyelidiki dan mencari ibu kandungnya yang hanyut di Sungai Huang-ho namun mayatnya tak pernah ditemukan.

“Aku mempunyai perasaan bahwa ibu kandungmu masih hidup, Thian Hwa. Aku sudah melakukan penyelidikan di sepanjang tepi Sungai Kuning, namun tidak ada penduduk di sepanjang tepi sungai yang pernah menemukan mayat seorang wanita yang hanyut.”

“Mimpi Kong-kong yang dulu Kong-kong ceritakan itu benar. Menurut Kakek Cui Sam, Ibu memang memiliki setitik tahi lalat di atas bibirnya. Aihh, betapa akan bahagianya hidupku kalau ternyata Ibu masih hidup dan aku dapat bertemu dengannya!”

“Aku akan mencoba untuk melakukan penyelidikan dan pencarian lagi, Thian Hwa.”

Mendengar ini Thian Hwa lalu mengambil hiasan rambut yang dulu diterimanya dari Kakek Cui Sam itu dan menyerahkannya kepada gurunya.

“Siapa tahu usaha Kong-kong ternyata berhasil. Bawalah hiasan milik Ibu ini, Kong-kong, siapa tahu perhiasan ini dapat menuntun Kong-kong kepada pemiliknya.”

Thian Bong Sianjin menerimanya, menyimpannya lalu pergi meninggalkan kota raja…..

********************


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 17

Im-yang Sian-kouw duduk termenung seorang diri di depan pondok kayu yang sederhana di puncak Bukit Kera itu. Beberapa ekor kera kecil bermain-main di atas atap pondok itu. Burung-burung berkicau riang gembira di pepohonan, suara mereka seperti nyanyian riang dilatar-belakangi suara gemericik air terjun yang berada di sebelah belakang pondok.

Matahari pagi bersinar hangat dan cerah, suasana di puncak Bukit Kera mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Akan tetapi Im-yang Sian-kouw seolah tidak melihat atau mendengar semua itu. Ia tenggelam ke dalam lamunannya.

Dia duduk bersila di atas sebuah batu bundar. Batu besar yang sengaja dibentuk menjadi bundar dan rata seperti sebuah meja, buatan Si Han Bun, muridnya. Dilihat dari jauh, Im-yang Sian-kouw masih tampak cantik dalam usianya yang sekitar empat puluh satu tahun itu. Dalam pakaian serba putih, dia kelihatan seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) sendiri sedang bersila di atas bunga teratai.

Kepekaan panca indera kita menjadi tumpul oleh kebiasaan yang diulang-ulang. Mata ini tidak lagi bisa menikmati keindahan yang setiap saat dilihatnya. Telinga ini tidak lagi bisa menikmati kemerduan suara yang setiap saat didengarnya. Hidung ini pun tidak lagi bisa menikmati keharuman yang setiap saat diciumnya dan mulut pun tidak dapat menikmati kelezatan yang tiap saat dimakannya! Hal ini adalah karena segala macam kesenangan itu akan berubah menjadi kebosanan setelah terus-menerus dialami.

Karena itulah maka dia yang bisa menikmati segala sesuatu hanyalah orang yang belum memiliki segala sesuatu itu. Berbahagialah orang yang dapat menjaga semua kepekaan panca inderanya dengan menerima segala sesuatu sebagai hal yang baru. Baru setiap hari, baru setiap saat, karena yang baru itu selalu menyenangkan.

Pada saat itu Im-yang Sian-kouw tidak bisa menikmati segala keindahan yang terbentang di hadapannya. Wanita yang memiliki ilmu silat dan ilmu pengobatan tinggi itu kini sedang tenggelam ke dalam lamunan.

Pikiran yang disibukkan dengan kesenangan masa lalu, tenggelam ke dalam ingatan dan renungan, akan kehilangan kewaspadaannya dan selalu mendatangkan kemurungan serta kesedihan. Memang masa lampau wanita sakti ini penuh dengan pengalaman yang amat pahit getir.

Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita muda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Ia adalah seorang gadis sederhana dan cantik, puteri Cui Sam yang duda dan miskin. Ayah dan anak ini bekerja sebagai pelayan dalam gedung keluarga Pangeran Ciu Wan Kong yang ketika itu berusia sekitar tiga puluh tahun.

Pangeran Ciu Wan Kong lalu jatuh cinta kepada Cui Eng, yaitu nama Im-yang Sian-kouw sewaktu masih gadis, dan ternyata Cui Eng juga membalas cinta pangeran yang baik hati itu. Sebagai seorang pelayan, tentu saja Cui Eng tidak dapat menolak rayuan dan ajakan Pangeran Ciu Wan Kong.

Mereka mengadakan hubungan dan akhirnya Cui Eng menjadi hamil. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi marah dan tidak setuju kalau putera tunggal mereka menikahi seorang gadis pelayan. Terjadilah pertentangan, akan tetapi Pangeran Ciu Wan Kong tidak berani menentang ayah ibunya.

Ketika Cui Eng melahirkan seorang bayi perempuan, orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi lebih marah dan kecewa. Andai kata anak itu terlahir laki-laki, mungkin nasib Cui Eng akan berbeda. Akan tetapi anaknya terlahir perempuan, maka dia serta ayahnya lalu diusir dari gedung itu!

Sebenarnya Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta Cui Eng, akan tetapi dia tidak berani menentang kehendak orang tuanya. Dia hanya dapat secara diam-diam memberi bekal secukupnya kepada Cui Sam dan Cui Eng.

Ayah, anak dan cucu yang masih bayi itu terpaksa meninggalkan kota raja, akan pulang ke dusun kampung kelahiran mereka. Akan tetapi ketika mereka naik perahu di Sungai Kuning yang ketika itu sedang banjir, terjadilah musibah itu. Perahu mereka terguling dan bayinya terlepas dari pondongannya! Ia hanyut sambil menjerit-jerit sekuatnya memanggil anak dan ayahnya yang hanyut terpisah darinya. Akhirnya ia pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi!

Ketika ia siuman, tahu-tahu ia sudah berada di pondok yang berada di Puncak Bukit Kera ini. Ternyata dia sudah diselamatkan oleh seorang datuk besar persilatan, yaitu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang bertapa di Bukit Kera.

Datuk itu menyelamatkannya dari air sungai Huang-ho, mengobatinya hingga ia selamat dari maut, akan tetapi berada dalam keadaan lupa ingatan dan sering pingsan. Bu Beng Kiam-sian membawanya ke Bukit Kera dan setelah seminggu dirawat, barulah ia siuman dan benar-benar sadar. Sambil menangis ia menceritakan riwayatnya dan mohon kepada penolongnya untuk mencarikan ayahnya dan bayinya yang hanyut pula di Sungai Kuning.

Bu Beng Kiam-sian segera pergi ke Sungai Kuning untuk mencari Cui Sam dan bayi itu, akan tetapi karena peristiwa itu terjadi seminggu yang lampau, dia tidak bisa menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali ke Bukit Kera dan menceritakan kepada Cui Eng bahwa pencariannya tidak berhasil dan sedikit sekali kemungkinannya ayah dan bayinya itu dapat selamat dari air sungai yang sedang banjir itu.

Demikianlah, sejak itu Cui Eng yang sudah kehilangan segala-galanya yang membuat dia terkadang bosan hidup, akhirnya menjadi murid Bu Beng Kiam-sian yang merasa kasihan kepadanya.

Cui Eng seolah menjadi manusia baru. Kalau dulu ia adalah seorang wanita lemah, kini ia menjadi seorang wanita yang sakti. Juga dari Bu Beng Kiam-sian ia memperoleh banyak pelajaran tentang hidup dan ini membuat ia dapat melanjutkan kehidupannya.

Tetapi ia sudah menjadi manusia lain. Ia sudah membuang namanya dan sepuluh tahun kemudian, sesudah ia menjadi seorang wanita yang benar-benar tangguh, Bu Beng Kiam-sian lalu memberinya nama Im-yang Sian-kouw. Nama ini diberikan mengingat bahwa ia adalah seorang ahli ilmu Im-yang Kiam-hoat (Ilmu Pedang Im Yang) dan Im-yang Posan (Ilmu Kipas Im Yang).

Pada suatu hari Bu Beng Kiam-sian membawa pulang Si Han Bu, anak yatim piatu yang ayah ibunya terbunuh oleh pasukan Wu Sam Kwi. Im-yang Sian-kouw lantas mendidik Si Han Bu menjadi muridnya sampai sekarang.

Kini Bu Beng Kiam-sian sudah meninggal dunia karena usia tua, sejak hampir dua tahun yang lalu. Kini Im-yang Sian-kouw tinggal berdua dengan Si Han Bu di Puncak Bukit Kera, ditemani seorang wanita janda tua dari dusun di kaki bukit. Ia telah berusia empat puluh satu tahun dan Si Han Bu kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa berusia sekitar dua puluh dua tahun!

Im-yang Sian-kouw terusik dari lamunannya ketika seorang wanita tua berusia lima puluh tahun keluar dari dalam pondok sambil membawa sebuah baki berisi poci dan cawan teh.

“Silakan minum, Sian-kouw,” kata wanita pelayan itu.

Dengan suara lembut Im-yang Sian-kouw menjawab. “Biarlah kau taruh dulu di atas meja dalam pondok, Bibi Cong, aku belum ingin minum.”

Bibi Cong mengangguk lantas kembali ke dalam pondok. Sejak berusia tiga puluh tahun, wanita ini sudah menjadi janda dan begitu Bu Beng Kiam-sian membawa Cui Eng pulang dua puluh tahun yang lalu, orang sakti itu lalu minta bantuan Bibi Cong untuk merawat Cui Eng dan membantu pekerjaan rumah. Sejak itu Bibi Cong tidak pernah meninggalkannya dan menjadi pembantu atau pelayan yang sudah dianggapnya sebagai bibinya sendiri oleh Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw.

Sesudah kemunculan Bibi Cong tadi membuyarkan lamunannya, sekarang Im-yang Sian-kouw mengenangkan ayah serta bayinya. Apakah ayahnya, Cui Sam, masih hidup? Dan bagaimana dengan bayinya yang belum sempat ia beri nama itu? Agaknya tidak mungkin bayi yang masih demikian kecil dan lemah itu dapat bertahan hidup hanyut di sungai yang sedang banjir. Ia menghela napas panjang.

“Aihh, pagi-pagi begini Subo sudah melamun dan menghela napas panjang! Subo, teecu (murid) ambilkan minum teh, ya?”

Im-yang Sian-kouw tersenyum sambil memandang kepada muridnya yang sudah berdiri di hadapannya. Pemuda gagah perkasa dan tampan, tanpa memakai baju hingga dadanya yang bidang penuh dengan keringat tampak berkilau terkena cahaya matahari pagi.

Segala sesuatu tampak cerah kalau pemuda itu hadir di dekatnya. Melihat wajahnya yang penuh senyum cerah, bukan hanya mulutnya yang tersenyum, bahkan sinar matanya pun turut tersenyum, hatinya sudah terasa gembira. Muridnya inilah yang laksana sinar terang terkadang mengusir kegelapan dari hati Im-yang Sian-kouw yang timbul kalau dia teringat akan ayahnya dan puterinya.

“Han Bu, cepatlah pergi mandi dan bertukar pakaian. Jangan bertelanjang baju seperti ini atau orang akan mengira engkau monyet penghuni Bukit Kera ini.”

“Wah, memang sudah ada yang memaki teecu sebagai monyet, Subo.”

“Ehh, siapa yang berani memakimu sebagai monyet?” tanya Im-yang Sian-kouw, merasa penasaran juga mendengar muridnya dimaki orang.

“Siapa lagi kalau bukan Wan Kim Hui yang galak itu, Subo! Akan tetapi teecu tidak marah lho, teecu malah senang dimaki seperti monyet.”

“Hemm, engkau senang dimaki seperti monyet karena yang memaki itu gadis cantik jelita! Bukankah begitu?”

“Yah, bukan cuma itu, Subo. Akan tetapi jauh lebih baik dimaki seperti monyet dari pada seperti orang, bukankah begitu? Seperti monyet berarti bukan monyet, akan tetapi kalau dimaki seperti orang berarti bukan orang!”

Im-yang Sian-kouw tertawa, “Heh-heh, sudahlah, cepat mandi sana. Sesudah mandi dan berganti pakaian, barulah engkau boleh bawakan teh untukku dan aku ingin bicara penting padamu.”

“Baik, Subo. Semua yang Subo ucapkan selalu amat penting bagi teecu!” Dia lalu berlari menuju ke pancuran air yang berada di belakang pondok, diikuti tawa gurunya.

Im-yang Sian-kouw amat sayang kepada muridnya itu. Si Han Bu adalah segala-galanya baginya. Dia sudah kehilangan ayahnya, kehilangan suaminya, kehilangan puterinya, juga kehilangan gurunya. Kini hanya tinggal Si Han Bu yang merupakan pengganti dan ia telah menganggapnya sebagai anaknya sendiri.

Dia merasa puas dengan bakat yang dimiliki Han Bu. Semua ilmunya yang dia dapatkan dari mendiang Bu-beng Kiam-sian sudah dia turunkan kepada Han Bu. Bahkan juga ilmu pengobatan yang penting sudah dikuasai Han Bu. Anak itu pun walau tidak dapat dibilang ahli sastra, namun pengertiannya cukup tentang kehidupan, dan yang penting tidak buta huruf. Agaknya semua yang dimiliki pemuda itu sudah dapat dipakai sebagai bekal atau modal untuk terjun ke dunia ramai.

Tak lama kemudian Si Han Bu sudah muncul kembali dalam keadaan segar, sudah mandi dan rambut serta pakaiannya telah rapi. Dia membawa baki berisi poci dan cawan air teh, dan dengan lincahnya dia meletakkan baki di atas meja batu di depan gurunya. Ia sendiri lalu duduk di sebuah bangku batu lain yang lebih kecil, di seberang meja dan berhadapan dengan gurunya.

“Silakan minum air teh, Subo,” katanya sambil menuangkan air teh yang masih panas dari poci ke dalam cawan.

Im-yang Sian-kouw mengambil cawan itu, lantas minum perlahan-lahan. Memang sedap sekali minum air teh yang pahit sepat dan sedap harum di waktu pagi seperti itu.

Sesudah minum dua cawan kecil air teh, Im-yang Sian-kouw memandang muridnya dan berkata dengan suara serius.

“Han Bu, ingatkah engkau, berapa lamanya engkau berada di Puncak Bukit Kera ini dan mempelajari ilmu sejak engkau dibawa mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian ke sini?”

Han Bu memandang gurunya dengan sinar mata heran, akan tetapi dia dapat merasakan kesungguhan dalam suara gurunya itu, maka dia pun menjawab. “Subo, setiap tahun baru yang dirayakan penduduk di kaki bukit, teecu menghitung dan sudah terjadi dua belas kali sejak teecu berada di sini. Berarti sudah dua belas tahun, benarkah itu, Subo?”

Im-yang Sian-kouw mengangguk, kemudian bertanya lagi. “Jadi kalau begitu, sekarang ini usiamu sudah berapa tahun?”

“Dulu sepuluh ditambah dua belas, jadi dua puluh dua tahun, Subo. Akan tetapi... kenapa Subo menanyakan umur teecu? Apakah teecu mau di... kawinkan...?”

Im-yang Sian-kouw tersenyum geli. “Bocah tolol!” Ia terpaksa memaki sayang. “Jika mau kawin, carilah sendiri jodohmu. Setelah bertemu, baru aku akan mengurus perkawinanmu. Jangan berpikir macam-macam, aku mau bicarakan sesuatu yang penting padamu. Buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik.”

“Baik, baik, Subo! Teecu mendengarkan!” Ia memiringkan kepalanya dan menghadapkan telinganya kepada gurunya sehingga melihat gaya ini, kembali Im-yang Sian-kouw tidak dapat menahan tawanya.

“Begini, Han Bu. Sekarang engkau telah cukup dewasa, bukan anak-anak lagi, karena itu sudah sepantasnya engkau turun gunung, memasuki dunia ramai, memanfaatkan semua ilmu yang sudah kau pelajari di sini untuk bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Tinggalkan tempat ini, Han Bu, dan bersikap serta bertindaklah yang benar, sesuai dengan semua ajaran yang kau terima dari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan dariku.”

Mendengar keseriusan sikap dan suara gurunya, tiba-tiba Han Bu bersikap lain. Hilanglah semua kejenakaannya dan ia pun turun dari bangku batunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki gurunya.

“Subo... bagaimana teecu dapat meninggalkan Subo sendirian di sini? Apakah dengan ini berarti... Subo mengusir teecu? Lalu ke mana teecu akan pergi, Subo...?”

Im-yang Sian-kouw tersenyum, lalu mengetuk kepala pemuda itu.

“Anak bodoh, duduklah. Sudah kukatakan tadi, dengarkan baik-baik dan jangan berpikir yang bukan-bukan. Sekarang duduklah!”

Pemuda itu bangkit lalu duduk kembali, tetapi wajahnya kini kehilangan kegembiraannya. “Maaf, Subo. Nah, sekarang jelaskanlah mengapa teecu harus pergi, Subo. Teecu akan mendengarkan dengan baik.”

“Pertama, engkau telah dewasa dan tidak ada lagi yang dapat kau pelajari di sini, karena itu sebaiknya engkau menambah pengetahuanmu dengan menimba pengalaman dari luar. Dan kedua, sesuai dengan keinginan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan aku sendiri, seyogianya engkau menjadi seorang pembela kebenaran dan keadilan. Untuk itu engkau harus terjun di dunia ramai dan mengamalkan semua kepandaian yang telah kau pelajari dengan susah payah selama sepuluh tahun lebih ini supaya tidak sia-sia bagi aku yang mengajar dan engkau yang belajar. Dan ke tiga, aku ingin engkau dapat menolong aku.”

Mendengar alasan ke tiga ini, seketika Han Bu menjadi sangat bersemangat. “Subo, tentu saja teecu selalu siap sedia untuk membantu Subo. Cepat perintahkan, Subo, apa yang harus teecu lakukan untuk Subo?”

“Sebelumnya kau dengarkan riwayatku dulu, Han Bu. Dua puluh tahun yang lalu, gurumu ini mengalami mala petaka yang mengakibatkan aku kehilangan ayah, suami dan seorang anak perempuan yang masih bayi.”

Im-yang Sian-kouw lalu menceritakan pengalamannya. Betapa ia dahulu sebagai pelayan keluarga Pangeran Ciu telah diperisteri oleh Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi setelah melahirkan seorang anak perempuan, terpaksa pergi bersama ayahnya yang juga menjadi pelayan di sana karena orang tua Pangeran Ciu tidak setuju jika putera mereka menikah dengan seorang pelayan yang melahirkan seorang anak perempuan! Kemudian betapa bersama ayahnya yang duda ia membawa bayinya pergi dengan niat pulang ke kampung halamannya, akan tetapi perahu mereka terbalik di Sungai Kuning sehingga ia kehilangan ayah dan anaknya.

Mendengar kisah ini wajah Han Bu berubah merah dan sambil mengepal tinju dia berseru, “Keparat pangeran itu! Mengapa Subo tidak menghajarnya?!”

“Jangan memaki dia, Han Bu!” Im-yang Sian-kouw menegur muridnya. “Pangeran Ciu Wan Kong sayang kepadaku, akan tetapi dia lemah dan amat taat kepada orang tuanya. Pada waktu itu aku adalah seorang wanita yang lemah, tak mampu melawan sehingga terpaksa pergi bersama ayah dan anakku. Akan tetapi entah bagaimana nasib ayahku dan anakku itu... Ahh, bila aku ingat, rasanya lebih baik kalau pada waktu itu aku mati saja bersama mereka! Anakku masih bayi, terseret air Sungai Huang-ho yang sedang banjir, tidak bisa diharapkan dapat bertahan hidup....” Kedua mata Im-yang Sian-kouw menjadi kemerahan dan basah.

Han Bu turut merasa sedih dan terharu. “Kasihan sekali, tidak teecu sangka nasib Subo dahulu demikian buruknya. Subo menjadi sebatang kara....”

Im-yang Sian-kouw sudah dapat menguasai perasaannya dan ia berkata. “Han Bu, kukira nasibmu juga tidak lebih baik dariku, engkau juga kehilangan ayah ibu sehingga menjadi sebatang kara. Sekarang dengarkan ceritaku lebih lanjut. Ketika aku terseret air Sungai Kuning yang sedang banjir, dalam keadaan tidak sadar aku diselamatkan oleh mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan semenjak itu aku menjadi muridnya. Setelah aku sadar dan menceritakan nasibku kepada Suhu, seminggu kemudian Suhu pergi mencari anakku dan ayahku, akan tetapi hasilnya sia-sia. Tentu ayahku dan anakku sudah terseret air banjir itu dan... dan mungkin mereka telah tewas....”

“Subo, apakah yang dapat teecu lakukan untuk Subo? Perintahkan, Subo, sekarang juga akan teecu taati dan laksanakan!”

“Kalau engkau sudah turun gunung dan terjun ke dunia ramai sebagai seorang pendekar, tolonglah aku, coba engkau cari keterangan dan cari ayahku, dan kalau mungkin anakku.”

“Siapakah nama mereka, Subo?”

“Ayahku bernama Cui Sam, kalau masih hidup usianya sekarang tentu sudah enam puluh enam atau enam puluh tujuh tahun. Ayah berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin. Carilah keterangan di sana.”

“Baik, Subo. Dan puteri Subo itu, siapa namanya dan berapa usianya sekarang?”

“Sekarang tentu berusia sekitar dua puluh tahun. Ada pun namanya, ahhh... ketika itu aku sedang berada dalam keadaan sedih dan bingung sesudah diusir dari gedung Pangeran Ciu sehingga aku belum sempat memberi nama kepada anakku....”

Melihat subo-nya sedih lagi, Han Bu cepat berkata. “Jangan khawatir, Subo! Teecu akan menyelidiki tentang seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun yang ketika bayi sudah tercebur ke air Sungai Kuning dan terseret arus air! Juga teecu akan mudah mengenalnya kalau dapat bertemu dengannya, karena dia pasti cantik jelita dan wajahnya seperti wajah Subo!” Han Bu berhenti sebentar, memandang wajah gurunya barulah berkata lagi. “Dan teecu akan mengunjungi Pangeran Ciu Wan Kong itu!”

Mendengar suara yang bernada mengancam dari muridnya, Im-yang Sian-kouw berkata, “Han Bu, ingat ini! Engkau boleh saja menyelidiki dan melihat keadaan Pangeran Ciu Wan Kong sekarang. Usianya tentu sekitar lima puluh tahun lebih. Tapi sekali lagi kuingatkan, dia sama sekali tidak membenciku, juga tidak bersalah, maka jangan sekali-kali engkau mengganggunya! Lihat keadaannya agar kelak engkau dapat menceritakan kepadaku.”

“Subo,” kata Han Bu terharu. “Dia sudah menyia-nyiakan Subo, akan tetapi Subo masih penuh perhatian padanya. Sungguh berbahagia sekali pangeran itu yang menerima cinta kasih demikian murni dan besar seperti cinta kasih Subo kepadanya.”

Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang. “Aku yakin dia pun amat menderita karena kehilangan isteri dan anaknya, Han Bu. Oleh karena itu jadikanlah pengalaman gurumu ini sebagai pelajaran. Jangan engkau mudah terperangkap oleh cinta, harus diselidiki dengan teliti lebih dahulu apakah keadaan orang yang kau cinta itu sesuai denganmu dan sudah tepat benar untuk menjadi jodohmu. Cinta bisa membuat orang hidup bahagia, tapi dapat pula membuat orang menderita. Sekarang berkemaslah, Han Bu. Ini peninggalan Suhu Bu Beng Kiam-sian, kuberikan padamu untuk bekalmu dalam perjalanan.” Im-yang Sian-kouw mengambil sebatang pedang dan sekantung uang emas yang sudah dia persiapkan sebelumnya.

“Pedang Im-yang-kiam, Subo?”

“Benar, pedang pusaka ini dahulu turut mengangkat nama besar kakek gurumu di dunia kang-ouw. Karena itu engkau harus menggunakan pedang ini untuk membela kebenaran dan keadilan. Dengan begitu berarti engkau telah menjunjung tinggi dan mempertahankan nama besar serta kehormatan Kakek Gurumu.”

Han Bu menerima pedang berikut sekantung uang emas itu, lalu masuk ke dalam pondok untuk membuat persiapan dan berkemas. Dia membungkus pakaian dan sekantung uang itu dengan sehelai kain kuning yang lebar, lalu menggendong buntalan itu di punggungnya. Pedang Im-yang-kiam itu dia gantungkan di pinggangnya.

Sesudah keluar dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan bangku batu yang diduduki gurunya. “Subo, teecu pamit, mohon bekal dan doa restu dari Subo.”

“Baiklah, Han Bu. Akan tetapi ada satu hal lagi yang perlu kita bicarakan sebelum engkau pergi. Ingat, jangan sekali-kali melibatkan dirimu dalam urusan negara atau dalam perang. Orang tuamu tewas sebagai korban perang, maka tidak semestinya engkau memusuhi Jenderal Wu Sam Kwi. Juga tidak perlu engkau memusuhi Pemerintah Penjajah Mancu. Jangan pula terlibat dan membantu para pemberontak. Pendeknya, jangan libatkan dirimu dalam pertikaian perebutan kekuasaan. Engkau harus selalu berpegang pada kebenaran. Siapa pun dia, baik dari pihak Wu Sam Kwi, dari pihak Pemerintah Mancu, atau dari pihak pemberontak, kalau dia melakukan kejahatan terhadap rakyat, maka harus kau tentang! Akan tetapi siapa pun dia dari pihak mana pun, yang bertindak dan diperlakukan tidak adil, patut kau bela. Mengertikah engkau, Han Bu?”

“Teecu mengerti, Subo. Sekarang teecu hendak berangkat. Selamat tinggal, Subo. Harap Subo menjaga diri baik-baik.”

“Selamat jalan, Han Bu dan jaga dirimu baik-baik.”

Han Bu memberi hormat sambil berlutut, lalu bangkit berdiri dan hendak pergi. Pada saat itu, nenek pelayan mereka muncul.

“Nak Han Bu, berhati-hatilah menjaga dirimu!” kata nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan. Maklum, nenek inilah yang selalu bersama Han Bu sejak pemuda itu berada di situ selama hampir dua belas tahun yang lalu.

“Selamat tinggal, Bibi Cong!” kata Han Bu, lalu pemuda itu berlari cepat turun Puncak Bukit Kera. Bayangannya diikuti pandang mata dua orang wanita itu sampai lenyap…..

********************

Ciu Thian Hwa memenuhi panggilan Kaisar Shun Chi melalui ayahnya yang pada hari itu menghadap Sribaginda Kaisar. Ia diminta datang seorang diri, juga Kaisar memesan agar ia memasuki istana dengan diam-diam supaya tidak diketahui siapa pun.

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa menggunakan ilmunya, bergerak di malam hari itu, hanya bayangannya yang berkelebatan sehingga tak ada yang dapat melihatnya ketika akhirnya ia memasuki ruangan di mana Kaisar Shun Chi sudah menanti seorang diri. Begitu Thian Hwa muncul, Kaisar Shun Chi memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya dan melalui sebuah pintu rahasia, Kaisar Shun Chi mengajak Thian Hwa memasuki sebuah ruangan rahasia.

Begitu berada dalam ruangan itu, Thian Hwa segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sribaginda Kaisar. Akan tetapi Kaisar Shun Chi segera memegang kedua pundaknya dan menyuruhnya bangkit serta duduk di atas kursi, berhadapan dengan kaisar itu.

“Thian Hwa, engkau sengaja kami panggil untuk datang seorang diri sebab kami menemui kesulitan untuk melaksanakan rencana kami semula. Berita bahwa kami telah meninggal dunia memang tidak sukar dilakukan, akan tetapi yang amat sukar adalah lolosnya kami dari istana. Kiranya sangat sukar untuk keluar dari istana tanpa diketahui orang, apa lagi kami mendapat tanda-tanda bahwa kepala Thaikam agaknya patut dicurigai.”

Thian Hwa terkejut. “Paduka maksudkan, Thaikam Boan Kit?”

Kaisar mengangguk, lalu menghela napas panjang. “Aihh, melihat ulah manusia-manusia yang lemah sehingga mereka menghalalkan segala cara sesat agar bisa mencapai tujuan yang mereka inginkan, sungguh menyedihkan sekali. Pantaslah jika banyak orang meniru sikap Sang Buddha yang meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan dunia yang sangat mempengaruhi jiwa menimbulkan kejahatan dan penderitaan, pergi mengasingkan diri dari keramaian. Agaknya Boan Thaikam sudah dipengaruhi oleh mereka yang sedang memperebutkan tahta kerajaan. Gerak-geriknya sangat mencurigakan. Karena itulah aku sengaja memanggilmu secara diam-diam untuk menjaga keamananku sebelum aku dapat keluar dari istana tanpa diketahui orang lain, Thian Hwa.”

“Baiklah, Paman Kaisar! Hamba siap melakukan tugas ini karena penjagaan keselamatan Pangeran Mahkota pada saat ini sudah cukup kuat. Selain ada dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu Paman Pangeran Bouw Hun Ki, juga pasukan pengawal penjaga keamanan kini telah diperkuat.”

“Bagus kalau begitu, akan tetapi aku tidak ingin mereka yang berhati khianat mengetahui bahwa engkau melakukan penjagaan di dalam istana, maka sebaiknya engkau menyamar sebagai seorang prajurit pengawal pribadi.”

Demikianlah, Thian Hwa lalu menyamar sebagai seorang prajurit pengawal muda, dibantu oleh seorang pelayan pribadi Kaisar yang sudah diyakini kesetiaannya. Sebagai seorang pengawal pribadi Thian Hwa tidak pernah jauh dari Sribaginda Kaisar dan selalu waspada menjaga keselamatannya.....

********************





KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 18

Tiga hari kemudian…..

Malam itu hawanya dingin bukan main menembus sampai ke dalam istana sehingga para penghuni istana sudah memasuki kamar masing-masing mencari kehangatan. Sribaginda Kaisar Shun Chi juga sudah memasuki kamar dan duduk bersemedhi seperti yang biasa dia lakukan setiap hari. Suasananya amat sunyi di dalam istana.

Ketika Thaikam Boan Kit yang menjadi kepala para Thaikam bersama dua orang Thaikam lain berjalan melakukan perondaan di bagian dalam istana, para pengawal yang bertugas di dalam istana tidak menaruh curiga. Memang sudah menjadi kewajiban serta kebiasaan kepala Thaikam itu untuk mengadakan perondaan seperti itu.

Ketika Boan Thaikam berjalan menuju ke kamar Kaisar, lima orang prajurit pengawal yang berjaga di luar kamar cepat bangkit dari duduknya dan berdiri tegak, berjajar lalu memberi hormat kepadanya. Boan Thaikam dan dua orang temannya menghampiri mereka.

“Bagaimana keadaan malam ini?” tanya Boan Thaikam sambil mendekat.

“Baik-baik dan aman, Thaijin!” lapor seorang di antara lima pengawal itu.

Tiba-tiba sekali, Boan Thaikam dan dua orang pembantunya bergerak cepat bukan main dan lima orang prajurit pengawal itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara. Mereka telah tertotok dan pingsan.

Boan Thaikam dan kedua orang pembantunya cepat-cepat menyeret mereka ke sebuah taman kecil dekat situ dan menyembunyikan tubuh mereka di balik semak-semak bunga. Sebelum meninggalkan lima orang pengawal itu, Boan Thaikam dan dua orang temannya menggunakan pedang membunuh mereka. Setelah itu mereka menghampiri kamar Kaisar dan hampir tanpa mengeluarkan suara, Boan Thaikam mempergunakan tenaganya untuk membuka daun pintu kamar.

Kamar itu hanya remang-remang karena di meja hanya bernyala sebuah lilin kecil yang ditutup warna kebiruan. Namun mereka dapat melihat dengan jelas Kaisar yang sedang duduk bersila di atas pembaringan, tertutup tirai kelambu tipis dan tembus pandang.

Boan Thaikam menutup kembali daun pintu kamar itu dengan rapat, lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk berdiri menjaga pada sebuah pintu tertutup yang menembus ke kamar itu. Tanpa mengeluarkan suara, dengan gerakan kaki ringan, dua orang yang berpakaian sebagai Thaikam itu lalu melangkah dan berdiri di dekat pintu yang menembus ke kamar atau ruangan lain.

Mendadak daun pintu tembusan itu terbuka dan sebelum dua orang Thaikam itu sempat berbuat sesuatu, ada empat sinar kecil putih menyambar ke arah mereka. Dua orang itu roboh dan tidak mampu bangun lagi karena tepat pada dahi mereka masing-masing telah menancap dua batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang membuat mereka tewas seketika.

Pada saat itu Boan Thaikam sedang menghampiri pembaringan Kaisar dan mengangkat pedangnya membacok tubuh Kaisar yang duduk bersila.

Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dan sebatang pedang menangkis pedang yang oleh Boan Thaikam dibacokkan ke arah tubuh Kaisar di balik kelambu.

“Singgg...! Tranggg...!”

Boan Thaikam terkejut bukan main. Cepat dia melompat ke belakang karena tangannya tergetar hebat ketika pedangnya tertangkis tadi. Kini dia melihat seorang prajurit pengawal muda bertubuh ramping dan berwajah tampan berdiri di depannya, memegang sebatang pedang. Ketika dia melihat dua orangnya menggeletak tak bergerak, dia menjadi semakin panik.

Akan tetapi Thian Hwa yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu tidak mau memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri karena ia sudah menerjang dengan lompatan kilat. Boan Thaikam terpaksa melawan dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian di kamar Kaisar itu.

Kaisar Shun Chi sadar dari semedhinya dan dia menonton perkelahian itu. Dia tidak heran melihat Boan Thaikam bertanding melawan Thian Hwa. Tentu Thaikam khianat itu tadinya hendak membunuhnya dan Thian Hwa menghalanginya.

Dia tetap duduk di atas pembaringan dan menonton perkelahian itu. Jantungnya berdebar tegang, khawatir kalau Thian Hwa kalah. Dia tidak khawatir kalau dirinya dapat terbunuh, melainkan mengkhawatirkan keselamatan keponakannya. Akan tetapi kekhawatirannya lenyap ketika dia melihat dua orang Thaikam sudah menggeletak di dekat pintu tembusan dan dalam perkelahian itu dia melihat dengan jelas betapa Thian Hwa sedang mendesak lawannya.

Boan Thaikam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu kiranya lihai juga. Ilmu pedangnya cukup hebat sehingga dia mampu mempertahankan diri dan membuat perlawanan sengit kepada Thian Hwa. Akan tetapi setelah Thian Hwa mengubah ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat menjadi Huang-ho Kiam-hoat yang istimewa, pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung seperti ombak Sungai Huang-ho, Boan Thaikam menjadi terdesak hebat. Hal ini disebabkan pula karena Boan Thaikam telah menjadi gentar dan panik.

“Hyattt...!” Thian Hwa menyerang dahsyat, pedangnya berputar dan menyambar-nyambar ke arah kepala dan leher lawan.

Boan Thaikam yang tak mampu balas menyerang, hanya menangkis dan mengelak saja. Serangan hebat itu membuat dia menjadi terhuyung ke belakang dan mendadak kaki kiri Thian Hwa mencuat dan menendang perutnya.

“Bukkk...!” Tubuh Boan Thaikam terlempar dan terjengkang.

“Tangkap dia!” terdengar Kaisar Shun Chi berkata kepada Thian Hwa.

Gadis itu segera melompat ke depan hendak menangkap Boan Thaikam. Tetapi Thaikam itu yang maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, tiba-tiba menggorok leher sendiri dengan pedangnya dan tewas seketika!

Melihat ini, Thian Hwa berdiri bengong dan Kaisar Shun Chi turun dari pembaringannya. Peristiwa itu terjadi di dalam kamarnya, tidak terdengar oleh orang lain karena pintu kamar tertutup rapat dan perkelahian tadi sama sekali tidak menimbulkan suara gaduh.

Thian Hwa menyalakan dua batang lilin lain sehingga kamar itu menjadi lebih terang. Dia memandang ke arah mayat Boan Thaikam penuh kebencian.

“Paduka benar, Pamanda Kaisar. Pengkhianat jahanam ini benar-benar hendak berbuat jahat dan keji terhadap Paduka. Biar hamba memanggil kepala pengawal supaya semua orang mengetahui akan pengkhianatan ini!”

“Jangan...!”

Thian Hwa memandang kaisar itu dengan heran.

“Dengarkan, Thian Hwa, ini kesempatan baik bagiku! Lihat, bentuk tubuhnya hampir sama dengan aku. Kalau kita memakaikan pakaianku kemudian mengabarkan bahwa aku telah terbunuh, maka akan mudah bagiku untuk meloloskan diri.”

Kaisar menjelaskan rencananya dan Thian Hwa tidak berani membantah. Kaisar itu lantas memanggil lima orang pelayannya yang paling setia dan dipercaya, kemudian dibantu oleh Thian Hwa, mereka semua bekerja dengan cepat.

Menjelang pagi, selagi semua orang dalam istana masih tidur dengan pulas karena hawa udara amat dinginnya, tiba-tiba terdengar jerit tangis disusul teriakan-teriakan nyaring.

“Pembunuhan! Pembunuhan! Sribaginda Kaisar dibunuh orang!”

Maka gegerlah seluruh istana. Mula-mula para prajurit pengawal istana berlarian datang, lalu keluarga istana, dan akhirnya seluruh penghuni istana terbangun lalu bergerombol di luar kamar tidur Kaisar. Hanya orang-orang penting saja boleh masuk kamar, di antaranya selain keluarga istana juga komandan pengawal dan mereka yang berkedudukan tinggi di istana.

Mereka semua melihat jenazah kaisar di atas pembaringan. Jenazah itu amat mengerikan karena mukanya penuh luka bacokan sehingga tak dapat dikenali lagi. Pakaiannya penuh darah dan lehernya juga hampir putus!

Selain jenazah Kaisar Shun Chi, di dalam kamar itu mereka juga melihat mayat dua orang Thaikam. Karena hanya Thian Hwa yang menjadi saksi peristiwa itu dan bisa menuturkan, maka dia lalu dituntut oleh semua pejabat serta keluarga Kaisar untuk menceritakan apa yang telah terjadi malam itu…..

********************

Pada keesokan paginya…..

Sebuah persidangan, dihadiri oleh para pangeran dan pejabat tinggi. Tentu saja hadir pula pangeran-pangeran adik Kaisar dan para putera Kaisar.

Di ruangan persidangan itu telah berkumpul mereka yang berhak menghadiri persidangan. Para pejabat tinggi termasuk para panglimanya. Para pangeran adik Kaisar, di antaranya Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw Hun Ki dan beberapa orang pangeran lagi yang hanya merupakan saudara misan. Kemudian pangeran-pangeran putera Kaisar, antara lain yang terpenting adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong.

Sementara itu Pangeran Kang Shi ditahan oleh pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, sebab dianggap belum dewasa untuk membicarakan persoalan yang merupakan mala petaka itu, dan agar anak itu tidak menjadi kaget jika mendengar cerita kematian ayahnya yang mengerikan.

Ruangan persidangan yang biasa dipergunakan oleh Kaisar untuk bersidang dengan para pejabat tinggi itu sangat luas dan semua yang hadir, lebih dari seratus orang banyaknya, telah duduk di kursinya masing-masing. Yang memimpin persidangan itu adalah Pangeran Bouw Hun Ki.

Dalam hal memilih pimpinan persidangan ini pun terjadi kekacauan karena Pangeran Leng Kok Cun tadinya sempat berkeras mengatakan bahwa dia yang paling berhak memimpin persidangan karena dialah putera Kaisar yang tertua. Akan tetapi banyak suara memilih Pangeran Bouw Hun Ki dengan alasan bahwa selain Pangeran Bouw Hun Ki merupakan adik Kaisar yang paling tua, juga dia menjadi pelindung Pangeran Mahkota dan mewakili Pangeran Kang Shi. Akhirnya Pangeran Leng kalah suara sehingga Pangeran Bouw Hun Ki memimpin persidangan itu.

Setelah semua orang duduk dan suasana tertib dan diam, Thian Hwa diberi kesempatan untuk menceritakan apa yang telah terjadi semalam.

Thian Hwa lalu bercerita, sesuai dengan apa yang telah direncanakan Kaisar Shun Chi. Ia bercerita bahwa ia sudah diperintahkan oleh ‘mendiang’ Kaisar Shun Chi untuk menyamar sebagai seorang prajurit pengawal karena Kaisar sudah mencurigai Thaikam Boan Kit. Ia harus menjaga keamanan sebagai pengawal pribadi Kaisar.

“Nanti dulu! Mengapa Ayahanda Kaisar menaruh curiga kepada Thaikam Boan Kit?” tiba-tiba saja Pangeran Leng Kok Cun bertanya dengan suara berwibawa, seolah-olah hendak menunjukkan bahwa dia adalah putera sulung Kaisar dan karenanya memiliki kekuasaan.

Thian Hwa menatap tajam wajah pangeran itu dengan bibir tersenyum mengejek, teringat betapa dia pernah berurusan dengan pangeran pemberontak ini. Melihat sinar mata Thian Hwa yang mencorong tajam, Pangeran Leng menundukkan pandang matanya, tidak tahan beradu pandang dengan gadis pendekar yang dia tahu amat galak dan lihai itu.

“Kalau Sribaginda Kaisar menaruh kecurigaan, pasti ada sebabnya! Orang yang memiliki niat jahat dapat dilihat dari gerak-gerik dan terutama dari suara dan sinar matanya!” jawab Thian Hwa. Ia lalu melanjutkan ceritanya.

Malam itu dia berada di ruangan yang bersebelahan dengan kamar Kaisar, dihubungkan sebuah pintu tembusan. Ia lalu mendengar suara gaduh di kamar Kaisar, maka dia cepat membuka pintu tembusan dan segera dihadang dua orang Thaikam yang menyerangnya. Ia berhasil merobohkan mereka dengan sambitan Pek-hwa-ciam, akan tetapi ia terlambat menyelamatkan Kaisar.

Dia melihat bayangan Thaikam Boan Kit melarikan diri melalui pintu, tetapi karena ingin melihat keadaan Kaisar, dia tidak sempat mengejar dan ternyata dia mendapatkan Kaisar sudah tewas dengan luka-luka bacokan pada leher dan mukanya sehingga wajahnya tidak dapat dikenali lagi. Ia mencoba untuk melakukan pengejaran, namun Thaikam Boan telah hilang, maka ia lalu berteriak dan memanggil para prajurit pengawal, juga membangunkan seluruh penghuni istana.

Tak lupa ia menceritakan pula bahwa lima orang prajurit pengawal juga ditemukan mati di taman tidak jauh dari kamar Kaisar dan mereka adalah lima orang pengawal yang malam itu bertugas jaga di depan kamar Kaisar. Mudah diduga bahwa mereka tentu dibunuh pula oleh Thaikam Boan Kit dan dua orang pembantunya yang tewas oleh Thian Hwa.

“Demikianlah apa yang terjadi malam tadi!” Thian Hwa mengakhiri ceritanya.

Tentu saja kejadian yang sesungguhnya tidak demikian. Sesudah wajah mayat Boan Kit dirusak dengan bacokan-bacokan pedang supaya tidak dapat dikenal, mayat itu lalu diberi pakaian Kaisar yang seperti pakaian pendeta dan dilumuri darah, kemudian jenazah itu diletakkan di atas pembaringan Kaisar. Setelah itu dengan kepandaiannya, Thian Hwa lalu menyelundupkan Kaisar keluar dari istana, bahkan keluar dari pintu gerbang kota raja.

Sesudah tiba di luar kota raja, dua orang pelayan yang setia sudah menunggu lebih dulu dan Kaisar yang mengenakan jubah pendeta Buddha dan menggunduli rambut kepalanya itu lalu pergi menjauh dari kota raja. Setelah itu barulah Thian Hwa kembali ke istana dan bersama para pelayan yang setia mereka menjerit-jerit sehingga membangunkan seluruh penghuni istana.

Tentu saja cerita Thian Hwa ini segera dipercaya oleh semua orang pendengarnya, apa lagi terbukti adanya jenazah raja. Mereka tidak dapat mengenali wajah jenazah itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya tidak ada yang ragu bahwa itu memang jenazah Kaisar Shun Chi yang sudah dirawat dan dimasukkan peti mati.

“Sudahlah, mala petaka itu sudah terjadi. Mudah saja nanti kita berusaha untuk mengejar dan menangkap Thaikam Boan Kit lalu menghukumnya. Sekarang yang lebih penting, kita tidak boleh membiarkan kerajaan tanpa kaisar! Hal ini dapat menimbulkan kekacauan dan memancing datangnya musuh negara untuk menyerang kerajaan yang sedang lowong tak ada pemimpinnya. Sebab itu, aku mengusulkan agar sekarang juga ditentukan siapa yang berhak menggantikan kedudukan kaisar, menggantikan mendiang Ayahanda Kaisar!” kata Pangeran Leng Kok Cun penuh semangat.

“Ahh, baik sekali itu! Aku juga akan mengusulkan begitu!” kata Pangeran Cu Kiong, tidak kalah bersemangatnya.

Pangeran Bouw sebagai pimpinan sidang menoleh kepada Ciang Taijin, pembesar tinggi yang paling tua, usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun dan ia dikenal sebagai tua-tua keladi yang menjabat sebagai penasihat di istana. Melihat Pangeran Bouw menoleh lalu memandang kepadanya, pejabat tinggi yang sudah tua dan setia ini segera bangkit berdiri lalu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.

“Soal pengganti kedudukan Kaisar, hal itu kami rasa tidak menjadi masalah dan tak perlu dibicarakan lagi, sebab bukankah mendiang Sribaginda Kaisar telah mengangkat seorang Pangeran Mahkota? Menurut hukum yang berlaku, kalau Kaisar meninggal dunia, sudah barang tentu yang menggantikan kedudukannya adalah Pangeran Mahkota, dalam hal ini Pangeran Mahkota Kang Shi!”

“Akan tetapi selama ini Ayahanda belum pernah meresmikan pengangkatannya sebagai pengganti kedudukan Kaisar!” bantah Pangeran Leng Kok Cun. “Oleh karena itu, sebagai putera Ayahanda yang sulung, akulah yang berhak menggantikan kedudukannya sebagai kaisar!”

“Itu tidak benar dan tidak bisa!” teriak Pangeran Cu Kiong. “Meski pun Kakanda Pangeran Leng Kok Cun paling tua, tapi merupakan putera selir ke tujuh! Menurut kepantasan, yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar harus dilihat berdasarkan urutan kedudukan para isteri Ayahanda! Memang yang paling berhak adalah Adinda Pangeran Kang Shi karena dia adalah putera dari Ibunda permaisuri, akan tetapi dia masih terlalu kecil untuk menjadi kaisar dan memang benar, Ayahanda tak pernah meresmikan dia menjadi penggantinya. Urutan yang ke dua adalah keturunan selir ke dua, akan tetapi Ibunda selir ke dua hanya mempunyai anak perempuan. Maka urutan berikutnya adalah anak Ibunda yang menjadi selir ke tiga. Jadi, kalau mau menurut aturan dan kepantasan, akulah yang berhak untuk menggantikan kedudukan kaisar!”

“Pendapat Pangeran Cu Kiong itu tidak benar!” bentak Pangeran Leng Kok Cun.

“Pendapat Kakanda Pangeran Leng Kok Cun bahkan lebih tidak benar lagi!” Pangeran Cu Kiong juga membentak marah. Kedua orang pangeran ini sudah bangkit berdiri dan saling pandang dengan mata merah melotot.

“Harap Ananda berdua tenang dulu! Ketahuilah para anggota keluarga kerajaan dan para pejabat tinggi, bahwa kami telah menerima surat wasiat yang ditulis dan ditinggalkan oleh mendiang Kakanda Kaisar Shun Chi. Sekarang akan saya bacakan surat wasiatnya,” tiba-tiba Pangeran Bouw Hun Ki berkata.

“Nanti dulu!” bentak Pangeran Leng Kok Cun. “Surat wasiat itu seharusnya dipegang oleh orang yang dapat mewakili Ayahanda Kaisar. Dan Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki tidak mempunyai kekuasaan itu!”

“Benar, Pamanda Pangeran Bouw tidak berhak!” teriak pula Pangeran Cu Kiong.

“Aku yang berhak!” tiba-tiba terdengar suara nyaring seorang wanita.

Semua orang memandang dan ternyata yang bicara tadi adalah Ciu Thian Hwa. Ia sudah bangkit berdiri dengan tegak dan sikapnya gagah sekali. “Akulah yang menjadi wakil dari mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, dan inilah tanda kekuasaanku!” Dia mengeluarkan Tek-pai tanda kekuasaan yang diberikan Kaisar Shun Chi itu dan melihat ini, para pejabat tinggi cepat membungkuk untuk memberi hormat sebab pemegang Tek-pai itu seolah-olah menjadi wakil kaisar sendiri.

Melihat ini Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong segera terdiam, tidak berani membantah lagi. Mereka memang telah mendengar bahwa gadis liar yang berjuluk Huang-ho Sian-li yang dulu pernah menentang mereka itu adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong, jadi masih keponakan kaisar dan juga keponakan Pangeran Bouw, bahkan masih menjadi saudara mereka sendiri. Mereka tahu pula bahwa Thian Hwa telah menyelamatkan nyawa Kaisar Shun Chi ketika dahulu diserang lima orang pembunuh, maka tidak mustahil kalau kini gadis itu membawa Tek-pai pemberian Kaisar.

Melihat tidak ada yang berani membantah lagi, Thian Hwa menerima surat wasiat itu dari tangan Pangeran Bouw Hun Ki lalu berkata dengan lantang.

“Akulah yang menerima dari tangan mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, Tek-pai serta surat wasiat ini, maka aku pula yang berhak membacanya. Siapa yang berani menentang pesan terakhir mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi, silakan maju, atas nama Kaisar aku berhak untuk menghukumnya!” Ucapan itu demikian berwibawa dan tidak ada yang berani membantah.

Tentu saja Pangeran Leng dan Pangeran Cu merasa jengkel dan marah, namun mereka maklum bahwa kalau mereka berani membantah kenyataan ini, semua orang yang berada di situ pasti akan menentangnya.

Melihat tidak ada yang berani membantah, Thian Hwa lalu membaca surat wasiat itu yang isinya, Kaisar Shun Chi menyatakan bahwa dia mengangkat Pangeran Mahkota Kang Shi menjadi penggantinya, yaitu menjadi kaisar baru bila mana dia sudah tidak ada. Setelah ia selesai membacakan surat wasiat itu, Thian Hwa duduk kembali.

Kini Pangeran Bouw Hun Ki bangkit berdiri. “Kami merasa yakin bahwa kita semua pasti akan menghormati dan mentaati perintah terakhir dari mendiang Kakanda Kaisar Shun Chi. Nah, kini telah dipastikan bahwa Pangeran Mahkota Kang Shi yang akan dinobatkan menjadi Kaisar Kerajaan Ceng kita. Pelaksanaannya akan dilakukan sesudah lewat masa perkabungan seratus hari semenjak kematian Kakanda Kaisar Shun Chi, kami kira hadirin semua merasa setuju dan tidak ada yang merasa keberatan.”

Mendadak Pangeran Leng Kok Cun bangkit berdiri lantas bicara dengan lantang. “Paman Pangeran Bouw Hun Ki, mengingat bahwa usia Adinda Pangeran Kang Shi baru sepuluh tahun, masih kanak-kanak, tidak mungkin dia dapat mengatur pemerintahan. Sudah tentu dia membutuhkan seorang pendamping atau penasihat yang dapat dipercaya! Nah, aku sebagai kakaknya yang tertua berhak untuk menjadi pendamping dan penasihatnya, maka dalam sidang ini aku minta agar hal ini dibicarakan dan disetujui semua yang hadir!”

Mendengar ini, Pangeran Cu Kiong cepat memberi tanggapan.

“Aku tak setuju dengan pendapat Kakanda Pangeran Leng Kok Cun! Dia sudah terlalu tua untuk mendampingi Adinda Pangeran Kang Shi! Yang paling tepat untuk mendampinginya adalah aku sebagai calon pewaris ke dua sesudah Pangeran Mahkota, dan usiaku jauh lebih muda dari pada Kakanda Pangeran Leng sehingga dapat bergaul lebih baik dengan Adinda Pangeran Kang Shi.”

Kembali semua orang bicara sendiri, ada yang mendukung Pangeran Leng, dan ada pula yang membenarkan Pangeran Cu. Agaknya dua orang pangeran ini memiliki pendukung masing-masing di antara para pejabat tinggi yang hadir.

Melihat keadaan menjadi ribut, Thian Hwa cepat bangkit lagi lalu berkata dengan nyaring, “Harap Cu-wi (Anda Sekalian) tenang! Saya sebagai pemegang kekuasaan yang diberikan mendiang Pamanda Kaisar, menyatakan bahwa perebutan kedudukan pendamping Kaisar yang baru itu tidaklah tepat. Seorang pendamping Kaisar seyogianya merupakan seorang yang paling dekat dengan Kaisar, dalam hal ini Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi. Oleh karena itu sepantasnya dia sendiri yang akan memilih, yaitu nanti setelah dia dinobatkan menjadi Kaisar. Dia sendiri yang akan memilih siapa yang akan menjadi pendamping dan penasihatnya.”

Seperti tadi, ucapan Thian Hwa ini pun tidak ada yang berani membantah karena ucapan itu memang pantas dan cukup adil.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu bangkit berdiri dan berkata. “Kami rasa keputusan itu sudah sangat tepat. Nanti sesudah lewat perkabungan selama seratus hari, Pangeran Mahkota Kang Shi akan dinobatkan menjadi Kaisar dan dia yang akan memilih siapa yang menjadi pendamping sekaligus penasihatnya. Sekarang kami minta Adinda Ciu Thian Hwa sebagai pemegang Tek-pai untuk menunjuk seorang yang akan menjadi pejabat Kaisar sementara sebelum Pangeran Mahkota dinobatkan menjadi Kaisar.”

Ciu Thian Hwa bangkit berdiri lagi. “Mengingat bahwa selama ini orang yang paling dekat dengan mendiang Pamanda Kaisar Shun Chi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki sehingga beliau diberi kepercayaan untuk mendidik Pangeran Mahkota, maka atas nama Kaisar, saya memutuskan Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk menjabat kedudukan kaisar sementara!”

Pangeran Bouw Hun Ki cepat menanggapi. “Aku tidak keberatan, tapi hanya dengan satu syarat, yaitu aku harus didampingi Ananda Ciu Thian Hwa sebagai pemegang kuasa yang diberikan oleh mendiang Kaisar sendiri.”

“Saya menerima syarat itu. Apakah di antara Cu-wi ada yang tidak setuju?” kata Thian Hwa.

Kembali tidak ada yang berani menolak karena semua yang diajukan itu memang masuk akal dan sesuai dengan aturan. Seorang pemegang Tek-pai seolah menjadi pribadi Kaisar sendiri yang semua ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah oleh siapa pun.

Demikianlah, persidangan itu selesai. Semua orang merasa puas dan lega, kecuali tentu saja Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong…..!

********************

Dalam perjalanan pulang dari ruangan persidangan, Pangeran Cu Kiong berjalan dengan wajah muram. Tentu saja dia merasa kecewa dan penasaran sekali akan keputusan yang diambil dalam persidangan itu. Selain Pangeran Kang Shi ditentukan menjadi pengganti Kaisar dan akan dinobatkan sebagai kaisar baru, Ciu Thian Hwa yang berwenang memilih pendamping atau penasihatnya, juga ditentukan bahwa pejabat kaisar selama seratus hari ini adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Dan dia sama sekali tidak mampu membantah karena Ciu Thian Hwa memegang Tek-pai!

Dia semakin benci kepada Huang-ho Sian-li itu! Dia pernah tertarik, bahkan pernah saling mencinta dengan Huang-ho Sian-li, tapi ketika itu dia bermaksud memanfaatkan kelihaian gadis itu untuk tujuannya merebut tahta kerajaan. Kini gadis itu, yang kemudian ternyata puteri Pangeran Ciu Wan Kong, malah membela Pangeran Mahkota Kang Shi, itu berarti menjadi musuhnya! Pangeran Cu Kiong merasa kecewa, penasaran dan marah sekali.

Mendadak dia merasa ada gerakan orang di belakangnya dan ketika dia menengok, dia melihat ada seorang wanita muda tersenyum kepadanya sambil berjalan melewatinya lalu membalik dan menghadapinya.

“Maafkan saya, apakah Paduka yang bernama Pangeran Cu Kiong?” gadis itu bertanya, suaranya terdengar merdu, gayanya memikat dengan sinar mata yang berkilat tajam dan bibir mungil tersenyum manis sekali.

Pangeran Cu Kiong mengamati gadis itu. Gadis itu tampak sudah matang, berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan yang menarik adalah payung merah yang gagangnya dipegang dengan tangan kiri dan payung itu melindungi wajahnya dari terik matahari siang itu.

Bentuk tubuhnya menarik, ramping padat dan matang. Wajahnya bulat dengan mata serta mulut yang sangat menggairahkan seperti menantang. Bajunya kembang-kembang merah dengan celana sutera hijau. Kecantikannya tampak asing, tidak seperti kecantikan wanita Han, juga tidak seperti wanita Mancu, melainkan kecantikan wanita dari daerah selatan yang khas. Pangeran Cu Kiong segera tertarik sekali melihat kecantikan yang berbeda dari wanita lain itu.

“Benar, aku adalah Pangeran Cu Kiong. Dan siapakah engkau, Nona?” tanyanya, tertarik bukan hanya karena kecantikan gadis itu, juga karena dari wajah serta logat bicaranya, jelas bahwa gadis ini datang dari selatan.

“Saya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Payung Merah), dan saya sengaja datang menjumpai Paduka membawa pesan dari Raja Muda Wu Sam Kwi.”

Cu Kiong terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Wu Sam Kwi. Memang sudah beberapa lamanya dia mengadakan kontak hubungan dengan Jenderal Wu Sam Kwi yang kini disebut Raja Muda itu. Ternyata gadis ini adalah seorang utusan dari Wu Sam Kwi. Kalau sampai ada orang mengetahui bahwa dia berhubungan dengan Jenderal Wu Sam Kwi, bisa gawat dan berbahaya baginya. Maka cepat dia berkata lirih,

“Nona, datanglah nanti ke istanaku, jangan terlalu menyolok karena suasananya sedang genting.” Sesudah berkata demikian, dia pun cepat-cepat melanjutkan langkahnya pulang ke gedungnya.

Ang-mo Niocu, gadis cantik genit yang pernah kita jumpai ketika ia bertemu dengan Kong Liang dan Thian Hwa itu, maklum akan ucapan Sang Pangeran, maka ia pun cepat pergi ke lain jurusan agar tidak ada yang tahu bahwa ia tadi menghubungi Pangeran Cu Kiong.

Sore itu Ang-mo Niocu datang berkunjung ke gedung Pangeran Cu Kiong yang megah seperti istana. Dia disambut oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun, yaitu dua orang di antara Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng). Empat yang lain dulu telah tewas oleh Ciu Thian Hwa dan Ui Yan Bun, sedangkan yang seorang lagi, yakni Ciang Sun, sudah pergi meninggalkan kota raja.

Memang kedua orang jagoan pembantu Pangeran Cu Kiong itu mendapat perintah dari Sang Pangeran untuk menyambut kalau gadis dari selatan, utusan Jenderal Wu Sam Kwi itu datang berkunjung.

Thio Kwan dan Yu Kok Lun adalah dua orang jagoan yang tak pernah sembuh dari watak mereka yang sombong. Baru julukan mereka saja, ketika masih bertujuh, menunjukkan kesombongan mereka, yaitu memakai julukan Tujuh Dewa!

Sejak dahulu mereka sombong dan merasa paling hebat sendiri, apa lagi karena mereka menjadi jagoan seorang pangeran. Biar pun kini mereka tinggal berdua, namun tetap saja mereka berkepala besar dan dengan sendirinya mereka lantas memandang rendah ketika melihat bahwa utusan Jenderal Wu Sam Kwi itu ternyata hanyalah seorang gadis cantik yang membawa payung merah!

Memang Ang-mo Niocu sama sekali tidak tampak seperti seorang kang-ouw yang pandai ilmu silat. Wajahnya cantik manis, pakaiannya berkembang dan sama sekali tidak terlihat membawa senjata.

Begitu tiba di pintu gerbang gedung besar yang mempunyai halaman depan luas itu, Ang-mo Niocu dihadang dua orang jagoan ini yang sudah menunggu di gardu penjagaan sejak tadi. Belasan orang prajurit berada dalam gardu dan hanya menonton sambil tersenyum kagum melihat seorang gadis cantik memakai payung memasuki pintu gerbang.

Mereka sudah dipesan oleh dua orang jagoan itu agar diam saja dan membiarkan mereka berdua yang menyambut tamu yang dinanti-nantikan oleh Sang Pangeran. Para prajurit itu mengharapkan memperoleh tontonan menarik karena mereka semua maklum bahwa dua orang jagoan itu pasti akan menggoda dan mengganggu seorang gadis cantik seperti itu.

Thio Kwan yang berusia sekitar lima puluh dua tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti mayat, berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Ang-mo Niocu, ada pun temannya, Yu Kok Lun yang berusia lima puluh tahun lebih dan bertubuh gemuk pendek bermuka hitam, hanya tersenyum-senyum di samping rekannya.

“Apakah Nona ini yang disebut Nona Payung Merah?” tanya Thio Kwan sambil tersenyum mengejek, memandang rendah.

Ang-mo Niocu mengenal laki-laki kurang ajar semacam ini. Akan tetapi ia tetap bersabar mengingat bahwa orang-orang ini tentu anak buah Pangeran Cu Kiong yang tadi ia jumpai di jalan dan yang menarik hatinya karena pangeran yang masih muda itu memang tampan dan gagah sekali.

“Benar, aku Ang-mo Niocu hendak bertemu dengan Pangeran Cu Kiong.”

“Nanti dulu, Nona. Logat bicara Nona terdengar asing. Menurut keterangan Pangeran Cu, Nona datang dari Yunnan-hu yang berada jauh di selatan. Benarkah itu?”

Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya. Pembantu pangeran ini cerewet benar. Dia merasa tidak perlu untuk memperkenalkan diri lebih banyak terhadap Si Muka Pucat ini, maka dia cepat menjawab,

“Benar aku dari selatan. Jauh-jauh aku datang untuk bertemu Pangeran Cu Kiong. Cepat kalian laporkan kepadanya.”

“Aihh, Nona. Kenapa Nona jauh-jauh datang dari selatan seorang diri saja? Nona seorang gadis yang cantik jelita begini melakukan perjalanan jauh seorang diri?” kata Yu Kok Lun yang tak dapat menahan keinginan hatinya untuk bicara dengan gadis yang amat menarik ini.

Setelah bicara, memang Ang-mo Niocu tampak menggairahkan sekali. Sepasang bibirnya yang berbentuk indah dan kemerahan itu seolah dapat bergerak-gerak dengan manis dan menantang.....!




KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 19

“Benar, Nona. Kalau kami tahu, tentu akan kami jemput Nona di selatan sehingga Nona dapat melakukan perjalanan bersama kami. Tentu lebih aman dan menyenangkan!” kata Thio Kwan.

Dua orang jagoan itu berani mengganggu karena mereka memang mendapat pesan dari Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi ini.

Ang-mo Niocu bukan seorang gadis yang tidak biasa bergaul dengan kaum pria. Apa bila yang menggodanya itu pemuda-pemuda tampan, pasti ia tidak akan marah malah menjadi gembira sekali. Namun digoda dua orang jagoan yang bertampang buruk, yang seorang bermuka pucat seperti mayat dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali, ia pun menjadi marah. Akan tetapi mulutnya masih tersenyum ketika ia menjawab,

“Hemm, diantar dan ditemani dua orang kuli pelayan macam kalian hanya akan membikin aku malu karena muka kalian begitu buruk dan menjijikkan! Sudahlah, cepat laporkan saja kepada Pangeran Cu Kiong bahwa aku telah datang dan ingin berjumpa dengannya. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian dua orang monyet jelek ini!”

Belasan orang prajurit pengawal yang berada di dalam gardu hampir tidak dapat menahan tawa mereka mendengar ucapan yang amat mengejek dan menghina kepada dua orang jagoan yang biasanya bersikap sombong itu. Mereka melihat betapa mata kedua orang itu terbelalak mendengar ucapan gadis berpayung merah.

Thio Kwan marah bukan kepalang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyerang tamu majikannya karena Pangeran Cu hanya berpesan agar dia menguji kelihaian tamu ini.

“Pangeran memang mengutus kami menjemputmu, akan tetapi tidak sopan kalau engkau memasuki gedung dengan memakai payung. Serahkan payungmu!” katanya.

Ang-mo Niocu menutup payungnya yang tadinya berkembang.

“Payung ini tidak boleh terlepas dari tanganku!”

“Hemm, terpaksa aku akan merampasnya!” Setelah berkata demikian, dengan cepat Thio Kwan menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah menangkap payung yang berada di tangan kiri gadis itu.

Thio Kwan adalah seorang ahli lweekeh (ahli tenaga dalam) yang mempunyai tenaga kuat sekali. Dia merasa yakin bahwa dengan sekali renggut saja dia akan mampu merampas payung itu dari tangan Ang-mo Niocu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia merasa betapa payung itu sama sekali tidak dapat dia tarik karena seakan melekat dan berakar pada tangan kiri gadis itu.

Dia mengangkat muka memandang wajah gadis itu. Dengan penasaran sekali dia melihat gadis itu mengedipkan mata sambil tersenyum-senyum kepadanya! Jelas bahwa gadis itu menganggap dia ringan sekali.

Maka Thio Kwan cepat mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik, tapi tetap sia-sia. Karena marah, dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri gadis itu. Akan tetapi cepat bagaikan kilat tangan kanan Ang-mo Niocu sudah mendahuluinya menotok ke arah tangan kanannya yang memegang payung.

Seketika dia merasa lengan kanannya lemas dan pedangnya terlepas. Dengan marah dia melanjutkan cengkeraman tangan kirinya, sekarang tidak ke arah pergelangan tangan kiri lawan, melainkan ke arah pundaknya!

“Plakk!”

Ang-mo Niocu menangkis dengan tenaga saktinya yang demikian kuatnya sehingga Thio Kwan merasa lengan kirinya nyeri sampai menembus tulang.

“Pergilah!” Ang-mo Niocu berseru dengan bentakan nyaring, sambil kakinya mencuat ke arah perut Si Muka Mayat.

“Bukkk...!”

Tubuh tinggi kurus itu segera terlempar dan masih untung Thio Kwan mampu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga jatuh berjongkok, tidak sampai terbanting!

“Wah, hebat juga engkau, Nona! Coba hadapi siang-kiam (sepasang pedang) ini!” Yu Kok Lan sudah mencabut siang-kiam dari punggungnya karena dia hendak menguji kelihaian gadis itu dalam bertanding senjata. “Keluarkan senjatamu!” tantangnya.

Dan dia sudah memasang kuda-kuda dengan menyilangkan sepasang pedangnya di atas kepala sehingga tampak garang dan gagah sekali.

Ang-mo Niocu tersenyum. Kini ia dapat menduga bahwa dua orang ini agaknya memang disuruh oleh Pangeran Cu Kiong untuk mengujinya. Pangeran yang mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu tentu ingin merasa yakin akan kelihaian utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Maka ia pun tersenyum menghadapi Yu Kok Lun yang tampak gagah itu. Ia menudingkan payungnya yang sebetulnya merupakan pedang ke arah lawan dan berkata,

“Majulah, aku akan melawan sepasang pedangmu dengan payungku ini.”

Tentu saja Yu Kok Lun merasa dihina dan dipandang rendah. Masa siang-kiamnya yang demikian tersohor sehingga dia dijuluki Siang-kiam-sian (Dewa Sepasang Pedang) hanya akan dilawan dengan sebuah payung merah, oleh seorang gadis muda pula? Ini namanya keterlaluan!

“Nona, memalukan kalau aku dengan sepasang pedangku melawan engkau yang hanya memegang sebuah payung. Biarlah aku menggunakan sebelah pedangku saja!” Setelah berkata demikian Yu Kok Lun menyimpan pedang kirinya dan hanya memegang pedang kanannya.

“Terserah engkau mau menggunakan sebatang, dua batang, atau sepuluh batang pedang sekali pun. Aku tetap cukup menggunakan payungku ini saja!”

Yu Kok Lun mulai marah. “Sambutlah pedangku ini!” bentaknya.

Dia pun segera menyerang dengan dahsyat karena dia sudah menggunakan jurus paling ampuh dan berbahaya karena dapat menduga bahwa lawannya ini bukan seorang lemah. Pedangnya berkelebat dengan jurus serangan Kilat Menyambar Atas Kepala. Kini pedang yang bergerak cepat sekali itu berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar ke arah kepala Ang-mo Niocu dengan bacokan dari atas, seakan hendak membelah kepala itu menjadi dua!

“Wuuuss...!”

Pedang itu hanya membelah udara kosong karena dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali Ang-mo Niocu telah mengelak ke samping. Yu Kok Lun menjadi penasaran melihat betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dielakkan dengan sangat mudah oleh gadis itu.

Pedangnya sudah menyambar lagi, kini membabat dari samping ke arah pinggang lawan, dan pinggang yang kecil ramping itu agaknya akan segera terbabat putus oleh sambaran pedang yang dahsyat itu karena pedang itu digerakkan dengan menggunakan jurus Giok-tai-wi-yiauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang)! Serangan yang ke dua ini cukup berbahaya, maka Ang-mo Niocu menggerakkan payungnya menangkis.

“Tranggg...!”

Yu Kok Lun hampir berteriak saking kagetnya ketika pedangnya hampir saja terlepas dari tangannya karena terpental oleh tangkisan yang amat kuat, bahkan kini ada sinar merah menyambar pundaknya. Dia cepat mengelak dan...

“Brettt...!” baju di bagian pundaknya robek tertusuk ujung payung yang runcing!

Maklum bahwa payung itu ternyata merupakan senjata yang ampuh, Yu Kong Lun yang masih merasa penasaran cepat mencabut pedang ke dua dan kini dia menyerang dengan menggerakkan siang-kiam itu secara cepat sekali. Akan tetapi semua serangannya sia-sia karena begitu gadis itu menggerakkan payungnya, segera payung itu menjadi perisai yang kuat sekali.

Ternyata bahwa payung itu terbuat dari semacam kulit yang telah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi lentur namun sangat kuat, mampu menahan senjata tajam tanpa robek sedikit pun. Begitu sepasang pedang menyerang, payung lantas berkembang dan begitu sepasang pedang lawan terpental, payung segera menutup lagi kemudian ujung payung itu menyerang dengan tusukan seperti sebatang pedang!

Sebentar saja Yu Kok Lun menjadi kewalahan dan terdesak, kebingungan, maka Ang-mo Niocu tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Selagi lawan bingung oleh serangan payung berpedang, ia mengayunkan kakinya dan seperti juga apa yang dirasakan Thio Kwan tadi, perut Yu Kok Lun terkena tendangan kaki Ang-mo Niocu hingga tubuhnya terlempar dan dia pun jatuh berdebuk di atas tanah.

Dua orang jagoan itu terpaksa harus mengakui kelihaian Ang-mo Niocu, maka sekarang mereka sudah tidak berani main-main lagi. Thio Kwan lalu maju memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, diikuti Yu Kok Lun dan dia berkata,

“Lihiap (Pendekar Wanita), maafkan kami karena sesungguhnya kami diutus Pangeran Cu Kiong untuk menguji kelihaianmu. Sekarang mari kami antarkan Lihiap untuk menghadap Pangeran Cu Kiong yang sudah lama menunggu kedatanganmu.”

Ang-mo Niocu tersenyum mengejek. “Hemmm, beginikah cara Pangeran Cu Kiong dalam menyambut utusan sahabatnya? Aku dapat mengerti akan maksudnya mengujiku, namun yang sangat menyebalkan adalah kalian bukan hanya mengujiku, tetapi juga menghinaku dengan kekurang-ajaran kalian. Maka kalian perlu mendapat hajaran supaya lain kali tidak berani menggangguku! Sambut ini!”

Tiba-tiba kini Ang-mo Niocu menyerang dengan tusukan payungnya yang tertutup. Ujung yang runcing itu meluncur cepat dan menusuk ke arah pundak Thio Kwan. Orang itu amat terkejut dan cepat mengelak. Memang tusukan itu luput, akan tetapi tetap saja dia roboh dan mengeluh kesakitan. Kemudian ujung payung itu menyerang Yu Kok Lun. Ahli siang-kiam yang masih memegang pedangnya ini cepat menangkis.

“Trangg...!”

Payung itu tertangkis, akan tetapi anehnya, Yu Kok Lun juga terkulai roboh dan merintih sambil memegangi pundaknya. Ternyata pundak kedua orang ini terkena tusukan jarum yang terasa panas dan pundak sampai lengan mereka menjadi kaku dan lumpuh!

Jarum beracun! Jarum-jarum itu keluar dari ujung payung dan merupakan senjata rahasia yang sangat ampuh dari gadis suku Yao yang lihai ini. Hal ini tidak mengherankan karena Ang-mo Niocu adalah murid Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang sakti.

“Nah, mari antar aku menghadap Pangeran Cu Kiong!” kata Ang-mo Niocu.

Dua orang itu cepat bangkit dengan wajah pucat dan mereka menyeringai karena pundak mereka terasa nyeri bukan main, panas dan ngilu, juga kaku dan lumpuh sampai ke ujung jari tangan. Mereka tidak berani membantah dan segera mendahului menuju ke gedung besar yang megah itu.

Ang-mo Niocu mengikuti mereka dari belakang dan tetap bersikap waspada. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang tampan gagah itu masih akan mengujinya lagi! Akan tetapi tidak ada rintangan lagi.

Dan sesudah mereka memasuki ruangan tamu, Pangeran Cu Kiong bangkit dari kursinya, tersenyum ramah menyambut gadis cantik dari selatan itu. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua orang jagoannya masuk dengan wajah pucat dan menyeringai kesakitan dengan sebelah tangan tergantung lumpuh.

“Ada apa dengan kalian? Apa yang telah terjadi?” tanyanya. Karena dua orang jagoannya menundukkan kepala tanpa menjawab, dia lalu memandang wajah Ang-mo Niocu dengan sinar mata bertanya.

“Pangeran, Paduka tanyakan kepada mereka berdua saja apa yang menyebabkan mereka menderita luka.”

Pangeran Cu Kiong memandang dua orang jagoannya dan mereka berdua menjadi amat ketakutan mengingat betapa mereka sudah menggoda gadis itu sehingga menjadi marah dan melukai mereka, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Cu Kiong.

“Pangeran, hamba berdua mengaku bersalah. Hamba kalah dan terluka oleh Lihiap ini...,” kata Thio Kwan.

Pangeran Cu Kiong merasa kagum akan tetapi juga tak senang pada gadis itu. Memang dia lihai sekali karena sanggup mengalahkan dua orang jagoannya, akan tetapi mengapa harus melukai mereka sedemikian beratnya.

“Ang-mo Niocu, mereka hanya kami suruh mengujimu, kenapa engkau melukai mereka?” Pangeran Cu Kiong menegur, biar pun ucapannya halus.

Ang-mo Niocu tersenyum. “Pangeran, mereka melanggar perintah Paduka, mereka bukan sekedar menguji akan tetapi juga bersikap tidak sopan kepada saya. Sebab itu saya telah melukai mereka dengan Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah). Apa bila tidak saya beri obat pemunah maka sebelah lengan mereka akan mati selamanya. Biar mereka tidak berani melanggar perintah Paduka lagi!”

Gadis itu memang cerdik. Dia menghukum kedua orang itu dengan alasan karena mereka telah melanggar perintah Pangeran Cu Kiong, bukan karena mereka mengganggunya. Hal ini berarti bahwa dia bertindak untuk membela pangeran itu! Mendengar ini, hati Pangeran Cu Kiong merasa senang dan kini dia membentak dua orang jagoannya itu.

“Hayo cepat kalian minta ampun kepada Ang-mo Niocu!”

Dua jagoan itu tadi mendengar bahwa mereka terluka oleh jarum beracun, maka mereka menjadi semakin panik kemudian cepat-cepat berlutut di depan kaki Ang-mo Niocu.

“Mohon ampun, Lihiap. Kasihanilah kami dan mohon diberi obat pemunahnya!” Mereka memohon bergantian.

Ang-mo Niocu memandang kepada Pangeran Cu Kiong. “Bagaimana, Pangeran?”

Pangeran itu mengangguk. “Harap berikan obatnya, Niocu. Bagaimana pun juga mereka adalah pembantu-pembantuku yang setia kepadaku.”

Ang-mo Niocu lalu menghampiri mereka, menggunakan sinkang (tenaga sakti) menyedot dua batang jarum itu dari pundak mereka menggunakan telapak tangannya, kemudian dia menyerahkan dua butir pil berwarna merah kepada mereka.

“Telan ini dan kalian akan sembuh.”

Thio Kwan dan Yu Kok Lun cepat menerima pil itu dan langsung menelannya. Benar saja, mereka merasa betapa kekakuan dan rasa nyeri panas di pundak mereka berkurang.

“Sekarang keluarlah dan pesan kepada semua prajurit jaga agar kunjungan Lihiap ini tidak sampai diketahui orang luar. Kalau sampai beritanya bocor, ini tanggung jawab kalian dan hukumannya akan berat sekali!”

Dua orang itu membungkuk kemudian keluar dari ruangan tamu. Pangeran Cu Kiong lalu menutup daun pintu sehingga mereka dapat bicara berdua dengan aman, tanpa ada yang dapat melihat atau mendengar mereka.

“Silakan duduk, Niocu. Sekarang buktikanlah lebih dahulu bahwa engkau memang benar-benar utusan dari Jenderal Wu Sam Kwi,” kata Pangeran Cu Kiong sambil menatap wajah cantik itu.

Ang-mo Niocu tersenyum manis sekali, tampak deretan giginya yang putih dan rapi, lalu ia duduk dan mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya di bagian dada!

“Pangeran, saya sengaja minta surat dari Raja Muda Wu Sam Kwi supaya Paduka tidak ragu lagi.”

Pangeran Cu Kiong menerima kertas yang masih terasa hangat karena lama berada di dada gadis itu. Dia memang seorang pria yang sudah biasa bergaul dan merayu wanita, maka sambil tersenyum dia mendekatkan kertas surat itu ke hidungnya, mengendusnya lalu berkata,

“Ahh... harumnya...!”

Ang-mo Niocu juga bukan seorang gadis yang belum pernah dirayu orang, maka ia tidak menjadi malu, malah senyumnya melebar dan sinar matanya berkilau karena senangnya.

“Saya simpan surat itu baik-baik agar jangan sampai dilihat orang lain, Pangeran.”

Pangeran Cu Kiong membaca surat itu. Surat dari Wu Sam Kwi itu menyatakan bahwa pihaknya telah siap untuk bekerja sama dengan Pangeran Cu Kiong. Untuk memperlancar hubungan mereka, dia mengirim Ang-mo Niocu sebagai utusan dan gadis itu sudah diberi wewenang penuh untuk mengatur rencana bersama Sang Pangeran.

Pangeran Cu Kiong merasa kagum dan juga heran sekali bagaimana seorang gadis muda seperti ini sudah diberi kekuasaan penuh oleh Jenderal atau kini Raja Muda Wu Sam Kwi!

“Niocu (Nona), di dalam surat ini Jenderal Wu Sam Kwi sudah memberi kekuasaan penuh padamu untuk berunding dan mengatur rencana denganku. Niocu, apakah kedudukanmu di sana sehingga dia begitu percaya kepadamu?”

Kembali gadis yang kedua pipinya merah tanpa yanci (bedak pemerah) tersenyum manis. Tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa walau pun ia tidak mau dijadikan selir, namun ia adalah seorang kekasih dari Wu Kan, seorang dari para putera Raja Muda Wu Sam Kwi.

“Pangeran, saya adalah murid dari Lam-hai Cin-jin. Datuk Selatan yang menjabat sebagai Koksu (Guru Negara, Penasihat) Raja Muda Wu Sam Kwi. Karena Suhu sendiri memiliki banyak kesibukan dan tidak mungkin terlalu lama meninggalkan jabatannya, maka Suhu minta kepada Raja Muda Wu untuk mengirim saya dan Raja Muda Wu menyetujuinya.”

Pangeran Cu Kiong mengangguk-angguk. Dia sudah mendengar tentang kesaktian Lam-hai Cin-jin. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian lihai, kiranya dia murid Lam-hai Cin-jin! Dia merasa gembira sekali bahwa Jenderal Wu mengirim utusan yang merupakan seorang gadis cantik manis dan lihai ilmu silatnya.

“Baik, kami dapat menerimamu sebagai utusan Raja Muda Wu Sam Kwi. Nah, sekarang lebih dulu kau ceritakan apa kesanggupan Raja Muda Wu untuk membantu kami dan apa pula syarat-syaratnya.”

“Pangeran, Raja Muda kami telah menerima berita dari Pangeran dan beliau setuju untuk membantu Paduka agar dapat merebut tahta kerajaan. Beliau telah mengambil keputusan untuk mengirim dua orang sakti yang dapat diandalkan, yaitu Guru saya sendiri Lam-hai Cin-jin bersama Susiok-couw (Kakek Paman Guru) Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) yang memiliki kesaktian tinggi. Dengan adanya mereka yang akan datang ke sini dalam bulan ini juga, saya kira akan dapat mengalahkan semua musuh-musuh Pangeran. Saya juga akan membantu Paduka sekuat tenaga.”

“Hemmm, Jenderal Wu Sam Kwi bersungguh-sungguh hendak membantu kami. Padahal dia membenci bangsa Mancu kami. Tentu bantuan itu diberikan bukan dengan percuma. Apa imbalan yang dimintanya?” tanya pangeran itu secara langsung dan terus terang.

“Aihh, senang bicara dengan Paduka yang terbuka dan jujur. Menurut Raja Muda kami, beliau hanya menghendaki agar kekuasaan beliau diakui oleh Kerajaan Ceng dan daerah kekuasaan beliau diperluas sampai ke daerah selatan Sungai Yang-ce.”

Pangeran Cu Kiong terdiam. Permintaan yang terlampau berlebihan, pikirnya. Masa minta perluasan daerah yang lebih besar dari pada yang sekarang telah dikuasai oleh Jenderal Wu Sam Kwi? Akan tetapi dia membutuhkan bantuan yang sangat kuat. Mudah saja nanti menghadapi Wu Sam Kwi bila sudah tercapai ambisinya, menjadi Kaisar Kerajaan Ceng!

Pula, kalau dia menolak, otomatis gadis itu tentu akan pergi, bahkan akan memusuhinya. Padahal dia demikian cantik jelita dan sikapnya begitu menantang! Ia merasa yakin benar bahwa tidak akan sukar untuk menikmati kesenangan bersama gadis ini! Baru pandangan mata dan senyum bibirnya itu saja sudah mengandung tantangan yang menggairahkan.

“Baiklah, kami menerima permintaan imbalan itu. Jika kami sudah berhasil menjadi Kaisar sebagai pengganti mendiang Ayahanda Kaisar, pasti permintaan itu akan kami penuhi!”

“Nah, sekarang sebaiknya Paduka menceritakan segala keadaan di kota raja, siapa saja musuh-musuh Paduka dan apa yang sudah terjadi, agar kita dapat merundingkannya dan mencari jalan terbaik, mengatur rencana yang tepat untuk mencapai kemenangan.”

Pangeran Cu Kiong tentu saja tidak tahu apa yang terdapat dalam benak Ang-mo Niocu pada saat itu. Dia tidak tahu bahwa gadis itu adalah pengikut Wu Sam Kwi yang setia dan diam-diam membenci Pemerintah Ceng, yaitu Pemerintah Mancu yang menjajah hampir seluruh daratan Cina. Tentu saja ia mendukung Wu Sam Kwi yang tak pernah mau takluk kepada Pemerintah Ceng, bahkan selalu bercita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari tanah air.

Akan tetapi yang dibencinya hanyalah Pemerintah Ceng, sedangkan pribadi Pangeran Cu Kiong yang begitu gagah dan tampan, tentu saja membuat dia tertarik dan dia tidak akan melewatkan kesempatan baik untuk bersenang-senang dengan pria muda setampan dan segagah itu begitu saja. Seorang pangeran lagi! Dan dari sikap dan sinar mata pangeran itu, Ang-mo Niocu yang sudah berpengalaman itu maklum benar bahwa dia tidak bertepuk sebelah tangan!

Pangeran Cu Kiong membutuhkan waktu untuk yakin benar bahwa tidak ada bahayanya apa bila dia menceritakan segala yang terjadi dan semua keadaannya kepada gadis yang baru dijumpainya itu, walau pun dia membawa surat dari Jenderal Wu Sam Kwi. Maka dia lalu tersenyum dan berkata,

“Niocu, sebaiknya engkau mengaso dahulu, mandi dan berganti pakaian. Engkau tampak lusuh dan lelah, maklum baru saja berkelahi. Setelah engkau mandi dan berganti pakaian, barulah kita makan. Sesudah itu kita bersantai dan ketika itu akan kuceritakan semuanya sehingga kita berdua dapat membuat rencana dengan lebih nyaman.”

Pangeran Cu Kiong bertepuk tangan sebagai isyarat untuk memanggil pelayan. Dua orang pelayan wanita memasuki ruangan tamu itu dengan cepat, keduanya masih muda dengan wajah dan bentuk tubuh cukup menarik.

“Kalian persiapkan sebuah kamar tamu yang terbaik untuk Nona ini. Dan layani kalau dia ingin mandi dan berganti pakaian. Setelah selesai antarkan ia ke kamar makan dan suruh para pekerja di dapur menyiapkan pesta kecil untuk menghormati Nona ini. Nah, sekarang antarkan dia ke kamar tamu.” Ia lalu bangkit dan berkata kepada Ang-mo Niocu. “Silakan, Niocu. Sampai jumpa nanti di ruangan makan.”

Gadis itu tersenyum, membungkuk sebagai penghormatan kemudian mengikuti dua orang pelayan itu dengan langkah berlenggang-lenggok lemah gemulai. Pandang mata Pangeran Cu Kiong terus mengikuti dari belakang dan dia tersenyum senang.

Setelah mandi, berganti pakaian dan bersolek sehingga dia tampak semakin cantik, Ang-mo Niocu diantar seorang pelayan memasuki ruangan makan yang luas. Ternyata di situ telah menanti Pangeran Cu Kiong yang juga sudah mandi dan berganti pakaian sehingga kelihatan tampan sekali. Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja yang telah penuh dengan bermacam-macam hidangan masakan, semua masih mengepulkan uap sehingga baunya yang sedap membuat perut menjadi semakin lapar.

Mereka makan minum dengan gembira dan bertambah akrab. Pangeran Cu Kiong senang sekali mendapat kenyataan bahwa gadis itu pun sangat kuat minum arak. Mereka saling menyulangi sampai menghabiskan beberapa cawan arak dan sesudah hawa arak mulai memasuki kepala mereka, keduanya semakin akrab, makan minum sambil tertawa-tawa gembira.

Setelah selesai makan, Pangeran Cu Kiong mengajak gadis itu bicara di dalam ruangan tertutup. Dia mulai menceritakan semua yang sudah terjadi di kota raja, tentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun yang menjadi saingannya paling berat, juga mengenai kematian Kaisar Shun Chi yang terbunuh oleh Thaikam Boan Kit, akan tetapi Thaikam itu sempat melarikan diri dan tidak tertangkap.

“Hemm, mengapa Thaikam Boan membunuh Kaisar?”

“Dia juga kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun!” kata Pangeran Cu gemas. “Pembunuhan sia-sia, karena sebelum mati ternyata Ayahanda Kaisar sudah meninggalkan surat wasiat kepada puteri Pamanda Pangeran Ciu Wan Kong yang bernama Ciu Thian Hwa. Bahkan Thian Hwa telah menerima Tek-pai dari Kaisar karena ia telah menyelamatkan Kaisar dari serangan lima orang pembunuh yang tentu dikirim pula oleh Pangeran Leng. Karena itu, sesudah Kaisar wafat, Thian Hwa yang memegang Tek-pai dapat mempengaruhi semua orang yang terpaksa harus tunduk. Menurut surat wasiat itu, Pangeran Mahkota Kang Shi yang akan diangkat menjadi kaisar baru. Pengangkatannya akan dilakukan setelah lewat masa perkabungan seratus hari. Sungguh keadaan ini tidak menguntungkan sama sekali!”

“Hemmm, gadis bernama Ciu Thian Hwa itu lihai juga. Padahal dia adalah puteri seorang pangeran.”

“Ya, dia puteri Pamanda Pangeran Ciu Wan Kong, jadi masih terhitung saudara sepupu dengan aku. Sebelumnya ia memang terpisah dari ayahnya dan hidup di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar berjuluk Huang-ho Sian-li.”

“Apa...?!” gadis itu terkejut sekali.

“Ehh? Engkau mengenalnya, Niocu?”

Ang-mo Niocu mengangguk, “Saya pernah bertemu dengannya, Pangeran, malah pernah bertanding dengannya.”

“Engkau kalah...?”

“Ah, tidak mungkin saya dikalahkan oleh Huang-ho Sian-li, Pangeran!” kata Ang-mo Niocu bangga. “Akan tetapi sebelum kami berkelahi lebih lanjut, ada yang melerai. Dia itu murid Siauw-lim-pai bernama Bu Kong Liang.”

“Bu Kong Liang? Hemm, dia termasuk orang yang membantu Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki yang melindungi Adinda Pangeran Kang Shi.” Dia lalu menceritakan tentang hasil sidang yang diadakan setelah kaisar wafat.

“Selain Pangeran Kang Shi yang masih anak-anak itu ditetapkan menjadi kaisar menurut surat wasiat, juga pendamping atau penasihatnya ditentukan nanti setelah Pangeran Kang Shi menjadi kaisar. Aku berani memastikan bahwa dia akan memilih Pamanda Pangeran Bouw yang telah melindungi dan mendidiknya sejak kecil. Menggemaskan sekali!”

“Tenanglah, Pangeran. Mari kita melihat posisi Paduka. Jelas sekarang bahwa di sini ada tiga pihak yang bertentangan. Pertama tentu saja pihak Pangeran Bouw yang melindungi Pangeran Mahkota, calon kaisar baru. Pihak ke dua adalah Pangeran Leng, dan pihak ke tiga adalah Paduka sendiri. Benarkah gambaran saya itu?”

“Benar.”

“Nah, sekarang marilah kita melihat kekuatan semua pihak. Pertama kekuatan Pangeran Bouw. Harap Paduka gambarkan kekuatan pihak ini.”

“Pangeran Mahkota sendiri baru berusia sekitar sebelas tahun dan dia tidak ada artinya. Pangeran Bouw Hun Ki juga seorang yang lemah, seorang sastrawan. Mereka didukung beberapa orang panglima dengan pasukannya, meski pun tidak semua. Tetapi Pangeran Kang Shi berada dalam lindungan yang amat kuat. Isteri Paman Pangeran Bouw adalah seorang wanita sakti, kabarnya dulu ketika muda dia juga seorang pendekar berjuluk Sin-hong-cu. Mereka memiliki dua orang anak, yang pertama bernama Bouw Kun Liong dan yang ke dua bernama Bouw Hwi Siang. Pemuda dan gadis saudara-saudara sepupuku ini pun sangat lihai karena digembleng oleh ibu mereka sendiri. Di samping mereka ada pula Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa itu, dan dibantu pula oleh dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Sudah terbukti bahwa kedudukan mereka amat kuat dan tempat perlindungan Pangeran Mahkota Kang Shi sulit ditembus.”

“Lalu bagaimana dengan kekuatan pihak Pangeran Leng Kok Cun?”

“Menurut para penyelidikku, sebetulnya kekuatan Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak berapa hebat lagi. Memang ia telah mempunyai dukungan berupa beberapa orang pejabat tinggi dan panglima, akan tetapi kekuatannya itu rontok sesudah Thaikam Bong melarikan diri karena membunuh Ayahanda Kaisar sehingga dia tidak lagi mempunyai sekutu yang berpengaruh di dalam istana. Aku juga heran kenapa dia begitu gegabah menyuruh Boan Thaikam membunuh Kaisar. Setahuku, orang-orang sakti yang mendukungnya sekarang tidak begitu mengkhawatirkan. Mereka hanyalah Pat-chiu Lo-mo, Hui-eng-to Phang Houw, dan Liong-bu-pangcu Louw Cin dengan anak buahnya, para anggota Liong-bu-pang.”

“Hemm, kalau begitu, dia bukan merupakan saingan berat, Pangeran.”

Pangeran Cu Kiong menghela napas panjang. “Bagi kami dia tetap saja berbahaya karena sekarang kami tidak lagi mempunyai pendukung yang kuat. Dulu kami mempunyai Kam-keng Chit-sian, akan tetapi kini tinggal dua orang saja, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang telah kau robohkan tadi. Juga para pejabat tinggi yang mendukungku tidak sebanyak mereka yang mendukung Pangeran Leng. Sebab itulah maka kami menghubungi Jenderal Wu Sam Kwi dan mengajak bekerja sama.”

Melihat wajah pangeran itu tampak muram, Ang-mo Niocu berkata ramah dan menghibur. “Jangan putus asa, Pangeran. Tak percuma Paduka mengajak kami bekerja sama. Saya kira, hal yang paling penting bagi Paduka sekarang adalah menyingkirkan Pangeran Leng. Jika dia sudah tidak menjadi penghalang lagi, maka kita bisa mencurahkan semua tenaga dan perhatian untuk menghadapi Pangeran Mahkota yang dilindungi Pangeran Bouw. Kita tunggu saja kedatangan Suhu dan Susiok-couw. Percayalah, semuanya pasti beres dan akhirnya Paduka pasti akan menang dan dapat menguasai tahta Kerajaan Ceng.”

Hati Pangeran Cu menjadi lega dan girang sekali. “Ah, Niocu, jika benar kata-katamu dan aku dapat mencapai cita-citaku menjadi Kaisar menggantikan Ayahanda, aku tidak akan melupakan jasamu yang besar dan apa pun yang kau minta, pasti akan kupenuhi!”

Mendengar ini, tentu saja Ang-mo Niocu menjadi gembira sekali. Pangeran ini lebih gagah dan lebih tampan dibandingkan Wu Kongcu atau Wu Kan putera Raja Muda Wu Sam Kwi, apa lagi jika Pangeran Cu dapat menjadi kaisar, tentu kedudukannya menjadi yang paling tinggi.

“Benarkah janji itu, Pangeran?”

“Tentu saja benar, dan janji seorang calon kaisar pasti tidak akan dilanggar. Katakan, apa yang kau minta kalau kelak perjuangan kita berhasil?”

“Maaf, Pangeran, tentu Paduka sudah memiliki isteri, seorang calon permaisuri, bukan?” tanya gadis itu sambil mengerling tajam penuh arti dan tersenyum manis.

Pangeran Cu Kiong tertawa. “Ha-ha-ha, aku belum mempunyai isteri, hanya ada beberapa orang selir, Niocu. Apa maksudmu menanyakan hal itu?”

Wajah yang manis itu berubah kemerahan. “Aihh, tidak apa-apa, Pangeran, saya hanya... ehh, saya juga belum menikah....”

“Ha-ha-ha! Benarkah itu yang kelak kau minta itu? Engkau ingin menjadi isteriku, menjadi calon permaisuri?”

“Seorang manusia harus mempunyai cita-cita yang tinggi, Pangeran. Jika Paduka bercita-cita menjadi kaisar, apa salahnya kalau saya juga bercita-cita menjadi permaisuri?”

Pangeran Cu Kiong gembira sekali. Dia lantas bangkit kemudian maju merangkul gadis itu dan menciumnya. Ang-mo Niocu tidak menolak bahkan membalas dengan mesra.

“Jangan khawatir, Niocu... ehh, siapakah namamu, manis?”

“Nama saya Yi Hong, Pangeran.”

“Yi Hong, aku berjanji bahwa kalau kelak engkau berhasil membantu aku menjadi kaisar, engkau akan kuangkat menjadi permaisuriku. Mari kuperkenalkan dengan para selir dan pelayan di istanaku ini, Hong-moi (Dinda Hong)!” Cu Kiong menggandeng tangan gadis itu dengan mesra dan diajaknya masuk ke bagian dalam gedung itu.

Cu Kiong memperkenalkan Yi Hong atau Ang-mo Niocu kepada lima orang selirnya yang kesemuanya masih muda dan cantik, lalu memperkenalkan pula kepada para pelayan dan pengawal sebagai tunangannya! Dia memerintahkan kepada mereka semua agar selalu menghormati dan menaati semua perintah gadis itu.

“Semua perintah Niocu harus ditaati seperti perintahku sendiri,” katanya. “Siapa saja yang melanggar akan dihukum berat.”

Diam-diam Thio Kwan dan Yu Kok Lun menjadi terkejut bukan main. Tadi mereka bersikap kurang hormat kepada gadis itu dan untung mereka tidak menerima hukuman berat.

Tentu saja Ang-mo Niocu Yi Hong sendiri tidak pernah menduga bahwa pangeran yang tampan dan sangat cerdik itu hanya hendak memanfaatkan dirinya sebagai kekasih yang menggairahkan dan sebagai pembantu yang mempunyai ilmu silat tinggi. Sedikit pun tidak ada niat di hati Pangeran Cu Kiong untuk mengambil seorang gadis kang-ouw yang liar dan kasar sepertinya, apa lagi yang bersuku bangsa Yao, menjadi permaisuri kelak kalau dia berhasil menjadi kaisar…..!

******************** 


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 20

Belasan hari kemudian…..

Suasana berkabung masih meliputi kota raja. Dalam masa perkabungan selama seratus hari itu tak ada penduduk yang berani mengadakan pesta dan bersenang-senang. Bahkan mereka yang hendak mengadakan perayaan pernikahan anak mereka pun terpaksa harus diundur sampai lewatnya masa perkabungan kematian kaisar itu.

Seperti juga Pangeran Cu Kiong, Pangeran Leng Kok Cun merasa penasaran dan marah sekali. Semua usahanya telah gagal sama sekali. Usahanya membunuh ayahnya sendiri yang dilakukan Thaikam Boan memang berhasil. Kaisar terbunuh dan Thaikam Boan bisa melarikan diri sehingga tidak tertawan dan tidak membongkar rahasianya, tetapi hasilnya sama saja. Sama sekali tidak menguntungkan baginya. Bahkan lebih payah lagi. Ternyata ayahnya sudah meninggalkan surat wasiat yang mengangkat Pangeran Kang Shi menjadi pengganti Kaisar!

Dan yang lebih celaka lagi, dia tidak dapat memaksa agar dirinya dijadikan pelindung dan pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi yang masih kecil itu. Yang menjadi halangan adalah Pangeran Bouw Hun Ki, dan tentu saja Ciu Thian Hwa!

Sialan, sebelum mati ayahnya memberi Tek-pai kepada Ciu Thian Hwa sehingga gadis itu dapat mempengaruhi semua orang yang takut kepada pemegang Tek-pai. Maka dia pun kembali tak berdaya! Kini harapan menjadi pengganti Kaisar telah lenyap, bahkan harapan untuk menjadi pendamping adiknya pun sia-sia! Dia marah sekali dan memutar otak untuk mencari jalan yang baik agar ambisinya tercapai.

Malam itu gelap sekali. Bulan tidak kelihatan, ditambah adanya awan mendung membuat malam itu gelap gulita karena tak ada bintang yang tampak. Langit merupakan kehitaman pekat dan hanya sekali-sekali saja berkelebat cahaya halilintar disusul suara guntur yang terdengar lapat-lapat saking jauhnya.

Pangeran Leng Kok Cun mengadakan rapat dengan para pembantunya di sebuah ruang tertutup dalam gedungnya. Yang hadir adalah Pat-chiu Lo-mo, kakek berusia enam puluh tiga tahun yang tubuhnya kurus bongkok dan mukanya buruk.

Pat-chiu Lo-mo ini bernama Cio Kiat, seorang tokoh sesat dunia kang-ouw bagian Utara. Senjatanya adalah sebatang tongkat, sebuah Yang-liu-san (Kipas Cemara) dan beberapa buah hui-to (pisau terbang) terselip di pinggangnya. Memang tokoh ini sejak dulu menjadi pembantu setia dari Pangeran Leng dan dialah yang mencarikan jagoan-jagoan yang mau mendukung Pangeran Leng dengan janji yang muluk-muluk bila mana usaha pangeran itu berhasil.

Orang kedua yang hadir adalah seorang pembantu baru. Tokoh ini seorang datuk besar yang amat lihai berjuluk Bu-lim Sai-kong (Kakek Singa Rimba Persilatan). Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar laksana raksasa, rambut kepalanya kemerahan, sebagian terurai menutupi wajahnya yang merah sehingga wajah itu mirip muka seekor singa. Di pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji besar.

Bu-lim Sai-kong ini selain memiliki tenaga besar dan ilmu goloknya berbahaya sekali, juga dia memiliki sinkang yang sangat kuat dan mahir pula menggunakan ilmu sihir. Dia sangat dihormati oleh Pat-chiu Lo-mo yang berhasil menariknya untuk membantu Pangeran Leng karena Pat-chiu Lo-mo yang lihai itu maklum bahwa tingkat kepandaian Si Muka Singa ini jauh lebih kuat dan lebih tangguh dari pada tingkat kepandaiannya sendiri!

Ada pun dua orang lagi yang hadir adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Golok Garuda Terbang) karena dia terkenal dengan ilmu goloknya Hui-eng-to-hoat yang cukup dahsyat. Tubuhnya gemuk pendek dengan wajah bundar kekanak-kanakan, namun gerak-geriknya sombong.

Dan seorang lainnya bertubuh tinggi kurus, usianya sebaya dengan Phang Houw, sekitar empat puluh empat tahun. Si Tinggi Kurus ini bernama Louw Cin dan dia adalah ketua perkumpulan Liong-bu-pang dari kota Tui-lok. Dia pun sudah lama bergabung dengan Pat-chiu Lo-mo, bahkan mengerahkan anak buahnya para anggota Liong-bu-pang sebanyak kurang lebih lima puluh orang yang selalu bersiap membantu Pangeran Leng. Louw Cin ini terkenal dengan senjata ruyung besinya yang berduri dan tampak menyeramkan.

Mereka berlima duduk mengelilingi sebuah meja besar, berunding sambil minum-minum. Pangeran Leng telah mengambil keputusan nekat. Malam itu juga dia akan mengerahkan para pembantunya untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa, karena dua orang inilah yang merupakan penghalang utama sehingga dia tidak dapat menguasai kerajaan dengan menjadi pendamping sekaligus penasihat adiknya yang diangkat menjadi kaisar, yaitu Pangeran Kang Shi yang masih kecil.

Kalau dia bisa menjadi pelindung atau pendamping calon kaisar yang masih kanak-kanak itu, sama saja dengan dia sendiri yang menjadi kaisar dan memimpin pemerintah. Kalau sudah begitu, segala hal dapat dia atur sesukanya, bahkan mudah saja untuk kemudian melenyapkan Kaisar Kang Shi yang masih kanak-kanak sehingga dia sebagai kakaknya tentu dapat menggantikannya menjadi kaisar, apa lagi jika dia sudah menjadi pendamping kaisar!

Perebutan kekuasaan selalu terjadi di mana-mana. Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk mendapat kekuasaan, baik hal itu terjadi di dalam keluarga, di dalam masyarakat, perkumpulan, perusahaan, di antara karyawan, sampai ke para pembesar dan pejabat.

Manusia bisa berbuat apa saja untuk memperebutkan kekuasaan. Tujuan menghalalkan segala cara! Untuk mencapai tujuan itu, orang melakukan segala cara licik dan kejam. Bahkan terjadi saling bunuh di antara saudara, di antara bangsa, sampai menjalar kepada perang antar bangsa. Semua demi memperoleh kekuasaan!

Siapa yang menang dialah yang berkuasa dan yang berkuasa itu pasti benar dan senang. Jadi memperebutkan kekuasaan itu pada hakekatnya adalah untuk mencari kesenangan dan kesenangan biasanya bisa diperoleh dengan uang. Dengan sendirinya permusuhan, perang, perebutan kekuasaan itu tiada lain hanyalah memperebutkan harta karena harta mendatangkan kesenangan!

Andai kata kekuasaan yang diperebutkan itu tidak mendatangkan uang, adakah kiranya orang yang hendak memperebutkannya? Kedudukan atau kekuasaan sebagai pengurus perkumpulan sosial yang biasanya tidak mendatangkan keuntungan uang, tidak pernah diperebutkan, malah dia yang ditunjuk mencari berbagai alasan untuk menolaknya. Akan tetapi sebuah kedudukan atau kekuasaan yang akan mendatangkan banyak uang, pasti menjadi rebutan!

Kekuasaan bisa membuat orang menjadi gila kekuasaan. Merasa dirinya paling atas dan biasanya hal ini mendatangkan ketinggian hati dan melahirkan tindakan yang sewenang-wenang. Terutama sekali, orang yang memegang kekuasaan biasanya dirubung penjilat-penjilat yang ingin mendapat bagian dari keuntungannya berupa harta. Kenyataan seperti ini terdapat di sepanjang jaman dan terjadi pada para penguasa, semenjak jaman dahulu sampai sekarang.

Pangeran Leng Kok Cun sering membayangkan betapa senangnya apa bila dia menjadi kaisar. Segala keinginannya pasti terkabul, segala perintahnya pasti akan ditaati orang. Kehormatan, kemuliaan, kemewahan, akan berlimpahan memenuhi kehidupannya setiap hari. Ingin memuaskan mata menikmati pemandangan indah, tinggal perintah dan para pembantunya akan menyediakannya. Ingin memuaskan telinga menikmati pendengaran merdu, ingin memuaskan penciuman menikmati harum-haruman, ingin memuaskan mulut menikmati makanan apa saja, semua tinggal perintah dan pasti akan terlaksana. Bahkan ingin wanita cantik yang mana pun, tinggal menggapai pasti akan dimilikinya.

Membayangkan segala kesenangan ini membuat Pangeran Leng semakin bernafsu untuk meraihnya, bila perlu dengan jalan apa pun juga. Membunuh atau menyuruh bunuh ayah kandung sendiri pun sudah dia lakukan!

Pangeran Leng lupa atau buta akan kenyataan, seperti semua orang yang sedang dilanda nafsu keinginan mendapatkan sesuatu, bahwa bayangan dan kenyataan itu berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Lupa bahwa segala macam bayangan kesenangan itu akan hilang tidak ada artinya kalau dia terserang penyakit yang paling sederhana sekali pun, seperti misalnya sakit gigi, kepala pening, sakit perut, sakit mata dan sebagainya. Semua kesenangan itu tidak akan dapat dinikmati lagi, kalah oleh kesengsaraan sebuah penyakit yang paling sederhana! Juga dia lupa bahwa segala macam bentuk kesenangan, baik itu yang dinikmati melalui mata, telinga, hidung, mulut dan indera lainnya, semuanya akan mendatangkan kebosanan.

Yang paling dapat menikmati sesuatu adalah orang yang belum mempunyai sesuatu itu, dinikmati benar melalui pikiran yang membayangkannya. Akan tetapi bila mana sesuatu itu sudah dimilikinya, maka yang datang adalah kebosanan.

Semua kesenangan duniawi, kesenangan badani pasti mendatangkan kebosanan karena nafsu keinginan itu akan menjangkau yang lain lagi, yang belum dimilikinya! Yang sudah terdapat menjadi bosan dan yang tampak nikmat dan indah adalah sesuatu yang belum didapat! Beginilah ulah nafsu keinginan!

Berbahagialah orang yang dapat menikmati APA ADANYA, menikmati saat demi saat, apa pun yang terjadi padanya, apa pun yang diperolehnya, yang selalu bersyukur dan memuji nama Yang Maha Kasih atas apa saja yang terjadi padanya dan menerimanya sebagai karunia yang dianugerahkan kepadanya, tanpa memperhitungkan untung rugi atau enak tidak enak!

Seperti yang telah disepakati, menjelang tengah malam, Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Hui-eng-to Phang Houw, Louw Cin dan sekitar lima puluh orang anggota Liong-bu-pang berangkat menuju gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Tugas mereka adalah untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!

Semula Pangeran Leng Kok Cun memang merasa ragu-ragu. Dia maklum betapa kuatnya mereka yang berada di gedung Pangeran Bouw Hun Ki itu. Akan tetapi Pat-chiu Lo-mo menghiburnya.

“Jangan khawatir, Pangeran. Dengan adanya Bu-lim Sai-kong, yakinlah bahwa malam nanti Pangeran Bouw Hun Ki pasti akan mampus! Ada pun tentang diri Huang-ho Sian-li, biar pun dia merupakan lawan yang cukup tangguh, namun saya yakin kami berdua pasti sanggup membunuhnya. Pula, siasat kita akan membuat mereka itu terpencar sehingga menjadi lemah.”

“Hoa-ha-ha! Pangeran, percayalah kepada saya! Sekali Bu-lim Sai-kong bergerak, pasti leher musuh akan terpenggal oleh golok saya ini, ha-ha-ha!”

Mereka berangkat dengan terpencar. Kegelapan malam itu melindungi mereka sehingga dengan mudah mereka dapat tiba di luar tembok pagar gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Sesuai dengan siasat yang telah mereka atur dan rencanakan sebelumnya secara masak, Phang Houw dan Louw Cin memimpin kurang lebih lima puluh orang anak buah Liong-bu-pang. Sebagian, dipimpin oleh Phang Houw, melepas anak panah berapi ke arah belakang, kanan dan kiri gedung sehingga tidak lama kemudian terjadi kebakaran di tiga tempat itu.

Sesudah terjadi kebakaran dan terdengar kegemparan di sebelah dalam, Louw Cin segera memimpin anak-anak buahnya untuk menyerbu pintu gerbang. Diserang secara serentak dalam kegelapan itu, para prajurit yang melakukan penjagaan di gedung itu menjadi panik juga.

Jumlah para petugas yang bergilir hanya sekitar tiga puluh orang, ini pun dibagi. Ada yang bertugas di pintu gerbang, ada yang bertugas di sekeliling rumah dan ada yang meronda. Maka sekitar lima belas orang yang bertugas menjaga di pintu gerbang, tentu saja terkejut ketika diserbu puluhan orang yang semuanya bersenjata ruyung. Memang semua anggota Liong-bu-pang bersenjata ruyung seperti ketua mereka.

Seluruh isi gedung Pangeran Bouw Hun Ki menjadi sibuk. Sebagian prajurit memadamkan kebakaran di tiga bagian, dan sisanya menyambut serbuan musuh. Kini anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw sudah membantu kawan-kawan mereka pula, menyerbu di pintu gerbang sehingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Lima puluh orang mendesak lima belas orang prajurit!

Akan tetapi tiba-tiba muncul empat orang muda yang gerakannya amat dahsyat. Mereka adalah Bu Kong Liang yang mengamuk dengan siangkek-nya (sepasang tombak pendek bercagak), didampingi Bouw Kun Liong yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang), dan Bouw Hwi Siang yang bersenjata siang-kiam pula didampingi Gui Siang Lin yang juga bersenjata siang-kiam. Munculnya empat orang muda lihai ini membuat para penyerang menjadi kocar-kacir.

Dengan marah Phang Houw menerjang dengan goloknya. Dia segera disambut Bu Kong Liang yang sudah menggerakkan sepasang tombak pendeknya. Tombak kiri menangkis bacokan golok dan tombak kanan membalas dengan tusukan ke arah perut.

Phang Houw terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat oleh tangkisan itu. Cepat dia melangkah mundur dan memutar tubuh untuk menghindarkan diri dari tusukan tombak pendek. Goloknya lantas berkelebat menyambar lagi tetapi serangannya selalu dapat ditangkis oleh Bu Kong Liang. Segera mereka berdua bertanding dengan mati-matian.

Liong-bu-pangcu Louw Cin juga penasaran sekali. Bagaimana pun juga dia mengandalkan jumlah anak buahnya yang lebih banyak. Tadi dia mengamuk, akan tetapi melihat di pihak musuh muncul dua orang gadis dan dua orang pemuda yang gerakannya lihai, dia cepat maju untuk membantu Phang Houw. Tetapi ruyungnya bertemu dengan sebatang pedang di tangan kiri Bouw Kun Liong.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar dan Louw Cin terdorong mundur dua langkah. Dia terkejut sekali sebab dari tangkisan tadi dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang pemuda yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berdiam diri karena sepasang pedang di tangan Bouw Kun Liong kini menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mengamuk. Louw Cin melawan sekuat tenaga dan mereka berdua pun bertanding dengan seru dan mati-matian.

Sementara itu dua orang gadis cantik yang gagah perkasa itu, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin, mengamuk bagaikan dua ekor harimau betina yang dikeroyok banyak anjing srigala. Mereka menubruk ke kanan kiri dan depan, terkadang memutar tubuh dan pedang mereka membentuk-sinar bergulung-gulung. Terkadang ada lawan yang terkena sambaran sinar itu dan dia roboh mandi darah.

Pertempuran itu terjadi di pekarangan yang hanya diterangi lampu gantung di depan gardu sehingga cuacanya remang-remang. Hal ini malah menyukarkan bagi para pengeroyok karena gerakan dua orang gadis itu lincah dan cepat sekali.

Saat itu di sebelah dalam gedung, di ruangan yang luas, terjadi pula perkelahian yang tak kalah hebatnya. Tadi, melihat anak buahnya sudah berhasil melakukan pembakaran dan menyerbu pintu gerbang, Pat-chiu Lo-mo dan Bu-lim Sai-kong segera melompati pagar tembok dan mereka berhasil memasuki gedung dari atas atap. Akan tetapi saat itu semua penghuni gedung sudah terbangun oleh keributan itu.

Pangeran Bouw Hun Ki yang maklum bahwa ada penjahat menyerbu dan mereka itu tentu berniat membunuh Pangeran Mahkota, langsung mengajak Pangeran Kang Shi memasuki sebuah ruang rahasia yang sengaja dibangun untuk menyembunyikan Pangeran Mahkota dari ancaman bahaya. Pangeran Bouw Hun Ki lalu tinggal di situ, bersembunyi bersama Pangeran Mahkota.

Akan tetapi Bouw Hujin dan Ciu Thian Hwa mengira bahwa yang diincar para penyerbu itu sudah pasti Pangeran Mahkota Kang Shi, maka keduanya cukup membiarkan Bu Kong Liang, Bouw Kun Liong, Gui Siang Lin, dan Bouw Hwi Siang berempat membantu para prajurit pengawal menghadapi serbuan para penjahat, sedangkan mereka berdua siap dan waspada menjaga ruangan tengah yang luas di mana terdapat pintu tembusan rahasia ke tempat persembunyian Pangeran Kang Shi.

Dua orang wanita perkasa ini sama sekali tidak menyangka bahwa dugaan mereka sekali ini keliru. Bukan Pangeran Kang Shi yang menjadi sasaran pembunuhan, tetapi Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa yang dianggap sebagai penghalang tercapainya cita-cita Pangeran Leng untuk menjadi pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi, bila nanti sudah dinobatkan sebagai kaisar!

Ketika ada dua sosok bayangan melayang turun dari atas atap lantas memasuki ruangan yang luas itu, Bouw Hujin dan Thian Hwa masih menyangka bahwa dua orang itu tentu hendak mencari Pangeran Kang Shi. Thian Hwa segera mengenali seorang dari mereka yang bukan lain adalah Pat-chiu Lo-mo, musuh lama yang pernah dia lawan ketika dahulu membantu Pangeran Cu Kiong yang pada waktu itu disangkanya seorang yang baik budi. Bahkan dalam pertandingan yang seru, dia berhasil mengalahkan Pat-chiu Lo-mo walau pun tidak sampai membunuhnya.

Ada pun orang ke dua yang muncul bersama Pat-chiu Lo-mo sama sekali tak dikenalnya. Lelaki berusia enam puluh tahun itu tampak menyeramkan dengan mukanya yang seperti muka singa, rambut merah riap-riapan, tubuh tinggi serta kekar. Bouw Hujin yang dahulu seorang pendekar wanita juga belum pernah melihatnya.

“Pat-chiu Lo-mo jahanam busuk! Engkau tentu utusan Pangeran Leng untuk melakukan kejahatan, akan tetapi sekarang aku tidak akan mengampuni dan membiarkanmu hidup!” Thian Hwa membentak marah sambil menudingkan pedangnya ke arah muka kakek kurus bongkok itu.

Pat-chiu Lo-mo merasa jeri terhadap Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang kelihaiannya sudah dia kenal. Dia lebih memandang rendah kepada Nyonya Bouw Hun Ki. Walau pun dia sudah mendengar bahwa isteri Pangeran Bouw ini juga seorang wanita yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi dia menganggap mustahil jika dia lebih lihai dari pada Huang-ho Sian-li. Maka dia memberi isyarat kepada Bu-lim Sai-kong agar kawannya itu menghadapi Huang-ho Sian-li dan dia yang akan melawan Bouw Hujin.

Akan tetapi Bu-lim Sai-kong yang berwatak sombong sekali dan menganggap bahwa di dunia ini hanya dialah yang paling hebat, memandang rendah dua orang wanita itu dan dia tertawa. Suara tawanya juga aneh sekali, mirip singa mengaum, kepalanya didongakkan, mulutnya dibuka lebar dan terdengar auman yang menggetarkan jantung.

Karena auman itu merupakan pengerahan kekuatan sihir atau ilmu hitam yang memakai tenaga berasal dari roh jahat, yang sengaja dikerahkan dan ditujukan kepada Bouw Hujin dan Thian Hwa, maka kedua orang wanita itu mendadak merasa betapa isi dada mereka terguncang, juga kepala mereka menjadi pening dan kacau! Hampir saja Thian Hwa kena terpengaruh dan terbawa ikut tertawa, dan kalau hal ini terjadi maka berarti ia akan tunduk di bawah pengaruh Sai-kong itu. Akan tetapi tiba-tiba Bouw Hujin berseru nyaring.

“Segala ilmu setan tidak akan dapat mengganggu batin yang bersih!”

Mendengar ini, Thian Hwa sadar bahwa dirinya diserang melalui suara tawa itu dengan ilmu sihir, maka cepat ia mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan perhatian menolak pengaruh itu dan seketika pengaruh itu pun menghilang.

Bu-lim Sai-kong merasa penasaran melihat dua orang wanita itu tidak bisa dia pengaruhi, maka dia cepat berkemak-kemik membaca mantera, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas seperti kedua kaki depan biruang hendak menerkam. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan dia berkata dengan suara yang menggelegar.

“Kalian dua orang wanita lemah, hayo berlututlah di hadapan Bu-lim Sai-kong!” Dari kedua tangannya itu seolah keluar hawa yang bergetar kuat.

Kembali Huang-ho Sian-li merasa seolah-olah kedua lututnya gemetar dan hampir saja ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut. Kekuatan sihir Bu-lim Sai-kong memang hebat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengaruh yang amat kuat itu. Untung baginya bahwa Bouw Hujin kini berada di situ. Nyonya Bouw ini jauh lebih berpengalaman dibandingkan Thian Hwa dalam menghadapi serangan sihir macam itu.

Ketika Bu-lim Sai-kong menyerang dengan sihir untuk kedua kalinya, Bouw Hujin menjadi tidak sabar lagi.

“Pergilah!” bentaknya, dan dari tangannya menyambar tiga sinar putih ke arah Sai-kong itu.

Ternyata jalan pikiran Nyonya Bouw sama dengan Thian Hwa karena Huang-ho Sian-li ini juga sudah menyambitkan Pek-hwa-ciam ke arah Pat-chiu Lo-mo. Hampir berbareng, tiga buah Gin-seng-piauw (Piauw Bintang Perak) dan tiga batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) meluncur ke arah Bu-lim Sai-kong dan Pat-chiu Lo-mo!

Akan tetapi dua orang kakek itu juga bukan orang sembarangan. Pat-chiu Lo-mo sudah berhasil menyampok atau mengebut tiga batang jarum yang dilepas Thian Hwa dengan Yang-liu-san (Kipas Cemara) yang berada di tangan kirinya. Sedangkan Sai-kong itu pun berhasil menangkis tiga buah Gin-seng-piauw dengan golok besar di tangan kanannya.

Melihat ilmu sihirnya tidak mampu menundukkan dua orang wanita itu, Bu-lim Sai-kong baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan dua orang wanita yang lihai, terutama Nyonya Bouw. Maka sesudah menangkis Gin-seng-piauw, dia langsung saja menyerang nyonya itu.

Bouw Hujin juga sengaja menghadapi kakek muka singa ini karena dia dapat menduga bahwa Si Muka Singa inilah yang merupakan lawan berbahaya. Mungkin kalau bertanding ilmu silat, belum tentu Thian Hwa akan dikalahkan karena tingkat kepandaian gadis Dewi Sungai Kuning itu tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi agaknya Thian Hwa belum begitu kuat menghadapi serangan ilmu sihir.

Maka melihat Sai-kong itu menggerakkan goloknya yang menyeramkan, golok yang amat besar dan berat dengan punggung golok berbentuk gergaji, Bouw Hujin cepat memainkan sepasang pedangnya dengan Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai) yang terkenal indah dan lembut namun sangat kuat. Menghadapi golok besar yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu, Bouw Hujin cepat memainkan kedua pedangnya dengan ilmu pedang Thai-kek-kiam dari Bu-tong-pai.

“Mampus kau!” Bu-lim Sai-kong membentak, bentakan yang tetap mengandung getaran hebat ilmu sihir yang sudah merupakan serangan pendamping, lalu goloknya menyambar dari kanan ke kiri mengarah ke leher Bouw Hujin.

Bouw Hujin bergerak cepat, menggunakan jurus Yancu-pok-cui (Burung Walet Menyambar Air). Ia merendahkan tubuh, agak membungkuk, pedang kanan melintang di depan kedua kakinya, pedang kiri diacungkan ke atas, lantas pedang kanan cepat menyambar ke atas membalas dengan tusukan dari bawah ke arah tenggorokan lawan sambil berdiri dengan kaki kanan, kaki kiri mengangkat lututnya. Gerakannya lembut tetapi mengandung tenaga sinkang dan tahu-tahu pedangnya sudah meluncur ke arah tenggorokan Bu-lim Sai-kong.

Kakek muka singa ini cepat-cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat pedang itu terpental. Namun, seperti hidup pedang itu mengelak sehingga tidak sampai terpukul golok yang besar dan berat.

Perkelahian berlangsung seru dan menegangkan. Gerakan Bu-lim Sai-kong bagai seekor harimau yang kuat dan kasar, menubruk dan mencengkeram, tetapi Bouw Hujin bergerak perlahan, seakan tanpa tenaga, terkadang diam, bagaikan seekor ular yang menghadapi serangan harimau yang kasar. Meski pun gerakannya tampak perlahan, namun waspada dan semua serangan dapat dihindarkan dengan baik, bahkan serangan balasannya terjadi cepat dan tidak terduga-duga sehingga sering kali Bu-lim Sai-kong berseru kaget.

Sementara itu Thian Hwa yang marah sekali melihat musuh besarnya, sudah menerjang Pat-chiu Lo-mo dengan ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang khas. Ilmu pedang ini gubahan Thian Bong Sianjin, merupakan perkembangan dari Kwan-im Kiam-hoat (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im).

Pat-chiu Lo-mo yang memang telah merasa jeri menghadapi Thian Hwa, segera terdesak hebat walau pun dia sudah melawan mati-matian dengan tongkatnya dan kipasnya. Kakek kurus bongkok ini bahkan merasa kaget karena dibandingkan sekitar dua tahun yang lalu, gadis ini ternyata kini jauh lebih lihai lagi! Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis ini sudah memperdalam lagi ilmu silatnya di bawah gemblengan gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya!

Lebih panik lagi hatinya ketika dia sempat melirik ke arah temannya. Ternyata Bu-lim Sai-kong yang amat dia andalkan, yang sudah buka mulut besar meyakinkan hati Pangeran Leng bahwa mereka berdua pasti dapat membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li, sekarang juga terdesak hebat oleh Bouw Hujin yang agaknya tidak kalah lihai dibandingkan Huang-ho Sian-li!

Sesudah bertanding selama tiga puluh jurus lebih dan mereka berdua semakin terdesak, Pat-chiu Lo-mo maklum bahwa tugasnya telah gagal dan kalau mereka tidak cepat pergi, akan berbahaya sekali bagi mereka.

“Sai-kong, mari kita pergi!” katanya dan dia membanting sebuah benda seperti bola yang meledak dan mengeluarkan asap hitam bergumpal-gumpal!

“Tahan napas dan kejar!” Bouw Hujin berseru.

Thian Hwa maklum. Dia pun cepat menerjang asap dan melakukan pengejaran bersama Nyonya Bouw. Melihat dua bayangan kakek itu berlari ke arah taman, mereka mengejar terus.

Tiba-tiba saja ada dua sinar menyambar ke arah Bouw Hujin dan Thian Hwa. Ternyata itu adalah hui-to (pisau terbang) beracun yang disambitkan Pat-chiu Lo-mo.

Namun dengan mudah dua orang wanita perkasa itu menangkis dengan pedang mereka, lalu seperti diingatkan oleh serangan hui-to tadi, mereka mengejar lagi sambil menyerang, menyambitkan senjata rahasia mereka dengan gencar. Pek-hwa-ciam yang disambitkan Thian Hwa menjadikan Pat-chiu Lo-mo sebagai sasaran, sedangkan Gin-seng-piauw dari Nyonya Bouw menyerang Bu-lim Sai-kong.....







KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 21

Mendadak Pat-chiu Lo-mo berteriak dan tubuhnya terpelanting. Melihat kawannya roboh, Bu-lim Sai-kong cepat menyambar tubuh kawannya yang terluka kemudian melemparkan dengan tenaga yang kuat sekali ke arah kedua orang wanita yang mengejarnya!

Bouw Hujin dan Thian Hwa terkejut sekali. Cepat mereka mengelak dan pedang mereka berkelebat. Tubuh Pat-chiu Lo-mo roboh dan langsung tewas karena terbabat pedang dua orang wanita perkasa itu. Tetapi bayangan Bu-lim Sai-kong sudah hilang dalam kegelapan malam.

Mereka maklum bahwa tak ada gunanya mengejar dalam gelap, maka mereka lalu cepat berlari ke arah dalam istana dan kemudian ke halaman. Ternyata para penyerbu itu sudah roboh semua. Banyak yang tewas dan yang tertangkap mengaku bahwa mereka adalah anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw dan Louw Cin yang juga tewas di tangan Bouw Kun Liong dan Bu Kong Liang.

Tadi Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin juga mengamuk bagaikan dua ekor naga betina, merobohkan banyak penyerbu. Di pihak Pangeran Bouw, terdapat beberapa orang prajurit yang tewas.

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa memaksa mereka yang tertawan untuk mengaku, siapa yang mengirim mereka dan apa maksud serbuan itu. Mereka tidak berani menyangkal lagi dan mengatakan bahwa penyerbuan itu adalah siasat yang direncanakan Pangeran Leng Kok Cun bersama Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Phang Houw dan Louw Cin dengan maksud membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!

“Hemm sekarang kesempatan bagiku untuk menangkap pengkhianat itu!” kata Thian Hwa marah di depan Pangeran Bouw yang kini sudah keluar dari persembunyiannya, dan yang lain-lain. Gadis ini marah sekali.

“Akan tetapi engkau harus membawa Tek-pai itu supaya dia mau menyerahkan diri tanpa harus menggunakan kekerasan, Thian Hwa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.

“Baik, Paman Pangeran,” kata Thian Hwa lalu malam itu juga ia pergi seorang diri dengan cepat menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun.

Bouw Hujin tidak melarang karena wanita ini percaya akan kemampuan Thian Hwa. Para prajurit lalu dikerahkan mengurus mayat-mayat dan membawa musuh yang masih hidup menjadi tawanan ke penjara…..

********************

Pada malam hari itu, sebelum kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun menyerbu ke gedung Pangeran Bouw, di rumah Pangeran Cu Kiong, pangeran itu bersama Ang-mo Niocu yang telah menjadi kekasih barunya mengadakan pesta makan minum menyambut kedatangan dua orang penting utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Mereka adalah Lam-hai Cin-jin, guru Ang-mo Niocu, dan seorang lagi yang bernama Ngo-heng Kui-ong.

Mereka sengaja datang sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi, menyusul Ang-mo Niocu yang berangkat lebih dulu, dan mereka ditugaskan membantu Pangeran Cu Kiong yang kini menjadi sekutu Jenderal Wu Sam Kwi.

Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan ini adalah guru Ang-mo Niocu. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun dan dia menjadi orang kepercayaan Wu Sam Kwi, bahkan memiliki kedudukan sebagai Koksu (Guru Negara) dari pemerintahan Wu Sam Kwi yang berada di Yunnan-hu.

Lam-hai Cin-jin bertubuh pendek dengan perut gendut sekali, mukanya kekanak-kanakan. Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang sakti dan lihai, memiliki ilmu pukulan beracun yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Di samping ahli racun yang pandai, Lam-hai Cin-jin juga memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sinkang yang amat kuat. Senjatanya yang berupa ruyung berduri amat berbahaya dan dahsyat.

Orang ke dua yang berjuluk Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) bahkan tampak lebih menyeramkan lagi. Usianya telah sekitar delapan puluh tahun dan dia adalah susiok (paman guru) dari Lam-hai Cin-jin. Wajahnya kurus pucat seperti mayat hidup, tubuhnya yang tinggi kurus itu dibungkus kain serba putih.

Kakek tua renta ini tampaknya lemah, akan tetapi sesungguhnya dia memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu silatnya aneh dan dahsyat karena mengandung tenaga sihir dan tenaga sakti, dan dalam hal racun, dia malah lebih lihai dari pada Lam-hai Cin-jin.

Setelah mendengar semua penjelasan Ang-mo Niocu tentang keadaan kota raja Kerajaan Ceng, juga tentang rencana yang telah diatur oleh gadis itu dan Pangeran Cu Kiong, dua orang kakek itu menjanjikan bahwa malam itu mereka pasti akan membunuh Pangeran Leng yang menjadi penghalang utama cita-cita Pangeran Cu Kiong.

Pangeran Cu Kiong kemudian menjamu dua orang itu dan mereka sedang makan minum dengan gembira ketika mereka mendengar bahwa para jagoan pembantu Pangeran Leng bersama anak buahnya malam itu sedang menyerbu gedung Pangeran Bouw Hun Ki di mana terdapat Pangeran Mahkota Kang Shi.

“Aha, ini kesempatan yang amat baik!” Pangeran Cu Kiong berseru. “Pangeran Leng tentu mengerahkan seluruh jagoannya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga dia tinggal sendirian di gedungnya. Kesempatan yang baik sekali bagi kita untuk membunuhnya. Aku sendiri akan ikut ke sana!”

Demikianlah, mereka semua pergi ke gedung Pangeran Leng. Pangeran Cu Kiong diikuti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Ang-mo Niocu, dan tidak ketinggalan Thio Kwan dan Yu Kok Lun.

Setelah tiba di pintu gerbang rumah gedung Pangeran Leng Kok Cun, mudah saja mereka masuk. Selain para prajurit penjaga mengenal dan takut kepada Pangeran Cu Kiong, juga mereka yang menentang dengan mudah segera dirobohkan oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang selalu menunjukkan ‘kegagahan’ dan kegarangannya kalau berhadapan dengan lawan yang lemah.

Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Pangeran Leng Kok Cun ketika dia melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya memasuki ruangan di mana dia duduk dengan gelisah, menanti berita hasil penyerangan orang-orangnya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Dia cepat melompat berdiri dan menyambar pedang yang berada di atas meja.

“Dinda Pangeran Cu Kiong! Apa maumu datang memasuki rumahku dengan rombongan seperti perampok ini?!” bentaknya marah.

Pangeran Cu tersenyum mengejek. “Pangeran Leng Kok Cun,” katanya tanpa menyebut kakanda lagi. “Aku datang untuk menangkapmu. Engkau adalah pengkhianat yang sudah mengirim orang-orangmu untuk membunuh Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi di rumah Paman Pangeran Bouw Hun Ki!”

Wajah Pangeran Leng menjadi merah sekali saking marahnya. “Jahanam! Engkau sendiri bagaimana? Engkau juga ingin merebut tahta, engkau lebih pengkhianat, dan kini engkau hendak menangkap aku?” Sesudah berkata demikian dia segera menerjang maju hendak menyerang adik tirinya dengan pedangnya.

Pangeran Cu Kiong cepat melompat ke belakang Lam-hai Cin-jin untuk berlindung karena dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia tidak akan menang melawan kakak tirinya ini yang jauh lebih lihai dari padanya.

Ketika Pangeran Leng hendak mengejar, tiba-tiba Ang-mo Niocu melompat ke depan dan cepat sekali tangannya digerakkan untuk memukul pundak Pangeran Leng. Pangeran ini sangat marah dan cepat menggerakkan pedangnya untuk membabat putus lengan gadis itu.

Akan tetapi Ang-mo Niocu yang lihai malah menangkap pedang itu dengan tangannya dan pedang dalam genggamannya itu bagai melekat kuat pada telapak tangannya. Kemudian, selagi Pangeran Leng terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, tangan kiri gadis itu bergerak menotok ke arah dada Pangeran Leng. Tanpa sempat mengeluarkan suara Pangeran Leng terkulai roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya telah tertotok!

Pada saat itu pula terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan itu. Mendengar ini, Pangeran Cu Kiong cepat keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dia merasa bahwa sebagai seorang pangeran dia akan dapat menguasai keluarga Pangeran Leng ini tanpa melakukan banyak perlawanan.

Akan tetapi, pada saat tiba di luar, dia melihat kejadian yang membuat wajahnya berubah pucat. Dia melihat Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedang mengamuk, dikeroyok belasan orang prajurit pengawal. Dalam waktu sebentar saja semua pengeroyok itu sudah roboh di tangan gadis yang gagah perkasa itu. Pangeran Cu cepat kembali ke ruangan tengah dan memberi-tahu para pembantunya akan kedatangan Huang-ho Sian-li.

“Kebetulan dia muncul, mungkin ingin menangkap Pangeran Leng. Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), tolong tangkap hidup-hidup gadis itu!”

Ang-mo Niocu menyentuh lengan pangeran itu. Dengan kedua alis berkerut dia berbisik, “Pangeran, agaknya Paduka tertarik oleh kecantikan Huang-ho Sian-li?”

“Ihh, tidak begitu, Niocu. Dia memiliki Tek-pai, ingat? Maka kita harus memanfaatkannya. Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, tolong tangkaplah gadis itu hidup-hidup. Kami mempunyai rencana yang baik sekali untuk keuntungan kita!”

Ngo-beng Kui-ong saling pandang dengan keponakan muridnya kemudian Lam-hai Cin-jin menoleh kepada muridnya. Ang-mo Niocu mengangguk sebagai isyarat bahwa dia setuju dengan permintaan Pangeran Cu.

“Mundurlah, Pangeran. Biarlah kami menangkapnya dan tunggu sampai ia masuk ke sini, dengan demikian ia tidak akan mampu meloloskan diri,” kata Lam-hai Cin-jin.

Pangeran Cu lalu menyeret tubuh Pangeran Leng yang sudah tidak mampu bergerak atau bersuara itu ke sudut ruangan, ditemani Ang-mo Niocu, Thio Kwan, dan Yu Kok Lun. Ada pun Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong dengan tenangnya menanti dan bersembunyi di dekat pintu.

Mereka tidak menanti lama. Setelah merobohkan semua pengeroyoknya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa langsung berkelebat dan melompat masuk ke dalam ruangan besar itu. Dia hendak mencari Pangeran Leng Kok Cun.

Begitu tiba dalam ruangan itu, pandang matanya tertarik ke arah Pangeran Cu Kiong yang berdiri di sudut bersama Ang-mo Niocu, gadis berpayung merah yang pernah dijumpainya, serta dua orang pengawalnya yang juga sudah dikenalnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun. Ia merasa heran sekali bagaimana bisa menemukan Pangeran Cu Kiong di gedung Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi ia lalu melihat tubuh Pangeran Leng menggeletak di atas lantai, di belakang Pangeran Cu Kiong.

Ia tidak dapat terlalu lama berheran-heran, juga tidak sempat bicara karena pada saat itu muncul angin yang kuat sekali menyambar dari belakangnya dan ternyata ia diserang oleh seorang kakek pendek gendut yang gerakannya kuat sekali. Kakek itu mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya.

Thian Hwa cepat mengelak, dengan cepat maju ke depan, memutar tubuh dan pedangnya sudah menyambar dengan tusukan ke arah lambung lawan. Lam-hai Cin-jin yang tadinya memandang ringan, terkejut sekali dan dia pun cepat-cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri.

Akan tetapi dengan gerakan yang indah namun cepat Thian Hwa sudah menyerang lagi dengan sabetan pedangnya. Begitu dihindarkan dengan elakan, gadis ini menyerang terus secara beruntun dan sambung menyambung!

“Ehhh...?” Lam-hai Cin-jin terhuyung dan terdesak. Dia lalu mencabut senjatanya tongkat atau ruyung berduri dan ketika sinar pedang kembali menyambar, dia menangkis dengan pengerahan tenaga saktinya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dan terpental.

“Trangggg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang bertemu ruyung. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak terlepas dari tangan Thian Hwa dan ketika terpental, malah membuat gerakan melengkung ke bawah dan kini membabat kaki Lam-hai Cin-jin!

Kembali ruyung itu menangkis, akan tetapi pedang Thian Hwa terus membuat serangan bertubi-tubi. Betapa pun lihainya, Lam-hai Cin-jin memegang senjata yang berat sehingga gerakan ruyungnya tentu saja tidak dapat mengimbangi kecepatan gerakan pedang. Maka untuk menangkis terus, tentu saja dia tidak sempat dan dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang yang amat dahsyat itu!

Lam-hai Cin-jin sama sekali tak mengira bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa ternyata sedemikian lihainya. Pangeran Cu Kiong memang pernah memberi-tahu bahwa gadis itu lihai sekali, namun ketika melihat bahwa dia hanya seorang gadis muda yang sepatutnya menjadi cucunya, dia menganggap pujian Pangeran Cu Kiong itu terlalu dilebihkan.

Kini dia mendapat kenyataan pahit bahwa gadis itu benar-benar mampu menandingi dan mengimbanginya, bahkan ketika bertanding senjata membuat dia kerepotan! Mulailah dia merasa penasaran dan malu terhadap Ngo-beng Kui-ong dan yang lain-lainnya, rasa malu yang berubah menjadi kemarahan. Dia lupa bahwa dia diminta untuk menangkap gadis ini hidup-hidup.

“Huahhhh...!” Tiba-tiba ia membentak dan tangan kirinya memukul dari jarak jauh dengan dorongan telapak tangannya yang berubah hitam sekali!

Thian Hwa maklum bahwa lawannya menyerang dengan tenaga sakti yang mengandung hawa beracun, maka dia pun cepat mengerahkan semua tenaga saktinya dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya pula. Hawa dingin yang menyambar keluar dari telapak tangannya menyambut hawa panas yang menyambar keluar dari tangan Lam-hai Cin-jin.

“Wyuuuuttt...! Blarrrrr...!”

Tubuh Thian Hwa terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lam-hai Cin-jin juga mundur sampai lima langkah! Ternyata tenaga sakti mereka pun seimbang!

Akan tetapi dalam keadaan terhuyung tadi, terdengar suara tawa meringkik seperti suara tawa seekor kuda dan Ngo-beng Kui-ong telah bergerak maju. Tangan kanannya bergerak sehingga Thian Hwa yang sedang dalam keadaan terhuyung-huyung dan masih tergetar oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat tadi, tak dapat menghindarkan diri lagi karena gerakan tangan kakek yang seperti mayat hidup ini demikian ringan dan lembut bagaikan angin berhembus dan tahu-tahu pundaknya telah ditotok. Thian Hwa mengeluh dan roboh terkulai, lemas. Pedangnya segera dirampas oleh Lam-hai Cin-jin dan diserahkan kepada Pangeran Cu Kiong.

“Bukan main... hebat juga gadis ini...” Lam-hai Cin-jin memuji.

“Sudah kami ceritakan bahwa dia amat lihai, Locianpwe,” kata Pangeran Cu Kiong sambil menghampiri Thian Hwa dan mengambil kantung berisi Pek-hwa-ciam yang tergantung di pinggang gadis itu.

Kemudian pangeran itu memerintahkan Thio Kwan dan Yu Kok Lun untuk membelenggu kedua pergelangan kaki dan tangan Thian Hwa karena dia khawatir jika gadis yang amat lihai itu dapat meloloskan diri. Atas permintaannya, Ngo-beng Kui-ong menambahi totokan yang membuat Thian Hwa selain tidak mampu bergerak karena lemas, juga tidak mampu mengeluarkan suara!

“Niocu, geledah dia dan ambil Tek-pai yang pasti ada padanya,” kata Pangeran Cu Kiong. Sebagai seorang pangeran, selain sudah biasa memerintah, juga dia tidak mau bertindak kasar dan tidak sopan untuk menggeledah dan meraba-raba sendiri tubuh seorang gadis.

Ang-mo Niocu lalu menghampiri Thian Hwa yang sudah terbelenggu dan rebah telentang. Melihat mata Thian Hwa memandang kepadanya dengan sinar mencorong, Ang-mo Niocu tersenyum. Gadis ini pernah menghinanya dan tidak mau bekerja sama, kiranya sekarang bahwa Huang-ho Sian-li adalah puteri seorang pangeran Mancu! Ia cepat menggerayangi tubuh Thian Hwa dan akhirnya ia dapat menemukan Tek-pai itu yang berada di dalam ikat pinggang. Memang Thian Hwa membawa Tek-pai itu yang tadinya dia maksudkan untuk dipergunakan menangkap Pangeran Leng tanpa harus menggunakan kekerasan.

“Bagus sekali!” Pangeran Cu Kiong menerima Tek-pai itu dengan gembira.

Kemudian ia mengambil tiga batang Pek-hwa-ciam dari kantung senjata rahasia yang tadi dia ambil dari pinggang Thian Hwa, lalu dia menghampiri Pangeran Leng yang tubuhnya masih menggeletak telentang di atas lantai. Tiga kali tangan Pangeran Cu bergerak dan dia sudah menyambitkan jarum-jarum itu dari jarak dekat hingga tepat mengenai ulu hati, tenggorokan dan dahi Pangeran Leng Kok Cun. Tubuh pangeran itu berkelojotan sejenak lalu tewas!

“Mengapa engkau melakukan itu, Pangeran?” tanya Ang-mo Niocu dengan sikap manja kepada Pangeran Cu Kiong.

Melihat sikap gadis ini, tahulah Thian Hwa bahwa Ang-mo Niocu telah bergaul akrab dan bukan aneh kalau kini dia menjadi kekasih pangeran itu. Ada rasa panas di hatinya, tanda bahwa dia masih mempunyai rasa cemburu karena bagaimana pun juga pangeran itu merupakan orang atau pria pertama yang menjatuhkan hati Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Akan tetapi kini perasaan cemburu itu bahkan memperbesar rasa bencinya terhadap Pangeran Cu Kiong.

“Mengapa aku melakukan ini? Ha-ha, kini Huang-ho Sian-li datang membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan aku sebagai adiknya telah menangkap Si Pembunuh. Bagus, bukan?”

“Ha-ha-ha-ha, siasat yang bagus sekali!” Lam-hai Cin-jin juga tertawa memuji kecerdikan pangeran itu.

Melihat ini semua, diam-diam Thian Hwa sangat terkejut dan merasa ngeri menyaksikan kekejaman dan kejahatan yang terjadi di depan matanya tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Demi mencapai keinginannya yang sesat, yaitu menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong agaknya telah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi, buktinya Nona Payung Merah itu bersamanya. Dan yang lebih keji lagi, dengan tangannya sendiri dia membunuh Pangeran Leng Kok Cun, kakaknya sendiri satu ayah berlainan ibu!

Kini Pangeran Cu Kiong melanjutkan rencananya. Dia segera berteriak-teriak!

“Pembunuhan…! Pembunuhan...!” diikuti pula oleh Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan juga Ang-mo Niocu.

Gegerlah para penghuni di gedung itu. Keluarga Pangeran Leng, para pelayan pembantu dan para pengawal berlari-lari ke ruangan itu. Para selir Pangeran Leng dan isterinya, juga beberapa orang anaknya, segera merubung jenazah itu dan mereka menangis hiruk pikuk.

Ketika keluarga itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Ciu Thian Hwa yang sudah tertangkap oleh Pangeran Cu Kiong, mereka hendak menyerang gadis yang seluruh kaki tangannya sudah terbelenggu itu. Akan tetapi Pangeran Cu Kiong mencegah mereka.

“Jangan ganggu dia. Dia sudah kami tangkap dan akan kami ajukan dalam persidangan! Ia harus dihukum berat sebagai pembunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan diusut siapa yang menyuruh ia melakukan pembunuhan terkutuk ini!”

Karena Pangeran Cu Kiong adalah adik Pangeran Leng Kok Cun, bahkan dia yang telah menangkap pembunuhnya, meski pun biasanya kedua orang kakak beradik ini tidak akrab hubungan mereka, maka seluruh keluarga Pangeran Leng menurut saja ketika diatur oleh Pangeran Cu Kiong…..

********************

Kota raja gempar! Ada dua berita yang amat menggemparkan para pejabat dan keluarga kerajaan, malah juga menggegerkan para penduduk. Pertama, berita tentang penyerbuan puluhan orang ke rumah tinggal Pangeran Bouw Hun Ki yang menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi dan akhirnya semua penyerbu tewas atau tertawan. Sedangkan berita kedua adalah terbunuhnya Pangeran Leng Kok Cun dan pembunuhnya, yaitu Huang-ho Sian-li, telah tertangkap!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali semua pejabat tinggi dan keluarga kerajaan telah berkumpul di pendapa gedung Pangeran Leng Kok Cun yang lapang. Jenazah Leng Kok Cun berada dalam sebuah peti mati yang belum tertutup. Di antara para anggota keluarga Pangeran Leng yang berkumpul di sekeliling peti, tampak pula Pangeran Cu Kiong yang bersikap kereng.

Pada pagi itu pendapa ini menjadi tempat pelayatan dan juga perundingan. Sidang darurat diadakan atas permintaan Pangeran Cu Kiong. Pangeran Bouw Hun Ki sebagai pejabat kaisar sementara terpaksa memenuhi permintaan itu karena peristiwa itu mendatangkan kegemparan dan sangat gawat. Apa lagi dengan tertangkapnya Thian Hwa yang dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng.

Persidangan berlangsung di sebuah ruangan yang pintunya menembus ke pendapa. Yang menghadiri persidangan ini adalah semua pejabat tinggi dan para pangeran, seperti yang diadakan ketika mereka membicarakan tentang diangkatnya Pangeran Mahkota Kang Shi sebagai calon kaisar baru.

Setelah semua berkumpul di situ dan suasana sunyi karena semua orang dengan tegang memandang kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang duduk tenang di kursi pimpinan sidang, Pangeran Bouw lalu menceritakan terjadinya peristiwa tadi malam.

“Ada serombongan orang melakukan pengacauan di tengah malam. Mereka melakukan pembakaran di rumah kami dengan melepas anak panah berapi, kemudian menyerbu ke dalam. Tentu saja kami melakukan perlawanan sehingga akhirnya semua penyerbu yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu bisa ditumpas, sebagian besar tewas dan ada pula yang tertawan. Mereka dipimpin oleh empat orang tokoh sesat, dan tiga di antara mereka dapat terbunuh. Hanya seorang di antara semua penyerbu yang berhasil meloloskan diri. Dari mereka yang tertangkap hidup kami mengetahui bahwa pimpinan mereka adalah Pat-chiu Lo-mo, Phang Houw, dan Louw Cin yang sudah tewas. Seorang lagi berjuluk Bu-lim Sai-kong yang sempat melarikan diri. Dan mereka itu ternyata diperintah oleh Pangeran Leng Kok Cun untuk mengacau melakukan pembunuhan terhadap kami, dan bukan tidak mungkin juga mereka bermaksud membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi.”

“Tidak mungkin!” tiba-tiba saja Pangeran Cu Kiong berdiri dan berseru nyaring. “Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak memusuhi Adinda Pangeran Kang Shi. Kami adalah kakak beradik, tidak mungkin akan saling bermusuhan dan saling bunuh. Mungkin yang dimusuhi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki dan wanita jahat Huang-ho Sian-li sebab mereka berdua sudah menghalangi kami semua putera-putera mendiang Ayahanda Kaisar Shun Chi memegang tampuk pemerintahan membantu Adinda Kang Shi! Buktinya, malam tadi ketika berkunjung ke rumah Kakanda Pangeran Leng Kok Cun, kami melihat perempuan jahat Huang-ho Sian-li berada di sana. Kami terlambat karena ia telah berhasil membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi kami dapat menangkap penjahat keji itu!”

“Pangeran Cu Kiong!” Mendadak Pangeran Ciu Wan Kong bangkit berdiri lantas berseru marah kepada keponakannya itu. “Engkau menyebut Huang-ho Sian-li sebagai penjahat keji, padahal dia adalah saudara sepupumu sendiri, puteriku bernama Ciu Thian Hwa! Aku yakin semua ceritamu adalah fitnah belaka! Aku menuntut agar puteriku dihadirkan dalam persidangan ini!”

“Tidak mungkin, Paman Pangeran Ciu! Biar pun dia saudara sepupuku, bila dia demikian jahat dan kejam membunuh Kakanda Pangeran Leng, sudah seharusnya kami tangkap dan kami tahan. Dia berbahaya sekali, dan aku khawatir kalau dia dihadirkan di sini, akan membikin onar dan siapa tahu teman-temannya akan mencoba untuk membebaskannya! Ia harus diseret ke dalam pengadilan, atau kami sendiri yang akan menghukumnya! Kami berhak membalas atas kematian saudara tua kami!”

“Pangeran Cu Kiong, engkau tak boleh berlaku sewenang-wenang menghukum puteriku!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong marah. “Pengadilan harus diadakan dengan seadil-adilnya! Semua tuduhan yang tidak ada bukti-bukti dan saksi-saksinya, hanyalah fitnah belaka!”

“Fitnah? Siapa yang mengatakan fitnah? Bukti dan saksi telah lebih dari cukup. Buktinya? Mari kita lihat bersama! Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas karena diserang jarum oleh Huang-ho Sian-li. Apakah itu bukan bukti yang sangat kuat? Siapa lagi yang memiliki senjata rahasia jarum bunga putih selain Huang-ho Sian-li?”

“Mari kita lihat bersama!” Pangeran Bouw Hun Ki yang merasa penasaran menyetujui.

Maka mereka yang bersidang itu segera berbondong-bondong keluar dari ruangan itu dan menghampiri peti jenazah yang masih belum ditutup. Tampak jelas bahwa ada tiga batang jarum bunga putih menancap di dahi antara kedua alis, tenggorokan, dan menembus baju tepat di ulu hati jenazah itu. Mereka lalu kembali ke ruangan sidang.

“Nah, bukankah sudah terbukti bahwa Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas oleh tiga batang jarum Pek-hwa-ciam milik Huang-ho Sian-li? Dan tentang saksi, seluruh keluarga Kakanda Pangeran Leng bisa menjadi saksi bahwa yang membunuhnya adalah Huang-ho Sian-li!”

“Bohong! Bukti itu dapat saja dibikin dan para saksi adalah keluarga Pangeran Leng yang memang memusuhi puteriku!” Pangeran Ciu Wan Kong membantah. Terjadi ketegangan dan Pangeran Bouw Hun Ki yang bijaksana cepat menengahi.

“Cukup! Sebagai pejabat kaisar sementara, kami memerintahkan kalian semua agar dapat menghentikan perbantahan ini. Amat tidak bersusila ribut-ribut membuat pertengkaran di rumah duka. Kita harus menghormati jenazah Pangeran Leng Kok Cun. Urusan ini, nanti kita putuskan dengan mengadakan persidangan yang dihadiri oleh semua pejabat tinggi di dalam istana! Pangeran Cu Kiong, walau pun engkau sudah dapat memperlihatkan bukti kematian Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi engkau tidak berhak untuk menghakimi sendiri. Semua harus diserahkan kepada pengadilan untuk memutuskan salah atau tidak dan untuk menjatuhkan hukuman. Siapa pun yang salah pasti akan mendapat hukuman. Sekarang persidangan darurat ini dibubarkan.”

“Nanti dulu!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong. “Karena puteriku ditahan oleh Pangeran Cu Kiong, maka aku tekankan bahwa ia harus bertanggung jawab atas keselamatan puteriku Ciu Thian Hwa sampai dia dihadapkan di pengadilan!”

Cu Kiong, pangeran muda yang merasa dirinya sudah memegang kunci kemenangan itu, tersenyum. “Jangan khawatir, Paman Pangeran Ciu Wan Kong. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak menuntut pembunuh Kakakku agar diadili. Huang-ho Sian-li tidak akan diganggu sebelum dia diadili di pengadilan!”

Semua orang lantas bubar dan sesudah jenazah Pangeran Leng Kok Cun dimakamkan, Pangeran Bouw Hun Ki memanggil semua kerabat keluarga istana dan para pejabat tinggi untuk mengadakan persidangan di istana. Sebagai pejabat sementara persidangan itu pun dipimpin oleh Pangeran Bouw Hun Ki.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu berunding dengan isterinya, kedua anaknya Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu mereka, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Empat orang muda yang merasa kagum terhadap Ciu Thian Hwa, dengan penuh semangat mengusulkan untuk menyerbu rumah Pangeran Cu Kiong dan membebaskan Thian Hwa. Tetapi Pangeran Bouw Hun Ki melarang mereka.

“Amat tidak bijaksana bila kita melakukan hal itu. Kekerasan itu malah akan melemahkan pihak kita di sidang pengadilan nanti, dan menguatkan kedudukan Pangeran Cu Kiong,” katanya.

“Ayah kalian benar,” kata Bouw Hujin kepada dua orang anaknya. “Kalau kita melakukan kekerasan membebaskan Thian Hwa, hal itu amat merugikan. Pertama, Thian Hwa tentu disembunyikan dan dijaga ketat sehingga tidak mudah untuk membebaskannya. Kedua, kalau Thian Hwa sampai tertawan, pasti ada orang sakti di pihak Pangeran Cu Kiong yang menjaganya sehingga pembebasan itu tidak akan mudah dilakukan. Ketiga, apa bila kita berkeras membebaskannya, bisa saja Pangeran Cu Kiong yang kejam itu malah langsung membunuhnya. Masih ada lagi hal-hal penting lain, misalnya Tek-pai yang dibawa Thian Hwa. Maka sebaiknya kita menanti sampai diadakannya persidangan di istana itu di mana kita dapat melihat apa yang sesungguhnya dikehendaki Pangeran Cu Kiong. Aku sendiri tetap tidak percaya bahwa Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Bagaimana bisa demikian kebetulan, orang-orang Pangeran Leng menyerbu ke sini dan ketika Thian Hwa pergi hendak menangkap Pangeran Leng, ternyata di sana terdapat Pangeran Cu Kiong? Tentu benar seperti dikatakan Adinda Pangeran Ciu Wan Kong tadi. Puterinya itu tentu difitnah, dan sudah jelas bahwa Thian Hwa tertawan dan hendak dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh Pangeran Leng.”

“Akan tetapi, Ibu. Bagaimana mungkin Enci Thian Hwa yang demikian tinggi ilmu silatnya sampai dapat ditawan Pangeran Cu Kiong?” tanya Bouw Hwi Siang penasaran.

“Seperti kukatakan tadi, Pangeran Cu Kiong agaknya memiliki pembantu yang amat lihai. Sekarang aku teringat akan pemberitahuan dari Thian Bong Sianjin ketika dia berkunjung ke rumah kita. Dia menceritakan bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Wu Sam Kwi dan bahwa Raja Muda Wu Sam Kwi mengirim dua orang yang sakti ke kota raja.”

“Hemm, aku juga teringat. Ketika aku datang melayat di rumah Pangeran Leng, ada dua orang kakek aneh yang duduk tak jauh dari Pangeran Cu. Yang seorang bertubuh pendek gendut berwajah kekanak-kanakan dan berpakaian mewah, sedangkan orang ke dua yang tampak tua sekali berpakaian serba putih, tinggi kurus dan seperti mayat hidup. Agaknya mereka itulah orang-orang sakti yang kini membantu Pangeran Cu.”

“Nah, kita perlu berhati-hati. Aku kira Pangeran Cu tidak akan berani mengganggu Thian Hwa sebelum diadakan persidangan di istana sebab hal itu pasti membuat sebagian besar pejabat tinggi menjadi marah. Semua orang tahu bahwa Thian Hwa adalah pemegang Tek-pai, maka dia dihormati oleh semua orang. Padahal melihat rencananya menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong membutuhkan simpati dan dukungan para pejabat tinggi,” kata Pangeran Bouw.

Mendengar ini, maka hati mereka yang muda seperti Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin menjadi lebih tenang…..

********************


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 22

“Hai, Paman Lu, sepagi ini engkau sudah bekerja di ladang sambil bersenandung! Paman Lu, jawablah, apakah Paman merasa bahagia?” tanya seorang pemuda berpakaian serba putih, berwajah tampan gagah, menggendong buntalan pakaian yang memanjang, kepada seorang petani setengah tua yang sedang mencangkul di ladang.

“Bahagia? Apa sih bahagia itu?” jawab Si Petani, menunda pekerjaannya dan memandang pemuda itu dengan heran.

“Semua orang mencari bahagia. Mengapa Paman malah tidak mengerti apa bahagia itu?” pemuda itu bertanya heran.

“Lho, aku memang tidak mengenal dan bahkan tidak butuh bahagia! Untuk apa sih? Apa kau maksudkan bahagia itu senang? Rasa hati senang, tidak susah? Yang penting bukan mencari rasa senang, akan tetapi menyelidiki kenapa hati tidak senang. Jika hati merasa tidak senang kita lalu mencari bahagia supaya perasaan jadi senang. Dalam keadaan hati tidak senang mana mungkin mengubahnya menjadi rasa senang?”

“Hemm, kalau begitu, bagaimana agar hati bisa senang, Paman?”

“Kukira tidak ada caranya mencari rasa senang itu, karena perasaan itu muncul dengan sendirinya. Yang terpenting adalah menghilangkan perasaan tidak senang atau susah itu. Seperti orang sakit mencari sehat, mana mungkin? Yang penting mencari tahu apa yang menyebabkan sakit itu lantas menghilangkannya. Orang sakit memang ingin sekali sehat. Akan tetapi kalau orang tidak sakit, apakah dia membutuhkan sehat? Kalau ada kelilip di mata, jangan mencari mata agar nyaman, tapi cari dan buang kelilip itu.”

“Kalau begitu, engkau orang bahagia, Paman.” Pemuda itu tertawa lalu pergi.

Dia adalah Si Han Bu. Seperti yang kita ketahui, pemuda ini oleh gurunya, Im Yang Sian-kouw, disuruh turun gunung memanfaatkan semua ilmunya untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar silat. Selain itu, juga Han Bu dipesan oleh gurunya yang dia hormati dan sayangi seperti kepada ibunya sendiri, untuk mencari ayah gurunya yang bernama Cui Sam, dan mencari puteri subo-nya yang belum sempat diberi nama karena pada saat masih bayi lenyap terbawa arus air Sungai Huang-ho yang sedang banjir. Dia pun telah mendengar semua riwayat gurunya dan tahu bahwa gurunya dahulu menikah dengan seorang pangeran, yaitu Pangeran Ciu Wan Kong di kota raja.

Karena dia tidak tahu di mana adanya Kakek Cui Sam yang menurut gurunya berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin, juga sama sekali tidak tahu di mana adanya puteri gurunya yang tanpa nama itu, dia mengambil keputusan untuk pergi saja ke kota raja. Mencari Pangeran Ciu Wan Kong tentu jauh lebih mudah!

Apa lagi Pangeran Ciu Wan Kong dalam keadaan sehat ketika ditinggalkan oleh gurunya secara paksa. Sedangkan saat terpisah dari gurunya, Kakek Cui Sam dan bayi itu dalam keadaan terseret arus air sehingga sedikit sekali kemungkinan masih hidup.

Maka berangkatlah Si Han Bu ke kota raja. Bukan mustahil jika Pangeran Ciu Wan Kong mengetahui di mana adanya ayah mertua dan puterinya itu.

Demikianlah, dengan menunggang kuda yang dibelinya di jalan, yang selalu diganti dan ditukar-tambahkan dengan kuda baru kalau kudanya yang lama sudah terlalu letih, Si Han Bu dapat tiba di kota raja dengan cepat.

Karena sejak kecil tinggal di puncak Bukit Kera dan paling jauh dia pergi ke dusun-dusun di kaki pegunungan, maka selama dalam perjalanan, setiap melewati kota besar, Han Bu tiada hentinya mengagumi rumah-rumah tembok besar dan toko-toko yang penuh dengan barang beraneka macam. Apa lagi begitu memasuki kota raja, dia sering dibuat bengong melihat keindahan gedung-gedung istana para pangeran, bangsawan tinggi dan pejabat tinggi.

Dia seperti seorang pemuda dusun masuk kota raja, berjalan perlahan-lahan menengok ke kanan kiri dengan bengong dan bingung. Kudanya telah dia jual ketika memasuki pintu gerbang kota raja. Di samping kuda itu sudah terlampau letih, juga dia tidak merasa perlu menunggang kuda di dalam kota raja.

Orang-orang yang berpapasan dengannya tidak menaruh perhatian. Dia adalah seorang pemuda tinggi besar gagah dan tampan. Pakaiannya serba putih dengan sedikit garis dan kembang biru, akan tetapi potongan baju itu biasa saja sehingga tidak mencolok.

Dia menggendong buntalan pakaian yang agak memanjang karena dia menyembunyikan pedangnya di dalam buntalan pakaian pula. Gurunya memberi-tahu bahwa kini pemerintah melarang orang membawa senjata, karena itu dia harus menyembunyikan pedangnya di dalam buntalan pakaian.

Ketika matanya melihat papan nama dengan tulisan besar SIN AN LIKOAN (Penginapan Sin An), dia berhenti melangkah. Sebuah rumah penginapan yang tampaknya tidak begitu besar namun cukup teratur rapi dan bersih. Tentu tidak terlalu mahal, pikirnya.

Hari sudah sore dan lebih baik kalau lebih dulu mendapatkan sebuah kamar, pikirnya. Dia lalu memasuki rumah penginapan itu dan seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun menyambutnya.

“Kongcu (Tuan Muda) hendak menyewa kamar?” tegurnya dengan sikap kurang acuh.

“Benar, aku ingin menyewa sebuah kamar.”

“Untuk Kongcu sendiri atau...?”

“Sendiri, tentu saja.”

“Kongcu, malam ini dingin sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau saya carikan teman?”

Han Bu memandang heran. “Teman? Apa maksudmu? Aku tidak ingin satu kamar dengan tamu laki-laki yang tidak kukenal.”

“Aihh, Kongcu. Tentu saja bukan laki-laki. Ada gadis-gadis manis, Kongcu boleh pilih...”

Han Bu mengerutkan alis. Dia tidak mengerti akan tetapi merasa tak senang. Bagaimana mungkin ada orang menawarkan gadis untuk menemaninya di dalam kamar?

“Ehh, sobat, apakah engkau mabok? Atau agak begini, barang kali?” Han Bu menaruh jari telunjuknya melintang di depan dahi, yang biasanya digunakan orang untuk menandakan bahwa orang itu otaknya miring alias gila.

Pelayan itu melototkan matanya. Akan tetapi pada saat itu pula muncul seorang laki-laki berpakaian mewah seperti pakaian seorang hartawan. Usianya sekitar empat puluh tahun, mukanya hitam akan tetapi agaknya ia mencoba untuk mengurangi kehitamannya dengan bedak!

“Aihh, selamat sore, Loya!” pelayan itu menyambut sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat dan Han Bu hampir tertawa karena melihat sikap pelayan itu seperti seekor anjing yang menyambut tuannya dengan mengibas-ngibaskan ekornya.

Tamu itu mengerling kepada Han Bu dengan sikap congkak, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah. “He, Lo Kaw, siapkan kamar besar untukku, juga sediakan santapan malam yang paling mewah lalu panggil A Bwe dan A Mei untuk melayaniku satu malam. Setelah itu jangan ada yang mengganggu aku, malam ini aku hendak bersenang-senang!”

“Ah, baik... baik, Loya. Silakan, kamar besar telah siap untuk Loya pakai sewaktu-waktu.” Sambil berbongkok-bongkok pelayan itu mengikuti tamu itu masuk. Sesudah tiba di pintu dia agaknya teringat kepada Han Bu lalu menoleh dan berkata perlahan.

“Orang muda, kau tunggu sebentar di sini, aku melayani Loya ini dulu.”

Han Bu merasa dongkol sekali. Dia melihat hal-hal aneh yang membuatnya merasa heran akan tetapi juga penasaran dan dongkol. Sejak memasuki kota raja, dia menyaksikan hal-hal yang amat menyakitkan hati. Rumah-rumah gedung bertingkat mewah, tetapi di gang-gang sempit dia melihat rumah-rumah seperti gubuk kumuh di belakang gedung-gedung itu.

Juga gubuk-gubuk kumuh di tepi sungai dan di bawah setiap jembatan, jelas merupakan tempat tinggal mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara di depan gubuk-gubuk itu menjulang tinggi dan besar gedung-gedung mewah laksana istana yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang hidupnya berada di atas garis kaya, bahkan berlebihan. Gedung-gedung seperti itu adalah milik para bangsawan dan hartawan.

Juga dia melihat orang-orang yang berkereta indah, berkuda besar, berpakaian mewah sekali, di samping orang-orang berpakaian lusuh dan bahkan terdapat pula para pengemis dengan pakaian butut penuh tambalan. Dia merasa heran sekali.

Di dusun-dusun di daerah pegunungan tempat tinggal gurunya, orang-orang mengenakan pakaian sederhana, akan tetapi tidaklah butut penuh tambal-tambalan. Juga rumah-rumah di dusun, tidak ada yang demikian mewah, namun juga tidak ada yang begitu kumuh dan kotor. Perbedaan antara si kaya dan si miskin di kota raja ini demikian jauh seperti langit dengan bumi!

Dan sekarang dia melihat keanehan lain lagi. Pelayan yang menjilat-jilat tamu kaya tetapi sebaliknya memandang rendah tamu miskin, bahkan gadis-gadis yang ditawarkan untuk melayani tamu laki-laki! Ah, agaknya di tempat ini segala sesuatu bisa didapatkan dengan uang! Dia bergidik, lalu cepat meninggalkan rumah penginapan itu.

Akhirnya dia menemukan rumah penginapan merangkap rumah makan yang sederhana. Pelayannya juga bersikap sopan, seorang lelaki setengah tua berusia lima puluhan yang mengantarnya ke sebuah kamar yang sederhana namun cukup bersih.

“Tuan Muda, engkau tentu datang dari tempat jauh. Engkau membawa buntalan pakaian, kelihatan letih dan pakaianmu penuh debu,” kata pelayan itu sesudah membawa Han Bu memasuki sebuah kamar.

“Benar, Paman. Aku ingin mandi kemudian makan, tetapi bisakah aku memesan makan di kamar ini? Aku letih dan lapar sekali.”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Tentu saja bisa, Kongcu. Makanan apa yang harus saya sediakan dan antarkan ke sini?”

“Nasi dengan masakan sayur dua macam saja untuk dua orang, Paman.”

Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Untuk dua orang? Kongcu membawa teman?”

“Ahh, tidak, Paman. Aku hanya seorang diri.”

“Akan tetapi mengapa makanannya untuk dua orang? Ahh, saya mengerti! Maafkan saya, Kongcu, tentu Kongcu letih dan lapar sekali sehingga perlu makan lebih banyak dari pada biasanya.”

Han Bu tertawa. Suara tawanya demikian riang gembira sehingga pelayan itu tidak dapat menahan diri lantas turut pula tertawa. Mereka berdua tertawa, akan tetapi dengan sebab yang berlainan. Kakek pelayan itu tertawa karena merasa lucu akan keadaan pemuda itu yang gembul dan karena dugaannya tepat. Akan tetapi Han Bu tertawa karena merasa lucu mendengar dugaan pelayan itu yang ngawur.

“Bukan begitu, Paman. Aku makan biasa saja, pesananku itu memang untuk dimakan dua orang.”

“Tapi Kongcu tadi bilang tidak membawa teman?”

“Temannya adalah engkau, Paman. Aku mengundang Paman makan bersamaku karena aku ingin makan sambil bercakap-cakap. Maukah, engkau, Paman?”

Selama belasan tahun menjadi pelayan di situ, belum pernah ia mengalami hal seperti ini. Diajak makan oleh tamunya! Maka pelayan itu kembali mengangguk-angguk seperti ayam makan beras.

“Tentu saya merasa terhormat dan senang sekali, Kongcu. Masakannya tadi dua macam sayuran? Apakah Kongcu sedang melaksanakan Ciak-jai (vegetarian)?”

“Tidak juga, Paman. Hanya saja aku sudah terbiasa makan sayur-sayuran, jarang makan daging sehingga aku tidak begitu suka. Kalau sedikit saja bolehlah.”

“Bagus, bagus sekali! Pantas Kongcu bersikap demikian lembut namun gembira, kiranya seorang yang hidupnya bersih. Tentu tidak minum arak pula, bukan?”

“Minum juga, akan tetapi tidak sampai mabok, Paman.”

“Baik, Kongcu. Sekarang mandilah, saya akan menyiapkan pesananmu.” Setelah berkata demikian, dengan wajah berseri pelayan itu pergi meninggalkan kamar.

Baru sekarang inilah ia merasa senang berhadapan dengan seorang tamu yang sikapnya demikian akrab dan baik. Biasanya para tamu bersikap angkuh dan memandang rendah terhadap para pelayan.

Setelah mandi dan bertukar pakaian, tidak lama kemudian pelayan tadi datang lagi sambil membawakan makanan yang dipesan Han Bu. Keduanya segera makan minum dengan gembira karena Han Bu bicara dengan jenaka dan lucu. Dia mau pula minum arak yang dituangkan pelayan itu ke dalam cawannya, meski hanya mau minum dua cawan saja.

Setelah makan minum, Han Bu mengajak pelayan itu bercakap-cakap, karena sebetulnya itulah yang dikehendaki pemuda ini. Dari kakek pelayan ini dia ingin mencari keterangan tentang Pangeran Ciu Wan Kong.

“Paman, tadi Paman mengatakan bahwa semenjak kecil tinggal di kota raja. Tentu Paman mengetahui segala yang terjadi di kota raja dan tahu pula mengenai para pangeran yang berada di sini. Nah, aku ingin tahu, apakah Paman mengetahui adanya seorang pangeran bernama Pangeran Ciu Wan Kong?”

“Wah, tentu saja, Kongcu. Dia itu orangnya begini!” Dia mengacungkan jempolnya. “Tidak seperti bangsawan lainnya, Pangeran Ciu itu sikapnya halus, tak pernah menghina kaum kecil yang melarat, juga suka menolong mereka yang memerlukan pertolongan dan berani minta kepadanya. Eh, Kongcu, mengapa Kongcu bertanya tentang beliau? Apa hubungan Kongcu dengan beliau?” Pelayan itu memandang dengan alis berkerut.

“Hei, Paman! Mengapa tiba-tiba Paman memandangku seperti itu? Aku tidak mempunyai niat jahat!”

“Maaf, Kongcu. Sekarang ini sedang jaman gila, apa lagi para pembesar dan bangsawan itu agaknya sedang dilanda wabah penyakit gila.”

“Kenapa Paman berkata begitu?”

“Habis, banyak kejadian-kejadian aneh dan gila. Maka saya menjadi curiga ketika Kongcu menanyakan Pangeran Ciu Wan Kong, takut kalau-kalau Kongcu juga memusuhinya.”

Han Bu cukup cerdik. Melihat betapa pelayan ini memuji-muji kebaikan hati Pangeran Ciu Wan Kong, tentu saja dia pun harus memperlihatkan sikap baik terhadap pangeran itu.

“Jangan curiga, Paman. Aku memiliki seorang guru yang menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong. Sebelum menghadapnya untuk menyampaikan salam dari guruku, terlebih dulu aku ingin mengetahui keadaannya.”

“Hemm, bagus kalau begitu. Seperti saya katakan tadi, para bangsawan tinggi itu sedang dilanda penyakit gila. Terjadi saling permusuhan di antara para pangeran. Apa lagi setelah Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat, keadaannya menjadi bertambah kacau dan sungguh kasihan sekali nasib Pangeran Ciu Wan Kong yang baik hati....”

Diam-diam Han Bu terkejut. Kaisar dibunuh orang?

“Aihh, aku baru datang di kota raja ini, Paman, dan tidak tahu sama sekali tentang semua itu. Maukah Paman menceritakan kepadaku?”

“Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat. Beliau meninggalkan wasiat, mengangkat Putera Mahkota menjadi penggantinya. Lalu terjadilah kekacauan itu. Mula-mula gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki, paman yang melindungi Putera Mahkota, diserbu penjahat akan tetapi semua penjahat berhasil ditumpas. Pangeran Bouw Hun Ki memang mempunyai isteri dan putera-puteri yang amat lihai, apa lagi mereka dibantu oleh Huang-ho Sian-li yang sakti!”

“Huang-ho Sian-li? Siapakah itu, Paman?”

“Aihh, Kongcu belum mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang pendekar yang amat hebat? Pendekar wanita itu berjasa kepada Sribaginda Kaisar, bahkan ia diberi Tek-pai dan ikut pula melindungi Pangeran Mahkota. Dia adalah seorang gadis pendekar yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa, dan dia masih keponakan Sribaginda Kaisar sendiri karena dia adalah puteri tunggal dari Pangeran Ciu Wan Kong.”

Kalau saja pelayan itu memperhatikan, tentu dia akan melihat perubahan muka pemuda itu. Han Bu merasa betapa jantungnya berdebar dengan tegang.

Dia mulai mendengar berita mengenai Pangeran Ciu Wan Kong, suami gurunya, dan kini malah berita tentang puteri tunggal Pangeran Ciu Wan Kong, berarti puteri gurunya! Ingin sekali dia bertanya lebih dan mendesak keterangan pelayan yang ramah itu, akan tetapi ia takut kalau-kalau desakan itu akan menimbulkan kecurigaan sehingga akibatnya malah pelayan itu tidak mau bercerita sama sekali. Maka dia bertanya dengan suara sambil lalu.

“Apa yang terjadi kemudian, Paman? Sebagai seorang yang baru datang, ceritamu benar-benar menarik sekali.”

“Aihh, sungguh menyedihkan dan membingungkan, Kongcu. Sudah terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangka dan sangat membingungkan. Baru-baru ini terdengar berita bahwa Huang-ho Sian-li telah ditangkap dan hendak diajukan ke dalam sidang pengadilan kerajaan.”

“Ah, kenapa, Paman? Bukankah dia telah dianugerahi Tek-pai dan berjasa besar terhadap kerajaan seperti yang kau ceritakan tadi?” Han Bu benar-benar merasa heran dan terkejut. “Mengapa dia ditangkap? Apa kesalahannya?”

“Kabarnya Huang-ho Sian-li telah membunuh Pangeran Leng, yaitu seorang putera kaisar yang paling tua.”

“Hemm, aneh sekali. Mengapa dia malah membunuh seorang pangeran?”

Pelayan itu lebih dahulu menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik lirih. “Kami tidak heran kalau Pangeran Leng Kok Cun dibunuh karena dia memang terkenal sebagai seorang pangeran yang jahat dan suka bergaul dengan orang-orang sesat. Jika benar-benar Huang-ho Sian-li membunuhnya, saya yakin tentu pendekar wanita itu mempunyai alasan yang kuat!”

“Apakah dia benar-benar membunuhnya?”

Pelayan itu menghela napas panjang. “Agaknya tidak bisa disangkal lagi karena sesudah membunuh Pangeran Leng, Huang-ho Sian-li lantas ditangkap oleh Pangeran Cu Kiong di tempat itu juga, dengan mengerahkan banyak anak buahnya yang terdiri dari orang-orang sesat yang kabarnya menjadi saksi. Tetapi rakyat juga takkan merasa heran seandainya Huang-ho Sian-li benar-benar membunuh Pangeran Leng Kok Cun, karena semua orang mengetahui bahwa yang menjadi sumber keributan adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong. Kabar angin mengatakan bahwa dua orang pangeran itu diam-diam bersaing untuk menjadi kaisar menggantikan ayah mereka.”

“Paman, lalu bagaimana dengan Pangeran Ciu Wan Kong? Guruku berpesan supaya aku menyampaikan salam kepadanya, tapi kini ada urusan menyangkut puterinya. Siapa saja yang berada di istananya sekarang? Isterinya atau keluarga lain?” Han Bu memancing.

Pelayan itu menggelengkan kepala. “Saya hanya seorang kecil, Kongcu, tidak tahu akan keadaan para bangsawan besar seperti para pangeran itu. Tapi menurut kabar, Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah menikah, tidak mempunyai isteri. Kemudian tahu-tahu orang mengabarkan bahwa dia mempunyai seorang puteri yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li.”

“Paman, menurut keterangan guruku, katanya dulu Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai seorang pelayan bernama Cui Sam, benarkah itu?”

“Saya tidak tahu, Kongcu.”

Keterangan itu sudah cukup bagi Han Bu. Malam itu dia pergi berjalan-jalan dan sengaja melewati jalan di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, juga ia melewati gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang kelihatan sepi, lalu melewati gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong yang terjaga ketat dan nampak menyeramkan…..

********************

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Han Bu pergi berkunjung ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong. Empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu gerbang menanyakan siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu.

Han Bu merasa senang melihat sikap empat orang prajurit itu yang sopan dan tegas akan tetapi tidak sombong. Sikap anak buah dengan sendirinya mencerminkan sifat atasannya. Pangeran Ciu Wan Kong sudah pasti seorang yang bijaksana maka para prajuritnya yang menjaga di luar gedungnya bersikap demikian sopan.

“Harap dilaporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa saya, Si Han Bu, mohon untuk menghadap beliau agar dapat menyampaikan salam dan pesan dari guru saya yang dulu menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong,” katanya.

Kepala jaga itu, seorang prajurit yang usianya sekitar empat puluh tahun, lalu mengamati keadaan pemuda itu penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar, gagah dan tampan, pakaiannya serba putih dan sikapnya sopan, wajahnya juga membayangkan kejujuran, kelembutan namun gagah.

“Orang muda, terlebih dahulu engkau harus memperkenalkan siapa gurumu yang menjadi sahabat Pangeran dan di mana tempat tinggalnya.”

“Guruku adalah kenalan lama Pangeran Ciu, namanya Im Yang Sian-kouw yang bertapa di Beng-san.”

“Baiklah, harap tunggu sebentar, kami akan melapor ke dalam,” kata kepala jaga yang lalu masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudian dia sudah kembali lagi dan berkata dengan suara dan sikap sungguh-sungguh.

“Pangeran Ciu mengatakan bahwa beliau belum pernah mendengar namamu serta nama gurumu, akan tetapi beliau ingin mendengar apa yang hendak engkau sampaikan. Engkau diperkenankan masuk, akan tetapi, orang muda, kami harap engkau suka meninggalkan pedangmu di sini. Ini sudah merupakan peraturan bagi tamu yang belum dikenal.”

Karena permintaan itu sopan dan masuk akal, Han Bu segera melepaskan ikatan sarung pedangnya Im-yang-kiam kemudian menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada para prajurit. Ia lalu mengikuti kepala jaga memasuki gedung, di mana dia diterima menghadap Pangeran Ciu Wan Kong di ruangan tamu.

Pada saat itu Pangeran Ciu Wan Kong sedang berada dalam keadaan risau dan bingung karena puterinya, Ciu Thian Hwa, sedang ditawan Pangeran Cu Kiong, dituduh membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong bersikeras hendak menghadapkan Ciu Thian Hwa ke depan pengadilan agung di istana.

Memang dia tidak merasa putus asa karena masih banyak bangsawan-bangsawan tinggi dan berpengaruh yang berpihak kepada Thian Hwa dan siap menolong, seperti Pangeran Bouw Hun Ki dan lain-lain. Namun tetap saja dia merasa khawatir karena dia tahu benar bahwa Pangeran Cu Kiong amat mendendam dan membenci Thian Hwa yang sering kali menentangnya. Tentu pangeran itu akan berusaha untuk mencelakai Thian Hwa.

Dalam keadaan seperti itu, ketika penjaga melaporkan bahwa ada seorang tamu, murid Im Yang Sian-kouw yang katanya merupakan sahabat baiknya, hendak menghadap, dia segera mengabulkannya. Kunjungan teman mana pun, walau dia merasa tidak mengenal nama itu, merupakan hiburan baginya.

Sesudah Han Bu memasuki ruangan dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan membungkuk di depan Pangeran Ciu Wan Kong, pangeran itu lantas memberi isyarat kepada pengawal untuk keluar dari ruangan itu.

Para pengawal itu menanti dan menjaga di luar ruangan. Sekarang gedung Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai sepasukan pengawal yang tidak berapa banyak, dan hal ini adalah kehendak Thian Hwa yang ingin menjaga keamanan gedung ayahnya mengingat bahwa di luar terdapat banyak orang jahat yang diam-diam memusuhi ayahnya.

“Orang muda, silakan duduk,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

Han Bu duduk di atas sebuah bangku di depan pangeran itu dan mereka saling pandang. Han Bu melihat bahwa pangeran itu adalah seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi sedang, wajahnya masih tampak tampan sungguh pun pada saat itu sinar matanya redup dan wajahnya tampak muram. Pakaiannya tak terlalu mewah seperti para pangeran lainnya, akan tetapi rapi dan bersih. Sebaliknya, Pangeran Ciu Wan Kong merasa suka melihat pemuda yang berwajah lembut dan cerah ini.

“Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula gurumu yang bernama Im Yang Sian-kouw yang mengaku mengenalku itu? Aku sungguh tidak ingat pernah mengenal nama itu.”

Han Bu merasa terharu. Jadi inikah suami gurunya yang sesungguhnya sangat mencinta gurunya namun yang terlampau lemah sehingga tak mampu menolak kehendak orang tua agar dia berpisah dari Cui Eng yang telah menjadi isterinya dan melahirkan seorang anak perempuan?

Akan tetapi dia masih merasa penasaran karena hati pemuda ini merasa sakit apa bila dia memikirkan betapa gurunya yang baru saja melahirkan diusir dari rumah ini. Biar pun hal itu dilakukan oleh orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, tapi pangeran ini sama sekali tidak membela isterinya yang katanya amat dicintanya, juga tidak membela puteri kandungnya sendiri.

“Begini, Pangeran. Sesungguhnya saya adalah murid Im Yang Sian-kouw dan Subo yang mengutus saya untuk menghadap Pangeran. Subo mengetahui akan seorang wanita she Cui yang pernah bekerja di gedung ini bersama ayahnya yang bernama Cui Sam.”

Pangeran Ciu Wan Kong langsung melompat dan bangkit berdiri dengan mata terbelalak. “Kau maksudkan... Cui... Cui Eng...? Benarkah? Dia masih hidup? Ahh... di mana dia... di mana...?”

Melihat ini Han Bu semakin terharu. Tidak dapat disangsikan lagi, pangeran ini mencinta subo-nya, masih mencinta isterinya yang diusir orang tuanya itu.

“Nanti dulu, Pangeran. Subo berpesan pada saya bahwa saya harus yakin dulu sebelum menceritakan tentang wanita she Cui yang dikenal Subo itu.”

Ciu Wan Kong lalu bertepuk tangan tiga kali. Dua orang pengawal muncul dari pintu dan pangeran itu berseru, “Cepat undang Cui Loya (Tuan Tua Cui) ke sini, cepat!”

Dua orang pengawal itu berlarian keluar dan tidak lama kemudian seorang kakek berusia sekitar enam puluh tujuh tahun memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa.

“Engkau memanggilku, Pangeran? Ada urusan apakah? Bagaimana dengan Thian Hwa?”

“Duduklah, Gak-hu (Ayah Mertua). Perkenalkan, pemuda ini adalah... adalah... ahh, siapa namamu, orang muda?”

“Nama saya Si Han Bu.”

“Si Han Bu ini mengaku murid seorang bernama Im Yang Sian-kouw dan katanya gurunya itu mengenal dan mengetahui di mana adanya Cui Eng....”

“Ahh...! Benarkah, orang muda? Di manakah adanya anakku Cui Eng...?” tanya Cui Sam dengan suara menggetar penuh harapan dan keharuan.

“Ya, katakanlah, Si Han Bu. Di manakah adanya Cui Eng sekarang?” tanya Pangeran Ciu Wan Kong.

“Nanti dulu, Pangeran. Subo memesan kepada saya agar lebih dahulu yakin apakah saya berada di alamat yang benar. Subo sudah mendengar apa yang diceritakan oleh wanita she Cui itu apa yang terjadi dengan dirinya di sini. Sebab itu harap Paduka menceritakan lebih dahulu apa hubungan wanita she Cui itu dengan Paduka dan apakah benar bahwa Kakek ini adalah ayahnya.”

Pangeran Ciu Wan Kong menghela napas panjang. Kemudian dia menceritakan tentang Cui Eng dan ayahnya, Cui Sam yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga orang tuanya. Betapa kemudian terjalin hubungan cinta antara dia dengan Cui Eng hingga Cui Eng mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Akan tetapi orang tuanya tidak setuju bahkan mengusir Cui Eng tanpa dia dapat berbuat sesuatu.

Cui Sam dan Cui Eng lalu pergi meninggalkan gedung itu, membawa bayinya yang belum diberi nama itu. Kemudian muncullah Ciu Thian Hwa yang berjuluk Huang-ho Sian-li, yang ternyata adalah anaknya, bayi yang dulu dibawa pergi oleh Cui Eng. Ketika menceritakan ini semua, kedua mata Pangeran Ciu Wan Kong menjadi basah air mata.

“Aku sudah dapat berkumpul kembali dengan ayah mertuaku, juga puteriku, akan tetapi... selama ini kukira bahwa Cui Eng, isteriku tercinta itu... telah tewas terhanyut di air Sungai Huang-ho. Akan tetapi kini engkau muncul, Si Han Bu, dan menceritakan bahwa gurumu mengetahui di mana Cui Eng berada. Aihh…, kalau saja hal ini ternyata benar... alangkah bahagia hatiku....” Pangeran itu menangis.

“Semua yang diceritakan Pangeran Ciu Wan Kong tadi memang benar, orang muda. Aku sebagai ayah kandung Cui Eng menjadi saksinya. Kasihan mantuku ini. Biar pun engkau membawa berita dan harapan yang sangat membahagiakan, tetap saja dia berada dalam kedukaan dan kekhawatiran besar karena puterinya, cucuku Ciu Thian Hwa, Huang-ho Sian-li, kini menjadi tahanan Pangeran Cu Kiong yang jahat....”

Pangeran Ciu Wan aKong dapat mengatasi kesedihannya dan dia pun menceritakan apa yang terjadi dengan diri Thian Hwa yang difitnah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.....



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 23
“Sekarang lekas ceritakan, Si Han Bu, di mana adanya Cui Eng? Aku akan segera pergi menjemputnya bersama ayah mertuaku,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

“Benar, orang muda. Di manakah anakku Cui Eng sekarang tinggal? Kami ingin segera menemuinya!” kata pula Cui Sam.

Han Bu menarik napas panjang. “Pangeran, saya tidak diberi tahu di mana adanya wanita bernama Cui Eng itu. Hanya Subo yang mengetahuinya. Karena itu sebaiknya Pangeran bertanya sendiri kepadanya kelak bila mana Subo datang ke kota raja seperti yang beliau janjikan. Sekarang yang terpenting adalah urusan tentang puterimu. Saya akan mencoba untuk menyelidiki, kalau mungkin saya akan membebaskannya.”

“Akan tetapi hal itu tidaklah mudah, Han Bu. Pangeran Cu Kiong memiliki banyak sekali pembantu yang sangat lihai, kedudukannya kuat sekali karena dia adalah putera Kakanda Kaisar Shun Chi. Agaknya sangat sukar untuk membebaskan Thian Hwa, kecuali melalui pengadilan di mana banyak pejabat tinggi tentu akan membela Thian Hwa.”

“Jangan khawatir, Pangeran. Saya akan dapat menjaga diri.”

Pangeran Ciu Wan Kong mencoba untuk menahan Si Han Bu dan menganjurkan pemuda itu bermalam dan tinggal di gedungnya, akan tetapi Han Bu menolak. Dia merasa akan lebih bebas kalau tinggal di rumah penginapan. Dia lalu berpamit dan menjanjikan untuk memberi-tahu kepada gurunya tentang keadaan Pangeran Ciu Wan Kong dan Ciu Thian Hwa, juga tentang Kakek Cui Sam…..

********************

Semua pejabat tinggi yang terpenting, para pangeran dan keluarga kerajaan hadir dalam ruang persidangan istana yang amat luas itu. Mereka semua datang untuk menyaksikan persidangan yang akan mengadili Ciu Thian Hwa atau Huang-ho Sian-li yang dituduh telah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

Di antara sekian banyak pejabat tinggi dan para keluarga kerajaan yang hadir itu, mereka terbagi atas tiga bagian. Kelompok pertama adalah orang-orang yang tidak memihak sana sini, hanya ingin melihat keadilan ditegakkan di dalam persidangan itu. Kelompok kedua adalah mereka yang mendukung Pangeran Cu Kiong dan menyalahkan Huang-ho Sian-li yang membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Selebihnya adalah mereka yang setia kepada Kaisar, yang diam-diam tidak percaya bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

Di antara mereka ini tentu saja terdapat Putera Mahkota Kang Shi sendiri, juga Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membela Pangeran Mahkota, serta para panglima dan pejabat tinggi yang setia terhadap kaisar dan karena mereka semua menghargai Ciu Thian Hwa sebagai pemegang Tek-pai, maka tentu saja mereka berpihak kepada Huang-ho Sian-li.

Pangeran Bouw Hun Ki yang dalam persidangan yang lalu telah diangkat dan ditetapkan menjadi pendamping dan wakil calon kaisar yang masih muda dan kini menjadi pemimpin sidang, datang lebih dulu dalam ruangan persidangan yang luas itu.

Akhirnya Pangeran Cu Kiong dan rombongannya yang telah ditunggu-tunggu tiba di rumah persidangan. Semua orang memperhatikan. Pangeran yang masih muda dan berpakaian mewah ini diiringi para ‘pengawal’, yaitu Si Tinggi Kurus Thio Kwan, Si Gemuk Pendek Yu Kok Lun, Ang-mo Niocu Yi Hong yang cantik dan genit, lalu ikut pula gurunya yaitu Lam Hai Cin-jin Datuk Selatan yang amat lihai itu.

Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendukungnya segera mengerutkan alis karena mereka tidak melihat Pangeran Cu Kiong membawa tawanannya, yaitu Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang akan diadili dalam persidangan itu. Maka suasana menjadi ribut karena hampir semua orang bertanya-tanya mengapa gadis yang akan diadili itu tidak dihadirkan di situ.

Diam-diam muncul perasaan khawatir dalam hati Pangeran Bouw Hun Ki, terutama dalam hati Pangeran Ciu Wan Kong karena timbul dugaan jangan-jangan puterinya mengalami kecelakaan. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang curang dan jahat itu dengan diam-diam telah membunuhnya! Ketika ia membisikkan kekhawatirannya ini kepada Pangeran Bouw Hun Ki, pangeran itu menggelengkan kepala dan berkata lirih.

“Harap tenang, Adinda Pangeran Ciu. Aku yakin Pangeran Cu Kiong takkan begitu bodoh melakukan hal itu karena semua pejabat pasti akan menentang kebodohan itu.”

Sesudah semua orang berkumpul, Pangeran Bouw Hun Ki yang menjadi pimpinan sidang dan telah duduk di belakang meja pimpinan, lantas bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya memberi isyarat kepada semua yang hadir agar berdiam diri.

Pangeran Kang Shi yang berusia sepuluh tahun itu duduk dengan tenangnya di sebelah kanan Pangeran Bouw Hun Ki. Meski pun usianya baru sepuluh tahun lebih, namun calon kaisar ini tampak anggun dan berwibawa, wajahnya serius ketika dia memandang kepada semua orang yang hadir di situ.

Sesudah semua orang berdiam diri dan suasana menjadi tenang, Pangeran Bouw Hun Ki berkata dengan suara nyaring. “Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat, atas nama Paduka Pangeran Mahkota, kami ucapkan selamat datang dan menyatakan bahwa persidangan ini dibuka! Akan tetapi sebelum persidangan dilanjutkan, kami minta kepada Pangeran Cu Kiong sebagai penuntut agar segera menghadirkan terdakwa Ciu Thian Hwa alias Huang-ho Sian-li di ruangan persidangan ini!”

Pangeran Cu Kiong bangkit berdiri dan suasana langsung menjadi sunyi karena mereka semua ingin sekali mendengarkan apa yang akan diucapkan pangeran muda itu.

“Kami sengaja menahan terdakwa dan tidak menghadirkannya di sini. Kami harap sidang pengadilan ini dapat dimulai tanpa kehadiran terdakwa. Cukup dibicarakan dan dihadirkan saksi-saksi untuk menentukan kesalahan dan dosa yang sudah dilakukan terdakwa yang telah membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun secara kejam!”

Kembali terdengar para hadirin saling berbicara sendiri memberi tanggapan atas ucapan Pangeran Cu Kiong sehingga suasananya menjadi riuh kembali. Pangeran Bouw Hun Ki mendiamkan keadaan itu sejenak, lalu dia bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

“Harap Cu-wi tenang semua,” dan sesudah keadaan menjadi tenang, Pangeran Bouw lalu melanjutkan. “Kami hendak bertanya dulu kepada Pangeran Cu Kiong sebagai pendakwa, bagaimana mungkin mengadili seorang terdakwa tanpa menghadirkan terdakwa itu dalam sidang pengadilan?”

“Mengapa tidak bisa? Kesalahan terdakwa Huang-ho Sian-li sudah sangat jelas, buktinya sudah ada yaitu kematian Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan saksinya juga banyak. Ada saya sendiri yang menyaksikan beserta para pengawal saya, bahkan semua keluarga dan penghuni rumah Kakanda Leng Kok Cun juga menjadi saksi. Saya tidak merasa perlu menghadirkan terdakwa ke sini karena mengingat bahwa dia adalah seorang yang amat berbahaya, liar dan ganas. Saya tak ingin melihat ia memberontak dan dapat melepaskan diri di tempat ini. Kalau melihat cara ia membunuh Kakanda Pangeran Leng, kami bahkan berkesimpulan bahwa dahulu wanita itu juga yang membunuh Ayahanda Kaisar!”

“Bohong besar!” Pangeran Ciu Wan Kong berseru nyaring. “Anakku Ciu Thian Hwa malah menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan penjahat sehingga anakku diberi anugerah Tek-pai oleh mendiang Kakanda Kaisar. Ia bukan pembunuh!”

“Hemmm, mungkin saja Ayahanda Kaisar dikelabui olehnya. Gadis itu licik sekali, licik dan kejam. Rasanya tak mungkin Ayahanda memberi anugerah Tek-pai kepada seorang gadis yang asal-usulnya tidak dikenal sama sekali!”

“Pangeran Cu Kiong, jangan bicara sembarangan!” Pangeran Bouw Hun Ki membentak dengan penuh teguran. “Sudah jelas bahwa Ciu Thian Hwa adalah puteri Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, maka dia adalah anak keponakan mendiang Kakanda Kaisar sendiri dan engkau berani menghina dan mengatakan ia tidak dikenal asal-usulnya sama sekali?”

“Saya tidak bicara sembarangan, Paman Pangeran Bouw Hun Ki! Siapa yang tidak tahu bahwa Paman Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah beristeri sehingga tidak mempunyai anak? Semua orang tahu benar akan hal ini, namun tiba-tiba saja ada seorang gadis liar dunia kang-ouw yang berjuluk Huang-ho Sian-li muncul mengaku sebagai puterinya! Nah, karena khawatir gadis liar itu meloloskan diri kalau dihadirkan di sini, maka sengaja saya menahannya dengan pengawalan ketat. Kita sidangkan perbuatannya di sini dan jika kita sudah memutuskan hukuman apa yang akan kita jatuhkan kepadanya, barulah saya akan melaksanakan hukuman itu di depan umum.”

Pangeran Bouw Hun Ki menjadi marah, akan tetapi dia masih mampu mengendalikan diri dan dia berkata lantang. “Cu-wi yang terhormat. Karena terdakwa tidak dapat dihadirkan di dalam persidangan ini, maka persidangan ini ditunda sampai tiba saatnya yang tepat. Persidangan ditutup sampai di sini!”

Orang-orang menjadi riuh bicara sendiri sehingga protes yang diteriakkan oleh Pangeran Cu Kiong tenggelam ke dalam suara banyak orang itu. Apa lagi Pangeran Bouw Hun Ki dibantu pasukan pengawal telah mengawal Pangeran Mahkota Kang Shi dengan ketatnya meninggalkan ruang persidangan memasuki bagian dalam istana, di mana kini Pangeran Mahkota tinggal dan selalu ditemani Pangeran Bouw Hun Ki yang diperkuat oleh Nyonya Bouw, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Di samping mereka, Pangeran Bouw Hun Ki juga memerintah tiga orang panglima yang setia supaya mengerahkan pasukannya untuk memperkuat penjagaan di istana…..

********************

Sementara itu, pagi tadi selagi para pejabat tinggi berbondong-bondong menuju ke ruang persidangan di istana, Thian Hwa berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dan kuat. Bukan hanya pintu besi kamar itu yang amat kuat, juga di luar kamar tahanan yang dindingnya terbuat dari baja itu terdapat lima orang prajurit yang membawa gendewa dan anak panah. Mereka adalah ahli-ahli panah yang pandai.

Sedangkan di atas sebuah bangku tampak seorang kakek tua yang seperti mayat dengan pakaian serba putih rebah telentang dan mendengkur. Dia adalah Ngo-beng Kui-ong yang usianya sudah delapan puluh tahun, susiok dari Lam Hai Cin-jin. Pangeran Cu Kiong yang menghadiri persidangan di istana memang sengaja meninggalkan pendukung paling kuat yang dikirim Jenderal Wu Sam Kwi itu agar menjaga tawanan karena dia tidak ingin Thian Hwa dapat lolos dari situ. Hanya Ngo-beng Kui-ong yang sanggup mengalahkan Huang-ho Sian-li.

Thian Hwa duduk bersila di atas dipan yang berada di dalam kamar tahanan itu. Dia tidak dibelenggu karena ketika dimasukkan ke dalam kamar tahanan, ia berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak. Ia tahu benar bahwa dia berada dalam bahaya, dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng Kok Cun!

Andai kata ia dihadirkan dalam persidangan, tentu ia bisa membela diri dan menceritakan yang sebenarnya, yaitu bahwa Pangeran Leng dibunuh oleh Pangeran Cu Kiong sendiri. Akan tetapi apa buktinya dan siapakah saksinya? Buktinya, Pangeran Leng terbunuh oleh tiga batang jarum senjata rahasianya Pek-hwa-ciam dan saksinya yang ketika itu berada di situ, bahkan semua keluarga Pangeran Leng tentu saja percaya bahwa dia yang sudah menjadi pembunuhnya.

Thian Hwa tidak mau menggunakan kekerasan mencoba untuk meloloskan diri. Akan sia-sia belaka. Ia tahu betapa kuatnya kamar tahanan itu. Baru dihujani anak panah oleh lima orang itu dari luar kamar tahanan saja rasanya sukar baginya untuk meloloskan diri, apa lagi di sana masih ada kakek yang tidur mendengkur itu. Kakek tua renta yang lihai bukan main dan yang dia tahu bahwa dia takkan mampu mengalahkannya.

Tiba-tiba lima orang prajurit yang duduk berjajar di atas bangku itu serentak bangkit berdiri dengan gendewa serta anak panah siap di tangan. Mereka memandang kepada seorang prajurit pengawal yang dengan gagahnya melangkah datang dari istana pangeran bagian dalam menuju ke tempat tahanan yang berada di belakang itu.

Prajurit yang masih muda dan tampan gagah ini memberi hormat atau salam cara militer kepada lima orang rekannya itu, lalu berkata dengan tegas.

“Saya telah menerima tugas dari Pangeran Cu Kiong untuk membawa tawanan ke istana. Perintah ini penting sekali dan harus segera dilaksanakan!”

Lima orang prajurit pengawal itu saling pandang sambil mengerutkan alisnya. “Ahh, mana mungkin Yang Mulia Pangeran mengutus seorang prajurit pengawal yang semuda engkau ini untuk membawa tawanan yang amat penting ini ke sana? Bagaimana mungkin engkau akan mampu menguasainya?” kata seorang.

“Kami pun tidak bisa percaya begitu saja karena kami tidak mengenal siapa engkau,” kata yang lain.

Prajurit muda itu memandang dengan mata mencorong. “Tidak tahukah kalian bahwa saat ini Pangeran Cu Kiong mendatangkan banyak sekali jagoan lihai untuk mendukungnya? Baru kemarin aku tiba di sini dan sudah mendapat kepercayaan untuk membawa tawanan penting, ini membuktikan bahwa Pangeran Cu percaya kepadaku! Dan kalian pengawal-pengawal biasa ini berani mencurigaiku?”

Prajurit muda itu segera mengeluarkan sehelai surat perintah yang ada cap dari Pangeran Cu Kiong. Di situ tertulis bahwa dia harus mengambil tawanan bernama Huang-ho Sian-li kemudian membawanya ke persidangan di istana kaisar!

Melihat ini, lima orang prajurit tentu saja menjadi percaya dan takut. Cap dari pangeran itu tidak meragukan lagi, maka seorang dari mereka segera mengeluarkan kunci besar untuk membuka pintu kamar tahanan.

“Hati-hati, kawan. Ia lihai sekali, jangan-jangan ia akan mengamuk dan dapat meloloskan diri,” kata lima orang itu sambil memasang anak panah pada gendewa mereka, bersiap-siap mencegah kalau Huang-ho Sian-li mengamuk.

Akan tetapi prajurit muda itu berkata, “Hemm, jangan khawatir, kawan-kawan. Aku sudah biasa menghadapi lawan-lawan tangguh dan Pangeran Cu juga sudah percaya kepadaku. Aku akan menotoknya dan membuat tawanan ini tidak akan mampu mengamuk.”

Thian Hwa mendengar semua itu dan dengan heran dia memandang wajah prajurit muda yang tampan itu. Pada saat mereka bertemu pandang, Thian Hwa sempat melihat prajurit muda itu mengedipkan sebelah mata kepadanya. Dia merasa heran sekali dan jantungnya berdebar tegang.

Prajurit muda ini pasti berniat menolongnya. Dia tidak boleh gegabah mengamuk karena di sana ada Ngo-beng Kui-ong yang amat lihai, dan mendengar ucapan pemuda itu serta isyarat kedip mata itu, Thian Hwa mengambil keputusan untuk menurut saja.

Setelah daun pintu dibuka dan prajurit muda itu dengan lompatan yang sangat ringan dan cepat mendekatinya lalu menotok kedua pundaknya, Thian Hwa merasa semakin heran. Dia sama sekali tidak merasakan apa-apa, tidak merasa lemas karena totokan itu.

“Nah, dia sudah kutotok dan kubuat tidak berdaya!” kata prajurit muda itu dan Thian Hwa segera membuat dirinya sendiri terkulai lemas!

“Nah, aku akan memondongnya dan membawanya ke istana di mana Pangeran Cu Kiong sudah menanti!” kata prajurit muda itu kepada lima orang rekannya.

Prajurit muda itu bukan lain adalah Si Han Bu. Setelah bertemu Pangeran Ciu Wan Kong dan Cui Sam, suami dan ayah kandung gurunya, dia merasa gembira sekali. Akan tetapi mendengar betapa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, puteri kandung gurunya, kini difitnah membunuh seorang pangeran dan berada dalam tahanan Pangeran Cu Kiong, dia merasa khawatir sekali. Dia mengambil keputusan untuk menolong dan membebaskan gadis itu, demi gurunya! Puteri kandung gurunya itu harus dia tolong dan dia bebaskan.

Demikianlah, pada hari itu pagi-pagi sekali dia menyelidiki gedung istana milik Pangeran Cu Kiong dan setelah melihat Pangeran Cu Kiong beserta para pengikutnya meninggalkan gedung, dia melompat masuk melalui pagar tembok di belakang. Setelah mengintai cukup lama akhirnya dia melihat kesempatan baik.

Dia berhasil menyusup ke dalam dan dapat menemukan kamar tidur Pangeran Cu Kiong yang kebetulan kosong. Di atas meja di dalam kamar itulah dia menemukan cap pangeran itu. Cepat dia membuat surat perintah dengan membubuhi cap itu untuk membawa pergi tahanan bernama Huang-ho Sian-li!

Kemudian dia dapat menangkap seorang prajurit yang bentuk tubuhnya sama dengannya, lalu melucuti dan mengenakan pakaian prajurit itu. Tubuh prajurit yang sudah ditotoknya lumpuh itu lalu disembunyikan di balik sebuah almari dan dia pun segera mencari tempat tahanan di bagian belakang kompleks gedung istana itu.

Setelah berhasil menemukan tempat itu, ia berlagak seperti seorang prajurit kepercayaan Pangeran Cu Kiong yang diperintah untuk mengambil tawanan. Dia lalu ‘menotok’ Thian Hwa dan memanggul tubuh yang ‘lemas’ itu keluar dari dalam kamar tahanan.

Akan tetapi salah seorang di antara lima prajurit penjaga itu kiranya merasa curiga, maka dia pun cepat membangunkan Ngo-beng Kui-ong. Ketika kakek itu terbangun dan melihat tawanannya dipondong seorang prajurit, dia mengeluarkan suara bentakan marah.

“Tahan...!”

Melihat kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat ular yang tiba-tiba seperti hidup, Han Bu bisa menduga bahwa kakek itu tentulah seorang lawan yang sakti dan tangguh sekali. Maka dia lantas melepaskan Thian Hwa dari panggulannya dan berbisik.

“Nona, kita robohkan mereka!”

Tanpa dikomando lagi, begitu mendengar bentakan Ngo-beng Kui-ong, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah siap melawan. Dia melompat dari atas panggulan pundak Han Bu dan begitu dia menggerakkan kedua tangan kakinya, tiga orang prajurit yang belum siap menggunakan anak panah mereka tahu-tahu telah roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Han Bu juga menggunakan pedangnya dan dua orang prajurit lainnya roboh!

Akan tetapi segera terdengar suara orang-orang di luar tempat tahanan itu. Hal ini berarti bahwa para prajurit lain agaknya sudah mendengar keributan itu dan sedang mendatangi tempat itu.

“Nona, cepat pergi melapor kepada ayahmu. Jangan sampai engkau tertawan lagi!” kata Han Bu sambil menghadapi kakek yang seperti mayat hidup itu.

Thian Hwa meragu. Biar pun dia tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi pemuda ini telah menolongnya dan membebaskannya dari tahanan. Bagaimana mungkin sekarang dapat meninggalkannya seorang diri menghadapi tengkorak hidup yang dia tahu sangat lihai itu? Akan tetapi Han Bu yang lebih mengkhawatirkan gadis itu karena melihat banyak prajurit mendatangi, segera berkata,

“Nona Huang-ho Sian-li, kini ayahmu sedang menanti-nantimu. Cepat pergilah. Aku akan menahan mereka di sini. Ingat, engkau harus menyelamatkan Pangeran Mahkota!”

“Dan engkau sendiri?” tanya Thian Hwa ragu.

“Ha-ha-ha, jangan pikirkan aku!”

Pada saat itu Ngo-beng Kui-ong membentak nyaring dan dia sudah melemparkan tongkat ularnya ke udara dan tongkat itu kini berubah menjadi ular hidup yang meluncur ke arah tubuh pemuda itu.

Dengan mengeluarkan suara mendesis-desis dan menyemburkan uap hitam, ular itu telah meluncur dan menyerang ke arah kepala Han Bu. Akan tetapi dengan tenangnya Han Bu sudah mengelebatkan pedangnya, menyerang dan membacok-bacok ke arah ular itu. Ular itu pun agaknya tidak mau terbabat pedang dan gerakannya cepat sekali, seolah menjadi seekor burung yang pandai terbang. Ia tetap menyambar-nyambar sambil menyemburkan uap hitamnya.

Walau pun Thian Hwa sudah menduga bahwa uap hitam itu tentu beracun, tetapi agaknya pemuda itu sama sekali tidak merasakan hal ini. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah murid Im Yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian yang di samping terkenal sebagai Dewa Pedang, juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai.

Sebagai cucu murid seorang ahli pengobatan tentu saja Han Bu juga mempelajari ilmu itu dan kini, berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong yang dia duga kemungkinan besar suka menggunakan racun, dia sudah membekali dirinya dengan menelan sebutir pil kebal racun sehingga ketika tongkat ular itu mengeluarkan asap hitam beracun, dia sama sekali tidak terpengaruh.

Bahkan tongkat ular yang tidak berani bertemu sambaran pedang itu menjadi repot untuk menghindarkan diri dari bacokan pedang dan akhirnya, ketika Ngo-beng Kui-ong berseru, tongkat itu terbang kembali ke tangannya.

Melihat betapa pemuda itu cukup lihai dalam menghadapi Ngo-beng Kui-ong, dan melihat pula betapa belasan orang prajurit kini telah menyerbu dan memasuki tempat tahanan itu, Huang-ho Sian-li cepat memungut pedang milik prajurit yang sudah dia robohkan tadi lalu mengamuk dan menerjang keluar! Terjadilah pertempuran hebat di mana Huang-ho Sian-li mengamuk dikeroyok lima belas orang prajurit pengawal.

Thian Hwa teringat akan seruan pemuda yang menolongnya itu agar dia melapor kepada ayahnya. Hal ini berarti bahwa pemuda itu sudah bertemu dengan ayahnya dan mungkin saja ayahnya yang menyuruhnya menolongnya.

Ia juga mendengar pemuda itu berseru agar ia menyelamatkan Pangeran Mahkota. Apa yang terjadi dengan Pangeran Mahkota? Apa yang terjadi dengan keluarga Bouw Hun Ki?

Pemuda itu benar juga. Terlebih dulu ia harus dapat meloloskan diri dan melihat keadaan di luar tempat tahanan ini, barulah ia akan berunding dengan Pangeran Bouw Hun Ki dan yang lain-lain apa yang harus dilakukannya.

Maka ia mempercepat gerakan pedang rampasannya dan empat orang pengeroyok roboh mandi darah. Yang lain terkejut dan cepat mundur dengan jeri melihat kelihaian gadis itu. Kesempatan ini segera digunakan oleh Thian Hwa untuk melompat keluar dari tempat itu, dan terus lari ke tembok taman lalu melompat dan keluar dari lingkungan gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong!

Sementara itu Han Bu merasa lega ketika melihat Thian Hwa telah lolos. Kelegaan yang hanya sebentar saja karena dia segera diserang oleh Ngo-beng Kui-ong dan mendapat kenyataan bahwa kakek yang seperti mayat hidup ini ternyata lihai bukan main! Juga para prajurit yang ditinggalkan Thian Hwa dan tak berhasil mengejarnya, kini telah mengepung pemuda yang memakai pakaian prajurit itu sehingga sama sekali tidak ada jalan bagi Han Bu untuk meloloskan diri.

Setelah sekarang tongkat ular berada di tangan Ngo-beng Kui-ong, kakek itu sudah berani mempergunakannya untuk diadu dengan pedang Im-yang-kiam dan ternyata tongkat itu kuat sekali karena didukung tenaga sakti yang dahsyat dari Si Mayat Hidup. Maka Han Bu berada dalam keadaan gawat. Dia baru tahu bahwa lawannya yang tampaknya lemah ini ternyata memiliki tenaga sakti yang sangat kuat dan ilmu silat yang amat aneh dan tinggi tingkatnya sehingga gurunya sendiri pun agaknya belum tentu akan sanggup menandingi kakek ini!

“Hei, kakek tua, tahan dulu!” Tiba-tiba Han Bu berseru dan melompat ke belakang. Akan tetapi para prajurit sudah menghadang di belakangnya.

“Hoa-ha-ha, kau mau lari ke mana?” Ngo-beng Kui-ong tertawa.

“Siapa mau lari? Aku hanya ingin tahu dahulu, siapa yang menjadi lawanku supaya jangan sampai aku membunuh orang tanpa kukenal siapa yang menjadi korban pedangku ini!”

“Ha-ha-ha, memang baik sekali agar engkau mati setelah mengenal namaku. Aku adalah Ngo-beng Kui-ong. Nah, engkau pun jangan mati tanpa nama. Siapa namamu sebelum aku membunuhmu!”

“Aku tak akan mati, sebab itu tidak perlu meninggalkan nama,” kata Han Bu dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan terjangan dahsyat. Pedangnya berputar dan menusuk ke arah muka lawan, lalu siap menoreh ke bawah ke arah ulu hati kalau tusukannya gagal.

“Tranggg...!”

Tongkat ular itu menangkis pedang dan sejenak Han Bu tidak mampu menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat. Kakek itu mengamati pedang yang berwarna separuh hitam separuh putih itu. Dia berseru kaget, mendorongnya sehingga tenaga yang amat kuat membuat Han Bu terpaksa mundur tiga langkah dan kakek itu berseru.

“Dari mana engkau memperoleh Im-yang Po-kiam ini? Bukankah Im-yang Po-kiam adalah pedang milik Im Yang Sian-kouw dari Beng-san?”

Han Bu merasa heran dan juga bangga. Agaknya kakek lihai ini mengenal gurunya! Maka sambil membusungkan dadanya dia berkata lantang.

“Dengarlah baik-baik, wahai Ngo-beng Kui-ong! Aku bernama Si Han Bu ada pun Im-yang Sian-kouw adalah Guruku! Subo menghadiahkan pedang ini kepadaku!”

“Ha-ha-ha-ha, bocah sombong! Murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian, berani melawan aku, Ngo-beng Kui-ong! Heh, bocah ingusan, tahukah engkau, Bu Beng Kiam-sian adalah teman seperjuanganku! Dan Im-yang Sian-kouw, heh-heh-heh, janda cantik itu sombong sekali berani menolakku. Kini engkau berani menantangku? Ho-ho, sudah bosan hidupkah engkau?”

“Engkaulah yang sudah bosan hidup karena sudah tua renta, Ngo-beng Kui-ong. Hendak kulihat bagaimana daya tahan seorang yang sudah mendekati ajal sepertimu, tentu saja kalau engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyokku!”

“Huh, bocah sombong. Siapa yang akan mengeroyokmu? Sambut ini!” bentak Ngo-beng Kui-ong marah.

Han Bu memang sengaja berlagak sombong untuk membuat penasaran hati kakek itu dan mengalihkan perhatian sehingga kakek tua renta itu lupa bahwa tawanan yang dijaganya sudah lolos. Dan usaha Han Bu ini berhasil baik. Ngo-beng Kui-ong agaknya sudah lupa sama sekali akan tawanannya!

Melihat serangan yang amat dahsyat itu, Han Bu tidak berani main-main. Dia cepat-cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-sian dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memainkan Im-yang Po-san, yaitu senjata kipasnya yang juga amat lihai.

Para prajurit hanya berani mengepung, tidak berani turun tangan karena mereka semua maklum bahwa kakek itu memiliki watak yang sangat aneh dan keras. Mengeroyok tanpa diperintah bisa saja berakibat mereka dibunuh sendiri oleh kakek itu.

Pertempuran berjalan cukup ramai. Hal ini karena Ngo-beng Kui-ong tak ingin membunuh Han Bu, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Ia mempunyai sebuah rencana bagi pemuda itu.

Dahulu kakek ini memang seorang sahabat dari Bu Beng Kiam-sian. Mereka sama-sama mempelajari ilmu dan saling bertukar ilmu, hidup sebagai datuk-datuk yang gagah perkasa dan patriotik.

Ketika Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng menjadi murid Bu-beng Kiam-sian, Ngo-beng Kui-ong sempat tergila-gila pada janda muda itu. Beberapa kali dia membujuk rayu dan meminang agar Cui Eng menjadi isterinya dan dijanjikan akan diberi semua ilmu yang dikuasainya. Pada saat itu Ngo-beng Kui-ong berusia hampir enam puluh tahun dan masih gagah, tidak seperti sekarang.

Akan tetapi Cui Eng menolak dan Ngo-beng Kui-ong tidak berani memaksa karena tentu saja dia merasa sungkan kepada Bu Beng Kiam-sian yang melindungi Cui Eng. Juga dia sendiri bukanlah orang yang suka memaksakan kehendak memenuhi nafsunya.

Kemudian, ketika pasukan Mancu menyerbu lalu menduduki Cina, Ngo-beng Kui-ong ikut pula melakukan perlawanan. Setelah Jenderal Wu Sam Kwi melarikan diri ke selatan dan membentuk pemerintahan sendiri lalu masih melakukan perlawanan mati-matian terhadap pemerintah penjajah Mancu, dengan sendirinya Ngo-beng Kui-ong mau membantunya, apa lagi muridnya, Lam-hai Cin-jin, menjadi Koksu (Guru Negara), penasihat Jenderal Wu Sam Kwi. Walau pun dia sudah tua dan tidak secara langsung membantu Wu Sam Kwi, namun ketika muridnya, Lam-hai Cin-jin minta bantuannya mewakili Wu Sam Kwi dalam persekutuannya dengan Pangeran Cu Kiong, dia tergerak dan berangkat juga.

Demikianlah, ketika kini tiba-tiba dia berhadapan dengan seorang pemuda yang mengaku sebagai murid Im-yang Sian-kouw, Ngo-beng Kui-ong memiliki rencana bagi pemuda itu. Dia hendak menangkapnya hidup-hidup agar kelak dapat digunakan untuk menyenangkan hati Im-yang Sian-kouw. Walau pun andai kata wanita yang membuatnya tergila-gila itu tetap tidak mau menjadi isterinya, setidaknya dapat diharapkan bantuan Im Yang Sian-kouw untuk mendukung pemerintah Jenderal Wu Sam Kwi.....!

KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 24

Ketika melihat betapa pemuda itu memang sudah mewarisi ilmu pedang dan ilmu kipas yang lihai dari Bu-beng Kiam-sian melalui gurunya, yaitu Im-yang Sian-kouw, maklumlah Kui-beng Kui-ong bahwa tidaklah mudah untuk merobohkan pemuda ini tanpa melukainya dan jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tenaga sakti dibantu kekuatan sihirnya.

Maka, setelah berkemak-kemik membaca mantera, dia pun mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Bu sambil berseru,

“Robohlah engkau!”

Hawa dorongan itu dahsyat bukan kepalang. Angin yang menyambar bagaikan badai dan di dalamnya terkandung pula wibawa yang mempengaruhi diri Han Bu. Ada sesuatu yang seolah memaksa dirinya untuk kehilangan daya tahannya dan biar pun dia mencoba untuk bertahan, tetap saja pemuda ini terpelanting. Sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, kakek itu sudah melompat dan menotoknya sehingga pemuda itu tidak mampu bergerak lagi.

Para prajurit kini berlompatan mendekat dan mereka sudah menggerakkan pedang serta golok masing-masing untuk membunuh Han Bu. Akan tetapi Han Bu cepat berseru,

“Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau tidak berani membunuh aku dengan tanganmu sendiri sehingga harus menyuruh anjing-anjingmu ini mengeroyok aku yang sudah tidak mampu bergerak? Pengecut besar!”

Mendengar ini, Ngo-beng Kui-ong menggerakkan tangannya dan angin menyambar amat kuatnya membuat beberapa orang prajurit yang menghampiri Han Bu berpelantingan!

“Tidak ada yang boleh membunuh pemuda ini! Mundur kalian semua!”

Para prajurit ketakutan dan mundur, mengepung dari jarak jauh.

“Ngo-beng Kui-ong, sekarang engkau hendak membunuh aku yang kau buat tidak berdaya dengan ilmu iblismu? Huh, tak tahu malu. Jika kau memang gagah, hayo jangan gunakan ilmu setan tetapi tewaskan aku dalam perkelahian adu ilmu silat yang jujur dan adil. Kalau kau berani!”

“Ho-ho-ho, tak usah berlagak, bocah sombong! Engkau ketakutan maka engkau berlagak pemberani.”

“Ha-ha-ha-ha, kakek tua bangka! Siapa yang takut mati? Aku adalah murid Subo Im-yang Sian-kouw dan cucu murid Sukong Bu Beng Kiam-sian, mana mungkin takut mati? Berarti engkau bohong dan belum mengenal kegagahan mereka!”

“Huh, bagaimana pun juga aku pasti membunuhmu, tapi mengingat akan persahabatanku dengan janda Im-yang Sian-kouw yang menjadi gurumu, biarlah aku memberi kelunakan padamu. Engkau boleh memilih sendiri cara kematianmu. Kalau pilihanmu benar, engkau akan mendapat kehormatan mati di tanganku. Kau tahu, mati di tangan Ngo-beng Kui-ong merupakan kehormatan besar bagi seorang kang-ouw! Akan tetapi kalau pilihanmu tidak benar, engkau akan kuserahkan kepada para anjing ini biar mereka yang mengeroyokmu sampai engkau mampus dengan cara rendah dan hina! Nah, engkau boleh pilih!”

Han Bu adalah seorang pemuda lincah jenaka yang berwatak pemberani dan banyak akal. Mendengar ucapan itu, dia lalu memutar otaknya, mencari akal. Kemudian, dengan wajah cerah, dalam keadaan rebah telentang dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, dia bertanya,

“Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau ini benar-benar seorang datuk ilmu silat yang terkenal dan dapat dipercaya janjinya? Ataukah hanya seorang Siauw-jin (Manusia Rendah) yang suka menjilat ludah sendiri, mengingkari janjinya?”

“Bocah setan! Tentu saja aku selalu memegang teguh ucapan dan janjiku!”

“Tadi kau bilang bahwa aku boleh memilih dan kalau pilihanku tepat maka aku akan mati terhormat di tanganmu, sebaliknya apa bila pilihanku keliru maka aku akan mati dikeroyok anjing-anjing ini. Benarkah demikian janjimu?”

“Benar sekali dan aku tidak akan mengingkarinya!”

“Berani engkau bersumpah bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu sendiri? Ingatlah bahwa janjimu disaksikan Bumi dan Langit, juga didengarkan oleh belasan anak buahmu ini. Sebagai seorang datuk besar, tentu engkau tidak akan menjilat ludahmu sendiri!”

Ngo-beng Kui-ong marah sekali. Ia merasa dipermainkan anak muda yang pantas menjadi cucunya, bahkan cucu buyutnya!

“Bocah setan! Siapa hendak mengingkari janji? Aku tak sudi bersumpah, akan tetapi biar semua orang ini menjadi saksi bahwa jika engkau memilih benar maka engkau akan mati terhormat di tanganku, sebaliknya kalau engkau memilih keliru maka engkau akan mati dikeroyok anak buah ini!”

Han Bu mengerutkan alisnya. Wah, tidak enak semua! Akan tetapi seratus kali lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang mati-matian membela diri dari pada sebagai seekor babi yang hanya menguik-nguik dan berkaok-kaok ketakutan menghadapi kematian tanpa melawan!

“Ngo-beng Kui-ong, satu hal lagi. Jika aku memilih benar sehingga aku mati di tanganmu, aku minta agar engkau membebaskan aku dari totokan sehingga aku dapat melawanmu dan mati karena kalah dalam perkelahian. Bagaimana?”

“Tentu saja! Jika pilihanmu benar maka engkau akan melawanku sampai mati, akan tetapi kalau pilihanmu keliru, dalam keadaan tertotok engkau akan dihabisi mereka. Nah, jangan banyak cerewet lagi seperti seorang nenek bawel, cepat lakukan pilihanmu!”

Setelah memutar otaknya dan menahan napas, dengan nekat Han Bu lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit yang berada di situ.

“Aku, memilih mati di tangan prajurit ini!”

Mendengar ini para prajurit tertawa riuh, Ngo-beng Kui-ong juga turut tertawa. “Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau hanya seorang pengecut dan takut melawan aku, maka memilih mati seperti seekor tikus! Baiklah. Kalau itu pilihanmu, maka engkau akan mampus dicincang para prajurit ini dan arwahmu tidak boleh menyalahkan siapa pun karena ini merupakan pilihanmu sendiri!” Dia tertawa lagi terbahak. “Tidak kusangka murid Im-yang Sian-kouw setolol ini!”

Para prajurit sudah gatal tangan dan siap untuk mencincang tubuh pemuda pengacau itu dengan golok dan pedang mereka.

“Tahan!” Han Bu berseru. “Ngo-beng Kui-ong, bukan aku yang tolol, akan tetapi engkau yang hendak menjilat ludahmu sendiri. Engkau ini datuk macam apa hendak mengingkari janjimu, hah?”

Kakek itu terkejut dan marah. “Bocah setan, siapa mengingkari janji?”

“Coba pergunakan otakmu yang tumpul karena sudah terlalu tua itu. Apa pilihanku tadi?”

“Engkau memilih mati di tangan para prajurit!”

“Benar, dan kini engkau hendak melaksanakan itu, menyuruh para prajurit membunuhku? Kalau begitu berarti pilihanku benar! Padahal jika pilihanku benar, para prajurit tidak boleh membunuh aku, melainkan aku akan melawan sampai mati. Engkau masih ingat, bukan? Ataukah engkau sudah pikun dan pura-pura lupa?”

Ngo-beng Kui-ong tertegun dan bengong seperti orang bodoh, sementara itu para prajurit saling pandang kemudian mengangguk-angguk. Mereka bisa melihat kebenaran omongan pemuda itu. Pemuda itu memilih mati di tangan mereka. Kalau hal ini dilaksanakan, berarti pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, seperti dijanjikan kakek itu, dia tidak boleh mati di tangan para prajurit!

Agaknya Ngo-beng Kui-ong akhirnya bisa menyadari kebenaran ini. Tidak, anak muda itu tidak boleh mati dikeroyok prajurit karena kalau hal itu terjadi, maka pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, sesuai janjinya dia akan mendapat kehormatan melawannya dan mati di tangannya.

“Ahh, benar juga, aku keliru, Si Han Bu. Baiklah, sekarang aku akan membebaskan dan memberi kesempatan kepadamu untuk bertanding melawan aku sampai mati!” Kakek itu hendak melawan Han Bu, maka sekali tangannya berkelebat, dia sudah membebaskan pemuda itu dari totokan yang ampuh. Han Bu melompat berdiri dan segera berseru.

“Tahan dulu, Ngo-beng Kui-ong! Engkau tidak jadi menjilat ludah yang ini, akan tetapi siap untuk menjilat ludahmu yang lain. Benar-benar tidak tahu malu. Aku tidak sudi bertanding melawanmu karena itu menyalahi apa yang telah kau janjikan!”

“Lho! Apa lagi ini? Aku melanggar janji yang mana?”

“Dasar sudah pikun dan bodoh! Apa janjimu tadi? Kalau salah pilih maka aku akan mati di tangan para prajurit, bukan? Nah, apa yang kupilih tadi? Aku memilih mati di tangan para prajurit. Kalau sekarang aku harus mati di tanganmu, berarti pilihanku tadi salah dan kalau salah, tidak semestinya aku mati di tanganmu! Seharusnya mati di tangan para prajurit!”

Kakek itu melongo sambil menghitung-hitung. Kalau pemuda yang memilih mati di tangan para prajurit itu dibiarkan mati dikeroyok, berarti pilihannya benar dan dia tidak boleh mati dikeroyok. Sebaliknya kalau mati di tangannya, berarti pilihannya keliru dan seharusnya mati dikeroyok.

“Lho, bagaimana ini...?” Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan hati bingung. “Menyuruh para prajurit membunuhmu salah, aku sendiri yang membunuhmu juga salah! Lalu bagaimana?”

Para prajurit juga geleng-geleng kepala karena bingung. Mereka semua baru menyadari bahwa mereka telah diakali oleh pemuda itu! Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong tidak berdaya karena tentu saja dia tidak mau melanggar janjinya sendiri yang disaksikan oleh demikian banyaknya prajurit.

“Memang tidak semestinya engkau membunuhku, Ngo-beng Kui-ong. Kalau betul engkau dahulu sahabat kakek guruku mendiang Bu Beng Kiam-sian dan juga sahabat ibu guruku Im-yang Sian-kouw, bagaimana engkau dapat bertemu mereka kalau engkau membunuh aku?”

Selagi kakek itu kebingungan dan tidak mampu menjawab, terdengar suara berisik di luar bangunan itu. Ngo-beng Kui-ong cepat menotok Han Bu yang tidak siap sehingga pemuda itu terkulai lumpuh kembali. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Han Bu dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tadi dipergunakan untuk menawan Huang-ho Sian-li. Sesudah melemparkan pemuda itu ke dalam kamar tahanan, pintunya lantas ditutup dan digembok dari luar.

Han Bu girang sekali. Setidaknya dia merasa lega karena pertama, dia dapat meloloskan Huang-ho Sian-li, dan ke dua, dia dapat mengakali Ngo-beng Kui-ong sehingga kakek itu menjadi serba salah dan tidak dapat membunuhnya.

Akan tetapi, dalam keadaan telentang dan tertotok, rebah di atas pembaringan kayu, dia melihat munculnya beberapa orang yang membuat dia dapat merasakan bahwa keadaan dirinya tetap saja gawat.

Yang muncul adalah Pangeran Cu Kiong sendiri bersama Lam-hai Cin-jin, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Ang-mo Niocu yang cantik genit.

“Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, benarkah yang kami dengar dari laporan para pengawal itu? Bagaimana Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dapat lolos dari tahanan?” Pangeran Cu Kiong bertanya dengan nada marah.

Dia masih marah karena persidangan itu gagal dan harus ditunda. Kini mendengar bahwa Huang-ho Sian-li, musuh yang paling berbahaya baginya itu telah lolos dari ruang tahanan, tentu saja dia menjadi marah sekali. Matanya terbelalak merah dan kalau saja bukan Ngo-beng Kui-ong yang melakukan penjagaan dan bertanggung jawab atas lolosnya tawanan, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya!

“Ahh, aku sedang tertidur ketika Huang-ho Sian-li ditolong dan dikeluarkan oleh bocah itu. Sekarang dia yang meloloskan Huang-ho Sian-li sudah kutangkap!” kata kakek itu, sama sekali tidak merasa menyesal.

Dia yang sudah tua tidak begitu mementingkan tentang rencana Pangeran Cu Kiong. Dia datang ke kota raja hanya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu murid keponakannya, yaitu Lam-hai Cin-jin.

Mendengar bahwa ada orang telah meloloskan Huang-ho Sian-li dari tawanan, dan orang itu kini sudah tertangkap, Pangeran Cu Kiong bertanya dengan marah sekali.

“Mana Si Jahanam yang telah membikin lolosnya Huang-ho Sian-li?”

Sambil menyeringai Ngo-beng Kui-ong menuding ke arah dalam kamar tahanan. “Itu dia orangnya!”

“Keparat, biar kubunuh dia!” Pangeran Cu Kiong sudah mencabut pedangnya, dia hendak menyuruh buka pintu kamar penjara karena ingin melampiaskan kemarahannya kepada orang yang telah mengeluarkan Huang-ho Sian-li dari tahanan.

“Eittt, nanti dulu, Pangeran. Jangan bunuh dia!” Ngo-beng Kui-ong mencegah dan berdiri menghadang di depan pintu kamar penjara.

Pangeran Cu Kiong menjadi marah sekali, sedangkan Lam-hai Cin-jin juga khawatir akan sikap susiok-nya (paman gurunya) yang sudah tua renta dan suka bersikap ugal-ugalan tanpa pandang bulu itu.

“Susiok, mengapa Susiok melarang Pangeran Cu membunuh orang muda itu? Bukankah dia telah bersalah besar membebaskan Huang-ho Sian-li yang menjadi tawanan penting?” Lam-hai Cin-jin menegur paman gurunya.

“Ho-ho-ho, engkau tidak tahu, Cin-jin. Kau tahu siapa pemuda ini? Dia ini murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian. Kau ingat mereka itu dahulu adalah sahabat-sahabatku. Sekarang aku dapat menangkap murid Im-yang Sian-kouw, ini adalah senjata yang baik sekali untuk memaksa dia suka membantu Raja Wu Sam Kwi! Sangat menguntungkan, bukan? Kalau dibunuh begitu saja, apa untungnya bagi kita? Pangeran Cu Kiong, hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin sehingga dapat berpikir dengan baik. Kita pertimbangkan dulu untung ruginya! Aku tetap mempertahankan hidup pemuda ini karena aku mengharapkan gurunya akan mau mendukung Raja Wu Sam Kwi yang membutuhkan banyak bantuan tenaga orang sakti.”

Lam-hai Cin-jin tersenyum masam. Tentu saja dia tahu bahwa alasan yang dikemukakan paman gurunya itu walau pun ada benarnya tetapi sesungguhnya bukan itulah tujuannya. Dia tahu bahwa dahulu paman gurunya itu pernah tergila-gila kepada Im-yang Sian-kouw, juga pernah merayu dan berkali-kali meminang janda muda cantik itu agar suka menjadi isterinya.

Namun Im-yang Sian-kouw telah mengambil keputusan untuk menjanda selama hidupnya, maka bujuk rayu dan pinangan itu ditolaknya. Kini agaknya Ngo-beng Kui-ong yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih, semakin tua semakin bergairah, dan agaknya hendak menggunakan murid Im-yang Sian-kouw yang ditawannya untuk memaksa janda itu mau menjadi isterinya!

Pangeran Cu Kiong menjadi marah dan kecewa bukan main. Huang-ho Sian-li bebas dari tahanan dan tentu akan menimbulkan banyak kesulitan baginya. Walau pun dia merasa marah dan benci sekali kepada pemuda yang telah membebaskan Huang-ho Sian-li, tapi melihat Ngo-beng Kui-ong berkeras tidak membiarkan pemuda itu dibunuh, dia pun tidak berani mendesak.

Akan rugi sekali bila dia bentrok dengan kakek tua renta yang sakti itu. Lagi pula baginya tidak begitu penting artinya kalau pemuda itu mau dibunuh ataukah tidak. Yang terpenting sekarang dia harus membuat rencana secepatnya untuk menguasai keadaan, sebelum Huang-ho Sian-li membuat kesulitan baginya.

Maka dengan muka masih merah karena marah serta mulut bersungut-sungut, Pangeran Cu Kiong memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia. Sekali ini dia membuat pertemuan terakhir, maka dia mengundang semua pendukungnya.

Selain para pembantu tetapnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun, serta para pendukung tetap, yaitu para utusan Jenderal Wu Sam Kwi seperti Lam-hai Cin-jin, Ang-mo Niocu Yi Hong, Mong Lai orang Mongol yang membantu Wu Sam Kwi, dan Ngo-beng Kui-ong, juga hadir pula para panglima serta pejabat tinggi yang sudah dapat dipengaruhi Pangeran Cu Kiong yang kini menggunakan Tek-pai yang dirampasnya dari Huang-ho Sian-li! Dengan Tek-pai itu, banyak panglima dan pejabat tinggi yang tertarik dan terbujuk olehnya.

Di dalam ruangan rahasia yang tertutup itu sekarang dipenuhi mereka yang mengadakan perundingan dengan serius, dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong yang penuh semangat dan berapi-api.

“Kita harus bertindak sekarang juga atau akan terlambat dan tidak akan ada kesempatan lagi! Tek-pai berada di tanganku, maka dengan Tek-pai ini aku dapat bertindak atas nama Kaisar, Ayahku, sedangkan kaisar baru belum diangkat, berarti aku memiliki kekuasaan mutlak. Para pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada pemegang Tek-pai. Sekarang aku hendak bertanya, bagaimana ketiga Ciangkun, apakah kalian bertiga sudah menyiapkan pasukan kalian dan setiap saat sudah siap untuk mengepung istana dan menguasainya?” Berkata demikian, Pangeran Cu Kiong memandang kepada tiga orang panglima perang yang terbujuk olehnya dan menjadi pendukungnya, tentu saja dengan janji akan mendapat kedudukan yang jauh lebih tinggi kalau Pangeran Cu Kiong kelak menjadi kaisar.

“Kami sudah siap, Pangeran!” serentak mereka menjawab.

“Bagus! Gui-ciangkun, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Apa yang sedang dilakukan Pangeran Bouw Hun Ki dan di mana adanya Pangeran Kang Shi?” tanya Pangeran Cu Kiong kepada panglima yang ditugaskan sebagai kepala para penyelidik.

“Menurut hasil penyelidikan para anak buah yang kami sebar di mana-mana, tidak tampak banyak gerakan oleh Pangeran Bouw Hun Ki. Pangeran Mahkota Kang Shi masih berada di rumahnya dan semua kegiatan juga dilakukan di sana. Istana masih sepi dan kabarnya, sebelum pelantikan kaisar baru dilaksanakan maka Pangeran Kang Shi akan tetap tinggal bersama Pangeran Bouw Hun Ki. Para panglima yang setia terhadap Kaisar juga belum tampak mengadakan persiapan apa pun. Jadi menurut hamba, saat ini memang tepat dan baik sekali apa bila Paduka membuat gerakan yang pasti akan berhasil baik selagi pihak musuh sedang lengah.”

“Bagus! Dan sekarang aku ingin mendengar pendapat Lam-hai Cin-jin, bagaimana langkah yang sebaiknya harus kita ambil.”

“Hemm, Pangeran, pada saat ini kerajaan sedang kosong, belum ada kaisar baru, maka memang inilah saat paling tepat untuk bergerak. Satu-satunya yang menjadi penghalang bagi Pangeran untuk dapat naik tahta hanyalah Pangeran Kang Shi. Akan tetapi Pangeran itu masih kecil, jadi bukan dia yang menjadi penghalang terbesar, melainkan pelindungnya dan pendampingnya, yang bukan lain adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Sebab itu sebaiknya Pangeran mengerahkan semua kekuatan untuk menyerbu ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan membinasakan semua keluarga dan pengikutnya, termasuk Huang-ho Sian-li.”

“Saya setuju sekali dengan pendapat Lam-hai Cin-jin ini,” kata Thio Kwan si tinggi kurus muka pucat. “Terutama sekali Huang-ho Sian-li, sekali ini kita harus dapat membunuhnya. Tidak ada gunanya menawannya hidup-hidup, lebih cepat dia tewas lebih baik.”

“Memang tepat sekali,” kata Yu Kok Lun yang pendek gemuk. “Gadis itu berbahaya sekali dan setelah dia pernah kita tawan, kiranya tidak akan mudah lagi menawannya karena dia tentu akan berhati-hati. Maka sebaiknya digunakan siasat yang cerdik. Bagaimana kalau kita tangkap ayahnya? Pangeran Ciu Wan Kong adalah seorang lemah, kalau kita dapat menangkapnya, saya kira Huang-ho Sian-li dapat kita tundukkan.”

“Bagus, bagus! Semua usul itu baik sekali dan harus segera dilaksanakan! Dan sekarang, apakah ketiga Ciangkun sudah membuat rencana mengenai apa yang akan dilakukan dan sudah membagi tugas kepada pasukan masing-masing?”

“Pangeran, kami bertiga telah membagi tugas. Tiga pasukan kami telah kami rencanakan untuk bergerak sebagai berikut. Pasukan pertama akan menghadang di pintu gerbang dan mencegah masuknya pasukan dari luar kota raja yang ingin membela Pangeran Mahkota. Pasukan kedua kami perbantukan untuk penyerbuan ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan menghancurkan semua kekuatannya, kemudian pasukan ke dua membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana dan kemudian menyerbu setelah saatnya tiba, yaitu kami menunggu komando dari Pangeran.”

Pangeran Cu Kiong menggosok-gosok kedua tangannya dengan wajah girang. Dia seolah sudah yakin bahwa usahanya pasti berhasil!

“Bagus, sekarang kita tentukan rencana gerakan besok pagi-pagi sekali seperti berikut ini. Malam ini harap Gui Ciangkun suka bekerja keras untuk memata-matai semua gerakan di gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan di istana sehingga kalau terjadi perubahan kita dapat mengetahui gerakan mereka. Juga malam ini ketiga pasukan harus sudah bisa menyusup dan siap di tempat masing-masing, yaitu di pintu gerbang, dekat gedung Pangeran Bouw, dan di dekat istana. Jangan membuat gerakan mengepung lebih dahulu karena gerakan itu dapat menarik perhatian orang. Kemudian, begitu ada tanda ayam berkokok, pasukan kedua akan membantu kedua Locianpwe Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong, Sahabat Mong Lai, dan para perwira menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki, membasmi semua yang melawan termasuk Pangeran Bouw Hun Ki dan Pangeran Kang Shi.

Sementara itu, Thio Kwan dan Yu Kok Lun lebih dulu membawa dua losin prajurit pergi menangkap Pangeran Ciu Wan Kong sehingga kalau Huang-ho Sian-li mengamuk dalam pertempuran di istana Pangeran Bouw Hun Ki itu, kalian dapat memaksa dia menyerah dengan memperlihatkan ayahnya yang disandera. Kemudian, apa bila pasukan pertama ternyata tidak menemui pasukan kerajaan yang akan masuk, mereka harus cepat-cepat pergi ke istana dan membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana. Nah, kalau ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang karena ini merupakan perundingan terakhir.”

Setelah merundingkan rencana pemberontakan mereka secara terperinci, perundingan itu ditutup karena semua orang harus membuat persiapan malam itu juga. Sesudah semua meninggalkan ruangan rahasia itu, sebagian para panglima dan pejabat tinggi, pulang ke tempat tinggal masing-masing, ada pun para pembantu atau pengawal kembali ke kamar masing-masing yang disediakan untuk mereka di dalam istana itu.

Pangeran Cu Kiong berjalan menuju kamarnya bersama Ang-mo Niocu Yi Hong. Ketika Yi Hong hendak menuju ke kamarnya sendiri, tangannya dipegang Pangeran Cu Kiong.

“Niocu, malam ini engkau harus menemani aku. Besok adalah hari penentuan, jadi malam ini aku ingin menikmatinya, siapa tahu merupakan malam terakhir pula bagiku.”

“Ihh, mengapa bicara begitu, Pangeran? Aku ingin tidur, harus bersiap dan mengaso agar besok pagi dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya.”

“Marilah, Niocu, engkau tidur di kamarku saja.”

“Pangeran, biarkan aku sendiri saja....” Ang-mo Niocu Yi Hong menarik tangannya yang dipegang, akan tetapi pangeran itu tidak mau melepaskannya.

“Niocu, apakah engkau tidak cinta lagi padaku? Bukankah kita saling mencinta? Ingat, jika aku berhasil maka engkau pun akan mendapat kedudukan tinggi di istanaku....”

Di dalam hatinya Yi Hong tersenyum mengejek. Cinta? Tidak pernah ada rasa cinta yang menyelinap dalam hatinya. Sejak kecil hatinya sudah dijejali dan dipenuhi bibit kebencian terhadap pria sehingga kini yang ada hanyalah perasaan benci. Kalau ia mau berdekatan dengan pria yang muda dan tampan, ini sama sekali bukan cinta, melainkan hanya nafsu berahi belaka. Akan tetapi biar pun setelah beberapa lamanya menjadi kekasih Pangeran Cu Kiong dan ia mulai merasa bosan, ia menahan diri dan tidak mau memperlihatkannya.

Kini pun ia terpaksa mengalah, bukan karena ada rasa sayang terhadap pangeran yang ia tahu bukannya cinta kepadanya melainkan hendak memanfaatkannya, melainkan karena demi memenuhi tugasnya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Tiada seorang pria pun di dunia ini yang pernah dicintanya dengan kasih yang murni, bahkan Yi Hong tak pernah merasakan kasih sayang antara dirinya dan ayah kandungnya yang telah tewas terbunuh oleh ibu kandungnya sendiri ketika ia berusia satu tahun! Gurunya sendiri, Lam-hai Cin-jin, yang telah mendidiknya sejak ia berusia sepuluh tahun, juga hanya ia taati dan ia hormati sebagai guru tanpa ada rasa sayang seorang murid terhadap gurunya, dan hal ini terjadi hanya karena gurunya itu seorang laki-laki!

Jika ada laki-laki yang benar-benar ia bela, tidak lain adalah Jenderal Wu Sam Kwi. Sejak kecil sudah tertanam di dalam lubuk hatinya bahwa Jenderal Wu Sam Kwi adalah seorang pahlawan besar yang gagah perkasa, yang setia kepada tanah air dan bangsa, dan yang ia junjung tinggi.

Untuk tokoh yang sudah tua itu, Ang-mo Niocu siap untuk berkorban nyawa sekali pun! Justru karena rasa bakti dan sayangnya kepada Jenderal Wu Sam Kwi, maka Yi Hong membantu Pangeran Cu Kiong dengan sungguh hati, bukan demi keberhasilan pangeran itu, melainkan demi kemenangan dan keberhasilan Jenderal Wu Sam Kwi.

Setelah melayani Pangeran Cu Kiong dengan hati muak karena dia memang sudah bosan dan dilakukan dengan terpaksa, Yi Hong dapat membujuk pangeran itu untuk menitipkan Tek-pai (Tanda Kekuasaan) dari mendiang Kaisar Shun Chi yang dirampas dari Huang-ho Sian-li itu kepadanya.

“Tek-pai itu merupakan bukti yang terpenting bagi Paduka,” demikian Yi Hong membujuk. “Dengan Tek-pai di tangan, setidaknya Paduka mempunyai kekuasaan yang disegani oleh sebagian besar para pejabat kerajaan, apa lagi sebelum ada kaisar baru. Maka berbahaya sekali kalau Paduka pegang sendiri. Juga kalau Paduka sembunyikan, bisa saja diambil atau dicuri orang. Maka, kalau Paduka percaya kepada saya, bagaimana kalau diam-diam Tek-pai itu Paduka titipkan kepada saya? Tidak akan ada yang menyangka sehingga saya dapat menyelamatkan Tek-pai itu dan tidak sampai dirampas atau dicuri orang.”

Pangeran Cu Kiong menganggap usul itu baik sekali. Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah mereka mandi dan berganti pakaian, Tek-pai itu sudah berada di balik ikat pinggang Ang-mo Niocu Yi Hong.

Tentu saja tujuan Yi Hong menyimpan Tek-pai itu sama sekali bukan untuk kepentingan Cu Kiong, melainkan untuk kepentingan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia mengharapkan barang kali tanda kekuasaan dari kaisar itu akan dapat berarti penting sekali bagi junjungannya di Se-cuan, terutama sekali jika rencana pemberontakan Pangeran Cu Kiong ternyata kelak sampai menemui kegagalan…..

********************

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merasa menyesal sekali bahwa ia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tahanan di istana Pangeran Cu Kiong, harus meninggalkan pemuda tampan gagah yang telah membebaskannya dari tahanan tanpa dapat menolongnya.

Di tempat tinggal Pangeran Cu Kiong terdapat banyak prajurit pengawal. Walau pun hal ini bukan merupakan bahaya bagi seorang yang mempunyai kelihaian seperti pemuda yang membebaskannya itu, namun di situ ada pula Ngo-beng Kui-ong yang sakti. Mungkinkah pemuda itu mampu menyelamatkan diri dari mereka? Tetapi ada dua hal yang memaksa Huang-ho Sian-li pergi meninggalkan pemuda itu, biar pun tindakannya ini mendatangkan penyesalan yang mendalam kepadanya.

Pertama, pemuda itu yang mendorong dia agar pergi melarikan diri dengan mengatakan bahwa dia harus cepat menemui ayahnya dan yang terpenting menyelamatkan Pangeran Mahkota. Ke dua, jika dia nekat mengamuk untuk membantu pemuda itu meloloskan diri, kemudian dia tertangkap pula karena lihainya kakek yang seperti mayat hidup itu, lantas bagaimana dengan tugasnya melindungi Pangeran Mahkota?

Demikianlah, dengan hati merasa amat menyesal, terpaksa gadis ini meninggalkan istana Pangeran Cu Kiong dan cepat dia kembali ke gedung ayahnya Pangeran Ciu Wan Kong.

“Ayah...!” Dia melompat ke ruangan dalam di mana ayahnya sedang duduk termenung.

Pangeran Ciu Wan Kong baru saja kembali dari menghadiri persidangan dalam istana di mana Pangeran Bouw Hun Ki memutuskan untuk menunda persidangan karena Huang-ho Sian-li yang menjadi terdakwa pembunuh Pangeran Leng tidak dihadirkan di situ.

Pangeran Ciu termenung dan diam-diam dia merasa khawatir sekali akan nasib puterinya yang menjadi tawanan Pangeran Cu Kiong yang jahat dan kejam. Ketika dia mendengar panggilan itu dan melihat berkelebatnya bayangan Huang-ho Sian-li yang tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, dia segera melompat berdiri.

“Thian Hwa...!” Saking girangnya, Pangeran Ciu Wan Kong merangkul puterinya.

Thian Hwa juga merasa terharu karena ia bisa merasakan rangkulan ayahnya yang penuh kasih sayang itu.

“Ayah...!” Ia pun merangkul dengan hati terharu.

Pangeran Ciu Wan Kong melepaskan rangkulannya dan menyuruh puterinya duduk.

“Terima kasih kepada Tuhan, engkau dapat pulang dengan selamat, Anakku. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau dapat meloloskan diri dari cengkeraman Pangeran Cu Kiong yang jahat itu dan apa yang telah terjadi?”

“Ayah, aku telah difitnah oleh Pangeran Cu. Dia yang membunuh Pangeran Leng, dengan menggunakan Pek-hwa-ciam milikku yang dirampasnya setelah mereka merobohkan dan menangkapku.”

“Hal itu sudah kami duga, Thian Hwa. Akan tetapi bagaimana terjadinya? Coba ceritakan selengkapnya, aku ingin sekali mendengar apa yang terjadi.”

Thian Hwa lalu menceritakan apa yang ia alami ketika ia mengunjungi Pangeran Leng Kok Cun di mana telah terdapat Pangeran Cu Kiong dan para jagoannya yang lihai sehingga ia dapat ditawan oleh mereka dan difitnah sebagai pembunuh Pangeran Leng, padahal yang membunuhnya adalah Pangeran Cu Kiong sendiri.....!



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 25  

“Pedang, Pek-hwa-ciam dan Tek-pai pemberian Kaisar dirampas, lalu aku dimasukkan ke kamar tahanan, dijaga oleh Ngo-beng Kui-ong yang amat sakti dan para prajurit yang siap dengan panah mereka untuk mencegah aku melepaskan diri dari tahanan.”

“Ahh, masih baik nasibmu engkau tidak dibunuh pangeran yang jahat itu, Anakku....”

“Tentu mereka menganggap aku masih berguna bagi mereka sehingga mereka tidak atau belum membunuhku, Ayah. Mereka merasa menang karena dapat memfitnahku dengan membunuh Pangeran Leng.”

“Akan tetapi bagaimana engkau dapat meloloskan diri, Thian Hwa?”

“Tadi muncul seorang pemuda yang merobohkan para prajurit dan dia membebaskan aku dari kamar tahanan dengan menyamar sebagai seorang prajurit....”

“Ahh, pemuda yang tampan gagah itu? Dia Si Han Bu...!”

“Si Han Bu...?”

“Ya, dia sudah datang berkunjung ke sini. Dia mengaku bernama Si Han Bu, murid dari Im-yang Sian-kouw di Beng-san. Kemunculannya membawa banyak kabar yang demikian baiknya sehingga sulit dipercaya, Anakku!”

“Kabar apakah, Ayah?”

“Kebahagiaan pertama yang dibawa pemuda itu tentu saja adalah tindakannya yang telah membebaskanmu dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Dan kabar ke dua yang membuat kita patut bersyukur kepada Tuhan adalah bahwa... Cui Eng.... masih hidup dan gurunya, Im-yang Sian-kouw, mengetahui di mana adanya....” semakin lama suara Pangeran Ciu Wan Kong semakin lirih dan mengandung isak tangis!

“Cui Eng... Ibuku...?” Thian Hwa setengah menjerit. “Ibu... Ibu... Ibuku masih hidup...?” Ia bangkit dan merangkul ayahnya. Ayah dan anak kembali berangkulan dan kini keduanya menangis!

“Benar sekali, Anakku.... menurut Si Han Bu, gurunya yang bernama Im-yang Sian-kouw mengatakan bahwa Cui Eng ibumu masih hidup dan ia tahu di mana kini ibumu berada...”

Tiba-tiba Thian Hwa melepaskan pelukan ayahnya. “Ayah, sekarang juga aku akan pergi ke Beng-san untuk mencari Im-yang Sian-kouw dan bertanya kepadanya di mana adanya ibuku!”

“Nanti dulu, Thian Hwa! Engkau tidak boleh pergi sekarang ini!”

“Mengapa, Ayah? Apakah Ayah sudah lupa kepada Ibu dan Ayah tidak lagi mencinta Ibu maka tidak ingin aku mencari Ibu?”

“Bukan begitu, Thian Hwa. Akan tetapi engkau harus bisa menentukan mana yang paling penting untuk dilaksanakan lebih dulu. Ibumu masih hidup, ini merupakan berkah Tuhan, merupakan kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi kita berdua dan bagi kong-kongmu, tetapi saat ini ibumu berada dalam keadaan baik dan sehat. Sebaliknya kerajaan sedang terancam bahaya besar. Keselamatan Pangeran Mahkota terancam padahal engkau telah dipercaya oleh Kaisar untuk melindunginya. Juga kita tidak boleh melupakan Si Han Bu yang mungkin keselamatan nyawanya terancam di istana Pangeran Cu Kiong. Bagaimana mungkin engkau pergi meninggalkan mereka yang terancam bahaya begitu saja? Marilah kita lakukan yang terpenting lebih dulu dan ini merupakan perintahku kepadamu sebagai ayah memerintahkan anaknya!”

Betapa pun keras hatinya, Thian Hwa dapat melihat kebenaran ucapan ayahnya setelah tadi dalam rangkulan ayahnya dia dapat merasakan kasih sayang orang tua itu. Sesudah menghela napas panjang untuk meredakan guncangan serta ketegangan hatinya karena mendengar ibunya masih hidup, maka dia lalu berkata.

“Baiklah, Ayah. Aku akan menaati semua perintahmu.”

“Syukurlah, Anakku yang baik. Mari kita segera pergi menemui Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan kau ceritakan semua pengalamanmu di istana Pangeran Cu Kiong.”

Ayah dan anak itu pergi mengunjungi Pangeran Bouw Hun Ki. Ketika Pangeran Bouw Hun Ki, Bouw Hujin, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, Gui Sian Lin, serta beberapa orang panglima dan pejabat tinggi yang setia terhadap Pangeran Mahkota dan membantu usaha Pangeran Bouw dalam melindungi dan membela calon kaisar menerima kedatangan Huang-ho Sian-li bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mereka terkejut, heran dan juga girang melihat gadis itu selamat dan berhasil lolos dari penahanan Pangeran Cu Kiong.

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa segera menceritakan pengalamannya secara lengkap kepada mereka sampai dia dapat terlepas karena pertolongan Si Han Bu yang kini entah bagaimana nasibnya.

“Aihh, sungguh aku dan Dinda Pangeran Ciu Wan Kong merasa prihatin, sedih dan malu mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran Cu Kiong yang jahat dan licik itu. Kita harus siap siaga menghadapi niatnya yang jelas hendak memberontak dan merebut tahta kerajaan dari Pangeran Mahkota!” kata Pangeran Bouw Hun Ki.

“Memang secepatnya kita harus bertindak, malam ini juga kita membuat persiapan!” kata Bouw Hujin penuh semangat. “Sekarang bukan hanya kita melindungi Pangeran Mahkota dan menyelamatkan tahta kerajaan, akan tetapi juga harus menolong dan menyelamatkan pemuda yang sudah membebaskan Thian Hwa itu! Aku sendiri yang akan menyelidiki ke istana Pangeran Cu Kiong untuk menolong pemuda bernama Si Han Bu itu!”

“Aku akan menemani Bibi!” kata Thian Hwa dengan gagah.

“Perlahan dulu, jangan terburu-buru dan gegabah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Urusan ini sudah menjadi urusan negara, bukan urusan pribadi lagi. Sekarang penjagaan di istana Pangeran Cu Kiong tentu sudah makin diperkuat sesudah Thian Hwa lolos dari sana. Mari kita kumpulkan semua pasukan yang setia dan membuat pertahanan besar-besaran. Para ciangkun yang berada di sini harap secepatnya menghubungi teman-teman sependirian yang setia kepada pemerintah. Juga pasukan kita yang berada di luar kota raja, malam ini juga sudah harus memasuki kota raja. Semua ini perlu diatur sebaik mungkin dan secara rahasia. Ketahuilah bahwa pihak musuh juga mempunyai banyak pendukung dan mereka cerdik. Kita sudah berhati-hati, sudah menyembunyikan lagi Pangeran Mahkota ke rumah kami ini, di ruang rahasia bawah tanah, tidak lagi di istana. Akan tetapi mungkin mereka sudah mengetahui atau menduganya. Karena itu, yang terutama kita harus mengungsikan Pangeran Mahkota ke tempat yang benar-benar rahasia dan dijaga sangat kuat, baru kita atur yang lainnya.”

“Pangeran, sebaiknya Pangeran Mahkota disembunyikan di dalam benteng induk pasukan kerajaan yang mempunyai tempat persembunyian rahasia dan terjaga kuat oleh pasukan pilihan yang berjumlah besar!” kata Panglima Ciang.

“Bagus, usul itu diterima!” kata Pangeran Bouw Hun Ki yang percaya sepenuhnya kepada panglima ini.

Setelah itu mereka lalu mengatur rencana untuk menjaga jika sewaktu-waktu pihak lawan bergerak, dan mengubah posisi mereka yang mungkin telah diketahui atau diduga musuh. Mereka semua dapat menduga bahwa titik-titik pusat yang akan diserang oleh kekuatan pemberontak tentu istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki dan istana kaisar yang tentu akan dikuasai pemberontak.

Karena itu pertahanan diutamakan pada istana, sementara tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki sengaja dikosongkan untuk menjebak lawan! Keselamatan Pangeran Mahkota tak perlu dikhawatirkan lagi karena selain pihak musuh tidak mungkin tahu atau menyangka, juga perbentengan induk pasukan itu kuat bukan main.

Demikianlah, jika malam itu pihak Pangeran Cu Kiong mengaso untuk persiapan gerakan esok hari, maka pihak Pangeran Bouw Hun Ki malam itu juga sibuk membuat persiapan untuk menghancurkan apa bila pihak pemberontak mengadakan aksi penyerbuan!

Pada keesokan harinya, penduduk di kota raja sama sekali tidak menyangka akan terjadi peristiwa menggemparkan. Mereka semua mengira bahwa peristiwa penyerbuan di istana Pangeran Bouw Hun Ki telah selesai dan para penjahat atau pemberontak yang didalangi Pangeran Leng Kok Cun sudah terbasmi, bahkan dalangnya, Pangeran Leng Kok Cun, sudah pula terbunuh. Mereka semua mengira bahwa tentu suasananya kini aman setelah tidak ada lagi yang mendalangi pemberontakan.

Namun suasana mulai gempar dan para penghuni banyak yang berlari-larian, mengungsi ketakutan sesudah terjadi pertempuran hebat di beberapa tempat. Terutama sekali terjadi pertempuran besar-besaran antara dua pasukan pemerintah yang berbeda pimpinan.

Hanya ragam pakaian, bentuk topi, dan bendera lambang-lambang kesatuan mereka saja yang berbeda, namun di antara mereka tidak terdapat pasukan musuh dari luar. Semua adalah pasukan pemerintah. Berarti ini terjadi perang pemberontakan!

Pertempuran mulai berkobar semenjak pagi-pagi sekali. Mula-mula pasukan pemberontak yang menjaga di pintu gerbang selatan, berjumlah seribu orang, tiba-tiba saja menghadapi serbuan pasukan pemerintah dari luar pintu gerbang dalam jumlah yang seimbang. Akan tetapi baru saja pertempuran dimulai, dari dalam kota raja muncullah sekitar seribu orang prajurit pemerintah yang menjepit pasukan pemberontak. Pasukan ke dua dari pemerintah ini ternyata tadi malam masuk ke dalam kota raja melalui pintu gerbang utara, hal yang sama sekali tidak disangka para pemimpin pemberontak.

Pertempuran ke dua terjadi di depan istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki, tetapi pertempuran di sini tidak seimbang. Pertahanan yang dilakukan para prajurit pemerintah di sini lemah sekali sehingga mereka terus mundur, terdesak oleh pasukan pemberontak yang lebih besar jumlahnya.

Pertempuran ke tiga terjadi di depan istana kaisar! Di sini terjadi pertempuran yang sama hebatnya dengan yang terjadi di pintu gerbang kota raja. Pasukan pemberontak mendapat sambutan hebat dari pasukan pemerintah yang tidak kalah banyaknya, bahkan pasukan pemberontak terjepit oleh pasukan yang membanjir keluar dari benteng induk pasukan yang semalam telah menampung bala bantuan dari luar yang masuk ke kota raja melalui pintu-pintu gerbang yang tidak terjaga pasukan pemberontak. Tentu saja pihak pasukan kerajaan dapat mendesak pasukan pemberontak yang menjadi panik menerima sambutan itu.

Selain di tiga tempat itu terdapat pula pertempuran-pertempuran kelompok kecil dari para mata-mata dan penyelidik dari kedua pihak. Bahkan para jagoan pendukung pemberontak yang ikut menyerbu, ketika disambut oleh para pendekar yang membela kerajaan, segera memisahkan diri dari pasukan yang bertempur dan mereka memilih bertanding di tempat-tempat yang luas, tetapi tidak sempat karena banyaknya prajurit yang bertempur.

Thio Kwan bersama Yu Kok Lun memimpin dua losin prajurit menyerbu ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong dengan tugas menangkap ayah Huang-ho Sian-li. Akan tetapi sesudah menyerbu, mereka kecelik karena di gedung itu tidak terdapat siapa pun. Bahkan tidak ada seorang pun pelayan. Yang ada hanya beberapa orang prajurit penjaga yang segera melarikan diri melihat ada prajurit pemberontak menyerbu.

Thio Kwan dan Yu Kok Lun kecewa dan marah sekali. Untuk melampiaskan kemarahan mereka, mereka merusak perabot-perabot rumah dan membiarkan dua losin anak buah mereka mengambil serta merampok barang berharga sesuka hati mereka dari rumah itu, lalu mereka menyuruh para anak buah mereka membakar gedung itu untuk melampiaskan kemarahan mereka!

Setelah itu, dengan sorak sorai kemenangan menutupi kekecewaan dua orang pimpinan mereka dan juga gembira karena pasukan yang berubah menjadi gerombolan perampok itu telah mendapat ‘hasil’ lumayan dari gedung Pangeran Ciu Wan Kong, mereka menuju istana Pangeran Bouw Hun Ki untuk membantu pasukan besar yang menyerbu ke sana.

Pada waktu Thio Kwan dan Yu Kok Lun tiba di depan istana Pangeran Bouw Hun Ki, hati mereka girang bukan main ketika melihat betapa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong sedang mendesak pasukan pemerintah yang mempertahankan istana Pangeran Bouw. Akan tetapi pada saat itu pula mereka berdua juga melihat perkelahian mati-matian terjadi agak jauh dari pertempuran para prajurit, yaitu antara jagoan-jagoan pendukung Pangeran Cu Kiong melawan para pendekar yang membela kerajaan!

Memang seru dan menarik sekali perkelahian antara para ahli silat tingkat tinggi itu, jauh lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan pertempuran antara para prajurit kedua pihak yang saling tumpas dengan ngawur itu.

Seperti yang sudah direncanakan oleh para pemberontak, pasukan yang menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki dipimpin oleh para perwira tinggi dan diperkuat orang-orang sakti seperti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Mong Lai. Akan tetapi sesudah melihat tidak ada seorang pun pendekar yang menyambut mereka melainkan hanya pasukan kerajaan saja yang menyambut, maka Lam-hai Cin-jin lalu mengajak para jagoan untuk membantu penyerbuan ke istana yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cu Kiong dengan dibantu oleh Ang-mo Niocu Yi Hong.

Setelah tiba di depan istana kaisar, barulah mereka mendapat sambutan dahsyat. Lam-hai Cin-jin segera diterjang Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa tanpa banyak cakap lagi dan mereka segera bertanding mati-matian. Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau yang ketika masih gadis adalah seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) bernama Souw Lan Hui, begitu melihat Ngo-beng Kui-ong segera menerjang kakek mayat hidup ini karena dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai bukan main seperti yang diceritakan Thian Hwa dan mereka pun segera terlibat perkelahian dahsyat.

Ang-mo Niocu Yi Hong segera diserang oleh Bu Kong Liang yang kini membenci wanita yang ternyata berwatak jahat dan palsu itu. Mong Lai, tokoh Mongol yang ahli ilmu silat campur gulat, juga mempunyai kekuatan ilmu sihir, diserang oleh Bouw Kun Liong, putera Pangeran Bouw. Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang baru saja datang ke depan istana itu sesudah membakar rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata kosong, juga langsung diserbu oleh dua orang gadis cantik, yaitu Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin. Ada pun Pangeran Cu Kiong yang tadinya hanya memberi semangat kepada para jagoannya, tiba-tiba harus menghadapi Pangeran Bouw Hun Ki!

“Cu Kiong, apa engkau tidak malu berhadapan dengan nenek moyang kita sesudah nanti engkau mati sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak?”

“Bouw Hun Ki, engkau adalah orang tua yang tak tahu malu! Engkau sudah bekerja sama dengan penjahat wanita Huang-ho Sian-li untuk menguasai tahta kerajaan. Pada lahirnya saja engkau mengaku sebagai pelindung dan pendamping Pangeran Kang Shi, tapi siapa yang tidak tahu akan isi perutmu? Engkau ingin menguasai Pangeran yang masih kanak-kanak itu sehingga kelak engkaulah yang berkuasa atas pemerintahan!” Sesudah berkata demikian, Pangeran Cu Kiong menerjang dan menyerang dengan pedangnya.

“Tranggg...!”

Pangeran Bouw Hun Ki menangkis dengan pedangnya dan kedua orang pangeran yang merupakan paman dan keponakan ini sudah saling serang dengan pedang mereka. Biar pun Pangeran Bouw Hun Ki baru belajar ilmu silat setelah menikah dengan Souw Lan Hui, namun karena isterinya mempunyai kepandaian silat yang hebat, maka pangeran ini pun memiliki pertahanan yang cukup kuat dan serangan balasannya juga cukup berbahaya bagi lawannya karena Pangeran Cu Kiong juga bukan seorang ahli silat yang terlampau pandai.

Setelah pertempuran berlangsung, barulah Pangeran Cu Kiong dan para pembantu serta pendukungnya merasa terkejut dan kecelik. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa rencana siasat mereka telah dihadapi dengan persiapan yang amat kuat oleh pihak lawan, bahkan pasukan yang mendukung pemberontak jumlahnya jauh kalah besar.

Yang menjadi puncak perkelahian antara para ahli silat itu adalah pertandingan antara Lam-hai Cin-jin melawan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, dan antara Ngo-beng Kui-ong melawan Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw. Mereka inilah yang mempunyai tingkat ilmu silat paling tinggi di antara para tokoh kedua pihak.

Bouw Hujin menghadapi lawan yang amat tangguh. Nyonya yang berusia lima puluh satu tahun ini adalah murid Bu-tong-pai yang lihai. Senjatanya siang-kiam (sepasang pedang) bergerak cepat sekali membentuk dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti berlomba saling berebut mustika. Juga dia memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi kali ini dia bertanding melawan Ngo-beng Kui-ong yang merupakan datuk tua paling dahsyat ilmunya di seluruh daerah selatan!

Tadi sebelum Nyonya Bouw dan para pembantunya keluar menyambut lawan, Ngo-beng Kui-ong ini, di samping keponakan muridnya, yaitu Lam-hai Cin-jin, mengamuk dan telah membunuhi setiap perwira mau pun prajurit yang berani mendekat ke arah mereka. Entah sudah berapa puluh orang tewas di tangan Ngo-beng Kui-ong.

Kini pun Nyonya Bouw masih sering mendapat bantuan prajurit atau perwira yang merasa memiliki ilmu silat lumayan. Akan tetapi mereka itu bagaikan laron menyerang api, begitu tersentuh sinar tongkat ular di tangan Ngo-beng Kui-ong mereka langsung berpelantingan dalam keadaan tewas!

Melihat betapa banyaknya prajurit dan perwira yang menjadi korban kelihaian kakek yang seperti mayat hidup itu, Nyonya Bouw menjadi marah bukan main. Ia mengeluarkan pekik melengking sambil tangan kirinya bergerak. Tampak tiga benda berkeredepan seperti kilat menyambar ke arah tenggorokan, ulu hati, dan pusar tubuh Ngo-beng Kui-ong! Itulah tiga batang Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang dilepaskan secara dahsyat oleh tangan kiri Nyonya Bouw!

Biar pun Ngo-beng Kui-ong merupakan seorang yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan lihai sekali, walau pun dia mampu menghindarkan diri dari serangan maut ini, tidak urung dia terkejut bukan main. Dia segera melempar diri ke belakang dan bergulingan sehingga serangan tiga batang piauw itu luput.

Ketika dia bergulingan itu, dia melihat betapa pasukan pengikut Pangeran Cu Kiong sudah terdesak mundur dan banyak di antara mereka yang tewas. Kakek ini memang cerdik dan licik. Dia telah memperhitungkan sejak jauh-jauh hari bahwa apa bila Pangeran Cu Kiong kalah, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya, sukar untuk keluar dari kota raja. Maka sekarang, selagi ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Keselamatan dirinya adalah yang paling utama baginya. Maka begitu dia melompat bangun, dia melemparkan tongkat ularnya ke atas dan senjata itu melayang seperti seekor ular hidup ke arah leher Nyonya Bouw!

Nyonya Bouw maklum akan kelihaian tongkat ular yang sekarang bergerak seolah hidup itu. Dia dapat menduga bahwa itu merupakan ilmu sihir yang sangat jahat, maka dia pun cepat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

Terdengar suara nyaring berdentang ketika tongkat ular itu mengamuk dan selalu bertemu dengan sepasang pedang yang dimainkan oleh Nyonya Bouw dengan cepatnya sehingga membentuk lingkaran sinar bergulung-gulung seperti payung besar terbuka yang menjadi perisai.

“Trang-trang-trak-trakk!”

Ketika Nyonya Bouw membuat gerakan menggunting dengan dua pedangnya dari kanan kiri, tiba-tiba tongkat itu seperti kehilangan kekuatannya dan dapat terpotong-potong oleh sepasang pedang Nyonya Bouw. Kiranya Ngo-beng Kui-ong telah menghentikan kekuatan sihirnya yang tadi mengendalikan tongkat itu, karena dia mempergunakan kesempatan itu untuk tidak mempedulikan tongkatnya lagi, melainkan melompat dengan cepatnya ke arah Pangeran Bouw Hun Ki yang masih berkelahi dengan sengitnya melawan Pangeran Cu Kiong.

Pada saat itu perkelahian antara dua orang pangeran tua dan muda itu masih berlangsung seru. Agaknya para prajurit masih sungkan terhadap wibawa dua orang pangeran yang paman dan keponakan sendiri ini sehingga tidak ada seorang pun prajurit yang melakukan pengeroyokan atau mencampuri perkelahian itu.

Karena tempat mereka berdua berkelahi menjadi terbuka tanpa adanya pengeroyokan, sekali loncat Ngo-beng Kui-ong dapat menyambar tubuh Pangeran Bouw Hun Ki. Begitu menotok punggung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga pangeran itu terkulai lumpuh, dia terus mengempit dan membawanya melompat jauh.

Melihat ini, para panglima pendukung kerajaan terkejut dan hendak menolong, akan tetapi mereka tak berani bergerak ketika melihat Ngo-beng Kui-ong mendekatkan jari-jari tangan membentuk cakar kepada kepala Bouw Hun Ki sambil berseru,

“Siapa berani menghalangiku, kuhancurkan kepalanya!”

Bahkan Nyonya Bouw yang melihat betapa suaminya ditangkap Ngo-beng Kui-ong yang secara licik meninggalkannya tadi, perbuatan yang sama sekali tidak dia sangka-sangka, menjadi pucat dan marah sekali. Akan tetapi wanita perkasa ini pun bukan seorang yang berbatin lemah yang tak mampu mengendalikan perasaannya sendiri.

Ia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong tidak memiliki alasan lain dalam menculik suaminya kecuali untuk mempergunakannya sebagai sandera agar dia dapat meloloskan diri. Tidak ada alasan lain karena kakek yang seperti mayat hidup itu hanyalah merupakan orang kiriman Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu gerakan Pangeran Cu Kiong. Jadi kurang kuat alasannya untuk membunuh Pangeran Bouw. Pasti hanya dijadikan sandera agar dia dapat meloloskan diri keluar kota raja. Maka dia pun cepat melakukan pengejaran, hanya membayangi saja, tidak berani terlalu dekat karena khawatir hal itu akan membahayakan nyawa suaminya.

Tidak ada yang tahu tentang peristiwa terculiknya Pangeran Bouw Hun Ki oleh Ngo-beng Kui-ong lantas dikejar Nyonya Bouw keluar dari medan pertempuran, sebab semua orang sedang sibuk sendiri bertempur menghadapi lawan masing-masing yang cukup tangguh. Pertempuran terus berlanjut dan dari kedua pihak sudah banyak korban berjatuhan….

********************

Sementara itu, tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan di istana Pangeran Cu Kiong untuk menjaga agar tawanan Si Han Bu tidak sampai lolos, merasa gelisah. Mereka tahu bahwa Pangeran Cu Kiong beserta semua anak buahnya sedang mencoba untuk merebut tahta kerajaan dan kini sedang bertempur melawan pasukan kerajaan.

Dari tempat mereka berkumpul di rumah tahanan yang berada di belakang istana, mereka dapat mendengar suara gemuruh orang yang bertempur. Mereka menjadi gelisah sekali. Bukan hanya mereka saja yang merasa gelisah, akan tetapi juga seluruh penghuni istana, yaitu para keluarga Pangeran Cu Kiong dan para pelayan dan pembantu rumah tangga.

Mereka tinggal menunggu berita. Kalau pihak Pangeran Cu menang mungkin kemuliaan akan menanti mereka, akan tetapi sebaliknya kalau usaha pemberontakan itu gagal, mala petaka yang menanti mereka!

Si Han Bu duduk bersila di atas pembaringan dan tampak tenang saja. Dia memang tidak merasa khawatir sama sekali, bukan hanya karena dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong yang menawannya hendak menggunakan dia untuk membujuk gurunya agar membantu Jenderal Wu Sam Kwi, tetapi terutama sekali karena pemuda ini tidak pernah merisaukan sesuatu.

Dia menghadapi segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang. Apa pun yang terjadi, terjadilah! Dia kini ditawan musuh, ini merupakan sebuah kenyataan. Perlu apa dirisaukan lagi? Yang penting tetap tenang dan waspada, tanpa khawatir dan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan datang. Dia ditawan, ini merupakan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal atau diubah lagi.

Tidak perlu disusahkan, tiada gunanya dikhawatirkan. Dia ditawan musuh, titik!

Dalam keadaan tenang pikirannya menjadi jernih dan hatinya tenang menghadapi apa pun yang akan terjadi. Sekarang dia masih hidup dan selama masih hidup dia tak akan pernah putus asa. Tentu saja sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia yang hidup di dunia ini mempertahankan keadaan dirinya, mempertahankan kehidupannya.

Ikhtiar itu wajib. Bila lapar mencari makanan, bila haus mencari minuman, bila mengantuk tidur, bila sakit mencari obatnya. Setiap orang harus menjaga kehidupan dirinya sendiri, bahkan setiap makhluk harus melakukannya, kalau dia masih ingin hidup.

Sekarang pun dia harus berupaya untuk dapat meloloskan diri dari tahanan. Tidak perlu mengotori otak dengan segala macam ketakutan, kesusahan, atau kekhawatiran dengan membayangkan masa depan yang belum datang. Otak harus bersih untuk dapat berdaya upaya menolong dirinya sendiri. Maka ia duduk bersemedhi untuk menenangkan hati dan akal pikirannya, dan untuk menghimpun tenaganya yang mungkin akan dia perlukan kalau peluangnya ada…..

********************

Kita kembali ke medan pertempuran yang kini makin menjauhi istana kaisar karena para pemberontak mulai terdesak mundur sehingga keluar dari daerah istana. Yang berkelahi dengan serunya dan mati-matian terutama sekali adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa melawan Lam-hai Cin-jin, jagoan paling lihai dari pihak pemberontak sesudah Ngo-beng Kui-ong yang telah melarikan diri sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki dan dikejar oleh Nyonya Bouw keluar kota raja.

Dengan pedangnya Thian Hwa melawan mati-matian karena harus diakuinya bahwa Lam-hai Cin-jin adalah seorang lawan yang sangat tangguh. Tingkat kepandaian Koksu (Guru Negara) dari Yunnan-hu ini hanya berada di bawah Ngo-beng Kui-ong, itu pun selisihnya tidak banyak walau pun kakek mayat hidup itu merupakan paman gurunya.

Senjata di tangan Lam-hai Cin-jin sungguh menyeramkan. Sebuah tongkat ruyung berduri yang mengandung racun sehingga lawan dapat terbunuh hanya dengan luka yang tidak berbahaya karena racunnya akan menjalar ke dalam tubuh korban. Selain tongkat ruyung berduri yang ganas itu, juga tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyelingi serangan ruyungnya dengan pukulan jarak jauh Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Setiap tangan kirinya melancarkan serangan ini, telapak tangannya berubah hitam dan dari telapak tangan itu menyambar uap hitam beracun!

Thian Hwa harus bekerja keras menghadapi pukulan Hek-tok-ciang dan sambaran ruyung berduri itu. Ia mula-mula mainkan Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Kwan Im) yang lembut indah dan kokoh pertahanannya. Namun lama-lama ia maklum bahwa menghadapi lawan seperti Lam-hai Cin-jin yang demikian lihainya, kalau hanya bertahan saja maka akhirnya dia sendiri yang akan terancam bahaya. Untuk melawan seorang yang demikian lihainya, menyerang adalah pertahanan yang lebih menguntungkan.

Maka dia segera mengubah ilmu pedangnya. Kini dia mainkan Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang tidak selembut Kwan-im Kiam-sut namun Huang-ho Kiam-hoat ini mengandung gerakan dahsyat yang penuh dengan serangan yang bergelombang. seperti membanjirnya air Sungai Kuning yang terkenal itu.

“Cringg…! Tranggg...!”

Bunga api berpijar-pijar ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya bertemu dengan ruyung.

“Wuuuuttt...!”

Tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyambar dan uap hitam meluncur ke arah kepala Thian Hwa. Gadis perkasa itu memiringkan tubuhnya dan cepat menggunakan tangan kiri untuk menangkis.

“Dukkk...!”

Lengan tangan kiri Thian Hwa yang berkulit putih halus dan mungil itu bertemu dengan lengan yang besar pendek dipenuhi bulu kasar. Meski Thian Hwa sudah dapat menduga akan kekuatan lawan dan dara ini tadi sudah mengerahkan sinkang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terpental dan terhuyung ke belakang saking kuatnya pertemuan tenaga sakti mereka.

Thian Hwa terkejut sekali karena dia tidak menyangka kalau pukulan tangan kiri Lam-hai Cin-jin ternyata sedahsyat itu. Pada saat itu pula Lam-hai Cin-jin telah melompat ke depan dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Hwa!

Dalam keadaan yang amat gawat itu tampak bayangan putih berkelebat dan sebuah sinar pedang meluncur dan menangkis ruyung itu...






KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 26 
“Singg...! Tranggg...!”

Lam-hai Cin-jin terkejut sekali pada saat ruyungnya tertangkis oleh sebatang pedang yang membuat tangannya tergetar hebat. Saat itu pula ada hembusan angin kuat menyambar. Kiranya ada kipas yang menyerangnya.

Dia tahu bahwa dirinya sedang berhadapan dengan lawan kuat. Cepat dia melempar diri ke belakang lantas berjungkir balik tiga kali. Ketika dia memandang, di hadapannya telah berdiri seorang wanita berpakaian putih yang berusia empat puluh tahun lebih tetapi masih tampak cantik. Pedang di tangan kanannya dan kipas di tangan kirinya.

“Im-yang Sian-kouw...!” katanya kaget.

Dia pun maklum bahwa akan sulit menghadapi pengeroyokan dua orang wanita sakti itu. Dia lalu melompat jauh dan menghilang di antara para prajurit yang sedang bertempur.

Thian Hwa tidak mau mengejar karena mengejar pun percuma mencari seorang di antara demikian banyaknya prajurit yang bertempur. Pula ia amat tertarik mendengar disebutnya nama tadi. Ia menghampiri wanita itu dan bertanya.

“Apakah... Bibi ini Im-yang Sian-kouw...?”

Im-yang Sian-kouw mengangguk dan semenjak tadi pun dia sudah kagum melihat sepak terjang gadis muda yang berani melawan Lam-hai Cin-jin dengan demikian gigihnya. Dia mengangguk sambil tersenyum, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah berkata dengan hati tegang.

“Bibi, cepat, Bibi. Kita harus pergi menolong murid Bibi....”

“Muridku?”

“Ya, bukankah Si Han Bu itu murid Bibi?”

Im-yang Sian-kouw terkejut. “Benar, di mana dia? Apa yang terjadi dengan dia?”

“Nanti saja kuceritakan, Bibi. Tapi sekarang yang paling penting kita harus menolong dan membebaskannya. Mungkin dia tertawan di rumah Pangeran Cu Kiong, Si Pemberontak itu. Mari, Bibi!”

Huang-ho Sian-li melompat dengan cepat sekali sehingga Im-yang Sian-kouw harus cepat mengerahkan ginkang agar dapat menyusul gadis itu. Tentu saja hatinya merasa gelisah mendengar murid yang disayang seperti anak sendiri itu tertawan musuh.

Setelah mereka berlari secepat terbang, Im-yang Sian-kouw mendapat kenyataan betapa gadis itu dapat berlari cepat sekali, tidak kalah olehnya!

“Apa... apa dia masih hidup?” tanyanya khawatir.

“Mudah-mudahan saja, Bibi!”

Ketika mereka tiba di istana Pangeran Cu Kiong, keadaan di situ sunyi. Maklum, pasukan telah meninggalkan tempat itu untuk ikut menyerbu istana kaisar.

“Tempat tahanan berada di belakang, mari kita ke sana, Bibi!” kata Thian Hwa.

Dua orang wanita perkasa itu cepat melayang ke atas wuwungan istana dan menyelidiki di bagian belakang. Ketika tiba di ruangan tahanan yang telah dikenal baik oleh Thian Hwa, mereka berdua melihat tiga puluh orang prajurit sibuk melepaskan anak panah ke dalam sebuah kamar tahanan melalui jeruji besi yang kokoh kuat.

Di dalam ruangan itu, mereka melihat seorang pemuda yang bukan lain adalah Si Han Bu, bergerak-gerak lincah, mengelak mau pun menangkisi puluhan batang anak panah yang menyambar dari arah depan. Masih untung baginya bahwa di belakangnya adalah dinding sehingga para prajurit itu tidak dapat mengepung dan menyerangnya dari belakang atau samping, hanya dari depan.

Ternyata tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan Pangeran Cu Kiong untuk menjaga tawanan itu semakin gelisah mendengar berita bahwa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong tampaknya terdesak. Karena mereka ingin sekali segera pergi dari situ, baik untuk membantu perang atau untuk lari menyelamatkan diri, maka mereka serentak mengambil keputusan untuk membunuh tawanan dengan cara menyerangnya dengan anak panah dari luar ruangan tahanan!

Betapa pun lihainya Si Han Bu, dihujani anak panah oleh tiga puluh orang prajurit tanpa dia memegang senjata untuk melindungi dirinya, benar-benar merupakan hal yang sangat merepotkannya. Sudah ada dua batang anak panah yang melukai pundak dan pahanya. Walau pun dua batang anak panah itu tidak menembus pundak dan paha, namun tetap saja dua bagian tubuhnya itu lecet-lecet dan berdarah.

Han Bu lalu melompat dan mengangkat dipan yang menjadi tempat tidurnya. Keadaannya menjadi agak membaik setelah dia menggunakan dipan untuk melindungi diri dari serbuan anak panah. Sekarang dia sudah tidak kerepotan lagi, namun tetap saja dia sama sekali tidak mampu membalas.

Tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita. “Pertahankan, Han Bu!”

“Subo...!” Han Bu girang sekali mendengar suara gurunya dan dia menjadi lebih gembira melihat Huang-ho Sian-li juga datang bersama subo-nya. Tentu saja Han Bu sudah tahu, bahkan sudah merasa yakin bahwa Im-yang Sian-kouw sesungguhnya dulu bernama Cui Eng, puteri dari Cui Sam atau ibu kandung dari Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!

Dua orang wanita itu lantas mengamuk. Begitu mereka melayang turun dari atas genteng, tubuh mereka berkelebatan bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar-nyambar dan para prajurit itu berpelantingan roboh!

Dalam waktu sebentar saja, dua belas orang prajurit sudah roboh dan tidak dapat bangun lagi. Yang lainnya menjadi panik dan ketakutan. Maka tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri meninggalkan bangunan tempat tahanan, bahkan terus melarikan diri keluar dari istana Pangeran Cu Kiong.

Im-yang Sian-kouw membuka pintu kamar tahanan dan Han Bu keluar sambil tersenyum.

“Wah, untung Subo dan Huang-ho Sian-li datang menolong. Kalau tidak tentu aku akan mati!”

“Bagaimana luka di pundak dan pahamu?” Im-yang Sian-kouw memandang ke arah baju bagian pundak dan celana di paha yang robek dan berdarah.

“Tidak apa-apa, Subo, hanya lecet sedikit.”

“Bibi dan Si Han Bu, mari kita cari senjata kita yang dirampas, kemudian cepat kembali ke istana untuk membantu pasukan yang bertahan terhadap serbuan para pemberontak!”

Mendengar ucapan Huang-ho Sian-li, guru dan murid itu mengangguk dan mereka cepat mencari pedang Kwan-im-kiam dan kantung Pek-hwa-ciam milik Thian Hwa yang sudah dirampas, juga pedang Im-yang-kiam dan kipas Im-yang-po-san milik Si Han Bu. Mereka tidak mempedulikan keluarga serta para pelayan Pangeran Cu Kiong yang ketakutan, dan setelah mencari di kamar Pangeran Cu Kiong, gadis dan pemuda itu menemukan senjata mereka.

Dengan girang mereka lalu membawa senjata mereka dan bersama Im-yang Sian-kouw cepat kembali ke tempat pertempuran yang masih berlangsung. Mereka tak sempat untuk bicara karena pertempuran masih berlangsung dan Huang-ho Sian-li mendesak guru dan murid itu untuk bergegas ke istana dan membantu pasukan kerajaan.

Pertempuran masih berlangsung ramai sungguh pun pasukan pemberontak terus terdesak mundur. Juga terjadi perubahan besar pada pertempuran antara jagoan-jagoan pendukung pemberontak melawan para pembela kerajaan.

Setelah pihak pemberontak ditinggalkan jagoan yang paling sakti, yaitu Ngo-beng Kui-ong, maka banyak di antara teman-temannya yang menjadi jeri. Ang-mo Niocu Yi Hong yang cerdik dan licik itu merasa gentar setelah melihat Ngo-beng Kui-ong melarikan diri sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki.

Ia melihat betapa gurunya, Lam-hai Cin-jin, juga hanya dapat mendesak Thian Hwa akan tetapi lalu muncul seorang wanita setengah tua cantik yang sangat lihai, yang membuat gurunya lari terbirit-birit! Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong sudah melarikan diri, tidak ada harapan lagi untuk menang!

Ang-mo Niocu yang cerdik berpikir. Walau pun pemberontakan itu gagal, setidaknya ada keuntungannya bagi Jenderal Wu Sam Kwi. Pertama karena peristiwa pemberontakan itu tentu melemahkan Kerajaan Mancu. Kedua kalinya, ia sudah memiliki Tek-pai dari Kaisar Shun Chi dan ia percaya Tek-pai ini amat berguna bagi pemimpinnya. Kalau ia serahkan Tek-pai itu kepada Jenderal Wu Sam Kwi, tentu ia mendapatkan pahala besar!

Sebab itu untuk apa membahayakan dan mengorbankan nyawanya hanya untuk membela Pangeran Cu Kiong yang bagaimana pun juga hanya seorang pangeran penjajah Mancu? Maka sambil mengeluarkan teriakan melengking dia menusukkan payung pedangnya dan ketika ditangkis, mendadak dari ujung payung pedang itu meluncur Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) sebanyak tujuh batang menyerang ke arah Bu Kong Liang yang menjadi lawannya!

Murid Siauw-lim-pai yang tangguh itu cepat memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) sambil melompat tinggi ke atas lantas berjungkir balik ke belakang sehingga sebagian jarum-jarum merah itu tertangkis dan sebagian lagi berhasil dielakkannya. Ketika dia turun kembali, Ang-mo Niocu sudah tidak berada di depannya.

Wanita ini merasa ketakutan ketika dia melihat Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw yang tadi membuat gurunya lari terbirit-birit sudah datang lagi di tempat itu. Maka ia cepat menyelinap di antara para prajurit kemudian menghilang!

Thio Kwan yang sedang bertanding melawan Bouw Hwi Siang, dapat mengimbangi gadis itu, bahkan tampak lebih kuat. Demikian pula Yu Kok Lun dapat mendesak Gui Siang In. Akan tetapi Bu Kong Liang yang ditinggal lari Ang-mo Niocu segera membantu dua orang gadis itu sehingga Thio Kwan dan Yu Kok Lun terkejut dan terdesak terus.

Tidak lama kemudian kedua orang dari Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa Kam-keng) yang mengabdi kepada Pangeran Cu Kiong itu tewas pula. Sekarang Kam-keng Chit-sian habis sudah, tinggal seorang saja, yaitu Ciang Sun, akan tetapi sudah lama dia meninggalkan Pangeran Cu Kiong.

Bouw Hwi Siang, Gui Siang In dan Bu Kong Liang kini membantu Bouw Kun Liong yang masih bertanding ramai melawan Mong Lai. Orang Mongol ini memang sangat tangguh. Selain bertenaga gajah, ilmu silat campur ilmu gulatnya juga berbahaya, ditambah lagi dia pun menguasai ilmu sihir sehingga tadi dia sempat membuat Bouw Kun Liong kewalahan. Akan tetapi setelah tiga orang itu maju mengeroyok, Mong Lai menjadi repot dan akhirnya dia pun roboh dan tewas.

Melihat betapa Pangeran Cu Kiong masih saja berteriak-teriak memberi semangat kepada pasukannya tanpa melihat kenyataan bahwa tiga orang jagoannya, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Mong Lai telah tewas, sedangkan mereka yang dia andalkan, Ngo-beng Kui-ong, Lam-hai Cin-jin, dan Ang-mo Niocu juga sudah melarikan diri meninggalkan pertempuran, Si Han Bu melompat dengan sigapnya kemudian sekali tangannya menampar, Pangeran Cu Kiong tidak mampu menghindarkan diri dan dia tertampar roboh. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Han Bu sudah menggerakkan pedangnya.

“Si Han Bu, jangan bunuh dia!” terdengar Huang-ho Sian-li berseru dari belakang dan dia pun menolak lengan kanan Han Bu sehingga pedang yang sudah ditodongkan itu menjauh dari leher Pangeran Cu Kiong!

“Ha-ha-ha!” Pangeran Cu Kiong tersenyum getir. “Huang-ho Sian-li, apakah engkau masih ada perasaan cinta kepadaku sehingga tidak tega melihat aku terbunuh?”

Mendengar ini, Thian Hwa merasa sedih juga karena harus dia akui bahwa Pangeran Cu Kiong adalah cinta pertamanya! Meski pun kini ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pangeran yang licik, kejam dan berkhianat itu, namun tetap saja kemesraan dalam hatinya yang dulu masih membekas.

“Pangeran Cu Kiong, dosamu sudah bertumpuk dan sebenarnya sudah sepatutnya kalau engkau dibunuh. Akan tetapi aku mau menukar jiwamu dengan Tek-pai milikku pemberian Kaisar. Kembalikan Tek-pai itu kepadaku dan aku tidak akan membunuhmu!”

Tiba-tiba Pangeran Cu Kiong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, jangan harap mendapatkan Tek-pai itu, Huang-ho Sian-li! Tek-pai itu telah dibawa pergi Ang-mo Niocu Yi Hong untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi!”

“Aku akan mengejar wanita itu dan mengambilnya kembali!” Tiba-tiba Si Han Bu berkata dan tubuhnya langsung berkelebat, pergi dari situ.

“Si Han Bu...!” Huang-ho Sian-li melarang, akan tetapi Im-yang Sian-kouw tersenyum.

“Biarkan saja, anak itu sukar dihalangi kalau sudah punya kehendak. Dia dapat menjaga diri dan aku hampir yakin dia akan mampu mengambil Tek-pai itu kembali.”

Thian Hwa lalu bergerak cepat, menotok jalan darah di tubuh Pangeran Cu Kiong hingga tidak mampu bergerak lagi. Kemudian mendadak dia memanggul tubuh pangeran itu dan membawanya melompat ke atas. Setelah tiba di puncak menara, di bawah sinar matahari yang telah naik tinggi, ia berseru dengan pengerahan khikang hingga suaranya terdengar nyaring dan menggema ke seluruh penjuru.

“Para pasukan pemberontak, dengar dan lihatlah! Pangeran pemberontak Cu Kiong yang berkhianat terhadap kerajaan telah kami tawan. Semua kaki tangannya sudah ditumpas, banyak yang mati dan sebagian melarikan diri. Kalau kalian yang masih prajurit pasukan kerajaan segera membuang senjata, lalu berlutut dan menyerah, masih dapat diharapkan pengampunan bagi kalian. Kalau nekat bertempur tanpa pimpinan lagi, kalian semua pasti binasa!”

Tadinya para prajurit pemberontak ragu-ragu, akan tetapi begitu ada seorang prajurit yang membuang senjata dan berlutut, hal itu seperti merupakan komando dan akhirnya mereka semua berlutut dan membuang senjata mereka.

Berakhirlah perang saudara itu. Pemberontakan Pangeran Cu Kiong gagal sama sekali! Para prajurit yang ikut memberontak dan kini menyerahkan diri mendapat pekerjaan berat, yaitu mengurus ratusan mayat yang menjadi korban pertempuran tadi dan merawat lebih banyak lagi mereka yang luka-luka. Juga mereka diharuskan melakukan pembersihan di bekas tempat pertempuran yang dinodai darah. Rakyat penduduk kota raja yang tadinya banyak melarikan diri mengungsi, perlahan-lahan kembali ke rumah masing-masing…..

********************

Kini barulah Im-yang Sian-kouw sempat berhadapan dengan Huang-ho Sian-li. Sesudah membiarkan Si Han Bu pergi mencari Tek-pai dan Huang-ho Sian-li membawa Pangeran Cu Kiong naik ke atas menara sehingga gadis perkasa itu berhasil mengakhiri perang dan membuat semua prajurit pemberontak menyerahkan diri, Im-yang Sian-kouw memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Pangeran Cu Kiong sudah diserahkan kepada panglima untuk ditahan dalam penjara.

“Nona, ketika mula-mula aku tiba di kota raja lantas mendengar akan nama besar Huang-ho Sian-li, aku masih belum percaya bahwa ada seorang gadis yang masih muda seperti engkau ini selain memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali, juga dapat bersikap tegas dan bijaksana seperti seorang panglima perang! Nona, siapakah gurumu?”

“Guruku bernama Thian Bong Sianjin, Bibi. Akan tetapi ilmu kepandaianmu lebih hebat lagi, Bibi Im-yang Sian-kouw, bahkan kalau tidak ada muridmu Si Han Bu yang menolong aku keluar dari tahanan, mungkin sekarang aku sudah mati.”

“Aih, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, Nona. Sudah semestinya orang-orang segolongan dan sehaluan saling membantu tanpa pamrih. Eh, apa artinya ucapan Pangeran Cu Kiong itu? Benarkah bahwa engkau... mencintanya? Maafkan pertanyaanku ini karena sungguh aku merasa bingung mendengarnya. Apa hubunganmu dengan pangeran pemberontak itu?”

Huang-ho Sian-li tersenyum menarik napas panjang. “Sebetulnya kami masih merupakan saudara sepupu, Bibi. Dia itu putera Pamanda Kaisar Shun Chi, sedangkan aku adalah puteri seorang pangeran....”

“Wah! Kiranya engkau ini puteri pangeran? Ahh, pantas kalau begitu. Siapakah ayahmu, kalau aku boleh mengetahui?” Dalam suara Im-yang Sian-kouw terdengar getaran aneh dan sinar matanya kini dengan tajam penuh selidik menatap wajah Thian Hwa.

“Ayahku bernama Ciu Wan Kong, seorang adik Kaisar Shun Chi.... ehh, kenapa Bibi...?” Thian Hwa hampir saja meloncat untuk menangkap tubuh Im-yang Sian-kouw yang tiba-tiba terhuyung dan wajahnya tampak pucat sekali.

Siapa yang akan mampu bertahan mendengar pengakuan seorang gadis cantik jelita dan gagah bahwa gadis itu adalah puteri suaminya? Akan tetapi Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita gemblengan yang sudah banyak mengalami peristiwa yang sangat hebat sehingga batinnya telah menjadi kuat. Ia pun tersenyum, lalu memandang Thian Hwa dan menggelengkan kepalanya dengan lembut.

“Tidak apa-apa... tidak apa-apa... engkau... ehh, siapakah namamu, anak yang baik?”

“Namaku Ciu Thian Hwa, Bibi.”

Im-yang Sian-kouw terdiam sejenak. Dia sengaja tidak mengeluarkan suara lagi karena jantungnya berdebar kencang dan ia tahu bahwa sekuat-kuat hatinya, pada saat itu tetap saja suaranya akan terdengar gemetar penuh perasaan haru dan sangsi.

Ya, dia masih sangsi bahkan tidak percaya akan dugaannya yang muncul bahwa gadis ini adalah puterinya! Tidak, ini tidak mungkin! Pasti anak ini merupakan keturunan lain dari Pangeran Ciu Wan Kong, atau tentu ada keterangan lain. Sama sekali tak mungkin gadis ini adalah anaknya yang ketika masih bayi bersama ia dan ayahnya hanyut terbawa arus air Sungai Kuning yang demikian dahsyatnya.

“Engkau kenapa, Bibi?” kembali Thian Hwa bertanya melihat wanita itu kini hanya diam saja termenung.

“Thian Hwa, maukah engkau memperkenalkan aku dengan keluargamu?” tanyanya lirih.

“Tentu saja, Bibi! Murid Bibi itu pun sudah bertemu dengan ayahku. Mari, Bibi, kita pergi ke rumah Ayah, akan tetapi harap maklum, aku tadi mendengar kabar bahwa rumah Ayah sudah dirampok dan dibakar oleh gerombolan pemberontak. Ayah sudah mendahului ke sana untuk memeriksa dan membereskannya.”

Im-yang Sian-kouw tidak banyak bicara lagi dan kedua kakinya bergerak cepat, bagaikan melayang ia meninggalkan tempat itu. Thian Hwa cepat mengejarnya dan gadis ini sampai lupa dan tidak memperhatikan bahwa wanita cantik itu langsung menuju ke arah rumah ayahnya! Tentu saja hal ini tidak aneh karena Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng itu sudah hafal akan letak rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang juga menjadi tempat tinggalnya!

Setelah tiba di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, Im-yang Sian-kouw berhenti dan berdiri dengan hati diliputi keharuan. Tentu saja dia mengenal benar rumah besar itu, di mana ia tinggal sejak kecil sampai menjadi dewasa, bekerja sebagai pelayan, kemudian menjadi kekasih Pangeran Ciu Wan Kong.

Pot-pot bunga seruni yang berjajar di depan gedung itu masih berdiri dan pada saat itu sedang berbunga. Akan tetapi di bagian kanan rumah itu terdapat bekas terbakar, hangus dan barang-barang berserakan. Ia melihat banyak prajurit sedang membersihkan tempat itu.

“Bibi, biar aku mencari Ayah dan memberi-tahukan akan kedatanganmu,” kata Thian Hwa.

Im-yang Sian-kouw tidak menjawab, masih berdiri seperti patung memandang rumah itu.

Thian Hwa berlari memasuki gedung dan ia menemukan ayahnya sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat diselamatkan dari kebakaran, menyusunnya di dalam kamar ayahnya, dibantu oleh Cui Sam, kakeknya.

“Ayah! Kong-kong!”

“Thian Hwa, rumah ayahmu dirampok dan dibakar jahanam-jahanam itu!” kata Kakek Cui Sam gemas.

“Ah, tidak mengapa. Ini masih baik karena bagaimana pun juga pihak pemberontak sudah berhasil dihancurkan. Bukan begitu, Thian Hwa?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan wajah gembira.

Dia tadi mendengar akan sepak terjang puterinya yang hebat mengagumkan, yang sudah menawan Pangeran Cu Kiong lantas membawanya ke puncak menara di mana dengan gagah beraninya Thian Hwa berhasil membuat para sisa pemberontak membuang senjata dan menakluk! Perbuatan itu amat hebat sehingga menjadi buah bibir dan pujian seluruh rakyat.

“Harta benda yang hilang bisa dicarikan penggantinya, yang terpenting adalah nama dan kehormatan keluarga. Dan engkau telah menjunjung tinggi sekali nama serta kehormatan keluarga kita, Anakku!” kata pula Pangeran Ciu Wan Kong.

“Ayah, aku datang bersama seorang tamu.”

“Ehh? Mana tamunya? Siapa?”

“Bibi Im-yang Sian-kouw, Ayah.”

“Im-yang Sian-kouw?” Tanya pangeran itu ragu karena merasa tidak mengenal nama itu.

“Hemm, agaknya Ayah telah lupa lagi akan keterangan pemuda bernama Si Han Bu itu.”

“Si Han Bu...? Ahh, tentu maksudmu guru Si Han Bu yang katanya tahu di mana adanya ibumu itu? Ahh, cepat persilakan dia masuk ke sini, Thian Hwa.” Lalu dia berkata kepada Cui Sam. “Gak-hu (Ayah Mertua), marilah kita bersihkan dan persiapkan tempat ini untuk menerima tamu kita. Dia akan memberi-tahu tentang Cui Eng!” kata Pangeran Ciu Wan Kong dan mereka berdua segera sibuk membereskan ruangan tamu untuk menyambut Im-yang Sian-kouw.

Baru saja mereka selesai membersihkan kamar tamu yang tidak turut terbakar itu, Thian Hwa dan Im-yang Sian-kouw sudah muncul di ambang pintu.

“Ayah, inilah Bibi Im-yang Sian-kouw yang telah menyelamatkan nyawaku pada saat aku terancam oleh Lam-hai Cin-jin!” kata Thian Hwa.

Pangeran Ciu Wan Kong sedang memegang sebuah vas kembang dan membersihkannya dari debu. Dia memutar tubuh memandang dan...

“Pyarrrrr...!”

Vas itu terlepas dan terjatuh pecah berkeping-keping di atas lantai. Dia berdiri bengong terlongong dengan wajah pucat. Thian Hwa terkejut, memandang Im-yang Sian-kouw dan melihat betapa wanita itu menundukkan mukanya yang pucat dan perlahan-lahan butiran air mata menuruni kedua pipinya!

“Cui Eng...! Cui Eng... Ya Tuhan... benar-benar engkaukah ini...? Aih, Cui Eng, isteriku...!” Suara ini terdengar menggigil, bahkan kedua lengan pangeran itu pun menggigil.

“Pangeran....” suara Im-yang Sian-kouw lirih dan sesenggukan.

“Cui Eng...! Engkau benar Cui Eng-ku...!” Mendadak Pangeran Ciu Wan Kong tersaruk-saruk maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu! “Cui Eng, ampunkan aku... Aku demikian lemah sehingga tidak berani menentang kehendak orang tuaku... aku telah berdosa padamu, telah membuat hidupmu, hidup Gak-hu (Ayah Mertua) dan hidup anak kita menderita... ampunkan aku, Cui Eng....”

Im-yang Sian-kouw menahan perasaan harunya. “Pangeran, bangkit dan berdirilah. Kalau engkau menyadari bahwa dulu engkau amat lemah, mengapa sekarang tidak berubah dan masih amat lemah?”

“Cui Eng... terima kasih engkau telah kembali....”

“Berdirilah, Pangeran. Dengar, aku tidak ingin kembali kepadamu yang sudah mengusirku. Aku hanya datang untuk mendengar tentang ayah dan anakku....”

“Cui Eng, aku di sini...” Cui Sam yang sejak tadi hanya melongo saja di sudut ruangan, kini maju menghampiri puterinya.

“Ayah...!” Cui Eng berseru dan ia segera berlutut di depan kaki Cui Sam. Kakek itu cepat mengangkatnya dan mereka pun berangkulan sambil menangis.

“Cui Eng, inilah anak kita, Ciu Thian Hwa. Thian Hwa, cepat beri hormat kepada ibumu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong yang sudah bangkit berdiri.

Semenjak tadi Thian Hwa berdiri dengan muka pucat, tak bergerak seperti patung. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa Im-yang Sian-kouw adalah Cui Eng ibunya!

Bagaimana ia dapat menduganya? Ia mendengar dari kakek dan ayahnya bahwa Cui Eng adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Sedangkan Im-yang Sian-kouw merupakan seorang wanita yang demikian sakti! Maka biar pun ayahnya menyuruh ia memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw sebagai ibunya, ia masih ragu-ragu dan hanya memandang dengan sinar mata mencorong penuh selidik.

Sebaliknya Im-yang Sian-kouw juga belum bisa menerima dan percaya begitu saja bahwa Huang-ho Sian-li adalah anak kandungnya yang dulu belum dia beri nama ketika terlepas dari pondongan dan hanyut dalam Sungai Kuning.

“Pangeran Ciu Wan Kong dan Ayah, harap jangan membohongi aku. Bagaimana mungkin anak ini adalah anakku yang ketika masih bayi hanyut di Sungai Huang-ho? Bagaimana mungkin...?” Suara wanita itu kini tergetar mengandung isak.

Tiba-tiba Cui Sam berkata dengan suara seorang ayah yang sedang marah dan menegur puterinya. “Cui Eng! Jangan berkeras hati karena dendam kebencian! Ketahuilah bahwa Ciu Wan Kong juga menderita, bahkan tak kalah menderitanya dibandingkan kita! Bahkan dia tidak pernah menikah dan telah dikenal sebagai orang yang sinting karena duka akibat memikirkan dirimu! Panjang ceritanya bagaimana anakmu ini dapat selamat bahkan kini menjadi seorang pendekar wanita. Tapi apa anehnya? Dulu engkau sendiri juga seorang wanita lemah. tetapi kini telah menjadi seorang wanita sakti. Pandanglah baik-baik, andai kata pikiranmu yang penuh dendam pada Pangeran Ciu itu mencoba untuk menyangkal, pandanglah muka Ciu Thian Hwa! Tidakkah engkau dapat melihat, apakah matamu telah buta untuk dapat melihat betapa anakmu ini memiliki wajah yang seperti kembar dengan wajahmu? Thian Hwa, inilah Cui Eng, ibumu yang selama ini kau rindukan!”

Mendengar ucapan Cui Sam yang marah itu, bagaikan bendungan air pecah kedua orang wanita itu mengeluarkan rintihan jerit hati dan mereka tersedu-sedu lalu entah siapa yang lebih dulu, mereka saling tubruk dan saling rangkul.

Dua orang wanita ini hampir tidak dapat mengeluarkan suara.

“Ibu...!”

“Anakku... Anakku...!”

Keduanya menangis tersedu-sedu, bagai air bah yang membanjir setelah bendungannya bobol. Im-yang Sian-kouw merangkul, menciumi muka Thian Hwa yang basah dengan air mata mereka, lalu menekan muka anaknya itu pada dadanya seperti seorang ibu hendak menyusui bayinya.

Dapat dibayangkan betapa mendalam rasa haru di dalam dada hati dua orang wanita itu. Keduanya sama sekali tak pernah menyangka bahwa mereka akan dapat saling bertemu. Thian Hwa yang sejak bayi terpisah dari ibunya dan ditemukan Thian Bong Sianjin hanyut di air Sungai Huang-ho, menganggap ibunya tentu sudah tewas. Demikian pula Cui Eng, seujung rambut pun tidak pernah mengira bahwa anaknya yang masih bayi dapat selamat dari air sungai yang besar dan ganas itu.

Keharuan yang mendalam timbul dari perasaan duka, sakit hati, juga rasa bahagia yang luar biasa. Selama ini Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw tidak mau pergi ke kota raja untuk menemui suaminya karena dia merasa sakit hati sekali atas pengusiran terhadap dirinya. Rasa dendamnya muncul terutama sekali karena ia kehilangan anaknya. Ia menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah memusnahkan semua kebahagiaannya, membunuh anaknya dan membunuh ayahnya, membuat ia merana dan hampir mati kalau saja tidak ditolong Bu Beng Kiam-sian.

Betapa pun hebatnya perasaan haru mencekam perasaan hati Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw, namun mereka berdua adalah wanita-wanita yang gagah perkasa dan sudah tergembleng lahir batinnya sehingga selain tenaga badan mereka amat kuat, juga tenaga batin mereka kokoh sehingga tidak mudah dilumpuhkan perasaan sendiri.

Tidak lama kemudian keduanya sudah dapat menguasai hati dan ketenangan mereka. Im-yang Sian-kouw melepaskan rangkulannya kepada puterinya lalu menghampiri Cui Sam, dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya itu.

“Ayah...!”

Cui Sam membungkuk dan merangkul puterinya, ditariknya agar berdiri dan kakek ini pun memandang puterinya dengan sepasang mata basah.

“Cui Eng, alangkah bahagianya kita sekeluarga dapat bertemu dan berkumpul kembali seperti ini....”

“Apa yang dikatakan Gak-hu memang betul, Eng-moi... sekarang tak ada lagi penghalang bagi kita untuk hidup bersama dengan bahagia, sekeluarga menjadi satu dan tidak akan terpisah lagi,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

Tetapi Im-yang Sian-kouw memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata mencorong dan mulut bergaris keras. “Pangeran Ciu Wan Kong, bagaimana mungkin aku dapat hidup bersamamu lagi sesudah apa yang kau lakukan terhadap aku dan keluargaku dua puluh tahun yang lalu,? Tidak, aku tidak mau!”

Cui Sam, Thian Hwa, dan terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong terkejut bukan main mendengar ucapan yang keras dan tegas penuh kepahitan dari Im-yang Sian-kouw. Tapi ucapan itu sekaligus menikam perasaan Pangeran Ciu Wan Kong seperti ujung sebatang pedang ditusukkan ke ulu hatinya.

“Cui Eng, engkau jangan berkata begitu! Aku menjadi saksinya bahwa yang mengusir kita dulu adalah orang tua Pangeran Ciu, bukan dia. Dia hanya terlampau taat kepada orang tuanya dan tidak berani menentang kehendak mereka. Dan aku pun tahu betapa dia amat menderita. Dia tidak pernah menikah dan...” kata Cui Sam.

“Aihh, Eng-moi, sekarang aku mengerti...!” Pangeran Ciu Wan Kong tiba-tiba memotong. “Aku memang tidak pernah menikah, akan tetapi engkau... mungkin saja engkau… sudah menikah dengan laki-laki lain....” Suaranya terdengar sedih sekali.

“Huh, memikirkannya juga aku tidak pernah!” bentak Im-yang Sian-kouw.

Tiba-tiba Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merangkul ibunya dan menangis. “Ibu... Ibu... selama aku hidup baru sekarang ini aku ingin memohon sesuatu kepada ibuku. Ibu, aku mohon sukalah kiranya Ibu mengasihani dan memaafkan kelemahan Ayah dahulu, sudilah Ibu kembali kepada Ayah dan hidup bersama kami, Ibu....”

“Memaafkan manusia yang kejam ini? Manusia yang begitu angkuh akan kedudukan dan keturunan, yang memandang rendah rakyat kecil dan miskin seperti aku ini? Memaafkan manusia yang telah menghancurkan hidupku dan yang membuat Ibu Anak dan kakekmu menderita hingga hampir tewas? Dan engkau yang sejak kecil dipisahkan dari ayah ibumu dan kakekmu, yang bahkan tidak sempat diberi nama oleh ibumu, engkau yang sudah digembleng hingga menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, engkau malah membujuk aku untuk memaafkan manusia yang jahat ini?”

Thian Hwa menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki ibunya.....



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 27  

“Harap Ibu dengarkan dulu kesaksianku. Ketika pertama kali aku mendengar cerita Kakek Cui Sam tentang apa yang Ibu alami di keluarga Ciu, aku juga marah bahkan mengambil keputusan untuk membantai keluarga Ciu yang dulu mengusir Ibu. Akan tetapi, orang tua Ayah, yaitu mereka yang dulu mengusir Ibu, telah tiada. Aku marah kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan bermaksud menghajarnya. Akan tetapi ketika aku tiba di sini dan melihat Ayah meratapi dan menangisi gambar Ibu seperti orang yang hilang ingatan, aku sadar bahwa Ayah bukanlah orang jahat. Dia hanya lemah dan tidak berani menentang orang tuanya. Ibu, jahatkah orang yang taat dan tidak mau menentang Ayah Ibunya? Memang Ayah lemah, akan tetapi sama sekali tidak jahat. Selain itu, aku berani memastikan bahwa Ayah amat mencinta Ibu, semenjak dahulu sampai sekarang. Oleh karena itu, sekali lagi, Ibu kembalilah kepada Ayah. Aku ingin sekali melihat Ayahku dan Ibuku hidup rukun dan saling mencinta. Apa lagi Kakek Cui Sam juga sudah berada di sini, Ibu. Kita semua dapat menjadi sebuah keluarga lengkap yang hidup berbahagia.”

Dengan air mata bercucuran Pangeran Ciu Wan Kong kini berlutut pula di dekat puterinya. “Eng-moi.... kalau engkau tidak mau memaafkan aku... kalau engkau memang demikian sakit hati kepadaku, aku mohon maaf... bunuhlah aku supaya aku dapat menebus semua kesalahanku kepadamu....”

Sebenarnya Im-yang Sian-kouw Cui Eng tak pernah membenci suaminya ini. Ia memang menderita sakit hati yang hebat, akan tetapi bukan kepada suaminya melainkan kepada kedua mertuanya yang sekarang telah tiada. Ia tahu bahwa suaminya amat mencintanya dan ia pun selalu mencinta suaminya.

Kini melihat suaminya, anaknya, juga ayahnya semua memintakan maaf atas kelemahan suaminya, dan melihat suaminya berlutut minta dibunuh, hatinya menjadi cair dan dengan air mata bercucuran ia membangunkan suaminya.

“Bangkitlah, Pangeran, tidak baik seorang suami berlutut di kaki isterinya. Aku... aku telah memaafkan semua kelemahanmu dahulu.”

Empat orang itu bertangis-tangisan, namun tangis terakhir ini adalah tangis kebahagiaan. Sesudah luapan keharuan mereka mereda, Pangeran Ciu Wan Kong lalu memerintahkan pelayan untuk menyiapkan pesta makan keluarga dan mereka lalu makan minum dengan gembira menyambut persatuan kembali keluarga itu.

Setelah selesai makan barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Pangeran Ciu Wan Kong tidak mengalami banyak hal, selama itu dia seakan mati walau pun jasmaninya masih hidup. Ia tidak melakukan kegiatan apa pun, hanya menyesali dan menangisi kepergian Cui Eng serta anaknya. Baru sesudah muncul Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dalam hidupnya, gairah hidupnya bangkit kembali dan ia bahkan terlibat dalam urusan menghadapi para pangeran yang memberontak.

Kemudian Kakek Cui Sam menceritakan pengalamannya. Ketika mereka bertiga, Kakek Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya yang sedang pergi menuju dusun tempat asal mereka, terbawa hanyut air Sungai Huang-ho yang deras, dia kehilangan puteri dan cucunya. Dia sendiri berhasil menyelamatkan diri dan dalam keadaan sengsara dia kembali ke kota raja lalu diterima sebagai pelayan di istana Pangeran Cu Kiong sampai dia bertemu dengan Ciu Thian Hwa yang segera dikenalnya karena wajah gadis itu persis wajah puterinya, Cui Eng. Kemudian betapa akhirnya dia dibawa Thian Hwa untuk tinggal bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mantunya.

Ketika giliran Ciu Thian Hwa tiba, gadis ini menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar. Karena sebelumnya Kakek Cui Sam dan Pangeran Ciu Wan Kong sudah pernah mendengar kisahnya, maka yang amat memperhatikan dan mendengarkan dengan hati tertarik sekali adalah Im-yang Sian-kouw. Thian Hwa bercerita betapa ketika ia yang masih bayi terseret oleh air Sungai Kuning, lalu dia diselamatkan oleh Thian Bong Sianjin dan akhirnya menjadi muridnya.

“Aihh, kiranya engkau adalah murid Thian Bong Sianjin? Aku pernah mendengar namanya disebut oleh mendiang guruku, Bu Beng Kiam-sian!” seru Im-yang Sian-kouw girang dan kagum. Pantas puterinya menjadi seorang pendekar wanita yang amat terkenal, kiranya ia menjadi murid, bahkan dirawat dan dibesarkan oleh tosu itu.

“Dan diakah yang memberimu nama Thian Hwa?”

“Benar, Ibu. Kong-kong (Kakek) atau Suhu-ku itu memberiku nama Thian Hwa.”

“Dan julukan Huang-ho Sian-li itu?”

Wajah Thian Hwa berubah kemerah-merahan. “Ah, itu hanya sebutan dari para penduduk dusun-dusun di sepanjang Huang-ho. Karena aku sering menolong mereka, maka mereka menyebutku demikian.” Gadis itu juga bercerita tentang Ui Yan Bun yang menjadi sahabat baiknya, bahkan juga terhitung suheng-nya karena Ui Yan Bun memperoleh gemblengan pula dari Thian Bong Sianjin.

“Kau bilang siapa nama pemuda sahabatmu dan Suheng-mu tadi?” Im-yang Sian-kouw memotong.

“Namanya Ui Yan Bun, Ibu.”

“Nanti dulu... apakah dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, berpakaian serba biru, wajahnya bersih dan sikapnya sopan, tubuhnya tinggi sedang dan senjatanya pedang?”

Kini Thian Hwa memandang ibunya dengan mata terbelalak dan wajah berseri. “Ibu sudah mengenalnya? Benar, dia adalah pemuda seperti yang Ibu gambarkan!”

“Aku pernah bertemu dengan Ui Yan Bun. Ketika itu dia datang ke Beng-san bersama seorang gadis bernama Wan Kim Hui. Maksud kedatangan mereka mencarikan obat bagi ibu gadis itu yang terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Mereka ingin minta obat itu dari guruku, akan tetapi karena Bu Beng Kiam-sian telah tiada, maka aku yang memberikan obat penawar racun Hek-tok-ciang itu kepada mereka.” Dengan singkat Im-yang Sian-kouw menceritakan tentang pertemuannya dengan Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui itu.

Kemudian Thian Hwa melanjutkan ceritanya ketika ia pergi meninggalkan perguruan untuk mencari pengalaman dan mencari orang tuanya sampai ia tiba di kota raja dan mula-mula ia membantu Pangeran Cu Kiong yang disangkanya seorang pangeran yang baik budi.

Akan tetapi, sesudah tahu bahwa pangeran itu memiliki cita-cita yang tidak benar, ia lalu meninggalkannya. Kemudian ia memperdalam ilmunya di bawah gemblengan kedua dari Thian Bong Sianjin dan ketika turun gunung ia terlibat dalam urusan di istana.

Setelah bertemu dengan ayah dan kakeknya, lalu dipercaya pula oleh Kaisar yang masih merupakan paman tuanya sendiri, secara langsung dia berhadapan dengan pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong. Semua pengalaman itu dia ceritakan dan ibunya mendengarkan dengan penuh keharuan akan tetapi juga bangga.

Setelah Thian Hwa selesai bercerita, Pangeran Ciu Wan Kong memandang isterinya dan berkata. “Eng-moi, sekarang giliranmu untuk menceritakan semua yang kau alami. Aku masih terheran-heran dan sulit untuk percaya bahwa engkau, yang dahulu lemah, bahkan pernah menolak untuk membunuh seekor tikus yang mengacau di dapur, tiba-tiba muncul sebagai seorang wanita sakti!”

Cui Eng menghela napas panjang. “Memang pengalaman seseorang terkadang amatlah aneh, tidak kalah aneh dibandingkan dongeng-dongeng. Pengalaman Thian Hwa tadi juga sudah aneh sekali dan sekarang giliranku bercerita. Aku tidak ingin menceritakan tentang segala penderitaanku karena hal itu hanya akan membangkitkan kenang-kenangan lama yang tidak enak. Singkatnya, pada waktu aku hanyut di sungai, dalam keadaan pingsan aku diselamatkan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama). Aku dibawa ke Beng-san, dirawat sehingga sembuh lalu menjadi muridnya. Nah, sejak saat itu aku hanya hidup untuk belajar ilmu silat dan ilmu pengobatan dari Suhu. Kemudian Suhu menolong seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, yaitu Si Han Bu yang kemudian oleh Suhu diserahkan kepadaku untuk menjadi muridku.”

“Akan tetapi kenapa engkau mengubah namamu menjadi Im-yang Sian-kouw, Eng-moi?” tanya suaminya.

“Aku ingin mengubur nama lama itu yang hanya mendatangkan kesengsaraan, lalu Suhu memberi aku julukan Im-yang Sian-kouw, disesuaikan dengan ilmu silat Im-yang Sin-kun yang kupelajari hingga mendalam. Han Bu adalah satu-satunya penghibur bagiku, apa lagi setelah Suhu meninggal. Dia menjadi murid akan tetapi juga pengganti keluarga sehingga sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Karena itu begitu dia turun gunung, aku merasa kesepian dan timbul niatku untuk pergi ke kota raja....”

“Ahh, Ibu tentu ingin mengetahui keadaan Ayah!” kata Thian Hwa.

Im-yang Sian-kouw tersenyum dan sepasang pipinya yang masih halus itu menjadi agak kemerahan. “Yah, bagaimana pun sakit hatiku, dia itu ayahmu, Thian Hwa, dan aku juga menyadari bahwa dia tidak bersalah. Akan tetapi begitu tiba di sini, terjadilah pertempuran itu. Aku bertanya-tanya dan mendengar mengenai namamu yang dipuji-puji orang sebagai pendukung kerajaan dan engkau menentang pemberontak. Pada saat aku melihat engkau bertanding melawan Lam-hai Cin-jin, tidak sukar bagiku untuk memihakmu. Aku mengenal Lam-hai Cin-jin sebagai seorang pengikut Jenderal Wu Sam Kwi, dan di daerah selatan ia merupakan seorang datuk yang terkadang melakukan perbuatan sesat. Maka aku segera turun tangan membantumu.”

Semua orang bernapas lega. Sekarang mereka sudah mengetahui riwayat masing-masing selama keluarga itu cerai-berai, tetapi kini mereka sudah berkumpul dan bersatu kembali. Mereka seolah-olah telah mengalami kehidupan baru yang menjanjikan masa depan yang penuh kebahagiaan…..

********************

Bouw Hujin atau Sin-hong-cu Souw Lan Hui mengerahkan seluruh ginkang-nya dan dia berhasil menyusul Ngo-beng Kui-ong yang melarikan diri dari medan pertempuran sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. Mereka sudah tiba di luar kota raja, di jalan yang sepi.

“Keparat jahanam, Ngo-beng Kui-ong, kiranya nama besarmu itu kosong belaka! Engkau tidak lebih hanya seorang tua bangka mau mampus yang pengecut dan penakut sekali!” demikian Bouw Hujin berteriak sesudah dia berkelebatan melampaui lawan dan sekarang telah berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong dengan sepasang pedang di tangan.

Melihat bahwa pengejarnya hanya satu orang saja, Ngo-beng Kui-ong tertawa mengejek. Tentu saja dia tidak takut kepada nyonya itu. Dalam pertempuran tadi dia telah mengenal ilmu silat nyonya ini dan walau pun harus dia akui bahwa wanita cantik ini memiliki ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat dahsyat, namun kalau hanya bertempur satu lawan satu, dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya. Sekarang di tempat sunyi itu tentu saja hatinya menjadi besar. Dia lalu melemparkan tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang lemas tertotok ke atas tanah sehingga tubuh itu bergulingan.

Hati Nyonya Bouw menjadi tenang sesudah melihat keadaan suaminya tidak terluka dan tidak terancam bahaya. Maka tanpa membuang waktu lagi dia sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan ganas dan sangat dahsyat.

“Haiiittttt...!”

Pedang kiri wanita itu menusuk ke arah muka, di tengah-tengah antara kedua mata Ngo-beng Kui-ong dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) disambung dengan pedang kanan menyambar dari samping, melengkung menebas pinggang lawan dengan jurus Giok-tai-wi-yau (Sabuk Kemala Melingkari Pinggang).

Dua serangan beruntun ini sangat berbahaya karena serangan pertama ke arah tengah-tengah antara sepasang mata itu membuat lawan menjadi silau dan terkejut, pandangan matanya tercurah kepada sinar mencorong yang meluncur ke tengah dahi itu sehingga perhatiannya terhadap pedang kanan yang menyambar pinggang agak kurang.

Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong adalah seorang ahli silat yang di samping kuat juga sudah banyak sekali pengalamannya berkelahi. Maka meski pun dia agak terkejut, tetap saja dia dapat menggerakkan tongkat ularnya ke sebelah kiri tubuhnya untuk menangkis babatan pedang kanan Nyonya Bouw.

“Singhg...! Trangggg!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan di lain saat Ngo-beng Kui-ong sudah membalas dengan serangan kilat yang sangat dahsyat. Dia bukan hanya menggerakkan tongkatnya, tapi juga menggerakkan tubuhnya yang berputaran seperti gasing, sementara tongkatnya mencuat dan menyambar dari pusingan badannya yang tidak dapat dilihat jelas itu.

Menghadapi serangan yang aneh ini, tentu saja Bouw Hujin terkejut. Akan tetapi wanita ini memiliki ginkang yang amat tinggi, membuat tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung walet yang selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat yang tiba-tiba dari tubuh lawan yang berpusing itu.

Perkelahian di tempat sunyi itu kini semakin seru. Ngo-beng Kui-ong bersilat dengan ilmu tongkat Pat-hong-tung (Tongkat Delapan Penjuru) yang amat dahsyat sehingga tubuhnya berputar seperti gasing. Untuk menghadapi ilmu tongkat yang amat hebat ini, Bouw Hujin (Nyonya Bouw) mainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan ilmu pedang Siang-liong-hui-thian (Sepasang Naga Terbang ke Langit), sebuah ilmu pedang dari Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai). Karena Nyonya ini telah memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat baik, maka tubuhnya seperti berkelebatan terbang saja.

Akan tetapi, bagaimana pun juga Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw yang lihai itu masih kalah pengalaman bertanding kalau dibandingkan lawannya yang sudah berusia delapan puluh tahun. Kakek tua renta ini banyak sekali ilmunya yang aneh-aneh, bukan hanya gerakan silat yang aneh dan lihai, akan tetapi juga dia memiliki tenaga sihir yang kuat sehingga terkadang, bila dia membentak sambil mengerahkan tenaga sihirnya, Bouw Hujin merasa betapa tubuhnya terguncang hebat yang membuat gerakannya agak kacau dan berkurang kecepatannya.

Ngo-beng Kui-ong merasa girang. Kini dia tahu bahwa inilah kemenangannya dan dia pun semakin sering menyerang dengan pengerahan tenaga sihir. Dan tak dapat disangkal lagi bahwa Nyonya Bouw kini mulai terdesak hebat.

Pangeran Bouw Hun Ki yang melihat pertarungan itu dari tempat dia rebah terguling dan telentang, kini merasa khawatir sekali. Dia melihat betapa isterinya mulai terdesak oleh kakek tua renta yang amat sakti itu. Dia tidak mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan isterinya.

Andai kata dia tidak berada dalam keadaan tertotok, tetap saja dia tak mampu membantu isterinya. Tingkat kepandaian silatnya masih terlalu jauh di bawah tingkat mereka, maka bantuannya bukan menolong bahkan selain mengacaukan permainan silat isterinya, juga dalam beberapa gebrakan saja dia akan roboh dan tewas.

Kalau mungkin dia ingin berteriak kepada kakek itu yang dia tahu bernama Ngo-beng Kui-ong agar kakek itu melepaskan isterinya dan membawa dia ke mana pun dikehendakinya. Dia siap dan rela mengorbankan nyawa asalkan isterinya selamat. Tapi dia tidak mungkin meneriakkan keinginannya dan permintaannya itu. Dia mengenal baik isterinya, seorang pendekar wanita yang lebih menghargai nama dan kehormatan dari pada nyawa.

Maka dia mulai memandang dengan muka pucat melihat isterinya kini repot sekali, hanya dapat mempergunakan sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya saja tanpa mampu balas menyerang. Bahkan sudah dua kali Nyonya Bouw harus terhuyung ke belakang dan hampir saja terpelanting saking kuatnya hawa pukulan yang mengandung tenaga sihir itu melandanya.

Ngo-beng Kui-ong semakin ganas dan kini dia mendesak dengan tongkatnya yang sangat berbahaya karena selain tongkat ular itu mengandung racun, juga tamparan tangan kirinya merupakan serangan yang lebih ganas dibandingkan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, murid keponakannya itu!

Pada saat yang amat gawat itu mendadak terdengar seruan lembut. “Siancai! Ngo-beng Kui-ong yang sudah sangat tua masih saja belum mampu menahan nafsunya yang suka membunuh. Sayang sekali…!”

Ngo-beng Kui-ong terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada hawa dorongan yang sangat kuat membuat tubuhnya yang berputar itu kehilangan keseimbangan sehingga ia terpaksa menghentikan jurus silat berpusing itu dan memandang dengan penuh perhatian.

Dia melihat seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu dari kain putih, mukanya bersih tanpa kumis atau pun jenggot dan sikapnya amat tenang, usianya sekitar enam puluh tahun.

“Thian Bong Sianjin!” serunya kaget. Sebaliknya Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali Nyonya Bouw, girang bukan main melihat munculnya Thian Bong Sianjin dalam keadaan yang amat gawat bagi suami isteri itu.

Sejak dulu Ngo-beng Kui-ong memang berwatak licik. Dia cerdik sekali dan tidak segan menggunakan cara apa pun demi keuntungannya. Melihat munculnya Thian Bong Sianjin, dia maklum bahwa melawan Thian Bong Sianjin berdua Sin-hong-cu Souw Lan Hui, dia tidak akan menang bahkan dia berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali.

Maka dia pun cepat menudingkan tongkatnya ke arah tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang masih rebah telentang di atas tanah, dan sinar hitam meluncur dari ujung tongkat ke arah Pangeran Bouw Hun Ki.

Melihat ini, Thian Bong Sianjin yang berdiri lebih dekat dengan pangeran itu, cepat-cepat melompat dengan gerakan kilat. Paku hitam yang meluncur dari ujung tongkat itu segera mengenai pundaknya ketika tubuhnya menjadi perisai bagi Pangeran Bouw Hun Ki.

“Manusia curang!” Thian Bong Sianjin berseru.

Melihat Thian Bong Sianjin tidak roboh biar pun terkena pakunya yang beracun, Ngo-beng Kui-ong menjadi semakin ketakutan dan dia pun lalu melompat dan melarikan diri. Setelah kakek itu pergi, tubuh Thian Bong Sianjin terkulai roboh.

Nyonya Bouw tidak melakukan pengejaran karena perhatiannya lebih dicurahkan kepada suaminya dan kepada Thian Bong Sianjin. Dia meloncat dekat suaminya, membebaskan totokan sehingga Pangeran Bouw Hun Ki mampu bergerak lagi, lalu keduanya memeriksa keadaan Thian Bong Sianjin yang tergeletak dalam keadaan pingsan.

Tanpa ragu Nyonya Bouw membuka kancing baju sehingga tampaklah dada Thian Bong Sianjin. Dia mengerutkan alisnya ketika melihat sebatang paku hitam sudah menancap di pundak kanan bekas kekasih atau sahabat baiknya itu.

“Bagaimana keadaannya? Parahkah?” Pangeran Bouw Hun Ki bertanya dengan khawatir.

Nyonya Bouw mengangguk. “Dia terkena senjata rahasia Toat-beng-hek-ting (Paku Hitam Pencabut Nyawa) yang mengandung racun amat berbahaya, sama berbahayanya dengan akibat pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).”

“Ahh, celaka! Lalu bagaimana? Engkau harus dapat menyembuhkannya. Ingat, dia terluka karena melindungi diriku, kalau dia tidak menghadang, tentu akulah yang terkena senjata rahasia ini dan sudah mati!” kata Pangeran Bouw kepada isterinya.

“Ya, aku mengerti,” Nyonya Bouw mengangguk.

Dalam hatinya Nyonya Bouw merasa bersyukur bahwa suaminya begitu bijaksana, sama sekali tidak merasa cemburu walau pun sudah mengetahui bahwa dahulu pada waktu dia belum menjadi isteri pangeran itu, hubungannya dengan Thian Bong Sianjin amat akrab.

“Satu-satunya obat penawar yang dapat menyelamatkan nyawanya hanyalah jamur salju putih, atau bubuk racun ular laut. Kukira di ruang obat istana terdapat obat-obat penawar itu. Mari kita cepat bawa dia ke sana.”

Nyonya Bouw Hun Ki mencabut paku hitam, menggunakan sinkang-nya untuk menyedot darah yang keracunan walau pun yang keluar tidak cukup banyak. Lalu dia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun hitam itu. Kemudian mereka membawa Thian Bong Sianjin yang masih pingsan kembali ke kota raja dan langsung saja ke istana.

Benar saja dugaan Nyonya Bouw, di ruangan penyimpanan obat-obatan langka di istana terdapat obat penawar racun ular laut. Setelah Thian Bong Sianjin diobati dengan racun ular laut untuk menangkal racun dari Hek-tok-ting, ternyata obat itu manjur sekali.

Thian Bong Sianjin siuman dari pingsannya dan terbebas dari ancaman maut. Hanya saja dia masih agak lemah sehingga perlu beristirahat beberapa hari. Begitu bangkit duduk dan melihat Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw, dia segera mengucapkan terima kasih.

“Ji-wi (Kalian Berdua) telah menyelamatkan nyawa pinto (aku). Kalau tidak ada Pangeran Bouw dan Bouw Hujin yang menolong, kiranya hari ini pinto sudah tidak berada di dunia lagi.”

“Wah, Totiang (sebutan pendeta), ucapan apakah yang kau katakan ini? Ini terbalik sama sekali!” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Saya diculik Ngo-beng Kui-ong, kemudian isteriku mengejar lantas bertanding melawan dia. Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong sangat lihai dan agaknya isteriku dan aku pasti akan binasa kalau saja tidak ada Totiang yang menolong kami berdua. Bahkan Totiang menghadang paku terbang untuk melindungiku sehingga Totiang sendiri yang terluka. Siapakah yang menolong dan siapa yang ditolong dalam hal ini?”

Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai…! Kita saling tolong, semuanya ini terjadi secara kebetulan. Nah, yang kebetulan inilah yang telah menolong, karena kebetulan tidak dapat kita buat. Hanya Yang Maha Kuasa saja yang dapat menciptakan kebetulan sehingga kita diberi kesempatan untuk saling bantu. Sesungguhnya Yang Maha Kuasa yang menolong kita semua, dengan cara melalui orang lain yang dipergunakanNya pada saat itu.”

“Memang benar sekali apa yang dikatakan Thian Bong Sianjin tadi. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa sajalah yang dapat menolong manusia kalau hal itu dikehendakiNya. Karena itu, segala puji dan rasa syukur tidak sepatutnya ditujukan kepada manusia lain, kecuali hanya kepada Tuhan. Kita semua seyogianya berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Pengasih!” kata Nyonya Bouw dengan girang.

“Aih, ucapan isteriku ini mengingatkan aku pada cara orang-orang berterima kasih kepada Tuhan. Meski pun setiap saat mengucapkan terima kasih dengan suara lantang, biar pun setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang sambil memberi korban yang serba mewah untuk menyembah Tuhan, seperti yang dilakukan setiap orang untuk menyatakan terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal ini sudah tepat dan benar? Mengapa kita selalu bersyukur, berterima kasih dan berdoa syukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima berkah yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan dan menyenangkan? Mengapa kita harus bersungut-sungut dan tidak mengucap syukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkahi kita kalau kita mengalami hal-hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan? Totiang, mohon penjelasan akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa syukur serta terima kasih kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Thian Bong Sianjin tertawa. “Pangeran, untuk menyelidiki hal ini sebaiknya jangan hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, maka semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan merasakan. Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan tadi. Segala macam perbuatan bila mengandung pamrih bagi diri sendiri, sudah pasti perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk mendapatkan pamrihnya itu.

Ada pamrih yang terkandung dalam perbuatan yang disebut baik, seperti ingin dipuji, ingin mendapat imbalan jasa, ingin dibalas, dan masih banyak lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan menyenangkan diri sendiri. Jelas bahwa perbuatan berpamrih itu tidak benar. Perbuatan tanpa pamrih adalah perbuatan yang spontan, tetapi perbuatan ini pun terbagi dua macam. Perbuatan spontan yang didasari dengan rasa benci, sudah pasti tidak benar karena mengandung kekejaman dan permusuhan. Sebaliknya, segala macam perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar!

Kasih dari Tuhan yang kita terima, berlimpah setiap saat, tapi apakah kita hanya menjadi manusia-manusia yang hanya bisa meminta dan menerima saja, tanpa pernah memberi? Lalu kalau Kasih dari Tuhan diwujudkan dengan berkah yang berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita benar-benar berterima kasih kepada-Nya? Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa syukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan berkat-berkatNya yang diberikan kepada kita kepada orang lain!

Kalau kita diberkahi kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkah itu kepada orang lain, untuk menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Apa bila kita diberkahi harta benda yang berlebihan, marilah kita salurkan itu kepada orang lain, menolong orang yang membutuhkan karena miskin. Jika kita diberkahi pengetahuan dan pengertian, mari kita salurkan berkah itu kepada orang lain yang tidak mengetahui dan kurang mengerti. Kalau kita diberkahi kedudukan dan kekuasaan tinggi, mari kita salurkan berkah itu untuk melindungi rakyat yang tidak berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan.

Dengan demikian tidak sia-sialah semua berkah berlimpahan yang kita terima dari Tuhan dan berbahagialah orang-orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk menyalurkan berkah-berkahNya. Lihatlah semua makhluk di dunia ini, baik yang bergerak mau pun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkah Tuhan. Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk manusia dan binatang.

Binatang-binatang juga menyalurkan berkah Tuhan dengan memberikan segala yang ada padanya demi kesejahteraan manusia. Lihat angin, air, api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi penyalur berkah Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia. Pertanyaan yang sekarang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing adalah, kita sudah menerima demikian banyaknya berkah dari Tuhan secara berlimpah melalui segala benda dan makhluk ciptaanNya di muka bumi ini, lantas apakah yang sudah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan berkahNya yang berlimpahan itu kepada pihak lain? Berkah dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan mau pun tanaman, tidakkah sudah sepatutnya kalau kita menyatakan terima kasih dan puji syukur kita juga melalui uluran kasih kepada sesama manusia, hewan, mau pun tanaman?”

Suasana menjadi sunyi sekali setelah Thian Bong Sianjin berhenti bicara. Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw dapat merasakan denyut jantung mereka sendiri dengan jelas. Semua kata-kata itu meresap sampai ke sanubari mereka masing-masing.

Justru dalam keadaan hening seperti itu, di mana pikiran tidak berkeliaran dan hati tidak disibukkan oleh perasaan apa pun, mereka dapat menerima semua kata-kata tadi yang membangkitkan kesadaran mereka akan kebenaran yang hakiki.

Pada saat itu pula terdengar langkah orang yang memecahkan keheningan itu. Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin memasuki ruangan itu. Dua pasang orang muda ini sudah mendengar dari Nyonya Bouw bahwa Thian Bong Sianjin yang menyelamatkan Pangeran Bouw Hun Ki dan isterinya adalah guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Maka mereka segera datang berkunjung untuk menengok keadaan kakek itu yang sudah mulai sembuh.

Nyonya Bouw lalu memperkenalkan mereka kepada Thian Bong Sianjin yang ikut merasa gembira bahwa Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui yang dahulu pernah menjadi sahabat baiknya itu kini hidup bahagia dengan seorang suami yang bijaksana dan dua orang anak laki-laki dan wanita yang gagah perkasa, bahkan agaknya sudah menemukan dua orang calon menantu murid Siauw-lim-pai yang gagah dan baik pula! Diam-diam dia bersyukur karena seandainya Souw Lan Hui menjadi isterinya, belum tentu keadaannya akan sebaik dan sebahagia sekarang!

Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan dalam kesempatan itu, empat orang muda itu mendapatkan banyak petunjuk tentang kehidupan dari Thian Bong Sianjin…..

********************



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 28   

Ang-mo Niocu Yi Hong berhasil melarikan diri dan ia merasa girang bahwa tidak ada yang mengejarnya. Biar pun sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi dia harus membawa kabar yang tidak menggembirakan karena kegagalan usaha pemberontakan Pangeran Cu Kiong yang didukungnya, namun dia berhasil membawa Tek-pai yang oleh Pangeran Cu Kiong diserahkan atau dititipkan kepadanya. Jenderal Wu Sam Kwi pasti akan girang sekali bisa mendapatkan Tek-pai itu karena sebuah Tek-pai dari Kaisar bagaimana pun juga memiliki kekuasaan yang disegani dan dihormati kalangan atas kerajaan.

Setelah melakukan perjalanan yang cepat menggunakan kuda yang selalu ditukar dengan yang baru setelah kuda itu kelelahan, akhirnya Ang-mo Niocu Yi Hong tiba di perbatasan Yunnan-hu yang menjadi daerah kekuasaan Jenderal Wu Sam Kwi.

Dia baru berhenti di kota Mayong yang berada di dekat perbatasan dan termasuk daerah Yunnan-hu. Karena merasa sudah berada di daerah sendiri, Ang-mo Niocu yang merasa lega dan aman lalu beristirahat dalam sebuah kamar di rumah penginapan.

Ia telah melakukan perjalanan yang jauh dan berat sehingga tubuhnya terasa lelah sekali. Sampai dua hari dua malam dia melepaskan lelah, menghabiskan waktu itu untuk makan dan tidur saja. Setelah menginap dua malam, pada hari yang ke tiga baru dia melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Yunnan-hu yang letaknya masih sekitar seratus li (mil) dari kota Mayong. Sekarang dia tak tergesa-gesa, dia telah menjual kudanya dan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.

Siang hari itu amat panas. Seperti biasa ia mengembangkan payungnya untuk melindungi mukanya dari sengatan sinar matahari. Tiba-tiba tampak bayangan putih yang berkelebat melaluinya dan ketika bayangan itu berhenti kemudian berbalik sehingga mereka saling berhadapan, Ang-mo Niocu melihat seorang pemuda tampan berpakaian serba putih telah menghadangnya sambil tersenyum lebar.

Pemuda itu bukan lain adalah Si Han Bu yang memang melakukan pengejaran terhadap Ang-mo Niocu sesudah dia mendengar dari Huang-ho Sian-li bahwa Tek-pai dari Kaisar yang diberikan kepada gadis itu sudah dirampas Pangeran Cu Kiong dan kemudian oleh pangeran itu diserahkan kepada Ang-mo Niocu yang membawa Tek-pai itu kabur menuju ke Yunnan-hu di selatan.

“Hai, Nona cantik berpayung merah, engkau tergesa-gesa hendak ke manakah?” kata Han Bu sambil tersenyum.

Ang-mo Niocu terbelalak memandang pemuda itu. Tadinya ia merasa tidak kenal dengan pemuda tampan yang tampak ramah ini, akan tetapi dia segera teringat bahwa ini adalah pemuda yang pernah ditawan dalam kamar tahanan di istana Pangeran Cu Kiong. Ia tahu Pangeran Cu Kiong sudah mengatakan bahwa kalau perjuangannya memberontak gagal, para prajurit yang menjaga tawanan itu diperintahkan untuk menghujaninya dengan anak panah sampai mati. Bagaimana sekarang tahu-tahu pemuda itu telah bebas dan berada di depannya?

Akan tetapi gadis yang telah banyak pengalaman ini dapat menenangkan hatinya kembali karena ia pun maklum bahwa tidak mungkin pemuda ini sengaja mengejarnya. Untuk apa mengejarnya? Pemuda ini tidak mempunyai alasan untuk mengejarnya.

Dalam pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu dia hanyalah seorang pembantu yang tidak begitu penting. Dan tak ada seorang pun mengetahui kecuali dia dan Pangeran Cu Kiong sendiri bahwa Tek-pai dari Kaisar itu kini berada padanya.

Pula, Ang-mo Niocu memang amat tertarik kepada Si Han Bu, pemuda yang tinggi besar dan jantan gagah berwajah tampan ini. Apa lagi ia tahu bahwa ilmu silat pemuda ini cukup tangguh, dan sikapnya yang agak ugal-ugalan menambah daya tariknya sebagai seorang pemuda. Lumayan untuk teman bersenang-senang sesudah sekian lamanya melakukan pelarian yang melelahkan tanpa teman!

Maka ia tersenyum manis sekali ketika Han Bu menegurnya sambil tersenyum itu. Tanpa banyak berpura-pura lagi ia pun menjawab.

“Aih, kiranya engkau sudah bisa membebaskan diri dari tawanan Pangeran Cu Kiong yang brengsek itu? Aku memang tergesa-gesa pergi meninggalkannya. Untuk apa aku harus membela pangeran yang gagal segala-galanya itu? Aku tahu bahwa dia pasti akan gagal segala-galanya, karena itu aku pun tidak sungguh-sungguh membantunya. Eh, siapa pula namamu? Si Han Bu, bukan? Hei, anak manis, sejak melihat engkau ditawan sebetulnya aku ingin sekali menolongmu namun tidak pernah mendapatkan kesempatan.”

“Ahh, aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati, Ang-mo Niocu!” kata Han Bu.

Diam-diam ia mengagumi kecantikan gadis itu. Bukan hanya wajahnya yang cantik dan manis, namun bentuk tubuhnya juga sangat menggairahkan. Seorang gadis yang sangat menarik hati, mempunyai daya tarik yang luar biasa, terutama kerling mata dan senyum bibirnya yang menantang itu.

Tetapi dia pun sudah mengetahui bahwa gadis yang menarik ini amat lihai dan berbahaya. Juga sudah mendengar betapa gadis ini adalah seorang iblis betina yang suka menggoda laki-laki untuk kemudian dibunuhnya! Benar-benar seorang iblis betina yang amat cantik!

“Tentu saja tidak mungkin aku bersikap tidak baik terhadap seorang pendekar muda yang gagah perkasa seperti engkau, Si Han Bu. Sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku? Dan bagaimana engkau dapat menyusulku sejauh ini?”

Han Bu tetap tersenyum. “Aku meniru perbuatanmu, Niocu. Aku juga menunggang kuda yang selalu kutukar dan ganti dengan kuda lain setiap kudaku sudah kelelahan. Akhirnya aku dapat mengejarmu di sini.”

“Hemm, dan apa yang dapat kulakukan untukmu, pemuda gagah?”

“Ang-mo Niocu, perang pemberontakan Pangeran Cu Kiong telah selesai, pemberontakan telah dapat dihancurkan dan sekarang tidak ada lagi permusuhan antara engkau dan aku karena membela pihak masing-masing. Karena itu, apa bila engkau benar-benar hendak berbaik hati kepadaku, aku harap engkau suka menyerahkan Tek-pai yang kau terima dari Pangeran Cu Kiong kepadaku.”

Bibir yang berbentuk indah menantang itu bergerak-gerak mengarah senyum simpul yang nakal. “Tek-pai? Kenapa aku harus menyerahkan Tek-pai kepadamu, pendekar tampan?”

“Niocu, Tek-pai itu oleh mendiang Kaisar Shun Chi sudah diberikan sebagai tanda kuasa kepada Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa puteri Pangeran Ciu Wan Kong. Pangeran Cu Kiong yang memberontak merampas Tek-pai itu dari tangan Huang-ho Sian-li ketika gadis itu tertawan. Kemudian Pangeran Cu Kiong menyerahkan Tek-pai itu kepadamu, Niocu. Nah, karena Tek-pai itu bukan hak milikmu, maka sudah sepatutnya bila kau kembalikan kepadaku agar dapat kuserahkan kepada yang berhak, yaitu Huang-ho Sian-li.”

“Bagaimana kalau Tek-pai itu tidak ada padaku, Han Bu?”

“Bohong! Pangeran Cu Kiong sendiri yang mengaku bahwa Tek-pai itu telah dia serahkan kepadamu.” bentak Han Bu. “Sudahlah, jangan mempermainkan aku, Niocu. Serahkan Tek-pai itu padaku dan tidak ada urusan lagi di antara kita, tidak ada permusuhan lagi.”

“Kau tidak percaya dan mengira aku berbohong? Nah, silakan menggeledahku, Han Bu. Mari, di sini amat sepi tidak ada orang lain. Geledahlah aku!” Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan ia menurunkan payungnya, lalu menghampiri Han Bu dan berdiri dengan sikap menantang, membusungkan dadanya dan mengangkat kedua lengannya ke atas, memberikan tubuhnya untuk digeledah!

Mendapat tantangan ini, Han Bu tersenyum malu-malu dengan muka berubah kemerahan. Bagaimana mungkin dia menggeledah dengan menggerayangi tubuh Ang-mo Niocu untuk mencari Tek-pai yang mungkin disembunyikan di balik pakaiannya?

“Aih, bagaimana ini, Niocu. Aku suka sekali menggeledahmu, akan tetapi menggerayangi tubuhmu? Aku tidak mau bertindak tidak sopan dan kurang ajar terhadap wanita.”

“Ah, tidak apa-apa. Aku senang kalau engkau mau menggeledah dan mencari Tek-pai itu agar engkau yakin bahwa aku tidak berbohong padamu. Tek-pai itu memang tidak berada padaku, Han Bu.”

Si Han Bu merasa serba salah. Tak mungkin ia mau menggerayangi tubuh gadis itu untuk menggeledah. Bagaimana kalau gadis itu berbohong? Akan tetapi mungkin saja gadis itu memang tidak membawa Tek-pai karena memang sudah dia sembunyikan sebelumnya? Dia mencari akal, lalu berkata,

“Ang-mo Niocu, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang wanita gagah perkasa dan sebagai seorang wanita gagah perkasa tentu engkau tak mau berbohong. Benarkah itu?”

“Tentu saja benar!” kata Ang-mo Niocu sambil tersenyum manis dan hatinya terasa amat senang.

“Kalau begitu cobalah engkau menyatakan ikrar dengan mengikuti kata-kataku. Beranikah engkau? Tentu berani karena seorang gagah tidak takut akan apa pun, bukan?”

“Ya, tentu saja aku berani!”

“Nah, ikuti kata-kata dan tirukan. Tek-pai itu tidak ada padaku.”

“Tek-pai itu tidak ada padaku!” kata Ang-mo Niocu dengan tegas dan seperti main-main.

“Kalau aku berbohong....”

“Kalau aku berbohong....” gadis itu menirukan.

“Aku menjadi gadis yang paling jelek, paling tidak menarik, paling menjemukan di dunia ini!”

“Aku menjadi gadis....” Ang-mo Niocu tidak melanjutkan. Gadis mana mau disebut paling jelek, paling tidak menarik, dan paling menjemukan di dunia ini?

“Ha, ternyata engkau seorang gadis yang benar-benar gagah sehingga engkau tidak mau berbohong. Sekarang katakan, di manakah Tek-pai itu, Ang-mo Niocu?”

“Hemm, memang Tek-pai ada padaku, lalu apa yang akan kau lakukan jika Tek-pai tidak kuserahkan kepadamu, Han Bu?”

“Terpaksa akan kupergunakan kekerasan karena aku sudah berjanji kepada guruku untuk mendapatkan Tek-pai itu kembali.”

“Hi-hik, andai kata engkau dapat mengalahkan aku, lalu bagaimana caranya engkau dapat mengambil Tek-pai dariku, pemuda ganteng?”

“Kalau engkau dapat kukalahkan dan menjadi tidak berdaya, tentu aku dapat mengambil Tek-pai itu dengan mudah darimu.”

“Betulkah itu? Memangnya engkau sudah tahu di mana Tek-pai itu kusimpan, Han Bu?”

Han Bu tertegun. “Memangnya disimpan di mana?” Mata pemuda itu memandang dengan sinar mencari-cari di seluruh tubuh gadis itu.

“Engkau mau tahu?” Ang-mo Niocu mengerling genit dan tersenyum lebar penuh arti. “Tek-pai itu kusimpan di balik celanaku, di dekat pusar. Nah, beranikah engkau mengambilnya? Kalau berani, tidak usah kita bertanding. Aku tidak ingin kau pukul roboh, dan aku pun tak ingin memukulmu. Silakan ambil saja dari balik celanaku dan aku tak akan mencegahmu. Mari, ambillah, Si Han Bu!” Kembali gadis itu memajukan dada dan perutnya ke arah Han Bu sambil melangkah mendekati.

Han Bu terpaksa mundur-mundur! Sialan, pikirnya. Pengakuan gadis itu bahwa Tek-pai itu disimpan di balik celana, membuat dia kehilangan akal. Jangankan gadis itu berada dalam keadaan sadar, bahkan andai kata gadis itu pingsan sekali pun, bagaimana mungkin dia dapat mengambil Tek-pai di tempat tersembunyi seperti itu?

“Hayo, Han Bu. Mengapa mundur-mundur? Ke sinilah, ambillah Tek-pai itu, mari!” dengan gembira Ang-mo Niocu menggoda.

Dia merasa senang karena keraguan dan keengganan Han Bu itu jelas merupakan tanda bahwa pemuda ini adalah seorang perjaka tulen yang belum pernah berdekatan apa lagi bergaul akrab dengan wanita!

“Aku... aku tidak mau mengambilnya darimu....”

“Mengapa? Bukankah engkau sudah berjanji kepada gurumu untuk mengambilnya dariku dan menyerahkannya kepada yang berhak? Aih, engkau sungkan dan malu, ya? Karena kita belum saling mengenal? Sekarang begini saja, Han Bu. Kita bersahabat dahulu, nanti kalau engkau mau bersikap manis dan baik kepadaku, mau menjadi kekasihku, aku akan menyerahkan Tek-pai itu kepadamu. Bagaimana, mudah, bukan?”

Wajah pemuda itu berubah merah sekali seperti udang direbus. Ia hanya menggelengkan kepalanya kuat-kuat tanpa dapat mengeluarkan suara.

Pada saat itu terdengar derap kaki kuda lantas muncul dua orang penunggang kuda yang segera menghentikan kuda mereka sesudah tiba di dekat Ang-mo Niocu dan Si Han Bu. Pemuda ini tentu saja terkejut bukan main ketika mengenal bahwa seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah Lam-hai Cin-jin yang amat lihai.

Orang ke dua adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh enam tahun yang tampan gagah berpakaian indah dan pesolek. Dia itu bukan lain adalah Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) yang bernama Wu Kan, putera dari Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi raja kecil di Yunnan-hu dan menguasai sebagian daerah Se-cuan.

Melihat mereka, Ang-mo Niocu segera memberi hormat kepada Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan yang sudah melompat turun dari atas kuda mereka.

“Suhu...!”

Si Han Bu semakin kaget. Kiranya Lam-hai Cin-jin adalah guru dari Ang-mo Niocu. Kalau muridnya saja sudah amat lihai, apa lagi gurunya!

“Yi Hong, apa hasilmu diutus Ayah pergi ke utara? Engkau tidak membawa hasil apa pun dan kudengar engkau hanya berfoya-foya, bermain gila dengan banyak laki-laki!” Wu Kan berkata dengan ketus dengan suara mengandung kecemburuan karena sebelum pergi ke utara memang Ang-mo Niocu telah menjadi kekasihnya.

Mendengar ucapan itu wajah Ang-mo Niocu menjadi merah, bukan karena malu melainkan karena penasaran dan marah.

“Wu Kongcu, enak saja engkau bicara. Aku yang bersusah payah, malah kadang-kadang harus terancam bahaya maut, sementara engkau hanya enak-enakan tinggal di rumah. Tetapi sekarang engkau malah menuduh yang bukan-bukan!”

“Yi Hong, kau jangan kurang ajar terhadap Wu Kongcu!” bentak Lam-hai Cin-jin kepada muridnya. Ang-mo Niocu tidak berani membantah namun jelas dia merasa penasaran dan marah kepada Wu Kan.

“Bagus, bocah setan ini sudah muncul di sini. Yi Hong, kenapa engkau tidak cepat-cepat menangkap atau membunuhnya?” Lam-hai Cin-jin menegur muridnya sesudah dia melihat dan mengenal Si Han Bu.

“Suhu, saya sedang membujuk agar dia suka ikut ke Yunnan-hu,” jawab Ang-mo Niocu Yi Hong.

“Hemmm, agaknya pemuda ini juga seorang kekasihmu! Hayo mengaku saja! Dia harus mampus!” bentak Wu Kan marah dan pemuda ini telah mencabut pedangnya kemudian menyerang Han Bu dengan tusukan yang dilakukan dengan marah.

Tetapi putera Jenderal Wu Sam Kwi ini hanya lagaknya saja yang kelihatan hebat, namun sesungguhnya tingkat ilmu silatnya belum seberapa tinggi, ditambah tubuhnya juga lemah karena dia terlalu banyak pelesir dan kerjanya hanya berfoya-foya. Maka dengan mudah Han Bu miringkan tubuh mengelak, lalu tangan kirinya menepuk pundak pemuda pesolek itu.

“Plakk!”

Tubuh Wu Kan terputar dan terhuyung, tentu akan terbanting roboh apa bila tidak cepat-cepat dipegang oleh Lam-hai Cin-jin. Kakek pendek gendut ini marah sekali.

“Berani engkau menyerang Wu Kongcu?”

Dia lalu menggerakkan tangan kirinya, diputarnya sehingga telapak tangan kiri itu berubah menjadi kehitaman, setelah itu memukulkan telapak tangannya itu dengan dorongan yang mendatangkan angin dahsyat ke arah Han Bu.

Han Bu adalah murid terkasih dari Im-yang Sian-kouw yang selain mempunyai ilmu silat tinggi juga memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan. Maka, dengan sekali pandang saja maklumlah Han Bu bahwa lawan menggunakan pukulan beracun.

Dari gurunya dia sudah mempelajari cara menghadapi pukulan beracun, maka dia cepat menelan sebutir pil merah sambil melompat ke kiri untuk menghindar. Pada saat kakek itu mengejar dan memukul lagi dengan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), dia yang sudah menelan obat penguat atau penawar terhadap pukulan beracun kini berani menyambut dengan dorongan kedua tangannya.

“Wuuutt...! Desss...!”

Tubuh Han Bu terpental karena dia kalah kuat, akan tetapi dia tidak sampai terluka. Dia bangkit lagi, menyambut pukulan susulan sehingga terpental lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang sampai lima kali. Biar pun dia tidak menderita luka dalam, namun tetap saja Han Bu merasa nyeri karena terbanting sampai lima kali.

“Dorrr...!” Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan.

Untung bagi Han Bu tembakan yang dilepas Wu Kan itu meleset. Kiranya pemuda putera Jenderal Wu Sam Kwi itu mempunyai sebuah senapan kuno yang dia beli dari pedagang senjata api yang mulai beredar di sebelah selatan daratan Cina, kebanyakan dibawa oleh orang-orang bangsa Portugis.

“Jangan bunuh dia!” Ang-mo Niocu berteriak.

Karena sikap Wu Kan menimbulkan kebenciannya, maka ia semakin tertarik dan condong membela Si Han Bu. Sesudah berkata demikian, ia melompat dan bermaksud merampas senjata api itu dari tangan Wu Kan.

Akan tetapi senapan itu dapat diisi dua buah peluru. Melihat Ang-mo Niocu membela Han Bu, hati Wu Kan menjadi semakin panas dan dia pun mengarahkan moncong senapannya kepada gadis itu kemudian menarik pelatuknya.

“Dorrr...!”

Tubuh Ang-mo Niocu terpental ke belakang lantas roboh terkapar. Pada saat itu kembali tubuh Han Bu nyaris menjadi korban pukulan Hek-tok-ciang. Pemuda itu cepat melompat untuk mengelak.

Sementara itu, Wu Kan kini mulai mengisi senapannya kembali dengan dua butir peluru. Setelah diisi peluru dan dikokang, dia hendak menembak Han Bu. Akan tetapi pada saat itu pula berkelebat dua sosok bayangan orang. Muncullah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui.

Seperti kita ketahui, sesudah berhasil mendapatkan obat untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun, Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Wan Cun yang amat lihai. Karena Yan Bun telah memiliki dasar yang kuat, maka hanya dalam beberapa bulan saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat hasil penggemblengan datuk itu. Sesudah Wan Cun menyatakan bahwa ilmu yang diajarkan itu sudah cukup, maka Yan Bun lalu berpamit untuk pulang ke rumah ayahnya, yaitu Ui Houw yang tinggal di Lembah Sungai Kuning.

Ketika pemuda itu hendak berangkat, Wan Kim Hui rewel ingin ikut. Dia ingin sekali pergi mengembara dan kebetulan ada Yan Bun yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Semula ayah ibunya melarang karena mereka maklum akan kekerasan hati dan kebinalan watak puterinya, akan tetapi Kim Hui tetap nekat dan menangis. Akhirnya orang tuanya mengijinkan karena di sana ada Ui Yan Bun yang mereka percaya akan dapat mengawasi puteri mereka. Kim Hui hanya diperbolehkan merantau selama dua tahun dan paling lama dua tahun dia harus kembali ke Bukit Siluman di dekat kota Lam-hu.

Demikianlah, karena ingin melihat-lihat pemandangan, dua orang muda ini lalu mengambil jalan memutar dan pada siang hari itu kebetulan mereka melihat Ang-mo Niocu ditembak jatuh dan Han Bu sedang diancam bahaya.

“Itu Si Han Bu...!” Kim Hui berseru dan gadis ini segera memungut sebuah batu sebesar kepalan tangannya. Sambil berlari cepat ia menghampiri tempat itu lalu melontarkan batu itu ke arah Wu Kan yang amat dibencinya.

Dengan tepat sekali batu itu mengenai kepala Wu Kan pada saat Wu Kan menarik pelatuk senapannya hendak menembak Han Bu.

“Dorrr...!”

Tembakan itu mengarah ke atas dan tubuh Wu Kan terpelanting roboh. Dia jatuh pingsan karena pelipisnya dihantam batu yang dilontarkan Kim Hui.

Lam-hai Cin-jin marah sekali. Kakek gendut ini menggerakkan ruyungnya yang berduri, menyerang Kim Hui. Melihat ini Ui Yan Bun cepat mencabut pedangnya sambil meloncat menghadang lalu menangkis serangan ruyung yang ditujukan kepada Kim Hui itu.

“Tranggg...!”

Benturan antara ruyung dan pedang membuat pedang Yan Bun terpental. Melihat bahwa kakek yang dikenalnya dengan baik itu kini bertanding dengan Yan Bun, Kim Hui segera membantu Yan Bun dan mengeroyok Lam-hai Cin-jin dengan pedangnya.

“Lam-hai Cin-jin kakek tua bangka jahat mau mampus! Aku harus membalaskan ibuku yang pernah kau pukul dengan curang!”

Gadis itu masih merasa dendam mengingat ibunya, Nyonya Wan Cun, pernah dilukai oleh Lam-hai Cin-jin dengan pukulan Hek-tok-ciang yang hampir saja merenggut nyawa ibunya. Untung Yan Bun dapat mencarikan obat penawarnya dari Im-yang Sian-kouw.

Melihat ada seorang pemuda bersama seorang gadis datang menolongnya dan sekarang mengeroyok Lam-hai Cin-jin, Han Bu yang tadi melihat Ang-mo Niocu roboh mandi darah, segera melompat menghampiri gadis itu lalu berjongkok. Bagaimana pun juga gadis yang dikenal sebagai iblis betina itu tadi telah membelanya, bahkan menyelamatkan nyawanya.

“Bagaimana keadaanmu...?” tanya Han Bu dengan khawatir ketika melihat gadis itu rebah dengan napas terengah-engah dan muka pucat sekali.

Aneh! Dalam keadaan sekarat dan kesakitan seperti itu, melihat Han Bu berjongkok dan menanyakan keadaannya, Ang-mo Niocu tersenyum, walau pun senyumnya tampak aneh karena ia pun menahan rasa nyeri yang hebat. Bibirnya bergerak dan terdengar ia berkata lirih dan terputus-putus.

“Si Han Bu... terima kasih.... yang kau... cari itu... kusembunyikan... di kuil tua... belasan li... di sebelah utara dari... sini....” Setelah berkata demikian, ia terkulai dan tewas.

Mendengar ini Han Bu percaya dan merasa girang karena dia tidak harus menggeledah tubuh mayat gadis itu untuk mencari Tek-pai. Dia lalu menengok dan melihat betapa dua orang penolongnya masih bertanding seru melawan Lam-hai Cin-jin. Pada saat itu barulah dia memandang mereka dengan jelas dan hampir-hampir dia bersorak karena dia segera mengenal Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui yang dahulu pernah datang di Bukit Kera untuk mintakan obat bagi Nyonya Wan Cun kepada gurunya, Im Yang Sian-kouw!

Tadi dia tidak mengenal mereka karena dia masih terkejut mendapat serangan tembakan dari Wu Kan kemudian melihat betapa Ang-mo Niocu roboh tertembak. Sekarang melihat bahwa yang menolongnya adalah mereka, dia langsung meloncat dan menyerang dengan sepasang senjatanya, yaitu pedang Im-yang-kiam yang hitam putih di tangan kanan dan Im-yang-po-san, kipas sakti di tangan kiri.

“Ha-ha-ha, Saudara Ui Yan Bun dan Nona Wan Kim Hui yang baik, mari kita hajar kakek yang jahat ini!” katanya dan serangannya sangat dahsyat membuat Lam-hai Cin-jin yang sudah merasa kewalahan dikeroyok Yan Bun dan Kim Hui, menjadi semakin repot.

Apa lagi melihat Wu Kan menggeletak tak bergerak, hatinya merasa khawatir bukan main. Putera Jenderal atau Raja Muda Wu Sam Kwi itu pergi berdua dengan dia, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatannya.

Lam-hai Cin-jin adalah seorang datuk selatan yang amat setia kepada Wu Sam Kwi yang dia anggap sebagai seorang patriot pahlawan bangsa yang patut dihormati. Maka dia pun menjadi Koksu (Guru Negara) di Yunnan-hu, menjadi penasihat Jenderal Wu Sam Kwi. Kini melihat keadaan Wu Kan, baginya yang terpenting adalah menyelamatkan putera raja muda itu. Tiba-tiba ruyungnya diputar cepat bukan main sehingga tiga orang muda yang mengeroyoknya harus segera menghindar ke belakang dan pada saat itu, tangan kirinya membanting bahan peledak.

“Darrrr...!”

Benda itu meledak dan asap hitam mengepul dibarengi bau yang menyengat hidung.

“Awas asap beracun!” kata Han Bu yang mengenal asap semacam itu.

Ketiganya cepat melompat ke belakang menjauhi asap. Kesempatan itu digunakan Lam-hai Cin-jin untuk melompat ke arah menggeletaknya Wu Kan, menyambar tubuh pemuda itu, memanggulnya dan membawanya lari terlindung asap hitam beracun.

Sesudah asap membuyar, tiga orang muda itu sudah kehilangan Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan. Wan Kim Hui membanting-banting kakinya ke atas tanah.

“Sialan! Aku belum dapat membunuh si jahanam Wu Kan dan kakek iblis Lam-hai Cin-jin!”

“Ahh, agaknya engkau mengenal mereka itu, Nona Wan?” tanya Han Bu.

“Tentu saja aku mengenal mereka! Juga aku mengenal iblis betina Ang-mo Niocu Yi Hong itu. Anehnya, engkau ternyata sahabat baik iblis betina itu!” Wan Kim Hui berkata dengan sikap galak.

“Ehh, aku sama sekali bukan sahabatnya!”

“Hemm, kalau bukan sahabatnya kenapa tadi engkau dibelanya dan engkau menghampiri dia?”

Mendengar suara gadis ini, diam-diam Han Bu merasakan sesuatu kegembiraan aneh di dalam hatinya. Benarkah pendengarannya bahwa Wan Kim Hui cemburu?

“Aku justru mengejar dan mencarinya untuk merampas kembali Tek-pai milik Huang-ho Sian-li pemberian dari mendiang Kaisar.”

“Huang-ho Sian-li?” Ui Yan Bun berseru kaget akan tetapi juga girang. Dia cepat menahan diri kemudian berkata, “Harap kalian berdua tunda dulu pembicaraan. Di sana ada sebuah mayat yang harus kita kubur sebagaimana layaknya, baru nanti kita bicara agar jangan simpang siur.”

“Aku setuju dengan pendapat Saudara Ui Yan Bun,” kata Han Bu.

Wan Kim Hui cemberut. “Aku heran sekali melihat kalian. Apakah semua laki-laki begitu? Kalau melihat gadis cantik lalu jalan pikirannya menjadi ngawur?”

“Eh, engkau yang ngawur, Nona. Kenapa kau katakan bahwa jalan pikiran kami ngawur?”

“Itu sudah jelas. Ang-mo Niocu Yi Hong adalah seorang iblis betina jahat dan cabul, jelas merupakan musuh. Mengapa kalian kini hendak merawat mayatnya? Apakah karena dia cantik?”

“Kim Hui, jangan menuduh sembarangan!” Yan Bun berkata dengan suara mengandung teguran. “Yang jahat adalah perbuatannya ketika dia masih hidup. Kini yang menggeletak adalah jenazah seorang manusia. Sudah menjadi kewajiban kita sesama manusia untuk mengurus penguburannya dengan semestinya. Kalau kita membiarkan jenazah itu begitu saja dan membiarkannya membusuk atau dimakan binatang buas, maka kita kehilangan peri-kemanusiaan kita.”

Mendengar kata-kata Yan Bun, Kim Hui diam saja, sama sekali tidak berani membantah. Memang Kim Hui tak berani banyak membantah terhadap Ui Yan Bun yang sopan, serius dan pendiam, apa lagi karena orang tuanya telah menyerahkannya kepada Yan Bun untuk diawasi, dan dengan sungguh-sungguh ayahnya sudah memesan kepadanya agar dalam segala hal suka menurut dan tunduk kepada Yan Bun. Ia hanya duduk di bawah pohon dengan muka cemberut, menonton ketika Yan Bun dan Han Bu menghampiri mayat Ang-mo Niocu lalu mereka berdua menggali lubang.

Akan tetapi setelah lubang digali cukup dalam dan Yan Bun memberi tanda agar mereka berdua mengangkat mayat itu untuk dimasukkan ke dalam lubang galian, Han Bu berkata, “Nanti dulu, Saudara Yan Bun.”

Han Bu lalu menghampiri Kim Hui yang masih duduk di bawah pohon. Sambil tersenyum Han Bu memandang wajah manis yang cemberut menjadi semakin manis itu, akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Kim Hui sudah menegurnya.

“Mau apa kau?”

Han Bu berkata, “Nona Wan Kim Hui, aku ingin minta pertolonganmu, harap engkau tidak menolak.”

Kim Hui mengerutkan alisnya. Dia mengerling ke arah Yan Bun dan melihat betapa Yan Bun berdiri dan memandang ke arah mereka, agaknya ikut mendengarkan.

“Hemm, minta pertolongan kepadaku? Pertolongan apa? Aku tidak mau kalau aku disuruh membantu menguburkan mayat itu!”

“Ah, bukan, Nona. Saudara Ui Yan Bun dan akulah yang akan menguburnya. Aku hanya minta sukalah engkau menggeledah pakaian jenazah itu untuk mencari kalau-kalau Tek-pai yang harus kutemukan itu disimpannya dalam pakaiannya.”

“Menggeledah mayat? Huh, mengapa engkau menyuruh aku? Mengapa tidak kau geledah saja sendiri?”

Wajah Han Bu berubah merah. “Aih, bagaimana aku dapat melakukan hal itu, Nona Wan? Itu adalah mayat seorang wanita, dan aku seorang laki-laki, sungguh tak pantas kalau aku yang menggeledah. Aku tidak berani. Akan tetapi mungkin saja Tek-pai itu dia simpan di balik pakaiannya.”

Kim Hui masih hendak ‘jual mahal’, akan tetapi Yan Bun sudah berkata kepadanya. “Kim Hui, apa yang dikatakan Han Bu itu benar. Tidak pantas jika engkau menolak permintaan bantuan yang begitu ringan. Lakukanlah penggeledahan seperti yang dimintanya.”

Tentu saja Yan Bun mendesak Kim Hui karena selain apa yang diucapkan pemuda tinggi besar tampan dan gagah itu memang benar, juga dia berharap Tek-pai itu bisa ditemukan karena menurut Han Bu tadi, Tek-pai itu adalah milik Huang-ho Sian-li. Milik Thian Hwa! Terbayanglah wajah gadis yang sejak dulu dicintanya, satu-satunya wanita yang pernah dan masih dicintanya.....!


KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 29 

Dengan bersungut-sungut Kim Hui bangkit berdiri kemudian menghampiri jenazah Ang-mo Niocu Yi Hong yang tampak seperti orang tidur dan wajahnya tampak cantik. Kemudian ia melakukan penggeledahan, memeriksa semua bagian pakaian dan meraba-raba seluruh tubuh jenazah itu.

Dia keluarkan apa yang ditemukannya dari kantung dan balik pakaian, dan ternyata pada jenazah itu hanya ditemukan beberapa potong emas dan perak, perhiasan wanita, beserta beberapa macam obat luka seperti yang biasa dibawa orang-orang kang-ouw bila mana melakukan perjalanan. Tek-pai itu tidak ditemukan.

Akan tetapi Han Bu tidak kecewa, bahkan diam-diam dia merasa terharu karena Ang-mo Niocu ternyata tidak berbohong kepadanya. Dia semakin percaya bahwa Tek-pai itu pasti akan ditemukan di kuil tua yang letaknya belasan li di sebelah utara tempat itu.

Dia minta kepada Kim Hui supaya mengembalikan semua barang itu ke dalam saku baju mayat itu, kemudian bersama Yan Bun mengubur mayat Ang-mo Niocu. Sesudah lubang itu ditimbuni tanah, Yan Bun bertanya,

“Saudara Han Bu, engkau tidak berhasil mendapatkan kembali Tek-pai itu?”

Han Bu tersenyum. “Aku yakin sekali akan bisa mendapatkan kembali, karena sebelum ia meninggal tadi, Ang-mo Niocu sudah mengaku bahwa dia menyembunyikan Tek-pai itu di sebuah kuil tua, belasan li di sebelah utara....”

“Kalau begitu mengapa engkau masih minta aku untuk menggeledah mayat itu?!” Kim Hui menegur marah.

“Maaf, Nona. Tadi aku masih belum percaya akan keterangan Ang-mo Niocu, aku khawatir ia berbohong dan menyembunyikan Tek-pai itu di tubuhnya,” kata Han Bu sambil menjura di depan Kim Hui. Aneh, gadis itu hilang marahnya, bahkan kini tersenyum kecil.

“Hemm, jadi engkau juga tahu bahwa dia jahat dan tidak percaya padanya?” katanya.

“Han Bu, Kim Hui, mari kita cepat mencari kuil itu. Tek-pai itu sangat penting, kita harus segera menemukannya. Setelah itu baru kita bicara!”

Mereka lalu mengerahkan ginkang dan berlari seperti terbang cepatnya menuju ke utara. Menjelang senja mereka berhasil menemukan sebuah kuil tua yang tidak dipakai lagi dan keadaannya sudah banyak rusak, dalam hutan di tepi jalan umum. Segera mereka bertiga melakukan pemeriksaan dan pencarian. Akhirnya, di belakang sebuah arca Jilai-hud yang sudah berlumut, Kim Hui menemukannya.

“Inikah Tek-pai itu?” tanyanya sambil mengacungkan sepotong bambu kecil yang ada cap dan tulisan Kaisar.

“Benar, kalau tidak salah itulah Tek-pai!” kata Han Bu gembira.

“Uuhh, kalau tidak tahu bilang saja tidak tahu! Bilang benar, akan tetapi kalau tidak salah! Benar atau salah? Apakah engkau pernah melihatnya?” Kim Hui menegur galak.

Han Bu tersenyum. “Terus terang saja, baru kali ini aku melihatnya. Akan tetapi kalau itu bukan Bambu Tanda Kuasa (Tek-pai), lalu apa?”

Yan Bun menghampiri dan mengambil benda itu dari tangan Kim Hui, lalu memeriksa dan membaca tulisannya. “Tak salah lagi, inilah Tek-pai yang kau cari, Han Bu. Sekarang mari kita bicara. Kita melewatkan malam sambil mengaso di sini. Nah, ceritakanlah apa yang telah terjadi dan apa yang kau alami, Han Bu.”

Mereka duduk di bagian belakang kuil itu, satu-satunya bagian yang masih ada atapnya di situ sehingga lantainya juga segera bersih sesudah mereka menggunakan sapu tua untuk menyingkirkan debu. Mereka duduk saling berhadapan di atas lantai batu, kemudian Han Bu mulai menceritakan semua pengalamannya.

Dia bercerita mengenai pemberontakan yang dilakukan Pangeran Cu Kiong yang dibantu banyak datuk kang-ouw, di antaranya yang terpenting adalah Lam-hai Cin-jin dan susiok-nya (paman gurunya) yang bernama Ngo-beng Kui-ong dan amat sakti. Betapa ia ditawan setelah berhasil membebaskan Huang-ho Sian-li dari tahanan Pangeran Cu Kiong.

Kemudian betapa pertempuran terjadi dan akhirnya para pemberontak dapat dihancurkan, Pangeran Cu Kiong dapat ditawan. Dia sendiri dibebaskan dari penjara oleh gurunya, Im-yang Sian-kouw dan Huang-ho Sian-li.

“Masih untung engkau tidak dibunuh, Han Bu,” kata Yan Bun.

“Ah, tidak. Justru kakek Ngo-beng Kui-ong yang mempertahankan agar aku tidak dibunuh sebab dia ingin menyandera aku supaya guruku, Im-yang Sian-kouw mau dibujuk olehnya untuk membantu Jenderal Wu Sam Kwi.”

“Lalu bagaimana engkau dapat bertemu dengan Ang-mo Niocu, Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan itu?” tanya Wan Kim Hui yang merasa tertarik juga mendengar cerita pemuda itu.

“Ketika aku mendengar pengakuan Pangeran Cu Kiong bahwa Tek-pai yang dia rampas dari Huang-ho Sian-li ketika gadis itu dia tawan, lalu telah dia serahkan kepada Ang-mo Niocu dan dibawa ke selatan untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi di Yunnan-hu, aku segera melakukan pengejaran. Sampai lama aku mengikuti jejaknya dan berganti-ganti kuda. Akhirnya aku dapat menyusulnya sampai di sini. Aku minta Tek-pai itu darinya dan ketika kami bersitegang, muncullah kakek beserta pemuda yang membawa senapan tadi.”

“Lam-hai Cin-jin adalah Koksu dari Yunnan-hu dan merupakan seorang yang setia kepada Wu Sam Kwi dan pemuda itu adalah Wu Kan, putera Wu Sam Kwi. Dia pemuda brengsek tak tahu malu!”

“Teruskan ceritamu, Han Bu.”

“Lam-hai Cin-jin, seperti juga Ang-mo Niocu, sudah pernah melihat aku ketika aku ditawan mereka setelah aku berhasil membebaskan Huang-ho Sian-li, maka ia lalu menyerangku. Aku melawan dan terus terang saja, he-he, aku tidak mampu menandingi kakek itu. Aku terdesak dan tiba-tiba pemuda itu, Wu Kan namanya? Dia menembakku dengan senjata api, untung luput. Kemudian terdengar tembakan kedua kalinya dan... Ang-mo Niocu yang ditembaknya karena gadis itu menghalanginya membunuhku.”

“Wah, musuh malah membelamu, ya? Bagus, senang ya dibela seorang gadis cantik dan genit?” kata Kim Hui mengejek.

Wajah Han Bu berubah kemerahan dan dia tersenyum masam. “Ah, aku sendiri tidak tahu mengapa ia membelaku. Mungkin ia mulai menyadari akan kesesatannya.”

“Sadar? Ang-mo Niocu menyadari kesesatannya? Ih, engkau tidak tahu siapa perempuan itu! Ia iblis betina yang keji sekali!”

“Hui-moi, biarkan Han Bu melanjutkan ceritanya,” Yan Bun menegur dan Kim Hui terdiam.

“Pada saat itulah kalian muncul dan aku berterima kasih sekali kepada kalian. Jika kalian tidak muncul, aku tentu sudah mati.”

“Han Bu, ceritamu itu sungguh menarik sekali. Syukurlah kalau pemberontakan itu sudah dapat dihancurkan. Sekarang Tek-pai sudah berhasil kau temukan, apakah engkau akan memberikannya kepada Huang-ho Sian-li?”

“Tentu saja, aku akan kembali ke kota raja dan menyerahkan Tek-pai ini kepadanya.”

“Wah-wah, engkau tentu sangat mencinta wanita yang berjuluk Huang-ho Sian-li itu! Baru julukannya saja Sian-li (Dewi atau Bidadari), tentu orangnya cantik sekali. Engkau sudah membebaskannya, rela ditawan untuknya, dan sekarang bersusah payah mencari Tek-pai untuknya!” kata Kim Hui dan kembali Han Bu merasa senang sekali karena suara gadis itu mengandung kecemburuan!

“Kim Hui, engkau tidak boleh bicara seperti itu!” Yan Bun menegur.

“Tidak mengapa, Yan Bun, tetapi dugaannya salah. Aku kagum kepada Huang-ho Sian-li yang gagah perkasa dan dipercaya oleh mendiang Kaisar, tetapi itu bukan berarti bahwa aku mencintanya,” kata Han Bu.

“Han Bu, di mana adanya Huang-ho Sian-li sekarang?” tanya Yan Bun.

“Ehh, Bun-ko, apakah engkau mengenalnya?” tanya Kim Hui, sekarang ia menyebut koko (kakak) kepada Yan Bun, setelah melakukan perjalanan bersamanya.

“Dulu aku mengenalnya dan kami menjadi sahabat baik, bahkan boleh kukatakan bahwa dia masih Sumoi-ku (Adik Seperguruanku) karena aku pernah menerima gemblengan ilmu dari gurunya. Di mana dia sekarang, Han Bu?”

“Tentu saja di rumah ayahnya.”

“Ayahnya...? Siapakah ayahnya Huang-ho Sian-li?” Ui Yan Bun bertanya dengan jantung berdebar.

“Ayahnya adalah Pangeran Ciu Wan Kong, adik mendiang Kaisar Shun Chi.”

Hampir saja Yan Bun mengeluarkan seruan kaget, namun segera ditahannya. Kepahitan memenuhi hatinya.

Thian Hwa yang hanya dia kenal sebagai murid dan cucu angkat Thian Bong Sianjin, yang kabarnya sudah kehilangan ayah ibunya, bahkan yang tidak pernah mengenal siapa ayah dan ibunya, kiranya kini telah bertemu dengan ayah kandungnya. Dan ayahnya itu adalah adik Kaisar, seorang pangeran! Seketika dia merasa betapa dirinya dipisahkan semakin jauh dari gadis yang dikasihinya itu.

“Kenapa kalian diam saja? Cerita tentang diriku sudah habis kuceritakan, sekarang giliran kalian. O ya, aku masih ingin sekali mengetahui bagaimana engkau mengenal baik Lam-hai Cin-jin dan putera Wu Sam Kwi tadi, Nona Kim Hui?”

“Sudahlah, jangan pakai nona-nona segala, bikin aku canggung saja, Han Bu. Tentu saja aku mengenal mereka karena dulu aku dan orang tuaku juga tinggal di Yunnan-hu. Ayah bahkan merupakan sahabat baik Lam-hai Cin-jin karena keduanya sama-sama dianggap sebagai datuk persilatan di selatan. Akan tetapi ayahku tidak mau mendukung Wu Sam Kwi sehingga ayah tak disukai oleh mereka, juga Lam-hai Cin-jin kemudian memutuskan hubungan dengan ayahku. Nah, ketika Wu Kan, pemuda brengsek putera Wu Sam Kwi itu melamarku, kami menolaknya. Hal ini membuat mereka marah. Pada suatu hari ketika orang tuaku sedang tidak berada di rumah, Wu Kan datang menggangguku. Dia kuhajar babak belur, belasan orang pengawalnya juga kuhajar. Hal ini agaknya membuat Lam-hai Cin-jin marah dan ketika aku dan Ayah tidak berada di rumah, dia datang menyerang dan melukai ibuku. Semenjak itu kami sekeluarga pergi meninggalkan Yunnan-hu dan tinggal di Bukit Siluman. Nah, sekarang kau tentu sudah mengerti mengapa aku mengenal baik jahanam-jahanam itu.”

“Wah, ceritamu sangat menarik, Kim Hui!” kata Han Bu tanpa menyebut nona lagi. “Dan engkau sungguh hebat, berani menghajar putera Jenderal Wu Sam Kwi yang sekarang menjadi raja muda!”

“Jangankan hanya putera seorang raja muda, biar putera raja setan sekali pun jika berani menggangguku, akan kulawan dan kuhajar!” kata gadis itu dengan tegas.

Han Bu merasa aneh kenapa dia tertarik sekali kepada gadis yang amat galak ini. Belum pernah dia tertarik oleh seorang gadis seperti yang dirasakannya terhadap Kim Hui.

Sementara itu Yan Bun hampir tidak mendengarkan cerita yang dituturkan oleh Kim Hui. Pertama karena dia pernah mendengar kisah itu, dan kedua karena hati serta pikirannya masih penuh dengan kejutan mengenai diri Huang-ho Sian-li yang ternyata puteri seorang pangeran!

“Yan Bun, kenapa engkau diam saja? Kukira sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan pengalamanmu,” kata Han Bu.

Yan Bun sadar dari lamunannya dan menghela napas panjang. “Tidak banyak yang dapat kuceritakan.”

“Ah, Bun-ko, selama ini engkau belum pernah bercerita kepadaku tentang Huang-ho Sian-li itu! Sekarang ceritakanlah,” kata Kim Hui.

“Sudah kukatakan tadi bahwa dulu kami pernah menjadi sahabat baik, bahkan aku pernah digembleng ilmu oleh gurunya. Akan tetapi kemudian kami berpisah dan sudah sekitar dua tahun ini kami tak pernah saling bertemu. Aku lalu bertemu dengan adik Wan Kim Hui dan bersamanya mencarikan obat untuk ibunya yang terkena pukulan beracun Lam-hai Cin-jin dan kami menghadap gurumu, Im-yang Sian-kouw. Selanjutnya kami kembali ke Bukit Siluman di dekat kota Lam-hu dan di sana aku memperdalam ilmu silatku di bawah bimbingan Paman Wan Cun, ayah Kim Hui. Begitulah ceritaku.”

“Dan sekarang kalian hendak pergi ke mana?”

“Sudah terlalu lama aku meninggalkan rumah orang tuaku yang tinggal di Lembah Huang-ho. Sekarang aku hendak pulang ke rumah orang tuaku....”

“Aih, Bun-ko, marilah kita pergi ke kota raja lebih dulu. Aku ingin sekali melihat kota raja! Kebetulan sekali sekarang ada Han Bu sehingga kita bertiga dapat pergi bersama!” Kim Hui membujuk.

Yan Bun tampak ragu-ragu dan alisnya berkerut. Sesungguhnya sudah lama dia merasa rindu sekali untuk dapat bertemu dengan Thian Hwa. Akan tetapi keinginan itu selalu dia tekan. Untuk apa bertemu? Hanya akan menambah kedukaannya saja. Gadis itu dengan terus terang sudah menyatakan bahwa dia tidak dapat menerima cintanya, bahkan dahulu mengaku mencinta Pangeran Cu Kiong yang juga dibencinya.

Dahulu saja Thian Hwa tidak dapat menerima dan membalas cintanya, apa lagi sekarang setelah ternyata bahwa ia puteri seorang pangeran! Ia merasa takut bertemu Thian Hwa, takut kalau-kalau hatinya akan semakin menderita.

“Marilah, Yan Bun. Ucapan Kim Hui itu benar, lebih baik kita bertiga melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Bukankah engkau ingin bertemu dengan sahabat lamamu, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa?” kata Han Bu membujuk. Tentu saja hatinya senang bukan main kalau dapat melakukan perjalanan bersama Kim Hui yang telah mencuri hatinya!

Yan Bun menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya.

“Tidak... aku... belum ingin bertemu dengannya.”

“Tapi kenapa begitu, Bun-ko? Bukankah tadi kau katakan bahwa Huang-ho Sian-li adalah seorang sahabat baikmu, bahkan terhitung Sumoi-mu?” Kim Hui mendesak. “Ayolah, Bun-ko, aku ingin sekali pergi ke kota raja. Ayah hanya memberi waktu dua tahun padaku dan aku ingin melihat kota raja di mana dahulu ayah pernah tinggal!”

Yan Bun menggelengkan kepalanya dan wajahnya tampak muram, kemudian dia berkata. “Begini saja, Hui-moi. Bagaimana kalau engkau pergi dulu ke kota raja bersama Han Bu? Aku merasa yakin bahwa sebagai murid Im-yang Sian-kouw, dia tentu seorang pendekar muda yang baik budi dan bijaksana sehingga aku percaya padanya. Dia pasti akan dapat menjagamu.”

Kim Hui tampak gembira sehingga wajahnya berseri. “Benarkah, Bun-ko? Aku boleh pergi sendiri ke sana bersama Han Bu? Akan tetapi... nanti kalau Ayah mendengar bahwa aku tidak pergi bersamamu, Ayah akan marah....”

“Tidak, Hui-moi. Apa bila tahu bahwa pergimu bersama murid Im-yang Sian-kouw, beliau tak akan marah. Setelah aku mengunjungi orang tuaku, kelak aku akan menyusul ke kota raja.”

“Ah, terima kasih, Bun-ko!” Kim Hui memegang tangan Yan Bun lantas mengguncangnya sebagai ungkapan kegembiraan dan terima kasihnya. Setelah itu, dia lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di ruangan beratap namun tak berdinding itu.

Han Bu tidak tinggal diam. Dia mencari rumput kering yang terdapat di bagian belakang kuil tua dan menaburkan rumput kering itu di lantai ruangan.

“Aku lelah dan sudah mengantuk. Aku ingin tidur dulu!” kata Kim Hui dan gadis ini segera merebahkan diri di atas tumpukan rumput kering dengan miring membelakangi dua orang pemuda itu.

Melihat ini Han Bu cepat mengambil buntalan pakaiannya dan mengeluarkan sehelai baju luar yang lebar, lalu menghampiri gadis itu dan menyelimuti tubuhnya dengan baju luarnya yang lebar.

“Pakai ini agar jangan kedinginan,” katanya. Kim Hui menerimanya akan tetapi diam saja.

Melihat sikap pemuda ini, diam-diam Yan Bun merasa lega dan girang. Agaknya Han Bu merasa suka kepada Kim Hui yang galak itu! Siapa tahu di antara mereka dapat timbul perasaan cinta! Dia sendiri duduk di dekat api unggun, masih melamunkan Thian Hwa.

Malam semakin tua. Yan Bun masih duduk melamun di depan api unggun. Han Bu yang tadinya duduk bersila dan melakukan semedhi, kemudian menghampiri dan duduk dekat Yan Bun menghadapi api unggun yang mengusir hawa dingin malam itu, juga mengusir nyamuk yang mulai menyerang.

“Yan Bun, kau maafkan pertanyaanku ini, yang keluar dari hati seorang sahabat yang ikut prihatin. Kalau boleh aku mengetahui, ada apakah antara engkau dan Huang-ho Sian-li?”

Yan Bun tampak kaget. “Mengapa engkau bertanya demikian?”

“Maafkan, kalau hal ini menyinggungmu, boleh kita lupakan dan tidak usah kau jawab.”

“Aku tidak tersinggung dan marah kepadamu, Han Bu. Aku hanya merasa heran kenapa mendadak engkau menanyakan hal itu.” Yan Bun melirik ke arah Kim Hui yang tidur pulas dan hatinya lega karena dia tak ingin orang lain mendengarkan dia membicarakan tentang Huang-ho Sian-li.

“Begini, sahabatku. Ketika tadi aku memberi-tahu bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa adalah puteri pangeran, engkau tampak terkejut sekali walau pun ingin kau sembunyikan. Wajahmu pucat dan engkau tampak berduka. Aku juga melihat setiap kali aku menyebut Huang-ho Sian-li, ada cahaya kerinduan pada matamu, tetapi juga terselubung kedukaan. Kelirukah dugaanku bahwa engkau mencintanya, Yan Bun?”

“Mengapa pula engkau menduga begitu?”

“Ahh, dia adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan gagah perkasa, Yan Bun! Apa anehnya kalau seorang pendekar seperti engkau jatuh cinta padanya? Apa lagi engkau sendiri berkata bahwa kalian pernah menjadi sahabat karib.”

“Hemm, kalau begitu tak akan aneh pula jika engkau juga jatuh cinta kepadanya, bukan?” Yan Bun membalas.

Han Bun tertawa akan tetapi menekan suaranya agar tidak sampai mengganggu Kim Hui yang sedang tidur. “Ha-ha, memang tidak aneh, Yan Bun. Akan tetapi dugaanmu keliru. Aku belum mengenalnya, bahkan pertemuan antara kami hanya sekilas saja. Di samping itu, selama ini aku belum pernah jatuh cinta....” Tanpa disadarinya, Han Bu melirik ke arah Kim Hui.

“Hemm, belum pernah jatuh cinta, tetapi saat ini engkau jatuh cinta padanya, bukan?” Yan Bun menuding ke arah Kim Hui.

Wajah Han Bu berubah kemerahan dan dia menjadi salah tingkah.

“Eh, itu... ah, aku tertarik kepadanya sejak pertemuan pertama dulu, akan tetapi... cinta? Entahlah, aku tidak tahu, Yan Bun. Akan tetapi cintamu kepada Huang-ho Sian-li agaknya menimbulkan kesedihan bagimu, mengapa kalau aku boleh mengetahui?”

Yan Bun menghela napas panjang. Pemuda ini cerdik sekali dan agaknya sukarlah untuk menyembunyikan isi hatinya dari Han Bu.

“Baiklah, Han Bu. Karena aku telah mempercayakan Kim Hui kepadamu dan aku percaya sepenuhnya padamu, maka boleh engkau mendengar rahasiaku yang belum pernah aku ceritakan kepada orang lain ini. Memang benar, semenjak dahulu aku mencinta Huang-ho Sian-li, bahkan guru kami dan orang tuaku juga sudah menyetujui sepenuhnya kalau kami berjodoh. Akan tetapi dia mencintaku sebagai saudara atau sahabat baik. Selama ini aku masih mengharapkan agar sewaktu-waktu cintanya akan berubah dan ia bersedia menjadi pasangan hidupku. Akan tetapi, ahh... habislah harapanku sesudah mendengar ceritamu bahwa Huang-ho Sian-li adalah puteri seorang pangeran. Kalau dulu saja dia tidak dapat membalas cintaku, apa lagi sekarang sebagai puteri pangeran dan bahkan kepercayaan Kaisar...! Karena itulah aku tidak berani bertemu dengannya, Han Bu, karena hal itu tentu hanya akan membuat hatiku semakin sakit.”

Han Bu merasa terharu dan sejenak mereka berdua terdiam, hanya memandang ke api unggun sambil merenung.

Betapa besar kekuasaan cinta pada manusia. Betapa aneh lika-likunya mempermainkan manusia yang seolah-olah tak percaya terhadap kekuasaan yang dapat melambungkan manusia menikmati kesenangan tingkat tertinggi atau malah menenggelamkan manusia ke dalam kesusahan tingkat terendah.

Berulang-ulang Han Bu melirik ke arah Kim Hui. Keadaan manakah yang akan dialaminya nanti apa bila dia jatuh cinta kepada gadis itu?

Sebenarnya, kalau dikaji benar, cinta atau kasih itu sama sekali tidaklah aneh. Kita para manusia sendiri dengan hati akal pikiran kita yang mengada-ada, ini yang membuat cinta menjadi aneh, terkadang membahagiakan terkadang menyengsarakan.

Sesungguhnya, cinta adalah perasaan yang luhur dan suci murni, cinta dirasakan oleh seluruh makhluk hidup, baik yang bergerak mau pun yang tidak. Bukan hanya manusia mengenal cinta. Hewan pun mengenal cinta. Bahkan tanaman mengenal tangan-tangan manusia yang merawatnya dengan cinta. Hidup ini sendiri cinta! Tanpa cinta hidup ini tak ada artinya.

Cinta memang banyak ragamnya, ada cinta atau kasih terhadap Tuhan, kasih terhadap sesama manusia, kasih terhadap sanak keluarga, kasih terhadap negara dan bangsa, juga kasih terhadap sesama hidup seperti hewan dan tanaman.

Tetapi pada hakekatnya hanya ada dua macam Kasih. Kasih murni bercahaya dan hidup bila jiwa diterangi Sinar Illahi atau Kasih Tuhan sehingga hati kita dipenuhi oleh Kasih. Buahnya adalah perbuatan atau tindakan tanpa pamrih untuk diri sendiri, yang hanya didorong rasa belas kasih, membuat orang yang memiliki Kasih ini siap berkorban, tanpa mementingkan diri sendiri, tanpa mengharapkan imbalan jasa, dan bukan timbul dari hati akal pikiran yang dikendalikan nafsu.

Dan yang ke dua adalah cinta atau kasih yang didorong oleh nafsu keinginan kita untuk kepentingan dan kesenangan atau keuntungan diri kita sendiri. Cinta seperti ini penuh dengan pamrih, walau pun terselubung ketat. Ingin dipuji, ingin diberi imbalan jasa, baik itu imbalan lahir mau pun batin, pendeknya, cinta seperti ini bersumber demi kesenangan pribadi.

Cinta karena dorongan nafsu daya rendah inilah yang dapat mendatangkan kesenangan atau pun kesusahan. Memang selalu demikian sifat nafsu atau si-aku. Kalau diuntungkan senang kalau dirugikan susah. Begitu juga dalam hubungan cinta antara pria dan wanita. Cinta nafsu ini selalu mendatangkan sengsara bila tidak tercapai atau gagal, sebaliknya akan mendatangkan kebahagiaan bila berhasil baik.

Apa bila kita renungkan benar-benar, sesungguhnya tanda-tanda kedua macam cinta itu mudah dikenal. Cinta murni atau Kasih sejati dapat dikenal sebagai berikut.

Kasih sejati terhadap Tuhan yang kita kenal melalui kitab-kitab suci adalah ketaatan dan penyerahan diri tanpa pamrih. Cinta terhadap negara dan bangsa berupa perjuangan mempertahankan kesejahteraan dan martabat negara dan bangsa dengan rela berkorban dan tanpa pamrih apa pun untuk diri sendiri. Cinta terhadap sesama manusia didasari belas kasih dan rela berkorban demi kebahagiaan yang dikasihi.

Sebaliknya ciri cinta nafsu adalah apa bila: Kasih terhadap Tuhan didasari ketakutan akan hukuman, penuh pamrih untuk mendapat imbalan sekarang di waktu hidup atau pun kelak sesudah mati yang pada hakekatnya hanya pementingan diri mencari keenakan dan menolak ketidak-enakan diri sendiri. Cinta terhadap negara dan bangsa yang didasari nafsu berupa ambisi pribadi dan perjuangannya sesungguhnya untuk mencapai ambisinya sehingga apa bila perjuangan itu berhasil, dirinyalah yang akan menikmati dan mabok kemenangan, lupa akan kepentingan nusa dan bangsa. Cinta terhadap sesama manusia juga merupakan cinta terhadap diri sendiri, mencinta dengan harapan imbalan yang lebih besar seperti orang berjual-beli. Beli dengan cinta dan berharap mendapat kesenangan. Maka kalau kesenangan itu tidak diperoleh, cintanya pun entah lari ke mana!

Pada keesokan harinya mereka pun berpisah. Si Han Bu pergi ke kota raja bersama Wan Kim Hui, sedangkan Ui Yan Bun pergi seorang diri menuju ke Lembah Sungai Kuning, ke tempat tinggal Ui Houw yang berjuluk Si Ular Air.

Dahulu Ui Houw adalah kepala bajak sungai namun bukan gerombolan bajak yang jahat. Mereka bahkan menjadi pelindung para pedagang yang mengangkut dagangan mereka melalui Sungai Kuning dengan menerima upah sekedarnya. Mereka lebih pantas disebut pengawal pengiriman barang dagangan dari pada bajak sungai. Dengan adanya Si Ular Air Ui Houw dan anak buahnya, lalu lintas perdagangan di Sungai Kuning menjadi aman dari gangguan para bajak dan perampok.

Karena gerombolan ini memang tak pernah melakukan perampokan atau pun pemerasan dengan kekerasan, tidak pernah melakukan kejahatan, maka baik para pendekar mau pun para komandan pasukan keamanan tidak pernah memusuhi mereka…..

********************

Ketika Han Bu dan Kim Hui sampai di gedung Pangeran Ciu Wan Kong, mereka disambut dengan gembira oleh seisi rumah karena Han Bu berhasil membawa pulang Tek-pai yang apa bila terjatuh ke tangan orang lain yang jahat dapat membahayakan pemerintah. Akan tetapi kegembiraan mereka tidaklah sebesar keterkejutan dan kegembiraan hati Han Bu ketika dia melihat bahwa kini gurunya telah bertemu kembali dengan suami dan puterinya, dan tinggal sebagai satu keluarga di gedung Pangeran Ciu Wan Kong, suaminya.

Pertemuan itu menjadi semakin akrab karena di situ terdapat pula Kim Hui yang pandai bicara dan tidak malu-malu. Apa lagi Kim Hui sudah mengenal Im-yang Sian-kouw. Ia pun merasa kagum sekali melihat Huang-ho Sian-li yang cantik dan gagah.

“Enci Thian Hwa, tahukah engkau bahwa aku telah berkenalan dan menjadi sahabat koko Ui Yan Bun, sahabat baikmu itu?”

Thian Hwa terkejut karena tidak menyangka sama sekali bahwa gadis lincah itu mengenal Yan Bun. “Aih, benarkah? Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaannya?”

Baik Kim Hui mau pun Han Bu melihat betapa wajah Thian Hwa berseri-seri dan matanya bersinar-sinar.

“Ahh, dia baik-baik saja, Enci Thian Hwa.”

“Kim Hui, ceritakanlah bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Bun-ko,” Thian Hwa bertanya sambil menatap wajah gadis itu dengan penuh selidik.

Gadis ini manis sekali dan lincah. Bukan tidak mungkin Yan Bun jatuh cinta kepada Kim Hui, walau pun dia melihat ada keakraban dan kemesraan antara Kim Hui dengan murid ibunya, yaitu Si Han Bu.

“Ceritanya memang lucu,” kata Kim Hui. “Ibuku menderita luka parah akibat pukulan Hek-tok-ciang yang dilakukan si jahat Lam-hai Cin-jin. Ayah dan aku membawa ibu mengungsi dari Yunnan-hu dan tinggal di Bukit Siluman dekat kota Lam-hu. Ketika itu aku mendengar ada seorang sin-she (tabib) di Lam-hu, maka aku lalu pergi ke sana dan menculik tabib itu....”

“Menculik?” Huang-ho Sian-li berseru heran.

Kim Hui tersenyum. “Maksudku, ehh, aku memaksa dia supaya ikut aku ke puncak Bukit Siluman untuk mengobati Ibuku. Tak tahunya, sin-she itu mempunyai seorang keponakan yang amat lihai, yaitu Ui Yan Bun dan dia menyusul ke tempat kami. Tabib Ui Tiong tidak mampu menyembuhkan Ibu, tetapi mengatakan bahwa yang dapat mengobati adalah Bu Beng Kiam-sian di Bukit Kera. Yan Bun sanggup mencarikan obat untuk Ibu, akan tetapi dengan janji bahwa kelak Ayah harus mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ia berangkat dan aku ikut. Kami berdua menuju ke Bukit Kera dan... ehh, Bibi Im-yang Sian-kouw ini yang memberi obat dan aku sempat... ehh, berkelahi melawan Si Han Bu ini! Demikianlah, aku bukan hanya menjadi sahabat baik Ui Yan Bun, tetapi dia juga saudara seperguruanku karena dia menerima gemblengan ilmu silat dari Ayahku.”

Thian Hwa tampak senang mendengar cerita Kim Hui. Ia ikut merasa gembira mendengar bahwa Yan Bun telah memperdalam ilmu silatnya dan berada dalam keadaan baik. Akhir-akhir ini dia memang sering terkenang kepada sahabat lamanya itu dan membayangkan semua kebaikannya, terutama karena pemuda itu telah mengaku cinta kepadanya, yang ketika itu ditolaknya.....



KEMELUT KERAJAAN MANCU JILID 30  
Pada sore harinya, Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya, Im-yang Sian-kouw Cui Eng, meninggalkan tiga orang muda itu dan mereka bicara dengan lebih leluasa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wan Kim Hui.

“Enci Thian Hwa, aku sungguh merasa amat iba kepada Kakak Ui Yan Bun.”

Thian Hwa memandang heran. “Ah, mengapa, Kim Hui? Dia kenapakah, sampai engkau merasa iba kepadanya?”

“Dia itu telah menderita duka dan kecewa selama bertahun-tahun, Enci.”

“Ehh? Kenapa begitu?”

“Dia menderita patah hati. Dia mencinta seorang gadis, selama hidupnya baru sekali itu dia jatuh cinta, tetapi gadis itu menolak cintanya. Biar pun begitu dia tetap mencintanya. Hanya seorang saja yang pernah dicintanya, masih dicintanya hingga sekarang, dan yang akan tetap dicintanya sampai dia meninggal kelak. Cintanya sangat tulus, lahir batin, dan dia akan tetap setia sampai mati. Sungguh menyedihkan sekali. Aku selalu merasa heran mengapa ada gadis yang menolak cinta yang demikian tulus dari seorang pemuda gagah perkasa dan tampan, seorang pendekar budiman seperti Kakak Ui Yan Bun!”

Wajah Thian Hwa berubah menjadi agak pucat. “Kim Hui, apakah dia bilang kepadamu, siapa gadis yang dicintanya itu?”

“Gadis itu adalah seorang pendekar wanita, dan sekarang hati Bun-ko semakin menderita karena dia putus asa, tiada harapan sedikit juga baginya untuk berjodoh dengan pendekar itu setelah ia mendengar bahwa pendekar wanita yang dicintanya itu adalah seorang gadis bangsawan tinggi, seorang puteri pangeran....”

“Kau...! Apa maksudmu...?” Thian Hwa berseru.

“Benar, Enci Thian Hwa. Gadis yang dicintanya sampai detik ini adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, engkau sendiri.”

“Kim Hui! Engkau tidak boleh membuka rahasia! Ternyata dulu itu engkau mendengarkan percakapan kami?” Si Han Bu menegur dengan kaget sekali.

Kim Hui tersenyum. “Tentu saja, aku kan punya telinga?”

“Engkau mencuri dengar!”

“Huh, enak saja menuduh orang! Engkau dan Bun-ko bercakap-cakap ketika aku tidur dan telingaku mendengar percakapan itu. Apakah telingaku salah? Engkau saja yang bodoh, mengira aku tidak dapat mendengar percakapan itu!” Kim Hui membantah.

“Sudahlah, tidak perlu dipersoalkan,” kata Huang-ho Sian-li yang hatinya masih tergetar oleh cerita Kim Hui.

Yan Bun begitu mencintanya sehingga sampai kini masih tetap mencintanya. Sebetulnya dia pun merasa suka dan kagum kepada Yan Bun. Kalau dulu dia tidak dapat menerima cintanya, karena dia telah lebih dulu jatuh cinta kepada pangeran brengsek Cu Kiong!

“Si Han Bu, benarkah Bun-ko berkata kepadamu seperti yang diceritakan oleh Adik Kim Hui tadi?”

“Memang benar demikian, akan tetapi maafkan aku, harap jangan katakan soal ini kepada Saudara Ui Yan Bun. Dia pesan agar aku jangan bercerita kepada siapa pun juga karena rahasia hatinya itu hanya kepadaku seorang sajalah dia ceritakan. Siapa kira Kim Hui ikut mendengarkan dan kini membuka rahasia itu langsung kepadamu.”

“Tentu saja!” kata Kim Hui membela diri. “Aku kan juga perempuan? Sudah sepantasnya jika aku memberitahu Enci Thian Hwa bahwa Kakak Ui Yan Bun sampai sekarang masih mencintanya dan selamanya akan tetap mencintanya karena hanya dialah satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya!”

“Akan tetapi Saudara Yan Bun akan marah dan menegurku kalau sampai dia tahu bahwa rahasianya disampaikan kepada Enci Thian Hwa!”

“Biar dia marah kepadaku!” bantah Kim Hui.

Melihat dua orang itu sudah siap bertengkar lagi, Huang-ho Sian-li tersenyum dan melerai lagi. “Sudahlah, dia tidak akan marah. Biarlah kelak aku yang menjelaskannya kalau dia marah kepada kalian.”

“Ah, benar, Enci Thian Hwa? Engkau akan menemuinya?” Kim Hui berseru girang sekali. “Aku senang sekali kalau engkau mau menemuinya! Kasihan sekali Bun-ko...!”

“Enci Thian Hwa, jika memang engkau hendak menemuinya, sekarang dia sudah pulang ke rumah ayahnya, katanya di Lembah Huang-ho...,” kata pula Han Bu.

Thian Hwa mengangguk dan tersenyum. “Aku tahu tempat itu.”

Malam itu Thian Hwa sukar untuk dapat tidur nyenyak. Bayangan Yan Bun selalu tampak di depan matanya. Makin dikenang, semakin iba rasa hatinya terhadap pemuda itu…..

********************

Malam itu Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya juga bercakap-cakap dengan serius.

“Isteriku, sudah banyak engkau menceritakan kepadaku tentang diri Si Han Bu, muridmu yang kau sayang sebagai anak sendiri itu. Sekarang setelah dia datang dan aku bertemu dengan dia, aku melihat kebenaran ceritamu. Memang dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga wajahnya selalu cerah berseri. Selain itu dia benar-benar bertanggung jawab sehingga usahanya untuk mendapatkan kembali Tek-pai sudah berhasil baik. Aku suka sekali dengan pemuda itu!”

“Syukurlah, Pangeran. Memang dia adalah seorang murid yang baik, patuh dan berbakti seperti anakku sendiri,” kata Cui Eng.

“Karena itu timbul gagasan yang amat baik dalam pikiranku, Eng-moi. Alangkah baiknya kalau Si Han Bu itu menjadi jodoh anak kita Ciu Thian Hwa! Mereka serasi sekali, bukan? Yang pria gagah dan tampan, yang wanita cantik jelita dan keduanya sama-sama memiliki ilmu silat tinggi.”

Im-yang Sian-kouw terkejut karena gagasan suaminya itu begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga olehnya. “Si Han Bu menjadi mantu kita?”

“Ya, mengapa tidak, Isteriku? Bukankah engkau telah mengenal betul wataknya yang baik sehingga kelak tidak akan mengecewakan kalau dia menjadi mantu kita?”

Im-yang Sian-kouw mengerutkan alisnya, mengangguk-angguk membenarkan penilaian suaminya terhadap Han Bu, akan tetapi tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya.

“Nanti dulu, Suamiku. Kita tidak boleh mengambil keputusan tergesa-gesa. Memang kita berdua akan senang sekali kalau dapat memiliki menantu seperti Han Bu yang pasti tidak akan mengecewakan hati kita. Akan tetapi....”

“Akan tetapi, apa? Apakah Han Bu tidak akan mau menjadi suami anak kita?”

Isterinya menggelengkan kepala. “Tidak, aku yakin tidak. Han Bu belum pernah jatuh cinta kepada seorang gadis, dan aku yakin dia tak akan menolak kalau kita mengusulkan perjodohan itu. Apa lagi agaknya dia sangat kagum terhadap Thian Hwa. Ingat ketika dia membela Thian Hwa, membebaskannya dari tahanan dan hampir saja tewas. Kemudian ia pun langsung membantu Thian Hwa, mengejar perempuan yang membawa Tek-pai dan berhasil mendapatkannya kembali. Aku yakin Han Bu akan senang kalau dapat menjadi suami Thian Hwa dan menjadi anak mantuku.”

“Nah, kalau begitu, tunggu apa lagi?”

“Pangeran, meski pun belum lama aku berkumpul dengan anak kita Thian Hwa, agaknya aku sudah bisa mengenal wataknya. Engkau yang lebih lama berkumpul dengannya tentu juga mengenalnya. Aku melihat anak kita itu mempunyai watak yang keras. Maka dalam urusan perjodohannya, kita harus hati-hati dan tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Biarlah ia yang memutuskan, apakah ia mau atau tidak berjodoh dengan Han Bu. Tak mungkin kita dapat memaksakan keinginan kita dalam urusan perjodohan kepada anak kita yang keras hati itu.”

Pangeran Ciu Wan Kong mengangguk-angguk. Sekarang dia baru teringat dan menyadari akan kebenaran ucapan isterinya itu. Dia juga sudah tahu akan kekerasan hati puterinya.

Pada keesokan harinya, suami isteri yang sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi itu, mengingat bahwa usia Ciu Thian Hwa sudah mendekati dua puluh dua tahun, sudah lebih dari cukup dewasa untuk menikah, lalu memanggil Thian Hwa untuk diajak bicara dalam kamar mereka sehingga orang lain tidak ada yang dapat melihat atau ikut mendengarkan.

Melihat ayah ibunya duduk berdampingan dan memberi isyarat agar ia duduk di hadapan mereka, Thian Hwa merasa heran sekali. Dia memandang kepada mereka dengan sinar mata bertanya sebelum duduk di depan mereka.

“Duduklah, Thian Hwa. Kami ingin membicarakan urusan yang amat penting denganmu,” kata Im-yang Sian-kouw.

“Untuk sekarang ini, yang paling penting adalah penobatan Pangeran Kang Shi menjadi kaisar, Ibu. Hal itu baru akan dilaksanakan dua minggu lagi, tetapi aku sudah siap untuk mengawal bersama keluarga Pangeran Bouw Hun Ki.”

“Bukan soal itu, Thian Hwa,” kata Pangeran Ciu Wan Kong. “Memang penobatan kaisar adalah urusan yang amat penting, akan tetapi yang hendak kami bicarakan adalah urusan kepentingan pribadimu, dan kami juga.”

“Aih, Ayah dan Ibu membuat hatiku berdebar saja. Urusan pribadi apakah yang Ayah dan Ibu maksudkan?”

“Begini, Thian Hwa. Ibu masih ingat bahwa dahulu engkau terlahir pada Lak-gwe Cap-go (Bulan Enam Tanggal Lima Belas), berarti tiga bulan lagi engkau sudah berusia dua puluh dua tahun.” Cui Eng berhenti dan memandang wajah puterinya.

Wajah itu menjadi kemerahan dan Thian Hwa segera berkata. “Ah, terus terang saja, Ibu! Ibu dan Ayah hendak membicarakan urusan perjodohan, bukan?”

Pangeran Ciu Wan Kong tertawa. “Ha-ha, engkau memang anak pandai, cerdas dan jujur, dapat menduga sebelum kami bicara.”

“Thian Hwa,” kata Im-yang Sian-kouw Cui Eng. “Ibumu melahirkan engkau ketika berusia dua puluh tahun, menjadi isteri ayahmu ketika masih berusia sembilan belas tahun. Dan sekarang engkau sudah hampir dua puluh dua tahun, Anakku. Sudah sepantasnya kalau kami, ayah dan ibumu, ingin engkau agar segera menikah.”

Hening sejenak dan pada waktu itu ingatan Thian Hwa melayang kembali kepada masa lalu. Selama tiga tahun ini ia sudah bertemu banyak pemuda dan banyak pula pendekar-pendekar muda yang bijaksana dan baik, yang agaknya menaruh hati kepadanya. Namun dia merasa belum ada yang dia terima dan sekali dia menerima cinta seorang pemuda, ternyata cinta pemuda itu, ialah Pangeran Cu Kiong, palsu adanya! Kembali ia terkenang kepada Ui Yan Bun.

“Ayah dan Ibu, saat ini aku belum memikirkan hal itu....”

“Kami tahu, Nak. Memang tidak mudah untuk memilih seorang suami yang benar-benar baik. Tetapi ibumu ini mengenal seorang pemuda yang kiranya tepat sekali untuk menjadi calon suamimu. Aku sudah mengenalnya dengan baik dan aku merasa yakin bahwa dia akan dapat menjadi seorang suami yang sempurna bagimu.”

Thian Hwa mengangkat pandang matanya dan menatap wajah ibunya.

“Siapakah yang Ibu maksudkan?”

“Bukan lain adalah muridku sendiri, Si Han Bu. Ia telah kuanggap sebagai anakku sendiri maka kini alangkah baiknya kalau dia menjadi mantuku. Akan tetapi tentu saja kami ingin mendengar dulu pendapatmu, Thian Hwa. Keputusannya kami serahkan kepadamu, kami hanya mengusulkan karena kami yakin bahwa pilihan kami itu tidak keliru.”

Thian Hwa tersenyum geli. Si Han Bu, pemuda lucu yang agak berandalan itu? Memang pemuda yang baik dan gagah perkasa, juga sudah beberapa kali menolongnya.

“Ibu dan Ayah mudah saja menjodohkan orang. Apakah sudah ditanyakan kepada orang yang bersangkutan bahwa dia setuju dengan usul perjodohan itu?”

“Si Han Bu? Aku yakin dia setuju, Thian Hwa. Selain dia belum mempunyai pilihan, belum pernah dekat dengan seorang gadis, juga dia sudah memperlihatkan pembelaannya yang besar terhadap dirimu, itu saja sudah merupakan tanda bahwa dia cinta padamu.”

Thian Hwa tersenyum. “Sekali ini dugaan Ibu meleset. Bukan, Ibu, bukan aku yang dicinta oleh Han Bu, melainkan Wan Kim Hui itulah!”

“Puteri Lam-ong (Raja Selatan) Wan Cun? Ahh, aku melihat kedua orang muda itu sering berbantahan seperti akan bertengkar!” kata Im-yang Sian-kouw.

“Tampaknya memang demikian, Ibu. Akan tetapi di balik sikap keras mereka itu terdapat saling kagum dan saling mengasihi. Aku dapat melihat pada pandangan mata mereka dan menangkap getaran dalam suara mereka. Mereka itu saling mencinta, Ibu. Dan aku kira, karena sejak kecil Han Bu menjadi murid Ibu dan dia sudah yatim piatu, boleh dibilang dia adalah anak angkat Ibu. Karena itu aku akan merasa ikut bahagia kalau Ibu melamarkan Kim Hui untuk menjadi isterinya!”

“Ahh, benarkah itu, Thian Hwa? Kalau memang benar, hal itu mudah saja diatur dan kami kira Lam-ong tidak akan menolak kalau aku mengajukan pinangan.”

“Tentu tidak, Ibu. Lam-ong Wan Cun dan isterinya tentu sudah mendengar nama besar Ibu, bahkan Ibulah yang dulu memberi obat untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun. Aku yang akan mewakili Ayah dan Ibu untuk mengantarkan surat lamaran ke Bukit Siluman di Lam-hu.”

“Ahh, kalau begitu baik sekali!” kata Pangeran Ciu Wan Kong. “Akan tetapi engkau baru boleh pergi setelah upacara penobatan Kaisar dilaksanakan dengan baik dan selamat!”

“Tentu saja, Ayah.”

“Tetapi aku tetap tidak berani mengirim surat lamaran kalau aku belum mendengar bahwa Kim Hui mau pun Han Bu setuju untuk saling berjodoh. Coba panggil mereka sekarang juga, Thian Hwa!”

Thian Hwa lari dengan gembira mencari Han Bu dan Kim Hui yang kemudian dia temukan sedang duduk di taman gedung itu. Mereka duduk di sebuah bangunan kecil yang berada di tengah taman, duduk menghadapi kolam ikan.

“Aih, asyiknya!” Tiba-tiba Thian Hwa berkata sambil tersenyum.

Sepasang orang muda itu cepat menoleh dan mereka lantas bangkit berdiri. Maklum akan maksud seruan itu, keduanya tersenyum malu dan muka mereka berubah kemerahan.

“Ahh, Enci Thian Hwa! Mari duduk bersama kami, Enci. Sungguh lucu sekali melihat ikan-ikan emas itu berenang berkejaran, terutama yang gendut itu, kalau berenang tubuhnya berlenggang-lenggok seperti menari!” kata Kim Hui dan dia pun tertawa.

“Nanti saja, sekarang yang terpenting kalian berdua dipanggil ayah dan ibuku! Hayo, kita pergi ke sana!”

Kim Hui dan Han Bu tentu saja merasa heran, akan tetapi mereka tidak berani menolak, lalu pergilah mereka bertiga ke ruangan dalam di mana Pangeran Ciu Wan Kong dan Im-yang Sian-kouw telah menanti.

“Paman Pangeran dan Bibi, ada keperluan apakah memanggil saya dan Han Bu?” Kim Hui langsung bertanya.

Han Bu diam saja, hanya mengambil tempat duduk ketika gurunya memberi isyarat agar mereka duduk. Tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di depan suami isteri itu.

“Han Bu dan Kim Hui, kami telah merundingkan sebuah urusan yang akan kami bicarakan dengan kalian berdua. Karena kami tahu benar bahwa kalian berdua adalah orang-orang muda yang terbuka dan jujur, juga berani menghadapi apa pun, maka kami akan bicara secara terbuka dan mengharapkan agar kalian berdua juga menjawab dengan sejujurnya, tanpa sungkan dan malu. Nah, aku akan mulai denganmu, Han Bu. Engkau tahu bahwa aku bukan saja menjadi gurumu, akan tetapi juga sebagai pengganti orang tuamu, maka aku harus memenuhi tugasku sebagai orang tua. Engkau sudah cukup dewasa. Aku ingin melihat engkau berumah tangga dan hidup bahagia. Ketika aku bertemu dengan Wan Kim Hui, aku merasa yakin bahwa aku sudah menemukan seorang calon menantu yang baik. Nah, aku tidak akan memperpanjang kata, akan tetapi jawablah sejujurnya, Han Bu. Aku ingin menjodohkan engkau dengan Wan Kim Hui. Bagaimana, apakah engkau setuju?”

Wajah Han Bu mendadak menjadi merah sekali dan dia tidak dapat mengeluarkan suara. Dia menjadi salah tingkah. Belum pernah selama hidupnya dia mendapat ‘serangan’ tiba-tiba seperti ini, yang membuat dia tidak mampu bicara atau berbuat sesuatu, melainkan hanya menatap wajah gurunya seperti orang kehilangan akal!

“Hayo, Han Bu!” kata Thian Hwa, “Engkau bukan anak kecil lagi, bersikaplah jantan dan jawab pertanyaan Ibu dengan gagah dan sejujurnya!”

Han Bu menarik napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan hatinya yang tegang dan pikirannya yang bingung. Akhirnya dia dapat menjawab,

“Subo (Ibu Guru), bagaimana mungkin teecu (murid) berumah tangga bila keadaan teecu masih seperti ini? Teecu tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki penghasilan, juga tidak memiliki tempat tinggal? Bagaimana mungkin teecu berani...?”

“Ha-ha-ha, Han Bu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong. “Engkau memandang ringan kepada kami! Bukankah gurumu tadi sudah mengatakan bahwa engkau adalah murid dan juga anak kami sendiri? Mengapa mengkhawatirkan mengenai keadaanmu? Rumah kami juga rumah anak-anak kami, atau kalau engkau ingin memiliki rumah sendiri untuk membentuk keluarga, tentu kami bisa menyediakannya untukmu. Juga tentang pekerjaan. Mudah saja bagiku untuk mencarikan pekerjaan yang cocok untukmu.”

“Nah, sekali lagi aku bertanya, Han Bu. Apakah engkau setuju kalau engkau kujodohkan dengan Wan Kim Hui? Jawablah sejujurnya!” kata Im-yang Sian-kouw.

Han Bu melirik ke arah Kim Hui yang duduk di sampingnya. Dia melihat gadis itu sedang menundukkan mukanya yang kemerahan, menunduk dalam hingga dagunya menempel di lehernya dan dia merasa kasihan. Dia bisa membayangkan betapa besar rasa malu yang dirasakan gadis itu menghadapi pembicaraan terbuka tentang perjodohannya seperti itu! Han Bu mengeraskan hatinya agar berani menjawab dan dia lalu berkata.

“Subo, teecu akan berbohong jika teecu mengatakan tidak setuju. Akan tetapi sebaiknya diketahui lebih dulu pendapat Kim Hui. Kalau ia setuju, maka tentu saja teecu juga setuju sekali!”

“Bagus!” kata Im-yang Sian-kouw gembira. “Berarti setengah masalah ini sudah disetujui, tinggal setengah lagi. Nah, Kim Hui, engkau tentu sudah mendengar semua pembicaraan tadi dan sudah mengerti maksudnya. Sekarang kami ingin sekali mendengar jawabanmu. Apakah engkau setuju kalau menjadi calon isteri Si Han Bu?”

Wan Kim Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil pemberani, galak, tinggi hati, bengal dan bahkan agak liar. Akan tetapi sekali ini, biar pun sejak tadi dia sudah mendengarkan dan tahu apa yang akan dia hadapi, tapi ketika ditanya begitu dia pun semakin menunduk sampai punggungnya agak membungkuk. Terdengar suaranya lirih.

“Aku... aku... ahh, aku tidak tahu....”

Thian Hwa memberi isyarat kepada ibunya dengan kedipan matanya, lalu dia menggeser kursinya mendekati Kim Hui dan merangkul pundaknya.

“Kim Hui, engkau juga seorang gadis yang telah dewasa dan engkau biasanya tabah dan berani menghadapi apa pun juga. Ke mana perginya keberanianmu? Kalau engkau setuju, katakan saja setuju, apa bila engkau tidak setuju, jangan sungkan dan takut, katakan saja tidak setuju. Hayo, jawablah pertanyaan Ibuku tadi.”

Kim Hui mengangkat mukanya, tapi tidak memandang siapa pun kecuali wajah Thian Hwa yang berada dekat dengannya.

“Enci Thian Hwa, aku masih memiliki ayah dan ibu, bagaimana aku bisa memutuskannya sendiri? Urusan perjodohanku, tentu saja aku serahkan kepada ayah dan ibuku.”

“Aihh, kukira hatimu tidak bicara begitu, Kim Hui. Benarkah bahwa jika ayah ibumu setuju, engkau pun akan setuju?”

“Tentu saja!” jawab Kim Hui tegas.

“Hemm, bagaimana seandainya ayah ibumu menyetujui engkau berjodoh dengan Wu Kan putera Jenderal Wu Sam Kwi itu...?”

“Tidak sudi! Sampai mati pun aku tidak akan sudi!” jawab Kim Hui tegas.

“Nah-nah-nah, jelas bukan ayah ibumu yang memutuskan tetapi engkau sendiri. Sekarang jawablah, kalau nanti Ibu melakukan pinangan kepada orang tuamu untuk menjodohkan engkau dengan Han Bu dan orang tuamu setuju, apakah engkau juga setuju?”

Dengan muka merah dan senyum malu-malu Kim Hui mengangguk, lalu menundukkan kepalanya lagi.

“Ehh, mana jawabanmu, Kim Hui? Apakah kau setuju?”

Kembali Kim Hui mengangguk dan tersenyum malu sambil menundukkan kepala.

“Ihh, mengangguk itu bukan jawaban. Jawablah yang jelas, Kim Hui. Engkau setuju atau tidak?”

“Aku setuju!” kini jawaban itu terdengar nyaring sehingga Pangeran Ciu Wan Kong dan Im-yang Sian-kouw tersenyum girang.

“Bagus! Kalau begitu kami akan segera menulis lamaran yang akan diantarkan oleh Thian Hwa ke Bukit Siluman di Lam-hu! Kapan engkau akan berangkat, Thian Hwa?”

“Setelah upacara penobatan Kaisar, Ibu.”

“Baik, dan bagaimana dengan engkau, Kim Hui? Apakah engkau akan pulang bersama Thian Hwa?” tanya Im-yang Sian-kouw kepada gadis itu.

Dengan sikap masih canggung dan malu-malu Kim Hui melirik ke arah Han Bu, kemudian berkata, “Sesungguhnya saya... saya masih ingin melihat-lihat dulu, Bibi. Saya berpamit kepada Ayah Ibu saya untuk merantau dan diberi waktu sampai dua tahun.”

“Subo, teecu telah berjanji kepada Saudara Ui Yan Bun untuk menemani dan melindungi Kim Hui, maka saya akan mengantarkan dan menemaninya sampai dia kembali ke rumah orang tuanya.”

“Baik sekali kalau begitu. Memang engkau harus bertanggung jawab,” kata Im-yang Sian-kouw.

Sesudah percakapan yang menegangkan hati Han Bu dan Kim Hui itu berakhir, mereka kembali ke dalam kamar masing-masing. Han Bu tidak dapat segera pulas karena hatinya masih berdebar. Dia merasa sangat berbahagia karena sejak pertemuan pertama dengan Wan Kim Hui, sesungguhnya dia sudah jatuh cinta. Akan tetapi ada perasaan was-was di dalam hatinya. Bagaimana kalau orang tua Kim Hui menolaknya? Ahh, tidak mungkin, dia menghibur kekhawatirannya. Mereka tentu melihat subo, apa lagi bukankah ibu dari Kim Hui telah diselamatkan nyawanya oleh gurunya?

Kim Hui juga tak dapat segera tidur. Selama hidupnya ia belum pernah jatuh cinta kepada pria. Pernah ia merasa tertarik kepada Ui Yan Bun, akan tetapi karena sikap pemuda itu terhadap dirinya seperti seorang kakak, maka akhirnya rasa sukanya bukan berkembang menjadi cinta seorang wanita terhadap seorang pria, melainkan cinta seorang adik kepada kakaknya.

Dan ia pun harus mengakui bahwa ia tertarik sekali kepada Han Bu, bahkan merasa suka walau pun rasa sukanya itu selalu dipendam di balik sikapnya yang keras dan ini hanya merupakan bentuk kemanjaan. Begitu mendengar bahwa pemuda ini mencintanya, ia pun diam-diam merasa bahagia sekali.

Thian Hwa sendiri juga sukar memejamkan mata. Ia memang merasa amat lega dan ikut berbahagia bahwa Han Bu dan Kim Hui agaknya memang saling mencinta, sungguh pun tersembunyi. Akan tetapi kini dia merasa rindu sekali kepada Yan Bun. Belum pernah dia merindukan Yan Bun seperti sekarang ini.

Setelah semua yang dialaminya, kini baru ia menyadari bahwa pemuda kawan lama itulah yang paling menarik dan tidak pernah dapat dilupakannya. Apa lagi ketika dia mendengar dari Kim Hui bahwa sampai sekarang Yan Bun masih menantinya, mencintanya dan tidak pernah mencinta gadis lain. Sesudah lewat tengah malam, akhirnya ia dapat tidur dengan nama Yan Bun di bibirnya.

Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya, Im-yang Sian-kouw Cui Eng, sampai malam juga belum tidur. Suami isteri ini, terutama Im-yang Sian-kouw, memang merasa senang sekali bahwa muridnya yang dia anggap seperti anak sendiri itu akhirnya mendapatkan seorang jodoh. Akan tetapi suami isteri ini juga prihatin memikirkan puteri mereka, Ciu Thian Hwa!

Mereka tidak mungkin memilihkan jodoh untuk puteri mereka itu. Mereka sudah mengenal watak puteri mereka yang dalam perjodohan sudah pasti takkan mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak menjadi pilihan hatinya sendiri. Yang amat menyedihkan hati mereka, hingga sekarang mereka belum melihat atau mendengar adanya pria yang menjadi pilihan hati Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.

Karena merasa tidak berdaya menghadapi urusan perjodohan puteri mereka, Pangeran Ciu Wan Kong akhirnya berkata kepada isterinya.

“Mari kita serahkan saja masalah anak kita kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sebaiknya setiap tengah malam kita bersembahyang, mohon kepada Thian Yang Maha Kuasa agar anak kita itu segera menemukan jodohnya.”

Suami isteri itu lantas keluar dari kamar, menuju ke kebun atau taman belakang dan pada tengah malam itu, mereka berdua menyalakan hioswa (dupa biting) dan bersembahyang kepada Tuhan…..

********************

Upacara penobatan kaisar baru, yaitu Pangeran Kang Shi yang baru berusia kurang lebih sebelas tahun itu berlangsung dengan khidmat namun meriah, dan berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan. Sesudah dinobatkan sebagai kaisar berjuluk Kaisar Kang Shi, mula-mula kaisar kecil ini didampingi dan dibantu oleh Pangeran Bouw Hun Ki, pamannya yang juga dapat dianggap sebagai gurunya.

Tiga hari setelah penobatan kaisar, pada suatu pagi Han Bu dan Kim Hui berpamit untuk meninggalkan rumah Pangeran Ciu Wan Kong. Mereka bermaksud hendak kembali ke rumah orang tua Wan Kim Hui di dekat kota Lam-hu, akan tetapi dengan mengambil jalan memutar karena Kim Hui ingin merantau dulu menambah pengalamannya sebelum pulang ke rumah orang tuanya.

Pada waktu kaisar baru dinobatkan, di antara mereka yang diundang juga termasuk para pendekarmuda yang telah berjasa membantu pemerintah menentang pemberontak. Maka ketika itu Han Bu dan Kim Hui juga diajak oleh Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sebagai tamu kehormatan.

Dalam kesempatan ini mereka berkenalan dengan keluarga Pangeran Bouw dan segera menjadi akrab dengan Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang In. Dalam kesempatan itu Thian Hwa juga mendengar berita menggembirakan bahwa Bu Kong Liang sudah dipertunangkan dengan Bouw Hwi Siang, sedangkan Bouw Kun Liong dipertunangkan dengan Gui Siang In!

Setelah Han Bu dan Kim Hui pergi, Thian Hwa juga berpamit kepada ayah ibunya untuk mengantar surat lamaran Im-yang Sian-kouw kepada keluarga Wan Cun, datuk selatan yang berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Akan tetapi gadis ini tidak menceritakan kepada ayah ibunya bahwa sebelum pergi ke Bukit Siluman dekat kota Lam-hu tempat tinggal keluarga Wan, ia akan mencari Ui Yan Bun di Lembah Sungai Huang-ho.

Pada suatu senja tampak seorang gadis cantik meluncur di atas permukaan air Huang-ho (Sungai Kuning) yang pada bagian itu airnya mengalir tenang. Gadis itu meluncur cepat seperti terbang atau terapung di atas air. Senja itu di tepi sungai sudah mulai sepi. Tetapi ada beberapa orang melihat gadis itu dan mereka memandang dengan muka pucat. Lima orang nelayan ini percaya sepenuhnya akan adanya dewa-dewa dan dewi-dewi penunggu sungai. Maka ketika melihat ada seorang gadis cantik ‘berjalan’ di permukaan air dengan cepatnya, mereka segera berseru ketakutan.

“Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning)...! Huang-ho Sian-li…!” berulang-ulang mereka berseru lalu menjatuhkan diri berlutut ke arah sungai!

Orang-orang itu tentu salah menduga, akan tetapi tidak salah menyebut. Meski pun gadis itu bukan dewi, melainkan seorang manusia biasa, ia adalah Ciu Thian Hwa yang berjuluk Dewi Sungai Kuning!

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa mempergunakan papan selancar untuk meluncur dengan cepat di permukaan air sungai, menggunakan sinkang (tenaga sakti) pada kedua kakinya, menggenjot dan mendorong sehingga papan itu meluncur dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal Ui Houw, ayah Ui Yan Bun. Hatinya merasa gelisah, harap-harap cemas.

Bagaimana kalau Yan Bun tidak berada di sana?

Ia merasa pikirannya makin gelap, seperti gelapnya cuaca yang menjelang malam. Akan tetapi tiba-tiba saja ia melihat bulan muncul, besar dan gemilang, seolah memberi cahaya harapan kepadanya. Kegelapan pikirannya menghilang dan dengan senyum di bibirnya ia mempercepat luncurannya ke depan, seolah sedang menyongsong bulan, menyongsong kebahagiaan setelah selama ini mengalami banyak kepahitan dalam hidupnya.....
T  A M A T

Komentar

Postingan populer dari blog ini